Journal Asri

Perjalanan masak-masak di rumah kami, bisa dibilang seperti perjalanan beragama, ada fase naaaaiiiiik, ada fase turuuuuun drastis, ada fase semangat-semangat-semangat cek-cek cookpad kaya denger ceramah ramadhan, ada fase ya udah deh beli aja. 

Alhamdulillah, setahun menikah, kami sama-sama tidak punya tekanan untuk menyiapkan makanan sendiri (baca: masak) setiap hari. Mas Har gak pernah maksa saya masak, saya gak pernah maksa Mas Har masak, dan belum ada desakan-desakan eksternal seperti keharusan ngirit-ngirit banget yang kalau gak masak pengeluarannya jebol atau keharusan masak sendiri karena makan harus super-duper sehat misalnya. 

Terkait hubungan antara masak dan irit, sebenarnya gampang banget ditepis sih kalau hanya hidup berdua haha, ya gimana ya, walau gak masak bukan berarti kami take-away Ta-Wan atau makanan dari Dapur Kraton hahaa, gak masak ya berarti tetap masak nasi, terus beli lauk di warteg atau warung nasi. Paket komplit kaya masak aja: menu protein, menu sayur + tambahan pelengkap lainnya. Harganya, kadaaaang jauh lebih murah daripada masak, kadang sama, tapi jarang lebih mahal. Mahal kalau seharian kami sama-sama sibuk sampai masak nasi pun bikin rusuh ajaa, baru take-away nasi+lauk, yang pasti lebih mahal dari biasanya, makanya kalau udah take-away + nasi ini, kami sekalian cheat jajan yang enak karena sekalian mahal. 

Kesadaran yang sama tentang masak bukan jadi "kewajiban" di rumah, malah bikin saya jauh lebih seloooow dan menikmati perjalanan masak-masak. Saya jadi suka sekali masak untuk makan saya dan Mas Har, rasanya senang bisa bangun lebih awal, belanja lima menit buat masak hari itu, masak-masak semuanya sendiri di dapur sambil dengar lagu atau dengar podcast gak diganggu siapapun kecuali kucing gang yang kadang suka nerobos masuk rumah. 

Masakan saya juga berkembang setahun belakangan, dari yang awalnya cuma bisa tumis-tumis, sekarang mulai berani eksperimen yang aneh-aneh dari ayam woku, ikan bakar sampai pernah sekali waktu bikin olahan jantung pisang + kelapa kesukaan Mas Har. 

Kalau dihitung-hitung, sehari-hari cost untuk siapin makanan di rumah (sarapan + makan siang + makan malam) dengan menu nasi + protein hewani (ayam/ikan) ~~saya baru sekali doang ngolah daging + protein nabati (tempe/tahu) + sayur-sayur + buah itu bisa berkisar dari 30.000 - 70.000 tergantung apa yang diolah. Sama kaya beli 3 lauk di warteg kan heheee. Tapi memang sekarang mengalami betul betapa menyenangkan dan serunya masak-masak di dapur. 

Satu hal yang masih bikin saya sering malas masak adalah: Kami belum punya sink/wastafel di rumah kontrakan kami. Sebetulnya mau banget bikin dari awal ngontrak; tapi maju mundur karena ini masih rumah kontrakan, mau beli yang portable udah susah cari tempat dan ngakalin saluran-saluran airnya, mau bikin kitchen set, Yakaaaleeee ini bukan rumah kami. Sampai sekarang, tempat cuci piring masih nebeng di kamar mandi, dan saya ogaaah banget cuci piring di kamar mandi, selain karena harus duduk jongkok, juga karena prosesnya lebih panjang dari pada nyuci di sink, habis cuci piring, harus bersihin kamar mandinya juga. Akhirnya tugas cuci piring, jatuh ke Mas Har, saya bantu sesekali doang kalau lagi pengen. Tapi itu jadi kewajiban Mas Har, saya masak, Mas Har cuci piring hehee. 

Aaaah, minggu ini pencapaian bisa masak Senin-Selasa-Rabu-Kamis, siap sebelum jam delapan pagi, biar jam delapan bisa langsung kerja. Mau share foto-foto kehebohan di dapur biar resmi sudaaah jadi Ibu Rumah Tangga (yang suka pamer dedapuran hahaaaa, gapapa yaaa). 

 





Mulai berlari sebelum beli sepatu lari
Mulai nanam sebelum ikut kelas berkebun super mahal
Mulai nulis di medsos/blog gratis sebelum beli domain
Mulai belajar dari YouTube sebelum ikut kelas berbayar
Mulai gambar dengan alat dan ada sebelum beli alat pro
Mulai masak sebelum beli panci harga sejutaaaa~~~

Mulai sisipkan waktu, sebelum beli segala-gala.

Ini salah satu catatan belajar saya sepanjang 2020. Tahun dimana saya dan mungkin kebanyakan orang di dunia punya waktu yang cukup longgar di rumahnya masing-masing dibanding sebelumnya. Waktu yang longgar ini memberikan saya banyak kesempatan untuk eksplor hal-hal baru, lebih dari hobi biasanya, gambar-gambar di sketchbook atau nulis di jurnal. 2020 memberikan saya kesempatan bercocok tanam, belajar masak, ikut course dan webinar dan banyak lainnya yang saya coba. 

Setiap kali mencoba hal baru, let's say berkebun, saya punya kebiasaan bikin research di medsos, kebanyakan lewat Instagram yang memang visual dan membantu sekali. Lihat-lihat apa yang perlu dilakukan duluan, mengikuti 'sosok' berpengaruh di bidang ini. Banyak belajar? tentu, hampir semua ilmu berkebun saya dapat dari medsos awalnya. Tapi, ada tapinya niiiih, Melihat Ibu A punya alat siram yang lucu, saya latah beli. Melihat iklan bibit murah saya latah beli, melihat ada rekomendasi alat berkebun B, saya beli. Wah, gak terhitung banyaknya beli-belian untuk exploring satu hal baru. Sebenarnya belanja barang-barang ini gak salah-salah banget kalau memang dipakai dan dicoba semua. Masalahnya banyak yang akhirnya beli karena nafsu saja dan sebenarnya bisa menggunakan alat seadanya di rumah. Di akhir 2020 ini saya belajar, oh baik. Ada yang salah nih. harusnya saya investasi waktu sebelum investasi barang dan uang. 

Perihal investasi waktu ini juga erat kaitannya dengan hobi saya gambar-gambar. Kadang gereget lihat karya yang artist-artist di Medsos yang baaaagus sekali karena menggunakan alat yang menurut saya bagus. 

"Wah, apa karena alat saya seadanya ya makanya gambarnya biasa aja?" pertanyaan ini sering muncul di benak saya. Padahal jawabannya sudah jelas!

BUKAN AS! BUKAN!

Tools mereka untuk gambar memang bagus sekali. Investasi barang dan uang mereka untuk berkarya gak sedikit, tapi yang lebih penting adalah investasi waktu untuk berlatih dan belajar! Konsistensi menggambar hal baru setiap hari, latihan dengan pensil dan marker murah, hasil berkarya bertahun-tahun, rasa bosan dan suntuk yang mereka terobos, hasilnya adalah karya-karya luar biasa yang mereka ciptakan saat ini. 

JADI TOOLSNYA GAK PENTING DONG?

Pertanyaan yang saya juga tahu jelas jawabannya. Tools penting, tapi bukan itu yang paling penting. 

Jadi 2021 saya ingin mencoba mengubah pola belajar dan berkarya untuk terlebih dahulu menginvestasikan waktu dibanding barang. Bagaimana caranya? Saya bagi dalam 4 tahap. 

1. Membuat Habit Tracker 

Habit tracker apa? tergantung dari habit yang ingin dibangun. Saya mau 2021 saya menggambar setiap hari berarti saya buat tracker gambar harian. Saya mau masak tiap hari saya buat tracker masak harian. Sejauh ini tracker yang sudah saya buat adalah: Bangun Pagi & Membaca 10 menit sehari. Tidak ingin ambisius membuat habit tracker di bulan pertama 2021, bertahap tapi konsisten. 

2. Show My Work

Menampilkan apa yang saya sedang bangun atau apa yang sedang saya kerjakan. Untuk tahap satu ini, saya banyak terinspirasi dari buku Show Your Work-nya Austin Kleon. Dia menyarankan kita untuk melibatkan orang lain (baca: audience) yang bisa siapa saja untuk melihat kita berproses. Yaaaa kurang lebih 2021 saya mau mulai sharing lagi di Medsos tentang habit dan karya yang saya buat tanpa takut di jugde karena memang tujuannya memperlihatkan "proses" bukan hasil.

3. Minta Feedback pada orang yang tepat

Ini salah satu hal yang belum banyak saya lakukan di 2020. Kehitung jari sekali berapa orang yang memberikan feedback membangun pada saya, yang paling rajin tentu pasangan yang sehari-hari melihat saya berproses. Tahun ini saya ingin mendengar feedback dari orang lain selain pasangan. Minta pendapat dan masukan beberapa orang gak hanya satu dua orang saja ketika bingung menentukan satu pilihan. Sambil banyak-banyak belajar mendengarkan. 

4. Mulai Aja Dulu!

Iyaaa, terdengar seperti tagline ecommerce di Indonesia haha! tapi beneran deh, kayanya saya harus banyak-banyak mengucapkan mantra ini. Mulai aja dulu sebelum beli-beli barang baru, mulai aja dulu sebelum beli kelas berbayar. Mulai apa? Mulai berlatih doooong. Berlatih sendiri setiap hari dan belahar dari kelas-kelas gratis di YouTube Universe haha. 

2021, semoga benar-benar bisa menginvestasikan banyak waktu untuk belajar dan berkaryaaa yaaa, bukan heboh ingin upgrade tools sebelum bahkan mengerti basicnya. Semoga ya, semoga! 

*boleh sih As sesekali beli atau upgrade tools untuk hadiahi diri sendiri. Tapi pastikan betul-betul pastikan ke diri sendiri sudah layak diberikan hadiah tersebut belum ya! Hehe



Dua tahun lalu saya membaca seabrek-abrek buku parenting karena keperluan pekerjaan. Dari yang berat sampai berat berat banget (bacanya malah bikin keblinger), sampai menyempatkan waktu ke toko buku dan ternyata ada banyak juga buku-buku parenting yang bahasanya ringan dan mudah dipahami. Tapi karena saat itu sedang banyak butuh buku-buku penguat teori, saya jadi harus menghabiskan waktu baca si 'buku-buku berat' tadi. 

Usai membaca buku-buku parenting untuk keperluan pekerjaan, saya sempat rehat baca buku-buku parenting. Bosan dan jenuh haha, baru baca lagi awal tahun lalu ketika ada diskon di Google Play Book, saya beli buku The Danish Way of Parenting, yang (setelah baca bukan untuk keperluan perkejaan) ternyata seru juga yaaah. 

Bulan Oktober lalu saya dan Mas Har pergi ke Gramedia untuk jajan buku, ini pertama kalinya kami ke toko buku lagi selama pandemi, sejak pandemi saya gak ke Gramed, gak ke toko buku dan gak beli buku sama sekali. Baca buku-buku dari perpus Hayu maca aja. Nah, jatah bulan Oktober saya belikan buku Happy Little Soul ini. 

Sebetulnya saya sudah cukup lama tahu buku ini, karena sudah lama mengikuti Ibu Retno di Instagram, mengikuti cerita-cerita Kirana yang menggemaskan. Tapi belum tergerak beli bukunya hehehe, baru kemarin beli, pas sekali ada cetakan dan cover baru. 

Kalau biasanya saya meramu teori-teori parenting dalam bahasa sederhana, tapi tetap mengatur sedemikian rupa agar pembaca tau kalau yang dibaca ini ada teorinya loh! nah buku ini jelas kebalikan dari apa yang saya biasa lakukan untuk keperluan pekerjaan saya sebelumnya. Teman-teman, tidak akan menemukan teori-teori perkembangan anak usia sekian-sekian dari ahli A atau ahli B, teman-teman juga tidak akan menemukan aturan A dan B berdasarkan teori X dan Y. Yang kita baca di buku ini, murni pengalaman Ibu Retno sebagai seorang Ibu (yang saya yakin tentu saja sebelum melakukan hal ini banyak riset dan bacaan yang jadi sumber Bu Retno). 

Dengan gaya bercerita Bu Retno, kita diajak menyelami pengalaman beliau selayaknya seorang teman. Bagimana menatur perasaan ketika pertama kali keguguran? Bagaimana rasanya hamil tapi harus ditinggal suami? Bagimana rasanya mengurus bayi di Negeri orang? dan yang paling bikin penasaran, tentu bagaimana mengasuh Kirana menjadi anak yang percaya diri dan penuh empati. 

Di awal saya sempat berekspektasi akan menemukan banyak catatan-catatan religius dalam perjalanan pengasuhan Bu Retno karena tergambar di Instagram seperti itu, tapi porsi nilai religius ini pas sekali, tidak membuat kita yang setelah baca merasa ini buku parenting yang 'islami' sekali, tapi juga tetap ada nilai religius yang Bu Retno ceritakan disini. Bagian favorit saya adalah bagaimana cara Bu Retno 'merayu' Allah, tak berhenti meminta ketika ingin punya anak lagi. Ada rasa percaya kepada Tuhan yang sangat kuat, yang membuat saya juga diingatkan agar tak lupa menitipkan beragam keinginan dalam doa. 

Sisanya saya mencatat beberapa poin kenapa buku ini amat menarik untuk dibaca oleh teman-teman semua:

- Bu Retno menggambarkan pentingnya menjadi pemimpin untuk diri sendiri ketika kita menjadi seorang Ibu, dengan banyaknya informasi yang masuk, kitalah pengambil keputusan terbaik untuk anak-anak kita. 

- On Books & Toys, buku penting jika kita ingin menumbuhkan anak yang juga mencintai baca dan buku. Walaupun kita tak suka baca, tapi pastikan kita menyiapkan anak kita tumbuh dengan buku dalam kesehariannya. Untuk mainan, ingat bahwa semewah apapun mainannya, adalah kehadiran orang tua yang paling penting untuk menemani anaknya bermain.

- Saran screen time yang menurut saya pas. Tidak melarang, tapi juga tidak berlebihan. Termasuk konten apa saja yang ok untuk di tonton anak sesuai usia.

- Bagaimana pengasuhan positif yang dilakukan Bu Retno sehari-hari. Bukan hanya praktik yang terlihat 'wah keren' tapi juga bagaimana menyikapi insecurity sebagai seorang Ibu yang harus bisa membagi waktu antara anak dan rumah. 

- How to be a creative parents, berisi tips kegiatan bersama anak untuk dilakukan bersama.

- Bagaimana mengajarkan kebaikan dilihat dari aspek agama juga aspek humanity secara universal. 

- BECOME A HAPPY MOTHER. Bagaimanapun juga, Ibu yang bahagia akan menumbuhkan anak yang bahagia, akan ada catatan untuk mengatur emosi, meredakan rasa bersalah, bagaimana memaafkan diri sendiri dan belajar dari kesalahan serta mengajak Ayah untuk team up dalam pengasuhan. 

Saya memberi rating 4/5 untuk buku ini. Karena masih ada juga typo dan penempatan halaman yang rasanya kurang pas, tapi tidak sampai merubah esensi buku. Boleh dibaca kalau teman-teman sedang mempersiapkan diri menjadi Ibu yang lebih baik, ingin melihat praktik baik pengasuhan positif, dan tak mesti jadi seorang Ibu untuk membaca buku ini. 

Kalau kamu ingin memberikan hadiah buku parenting untuk teman-temanmu yang tidak terlalu suka membaca, buku ini layak loh jadi hadiah. Karena bahasanya amat sangat ringan. Untuk yang suka baca bisa juga gak? Tentu bisa hehehe. 

Oiya saya juga menulis review buku ini untuk Instagram Hayu Maca, bisa di cek disini ya: https://www.instagram.com/p/CI2-6yprFN-/

Terima kasih teman-teman semua! Selamat membaca !

Sampai jumpa di Review Asri berikutnya.

 


Pernah membayangkan menjadi seorang anak perempuan yang terlahir di keluarga ekstrimis? 
Saya tidak. Tapi membaca kisah Tara di buku Educated membuat saya tau bagaimana rasanya. 

Educated a Memoir adalah buku auto biografi Tara Westover, seorang Doktor yang lahir di keluarga ekstrimis kental, tidak pecaya pemerintah, tidak pernah membawa anak-anak atau keluarganya yang sakit ke rumah sakit, dan tidak membiarkan anak-anaknya pergi ke sekolah. 

Kisah Tara berlatar di Idaho, Amerika Serikat. Ayah Tara, bisa dibilang jadi sumber derita keluarga ini karena memakan mentah-mentah ayat suci begitu saja tanpa mencari tafsiran-tafsiran dari ayat tersebut. 

Buku ini sempat hits sekali di tahun 2018, menjadi buku yang di rekomendasikan Bill Gates untuk dibaca + jadi Goodreads Choice 2018 Winner. Saya pinjam buku ini tahun 2019 dan baru tamat baca di 2020 😅.

Buku ini cukup berat buat saya, sedikit tidak tega membaca bagaimana Sang Ayah memperlakukan Tara, Ibunya dan saudara-saudaranya yang lain. Belakangan ketahuan kalau sang Ayah punya penyakit mental. 

Kenapa buku ini jadi amat hits? Atau kenapa pada akhirnya Tara bisa menginspirasi banyak orang?

Karena setelah belasan tahun tinggal di keluarga ekstimis seperti itu, ia memperjuangkan sendiri 'kemerdekaannya'. Ia pelajari sendiri pelajaran-pelajaran di sekolah umum untuk ikut ujian paket dan akhirnya bisa diterma di jurusan sejarah Brigham Young University. Berada di 'Sekolah' formal untuk pertama kalinya, membawa banyak perspektif baru di hidup Tara, dia tahu untuk pertama kalinya tentang tragedi Holocaust di kampus, Tara yang hanya pernah mendengar doktrin dari Ayahnya, melakukan risetnya sendiri tentang peristiwa ini, mencoba memisahkan apa yang ia dengar untuk menemukan apa yang sebenarnya terjadi. 

Bisa dibilang proses Tara memisahkan apa yang pernah ia dengar dan tau sebelumnya, 'mengosongkan kepala dan mencoba mencari perspektif baru' ini menarik sekali. Kita seringkali terjebak pada bias dan kepercayaan sampai-sampai merasa benar dan enggan mencari tahu. Proses 'edukasi' dan pencarian jati diri melalui belajar dari ia dibesarkan oleh orang tuanya yang ekstrimis hingga menempuh pendidikan menjadi seorang Doktor ini yang Tara sebut sebagai proses 'Educated' di bab terakhir di bukunya. 


Membaca buku ini membuat saya juga tersadar, keluarga ekstrimis gak hanya ada di Indonesia saja, gak hanya di Timur Tengah saja. Di tempat yang katanya jadi The Land of Dream and Freedom saja ada loh keluarga seperti keluarga Tara. Tara juga jadi representasi bagaimana kita pendidikan bisa membebaskan. 

Layak dibaca namun jujur memang cukup berat untuk penyuka fiksi seperti saya (hehe)!

Nah, sayangnya belum ada versi Bahasa Indonesia dari buku ini. Semoga kedepannya ada sehingga banyak yang bisa baca ya!

 


2020 is almost over. 

All people been bragging about how 2020 is their worst year ever because of the pandemic, lost of a lot of things from job to people they loved, the super duper quite in real life but so noisy on social media, and so many things to blame on 2020. 

As for me, it is the year of me become the best version and worst version at the same time. 

From the needs to be adaptive to a new roles as a housewife, the being jobless and unproductive for months, new jobs, new roles, a lot of new things from professional to personal things. 2020 is a roller coaster journey for me. 

Yesterday I took my time to read my journals from 2015 to 2019, wow, I grow up, I notice that I had a lot of differences on how to deal with problem in 2020. In 2016 I had the urgency to quit my job and I did it the safest way to get the permission without hurting a lot of people (2016 me is a people pleaser YES!). In 2019 I feel I learn enough from my workplace and having problem with its ecosystem. So I quit, roughly, super rough and bit selfish. I consider that as a winning. Was it? I don't think so. But I never regret that decision. But to sum up, 2019 probably was my worst year full of heartbreaks and mental issues. I cried a lot, I read my journal and still feel the heartbreak from the way I write it. 2020 is my savior. Even if it come up with global pandemic that don't have the cure yet. I'm still think 2020 is better than 2019. 

2021 is still blurry. 


Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

POPULAR POSTS

  • [Review Asri] Atomic Habits - James Clear
  • Review Asri: Jalan Panjang untuk Pulang karya Agustinus Wibowo
  • Review Asri: Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom
  • Review Asri: Pengantin-pengantin Loki Tua karya Yusi Avianto Pareanom
  • Review Asri: As Long As The Lemon Trees Grow karya Zoulfa Katouh
  • [Review Asri] Kemarau - A.A. Navis
  • Review Asri: Salt to The Sea karya Ruta Sepetys
  • Review Asri - Tempat Terbaik di Dunia karya Roanne Van Voorst
  • Review Asri: Minimarket yang Merepotkan karya Kim Ho-yeon
  • Review Asri: Metode Jakarta karya Vincent Bevins, Bacaan untuk Memahami Pembantaian Massal 1965 dalam Konteks Global

Arsip Blog

  • ▼  2025 (20)
    • ▼  Juni 2025 (2)
      • Review Asri: Metode Jakarta karya Vincent Bevins, ...
      • Review Asri: Salt to The Sea karya Ruta Sepetys
    • ►  Mei 2025 (5)
    • ►  April 2025 (2)
    • ►  Maret 2025 (2)
    • ►  Februari 2025 (3)
    • ►  Januari 2025 (6)
  • ►  2024 (8)
    • ►  November 2024 (1)
    • ►  Agustus 2024 (1)
    • ►  Juni 2024 (1)
    • ►  Mei 2024 (2)
    • ►  April 2024 (3)
  • ►  2023 (17)
    • ►  November 2023 (1)
    • ►  September 2023 (1)
    • ►  Juli 2023 (4)
    • ►  Juni 2023 (4)
    • ►  Maret 2023 (2)
    • ►  Februari 2023 (2)
    • ►  Januari 2023 (3)
  • ►  2022 (52)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  September 2022 (12)
    • ►  Agustus 2022 (2)
    • ►  Juli 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (4)
    • ►  Mei 2022 (9)
    • ►  April 2022 (7)
    • ►  Maret 2022 (5)
    • ►  Februari 2022 (6)
    • ►  Januari 2022 (3)
  • ►  2021 (35)
    • ►  Desember 2021 (5)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (4)
    • ►  Agustus 2021 (3)
    • ►  Juli 2021 (2)
    • ►  Juni 2021 (1)
    • ►  Mei 2021 (3)
    • ►  April 2021 (1)
    • ►  Maret 2021 (2)
    • ►  Februari 2021 (6)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (13)
    • ►  Desember 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (4)
    • ►  Juni 2020 (3)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (1)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (14)
    • ►  November 2019 (1)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (2)
    • ►  Juli 2019 (2)
    • ►  Maret 2019 (3)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (2)
  • ►  2018 (15)
    • ►  Desember 2018 (4)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Juli 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (3)
    • ►  Maret 2018 (3)
    • ►  Januari 2018 (2)
  • ►  2017 (20)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  Oktober 2017 (3)
    • ►  September 2017 (2)
    • ►  Agustus 2017 (4)
    • ►  Juli 2017 (4)
    • ►  Mei 2017 (3)
    • ►  Januari 2017 (2)
  • ►  2016 (65)
    • ►  Desember 2016 (2)
    • ►  September 2016 (2)
    • ►  Agustus 2016 (3)
    • ►  Juli 2016 (17)
    • ►  Juni 2016 (7)
    • ►  Mei 2016 (7)
    • ►  April 2016 (25)
    • ►  Februari 2016 (1)
    • ►  Januari 2016 (1)
  • ►  2015 (29)
    • ►  Desember 2015 (3)
    • ►  September 2015 (2)
    • ►  Agustus 2015 (13)
    • ►  Juli 2015 (4)
    • ►  Juni 2015 (1)
    • ►  Maret 2015 (2)
    • ►  Februari 2015 (1)
    • ►  Januari 2015 (3)
  • ►  2014 (29)
    • ►  Desember 2014 (8)
    • ►  November 2014 (6)
    • ►  Oktober 2014 (2)
    • ►  September 2014 (2)
    • ►  Juni 2014 (3)
    • ►  Mei 2014 (2)
    • ►  Februari 2014 (6)
  • ►  2013 (66)
    • ►  Desember 2013 (1)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  Oktober 2013 (7)
    • ►  September 2013 (7)
    • ►  Agustus 2013 (15)
    • ►  Juli 2013 (4)
    • ►  Juni 2013 (8)
    • ►  Mei 2013 (2)
    • ►  April 2013 (5)
    • ►  Februari 2013 (3)
    • ►  Januari 2013 (9)
  • ►  2012 (6)
    • ►  November 2012 (4)
    • ►  Oktober 2012 (2)
  • ►  2011 (8)
    • ►  Oktober 2011 (4)
    • ►  September 2011 (1)
    • ►  Maret 2011 (3)

Goodreads

Asri's books

Kejutan Kungkang
it was amazing
Kejutan Kungkang
by Andina Subarja
The Fine Print
liked it
The Fine Print
by Lauren Asher
Under One Roof
liked it
Under One Roof
by Ali Hazelwood
Lessons from Surah Yusuf
it was amazing
Lessons from Surah Yusuf
by Abu Ammaar Yasir Qadhi
Setelah membaca ini sampai selesai malam ini. Jadi paham kenapa Allah bilang kalau Kisah Yusuf ini salah satu kisah terbaik dalam Quran. Ada terlalu banyak pelajaran berharga dari kisah Yusuf. Dr. Yasir Qadhi mengawali buku ini dg sebab...
No Exit
liked it
No Exit
by Taylor Adams

goodreads.com

Blog Perempuan

Blog Perempuan

Cari Blog Ini

Kamu pengunjung ke

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © Journal Asri. Designed by OddThemes