Journal Asri

 

Hai! Pekan lalu saya membaca buku Masquerade Hotel karya Keigo Higashino. Buku ini adalah buku ke-10 Keigo Higashino yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Saya ikut perordernya, lumayan dapat diskon kalau tidak salah sekitar 20% ditambah dapat bonus sticky notes (? gak tau namanya) spesial edisi Masquerade Hotel ini. 


Setelah terakhir membaca Tragedi Pedang Keadilan beberapa waktu lalu, saya tidak punya menaruh ekspektasi apapun pada buku Keigo Higashino hehe, kalau memang ceritanya setrue-crime Tragedi pedang Keadilan, ya sudah, akan tetap saya baca juga karena Keigo memang masuk ke daftar penulis yang bukunya tetap saya nikmati bagaimanapun ceritanya. Tapi ternyata buku ini sangat menyenangkan untuk dibaca, setidaknya dibanding tragedi pedang keadilan yang amat menyayat hati, buku ini sangat menghibur buat saya. 

Buku ini berkisah tentang kasus pembunuhan berantai yang terjadi di Tokyo. Di tiap lokasi pembunuhan, selalu ditemukan kartu berisi petunjuk menuju lokasi dan waktu pembunuhan berikutnya. Awalnya polisi tidak bisa menebak lokasi dan waktu pembunuhan tersebut, namun ketika akhirnya mereka bisa membaca petunjuk tersebut, sampailah mereka pada dugaan lokasi pembunuhan berikutnya: Hotel Cortesia Tokyo! 

Berangkat dari kesimpulan tersebut, beberapa petugas kepolisian ditugaskan menyamar di hotel, menempati beberapa posisi mulai dari petugas kamar, bell boy, sampai.. front desk, sebuah posisi sulit yang biasanya ditempati petugas senior hotel yang sudah berpengalaman. Petugas kepolisian yang dengan setengah hati menempati posisi ini adalah Nitta Kosuke. Ia dipasangkan dengan staf front desk sungguhan yang sangat berpengalaman, Yamagashi Naomi yang tugasnya melatih Nitta dan memastikan penyamaran Nitta tidak terbongkar. 

Belajar mengenali karakter tamu hotel

Salah satu hal yang tidak diduga Nitta ketika ditugaskan menjadi front desk adalah ia juga berkesempatan memahami karakter tamu hotel yang datang. Mulai dari bertemu tamu yang biasa saja, sampai meninggalkan kesan mendalam. Sebetulnya Nitta juga memang harus mengamati tamu-tamu mencurigakan, siapa tahu ada petunjuk kalau tamu tersebutlah pelaku kejahatannya. Di sepanjang buku, kita akan banyak bertemu tamu-tamu menyebalkan (he he), mulai dari tamu menyebalkan yang masih bisa ditoleransi tingkat nyebelinnya, sampai yang betulan ngehe. 

Sepertinya bagian menyelami karakter manusia ini jadi ciri khas Keigo sensei banget ya, bagaimana tamu yang egonya tersinggung mencoba menjebak staf hotel, bagaimana tamu yang terluka di masa lalu mencoba membalas dendam dengan cara kekanak-kanakan, sampai bagaimana kasus-kasus pembunuhan tersebut terjadi, semuanya meninggalkan kesan yang mendalam bagi saya, karena yaa manusia tuh gitu hehe saya juga gitu, kebanyakan orang juga gitu, kalau punya pengalaman tidak menyenangkan akan gampang teringat, hanya saja bagaimana cara orang merespon, itu yang beda-beda yang kita mendapatkan beberapa contohnya di buku ini. 

Perkembangan karakter Nitta

Nah, menariknya, tidak hanya diajak mengenal karakter tamu hotel,  kita juga akan diajak untuk mengenali karakter utama di buku ini dengan lebih mendalam. Menurut saya, salah satu yang asyik dan menyenangkan dari buku ini, adalah karakter Nitta yang amat manusiawi. Dia sangat ingin terlihat menonjol, terutama dalam kasus yang sedang ramai dan jadi sorotan ini. Sebagai polisi yang sebelumnya memegang kasus secara langsung, penugasannya untuk undercover menjadi seorang front desk sungguh melukai egonya. Ia ingin melakukan sebuah pembuktian, dan dalam hal ini, ia dibantu Polisi senior dari kepolisian daerah, yang sangat bijak dan bisa melihat keinginan Nitta yang menggebu-gebu. Nose namanya. 

Bagaimana perjalanan pendewasaan Nitta dalam kasus ini, dari yang awalnya: harus saya yang menuntaskan dan menyelesaikan kasusnya, menjadi it's not about me, it's about them namun tanpa mengurangi kejeliannya dalam melihat apa yang terjadi, buat saya menjadikan buku ini jadi sangat kaya pembelajaran juga. 

Plot twist


Seperti buku misteri pada umumnya, tentu tidak seru ya kalau tidak ada plot twist yang terjadi, dan tenang saja, buku ini menyajikan plot twist yang buat saya sih gak ketebak ya, tapi entah mengapa saya merasa beberapa orang yang biasa membaca buku misteri sepertinya bisa menebak hehe. (Kalau kamu sudah baca bukunya boleh loh komentar di tulisan ini, kamu bisa tebak plot twistnya atau tidak). 

Saya suka plot twist yang disajikan! ada bumbu-bumbu romance pula (walaupun setitik saja hehe), tapi buat saya yang suka romance, ini menjadikan bukunya lebih menarik! Bayangkan bau parfum jadi salah satu petunjuk di akhir buku hehe. 

Endingnya, baik ending kasus maupun ending buku, buat saya pribadi sekali lagi: sangat menyenangkan dan memuaskan.

Membaca buku ini mengingatkan saya pada buku The Newcomers dan after effect setelah membacanya, seperti tidak membaca buku misteri, tapi ada perasaan hangat, karena tak hanya diajak membaca kasus pembunuhan yang menegangkan saja, tapi juga diajak mengenali karakter di buku secara lebih dalam. Sangat berbeda dengan membaca buku Tragedi Pedang Keadilan he he. Bukan berarti Tragedi Pedang Keadilan jelek ya, tapi jelas bukan buku yang akan saya baca ulang dalam waktu dekat. 



 


𝘏𝘪𝘥𝘶𝘱 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘯𝘥𝘢 𝘬𝘦𝘬𝘢𝘭𝘢𝘩𝘢𝘯


Saya pertama kali mengenal Derai-Derai Cemara di SMA.
Satu waktu guru Bahasa Indonesia meminta kami membuat musikalisasi puisi dari karya-karya Chairil Anwar. Saya ingat betul semua puisi yang kami garap.

Kelompok saya mendapatkan puisi Senja di Pelabuhan Kecil, puisi yg sepertinya sedang ditulis Chairil saat sedang gaau galaunya. Kelompok lain mendapatkan puisi Cintaku Jauh di Pulau, puisi yang juga isinya seperti curhatan cinta bertepuk sebelah tangan buatku dulu. Lalu satu kelompok lagi menyanyikan versi musikalisasi puisi untuk Derai-Derai Cemara, yang tiap baitnya tidak bisa saya lupakan sampai sekarang.

𝘈𝘬𝘶 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨𝘯𝘺𝘢 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘵𝘢𝘩𝘢𝘯
𝘚𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘱𝘢 𝘸𝘢𝘬𝘵𝘶 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘯𝘢𝘬 𝘭𝘢𝘨𝘪
𝘛𝘢𝘱𝘪 𝘥𝘶𝘭𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘥𝘢 𝘴𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘣𝘢𝘩𝘢𝘯
𝘠𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘴𝘢𝘳 𝘱𝘦𝘳𝘩𝘪𝘵𝘶𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘬𝘪𝘯𝘪


Bisa jadi saya saya terkesima dengan pilihan nada kelompok ini yg jauh lebih baik dari kelompok kami, bisa jadi saya memang terpukau dengan pilihan kata pada Derai-Derai Cemara.

Puisi ini tidak berisi ungkapan hati ketika putus cinta seperti puisi saya. Puisi ini, buat saya yang bocah waktu itu isinya tentang bagaimana Chairil jauh lebih dewasa, menerima nasib, paham betul kalau semua akan berpulang, juga ada bait-bait berisi pengakuan kalau dulu yaa dia tidak sedewasa ini.

Saya sering mengulang membaca puisi ini pada situasi terpuruk, pada hari-hari yang terasa penat, pada malam-malam sepi saat saya harus tetap bekerja dan jauh dari keluarga, juga ketika semua hal mulai berada diluar kendali saya. Rasanya menakjubkan bagaimana sebuah puisi bisa hidup melintasi jaman dan tetap relevan buat saya dan mungkin pembaca lainnya. Saya tidak merasa sendiri ketika membaca puisi ini. Juga tak merasa begitu buruk, karena ya pada akhirnya, bahkan setelah belajar dan sedikit lebih dewasa, kita semua akan menyerah, bukan?

---
Puisi ini ditulis tahun 1949, tahun dimana Chairil Anwar juga “menyerah”, berpulang dari kehidupan dunia di usia 27 tahun. Tak meninggalkan harta apapun selain karya-karyanya yang tetap hidup sampai sekarang. Sekarang, tiap tahun, hari kelahirannya dan hari kematiannya dijadikan hari puisi nasional.












Dua tahun lalu, saya membaca sebuah Esai berjudul Yang Menarik dan Tidak Menarik dari Pulang, dari Buku Dera Anugrah berjudul kenapa Kita Tidak Berdansa. Saya pernah menuliskan reviunya di sini jika kamu tertarik untuk membaca lebih lanjut. 

Sejak membaca tulisan tersebut, saya bertekad untuk membaca buku Leila Chudori yang satu ini. Sebetulnya saya pernah mencoba membaca karya Bu Leila yang cukup hits, Laut Bercerita. Tapi ya, tidak selesai, saya lupa alasan kenapa waktu itu bukunya tidak selesai saya baca, tapi sepertinya salah satu alasannya karena pace ceritanya yang cukup lambat di awal, ditambah bukunya buat saya overhype di Twitter/X, membuat saya jadi malas duluan membacanya. Tapi ternyata buku Pulang berbeda ya. 

Saya membaca Pulang agak lama. Tiga bulan lamanya, saya tahu betul karena saya track bacaan saya di Goodreads. Lalu apa yang membuat Pulang berbeda? 

Saya membaca Pulang ketika film Eksil garapan Lola Amaria diputar secara terbatas di Februari 2024. Sebuah film yang topiknya sama dengan Pulang; menceritakan kisah orang-orang Indonesia yang menjadi korban konflik politik dalam negeri sehingga mereka tidak bisa pulang, dan kehilangan kewarganegaraan. Saya tidak bisa menonton Eksil. Sekali lagi karena pekerjaan sedang padat-padatnya, tapi selain itu juga karena film ini diputar terbatas dan bioskop yang memutar film ini di Bandung, lokasinya cukup jauh dari rumah saya. Karena tidak bisa menonton Eksil, saya menonton Surat dari Praha di Netflix, tapi itu tidak cukup membuat saya terpuaskan dengan cerita eksil 65, sehingga akhirnya saya memutuskan membaca Pulang. 

Saya rasa, saya akan agak kesulitan menuliskan Yang Menarik dan Tidak Menarik dari Pulang, karena apa yang saya rasakan hampir secara keseluruhan telah termuat dalam review Dea Anugrah (aduh, saya sangat berharap bisa menuliskan reviu buku sebaik itu :')). 

Tapi yaa rasanya gatal juga tidak menuliskan pengalaman saya membaca buku ini. Jadi kurang lebih berikut catatan saya membaca buku Pulang. 

Fiksi Sejarah yang cemerlang

Pulang adalah sebuah buku penting untuk memahami sejarah yang terjadi pada kaum intelektual Indonesia pada saat tragedi 1965 terjadi. Singkatnya, buku ini menggambarkan betul bahwa 'korban' dalam peristiwa ini bukan hanya orang-orang yang dituduh PKI tanpa bukti dan tanpa pengadilan. Korban yang jarang mendapatkan sorotan ya contohnya para eksil seperti tokoh utama dalam buku ini, Dimas Suryo, seorang wartawan yang dekat dengan orang-orang kiri, namun tidak pernah secara terbuka memproklamirkan diri sebagai seorang komunis, bahkan cenderung tidak sepaham dengan gagasan yang diusung, kebetulan berada di luar negeri pada saat tragedi berlangsung, dan tertahan tidak bisa pulang. 

Bukan sebuah kebetulan, Leila juga menyuguhkan dua sejarah besar Indonesia yang terjadi di buku ini:
  1. Tragedi 1965 dan implikasinya pada Dimas dan teman-temannya, keluarganya, serta anak-anaknya di masa mendatang.
  2. Tragedi 1998; Yup! di sepertiga bagian akhir buku, kita akan membaca cerita Lintang Utara (anak Dimas Suryo) yang datang ke Indonesia untuk membuat film pendek tentang tahun 1965. Lintang datang ke Jakarta yang sedang cukup panas saat itu, jadi di buku ini, kita juga bisa melihat apa sih yang terjadi pada waktu tragedi 1998 terjadi, walaupun tentu dari sudut pandang Alam, Lintang dan rekan-rekannya yang tidak secara langsung menjadi korban dari tragedi ini. 
Karenanya, buku ini adalah buku yang sangat baik jika kamu ingin membaca buku fiksi sejarah Indonesia. Dua latar penting buku ini sangat berhubungan. Awal dan akhir sang Jenderal. Awal dan akhir seorang pemimpin yang selama 32 tahun menjadi presiden di Indonesia, terpotret lewat keseharian 'korban' atau masyarakat umum, yang bukan siapa-siapa, tapi kena getahnya juga. 

Kisah Cinta yang Bertebaran, dari yang Mendalam sampai yang Begajulan 

Selain mengambil tema sejarah, penting untuk diketahui bahwasanya buku ini merupakan buku dengan tema percintaan yang begitu kental! Tapi saya tidak bisa mengeluh, karena seperti yang Dea Anugrah tulisakan dalam Esainya tentang novel Pulang, "Memangnya siapa yang betah membaca novel setebal 500 halaman yang tak ada kisah cintanya?". 

Ada banyak kisah cinta di sini, dari yang terlihat megah dan dalam seperti kisah cinta Dimas dan Surti, yang saya tahu betul sangat menarik buat banyak orang, yang juga sangat realistis, karena kita tidak selalu bisa mendapatkan orang yang kita inginkan, kan ya?, lalu ada juga kisah cinta yang meletup-letup dan begajulan seperti kisah Lintang dan Alam, yang ini mungkin tidak disukai banyak orang karena melibatkan adegan perselingkuhan, tapi ya saya menikmati saja kisah cinta mereka berdua, yang ini mungkin dipengaruhi kebiasaan dan kesenangan saya membaca cerita contemporary romance yang dua tokohnya mungkin bertemu diawali dengan perseteruan, tapi berakhir jatuh cinta. 

Nah, uniknya kita tidak hanya akan membaca kisah mereka berdua. Tapi juga kisah rekan-rekan sekitar tokoh utama yang saling jatuh cinta, lalu karena setting waktu di buku ini yang sangat lama rentangnya, kita akan bisa melihat, bagimana cinta adalah sesuatu yang harus terus menerus dipelihara dengan serius, jika tidak akan selalu ada konsekuensi yang menanti. Apakah konsekuensi ini berarti buruk? seperti perceraian? belum tentu. Saya misalnya sangat senang ketika Vivienne memutuskan bercerai dari Dimas, tapi kan memang tetap ada yang menjadi 'korban' dan patah hati dari tiap putus dan perceraian. Dalam kasus Vivienne dan Dimas, ya yang paling patah hati adalah Lintang, anaknya yang tak lagi mendapatkan privilese orang tua lengkap. 

Kita bisa memilih untuk menikmati saja tokoh-tokoh di buku ini berproses pada kisah cinta mereka, atau bisa juga belajar dari kisah cinta mereka. 

Tak ada gading yang tak retak

Tentu saja buku ini tak jadi buku yang 100 persen sempurna. Kritik saya terhadap buku ini agak mirip dengan kritik Dea di esainya, bahwasanya tokoh di buku ini seringkali hitam putih, terutama penggambaran tokoh antagonis seolah-olah tak ada kebaikannya sama sekali, saya beneran melongo waktu Rininta, tunangan Rama (sepupu Lintang) digambarkan sebagai perempuan anak orang kaya yang hanya tahu belanja dan hura-hura di Paris sana. Konflik Rama malah jadi melempem. Tidak terbayang kalau ternyata Rininta perempuan terpelajar yang juga tidak mudah menghakimi. Pasti lebih seru. Tapi pilihan ini sedikit banyak juga dimaklumi, karena pasti tulisannya akan jadi lebih tebal dan konflik-konfliknya makin melebar. 

---

Secara keseluruhan, Pulang menjadi buku yang menyenangkan untuk saya baca, dan sangat saya rekomendasikan untuk dibaca teman-teman yang ingin mulai membaca fiksi sejarah Indonesia. Dengan catatan ini bukunya U17 yaa ratingnya! 

Kalau kamu memutuskan untuk membaca buku ini, jangan lupa lanjutkan dengan menonton film eksil dan surat dari praha supaya semakin lengkap membaca perspektif Dimas dan sosok eksil real yang telah berpulang ataupun yang masih ada di negeri seberang.

 


Mengawali pagi ini dengan jurnaling usai sahur sampai pukul 05.30, lanjut buka laptop untuk mengerjakan beberapa task yang mengharuskan saya fokus  (sebelum diganggu gelombang whatsapp dan slack). Lalu dilanjutkan dengan berkebun, saya pruning beberapa tanaman pagi ini. 

Buat saya pruning rasanya hampir sama satisfyingnya dengan panen hasil kebun. Buat teman-teman yang baru pertama kali mendengar istilan pruning, kurang lebih ini adalah aktifitas potong-potong batang tanaman, beberapa (atau malah semua? saya kurang tahu) tanaman setelah dipruning malah bisa tumbuh lebih lebat. Tentu ada teknik sendiri untuk melakukan pruning, tapi buat saya sendiri kebutuhan pruning bukan supaya tanamannya lebih lebat, tapi memang diperlukan supaya tanaman tidak menjalar kemana-mana dan jadi kebun jadi terlalu lebat. Selain daun-daun yang besar akhirnya menutup sinar matahari untuk tanaman di sekitarnya, jalan di sekitar kebun juga jadi sareugseug kalau kata orang sunda. Sempit. Tapi entah bagaimana, pruning 'asal' yang saya lakukanpun tetap aja berhasil membuat tanaman tumbuh lebih lebat. 

Pruning mungkin satisfying buat saya karena setiap pruning saya belajar untuk melepaskan. Belajar untuk merelakan apa yang sudah dirawat supaya tumbuh besar, tapi tetap butuh distop (dipruning) supaya tidak mengganggu tanaman di sekeliling, tidak menganggu ekosistem kebun, dan pruning ya tadi selalu memberikan bonus tambahan, makin sering di pruning, makin lebat dan baik pertumbuhannya. 

Mungkin dalam hiduppun, saya harusnya memperlakukan diri saya seperti tanaman-tanaman di kebun ya. Tau kapan waktunya 'stop' dulu. Kalau tanaman ya di pruning, kalau saya ya dengan mengambil jeda, merelakan beberapa hal yang mungkin kalau dibiarkan tumbuh, tidak seefektif ketika distop dulu. Mengambil jeda, melakukan refleksi berkala adalah proses pruning saya sebagai manusia. Untuk akhirnya bisa menentukan mana batang yg harus 'dipotong' dan tidak dibiarkan tumbuh tapi memberikan hasil tidak optimal. 

Tapi ya kadang sulit sekali mengambil jeda dan melakukan refleksi ini. Rasa takut seperti ketika awal-awal pruning juga selalu muncul. Kalau nanti gak tumbuh lagi gimana ya? 

Hehe. Sebuah catatan pagi-pagi habis berkebun. 

Foto bukan ketika pruning, tapi ketika panen terong pekan lalu.


Sebelum baca buku ini mau mengulang TW yang ada di slide pertama tadi: Pemerkosaan, pembunuhan, adegan kekerasan, kekerasan seksual, percobaan bunuh diri. Yup, banyak banget adegan yang triggering dan membuat tidak nyaman untuk dibaca, jadi pastikan kamu sudah siap dengan TW diatas ketika memutuskan untuk membaca. Buatku sendiri, ini buku Keigo ke-8 yang kubaca (aku membaca semua buku keigo yang sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia) dan so far, ini buku yang sangat melelahkan karena kasus yang diselidiki detektif di sini adalah kasus pemerkosaan anak di bawah umur. 



Setelah baca setengah isi buku, saya baru ngeh kalau buku ini sekaligus jadi kritik sosial dan ngebuka diskusi tentang hukuman untuk pelaku kejahatan dibawah umur. Pemantik diskusinya case-case luar biasa seperti di buku ini, pembunuhan dan pemerkosaan remaja perempuan yg pelakunya remaja juga.

Fun Facts:
Buku ini juga ada versi adaptasi filmnya (rilis 2009) :’) Gak kebayang nontonnya akan semelelahkan apa.

Sepanjang buku ini, kita diajak mengikuti petualangan Nagamine buat mencoba menghukum sendiri pelaku pemerkosaan dan pembunuh anaknya. Pertanyanaan yang muncul ketika saya selesai membaca buku ini ya kurang lebih mirip dengan pertanyaan beberapa tokoh di buku. "Kalau naudzubillah ada di posisi Nagamine, apa yang akan kamu lakukan?", lalu apakah kamu ada di pihak yang pro pada kesempatan kedua untuk tersangka kejahatan remaja? atau kamu pihak yang pro pada korban yang keluarganya?


Menulis reviunya di postingan ini supaya teman-teman aware dengan TW dan isu yang diangkat di buku ini. 

Jika tidak sanggup dengan TW-nya, baca buku lain dulu ya. Kalau sanggup, selamat membaca!



















Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

POPULAR POSTS

  • [Review Asri] Atomic Habits - James Clear
  • Review Asri: Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom
  • [Review Asri] Kemarau - A.A. Navis
  • Review Asri - Tempat Terbaik di Dunia karya Roanne Van Voorst
  • Review Asri: As Long As The Lemon Trees Grow karya Zoulfa Katouh
  • Review Buku Angsa dan Kelelawar karya Keigo Higashino
  • Sabtu yang Menyenangkan dan kenapa saya suka membeli bunga
  • Review Asri: Manabeshima Island Japan karya Florent Chavouet
  • Main ke Toko Buku Pelagia Bandung
  • Review Asri - the house of my mother karya Shari Franke

Arsip Blog

  • ▼  2025 (16)
    • ▼  Mei 2025 (3)
      • Review Asri: Pengantin-pengantin Loki Tua karya Yu...
      • Review Asri: Minimarket yang Merepotkan karya Kim ...
      • Tiap Anak Berbeda, Termasuk Proses Melahirkannya; ...
    • ►  April 2025 (2)
    • ►  Maret 2025 (2)
    • ►  Februari 2025 (3)
    • ►  Januari 2025 (6)
  • ►  2024 (8)
    • ►  November 2024 (1)
    • ►  Agustus 2024 (1)
    • ►  Juni 2024 (1)
    • ►  Mei 2024 (2)
    • ►  April 2024 (3)
  • ►  2023 (17)
    • ►  November 2023 (1)
    • ►  September 2023 (1)
    • ►  Juli 2023 (4)
    • ►  Juni 2023 (4)
    • ►  Maret 2023 (2)
    • ►  Februari 2023 (2)
    • ►  Januari 2023 (3)
  • ►  2022 (52)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  September 2022 (12)
    • ►  Agustus 2022 (2)
    • ►  Juli 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (4)
    • ►  Mei 2022 (9)
    • ►  April 2022 (7)
    • ►  Maret 2022 (5)
    • ►  Februari 2022 (6)
    • ►  Januari 2022 (3)
  • ►  2021 (35)
    • ►  Desember 2021 (5)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (4)
    • ►  Agustus 2021 (3)
    • ►  Juli 2021 (2)
    • ►  Juni 2021 (1)
    • ►  Mei 2021 (3)
    • ►  April 2021 (1)
    • ►  Maret 2021 (2)
    • ►  Februari 2021 (6)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (13)
    • ►  Desember 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (4)
    • ►  Juni 2020 (3)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (1)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (14)
    • ►  November 2019 (1)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (2)
    • ►  Juli 2019 (2)
    • ►  Maret 2019 (3)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (2)
  • ►  2018 (15)
    • ►  Desember 2018 (4)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Juli 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (3)
    • ►  Maret 2018 (3)
    • ►  Januari 2018 (2)
  • ►  2017 (20)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  Oktober 2017 (3)
    • ►  September 2017 (2)
    • ►  Agustus 2017 (4)
    • ►  Juli 2017 (4)
    • ►  Mei 2017 (3)
    • ►  Januari 2017 (2)
  • ►  2016 (65)
    • ►  Desember 2016 (2)
    • ►  September 2016 (2)
    • ►  Agustus 2016 (3)
    • ►  Juli 2016 (17)
    • ►  Juni 2016 (7)
    • ►  Mei 2016 (7)
    • ►  April 2016 (25)
    • ►  Februari 2016 (1)
    • ►  Januari 2016 (1)
  • ►  2015 (29)
    • ►  Desember 2015 (3)
    • ►  September 2015 (2)
    • ►  Agustus 2015 (13)
    • ►  Juli 2015 (4)
    • ►  Juni 2015 (1)
    • ►  Maret 2015 (2)
    • ►  Februari 2015 (1)
    • ►  Januari 2015 (3)
  • ►  2014 (29)
    • ►  Desember 2014 (8)
    • ►  November 2014 (6)
    • ►  Oktober 2014 (2)
    • ►  September 2014 (2)
    • ►  Juni 2014 (3)
    • ►  Mei 2014 (2)
    • ►  Februari 2014 (6)
  • ►  2013 (66)
    • ►  Desember 2013 (1)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  Oktober 2013 (7)
    • ►  September 2013 (7)
    • ►  Agustus 2013 (15)
    • ►  Juli 2013 (4)
    • ►  Juni 2013 (8)
    • ►  Mei 2013 (2)
    • ►  April 2013 (5)
    • ►  Februari 2013 (3)
    • ►  Januari 2013 (9)
  • ►  2012 (6)
    • ►  November 2012 (4)
    • ►  Oktober 2012 (2)
  • ►  2011 (8)
    • ►  Oktober 2011 (4)
    • ►  September 2011 (1)
    • ►  Maret 2011 (3)

Goodreads

Asri's books

Kejutan Kungkang
it was amazing
Kejutan Kungkang
by Andina Subarja
The Fine Print
liked it
The Fine Print
by Lauren Asher
Under One Roof
liked it
Under One Roof
by Ali Hazelwood
Lessons from Surah Yusuf
it was amazing
Lessons from Surah Yusuf
by Abu Ammaar Yasir Qadhi
Setelah membaca ini sampai selesai malam ini. Jadi paham kenapa Allah bilang kalau Kisah Yusuf ini salah satu kisah terbaik dalam Quran. Ada terlalu banyak pelajaran berharga dari kisah Yusuf. Dr. Yasir Qadhi mengawali buku ini dg sebab...
No Exit
liked it
No Exit
by Taylor Adams

goodreads.com

Blog Perempuan

Blog Perempuan

Cari Blog Ini

Kamu pengunjung ke

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © Journal Asri. Designed by OddThemes