Journal Asri

Kumpulan cerpen kedua yang saya selesaikan di Juni setelah Bakat Menggonggong. 

Saya baca kumpulan cerpen ini karena dua alasan: Pertama sudah punya bukunya di rumah, buku ini masuk ke rombongan buku yang dengan kalap saya beli di Juni, setelah puasa jajan buku lumayan lama. Kedua, pekan lalu saya harus mengurus sesuatu di bank, tahu sendiri kan urusan di bank kadang antrinya lama dan saya menghindari main HP buat doom scrolling di Bank, jadinya saya bawa buku paling tipis dengan harapan bisa langsung selesai baca. Kenyataannya gak langsung selesai juga sih, hehe. Tapi ya tetap cepat selesai dibaca karena buat saya yang sering kesulitan membaca cerpen, buku ini menarik, punya ciri khas cerpen yang pendek tapi membekas, tapi menariknya punya keterhubungan antar beberapa ceritanya. 

Bukunya tipis sekali, hanya 82 halaman. Total ada 8 cerita (tidak termasuk prolog dan epilog). Seperti yang saya bilang tadi, beberapa cerita pendek yang saling berhubungan. Dua cerita yang membekas buat saya: Gembelengan dan Nay. Meskipun bahasanya ringan tapi gak tema yang diangkat sebetulnya sama sekali tidak ringan.

Cerita-cerita disini beberapa diambil pakai PoV anak-anak, ada juga yang dewasa. Jumlahnya seimbang masing-masing 4 cerita. PoV anak-anaknya lumayan seru, macam cerita petualangan. Cerita dengan sudut pandang anak ada Pengutil, Non Fiksi, Nay dan Planetarium. Sisanya ditulis dengan sudut pandang orang dewasa.

Saya suka cara penulis mencoba menghubungkan beberapa cerita pendek menjadi saling berkaitan dalam satu buku tipis ini. Secara keseluruhan ceritanya menarik. Menarik buat dibaca sekali dua kali duduk bisa langsung selesai.


Minusnya satu: Sudut pandang anak di buku ini ada beberapa yang rasanya gak natural.

Di Cerpen berjudul Planetarium misalnya. Kalimat “Aku juga bakal suka baca buku selain buku pelajaran kalau punya buku kaya gitu, Ndra. Sayangnya di rumah cuma ada koran lampu merah” terasa agak aneh keluar dari mulut anak SD kelas besar sekalipun. Ucapannya terlalu dewasa, terutama karena ada kesadaran soal jenis bacaan dan kondisi rumah yang biasanya belum terlalu dipikirkan anak-anak seusia itu. 

Kalau dilihat dari teori perkembangan, anak usia segitu masih lebih fokus pada hal-hal yang langsung mereka alami, bukan menyimpulkan hal-hal abstrak seperti kritik terhadap akses literasi. Karena itu, ucapan Har terasa lebih seperti suara orang dewasa yang sedang berbicara lewat karakter anak, bukan suara anak itu sendiri. Seperti ingin menyampaikan pesan sosial, tapi sayangnya jadi kurang masuk di bagian PoV anak ini.

Bukan tanpa alasan saya merasa hal tersebut janggal. Sebabnya tentu saja karena saya juga pernah menjadi Har kecil. Waktu saya kecil dulu, buku bacaan jadi sesuatu yang asing buat saya. Bagi keluarga kami, buku adalah barang mewah yang rasanya tak mungkin dimiliki kecuali ada yang memberi, atau beli di toko loak depan wihara dekat pasar. Itupun majalah bobo bekas, bukan buku bacaan nonteks lain yang lebih tebal dan berisi. 

Apakah saya ingin punya banyak buku dan menjadi seperti Nay? Oh tentu. 
Apakah saya akan berbicara seperti Har? Sepertinya tidak. 

Karena saya tidak bisa membandingkan seperti Har. Respon saya sebagai anak kecil di kampung ya hanya bisa bilang "wah keren ya" tapi lalu lanjut bermain. Tanpa bukupun saya masih bisa main seru (ini cara penghiburan paling mudah kala itu, ketimbang minta belikan buku ke Ibu). Siapa yang bisa membandingkan? Saya yang sudah dewasa, yang sudah paham kalau pengalaman masa kecil anak-anak beda-beda.

Kalau pengalaman saya sendiri dianggap terlalu bias, beberapa tahun ke belakang saya punya pengalaman mengajar anak-anak baik di SD Negeri maupun SD Swasta. Kondisi ekonominya berbeda, tapi percayalah, anak-anak SD itu lebih 'bodo amat' dan cuek dengan kondisi yang mereka tidak bisa capai. Mereka tentu kenal juga rasa iri, tapi ini akan mereka alihkan dengan hal yang mereka punya. Lihat teman punya banyak buku? yang iri dan merasa lebih hebat akan pamer mainannya yang juga banyak. Sebagian akan bodo amat, sebagian lagi akan memuji atau mungkin mencoba meminjam buku-bukunya. 

Hal serupa juga saya temukan di cerpen Nay yang di salah satu cerita dalam ceritanya, ada tokoh Ris, yang digambarkan sebagai anak yang sedang ‘bertualang’ dengan Ben dan Jep mengintip rumah Bik Meriam. Namun alih-alih petualangan seru, keluar dari pengintaian, Ris justru keluar dengan bersikap lebih dewasa dari anak seusianya, yg karena melihat sesuatu yang tak boleh ia lihat, malah keluar mengajak semua pergi, dan meminta Ben untuk tidak terlalu mempercayai apa yang dikatakan ayahnya. 

Sayang banget, padahal selain poin anak-anak yang terlalu dewasa cara bicara dan berpikirnya ini, sisanya saya suka. Kan anak-anak di kampung yang hidup dalam kemiskinan juga tetap anak-anak hehe gak ujug ujug semua jadi 10 tahun lebih tua usia mentalnya.

Saya gak terlalu paham apakah catatan saya jadi valid atau gak kalau bukunya tidak diberikan label anak, seperti buku Na Willa misalnya, tapi saya rasa ketika ada sudut pandang anak yang dimasukkan dalam cerita, maka penulis perlu menjadi anak tersebut agar ceritanya semakin natural. 

Tapi terlepas dari catatan saya tentang sudut pandang anak, bukunya tetap layak buat dibaca! coba baca yak kalau punya bukunya atau nemu bukunya. Siapa tahu pengalaman membaca kamu berbeda dengan saya. 




Informasi buku:
Judul: Parasit dan Cerita-Cerita Lain dari Kampung Bantaran Kenangan
Penulis: Aris Rahman P. Putra, 2024
Editor: Felix K. Nesi
Cetakan pertama, Agustus 2024
vi + 83 halaman, 12 x 19 cm
ISBN: 978-602-0788-59-3
Penerbit: Marjin Kiri



Empat tahun lalu selepas melahirkan Rana, saya kehilangan hasrat untuk menyentuh alat gambar dan alat lukis saya. Jadinya salah satu aktivitas post partum yang saya nikmati adalah membaca. Tapi ternyata sekarang setelah melahirkan Ayu, saya gak terlalu lama kehilangan hasrat tersebut. Setelah Ayu berusia sebulan dan saya sudah mulai ajeg buat beraktivitas, saya ingin segera gambar-gambar. Tapi ternyata ya gambar-gambar ketika punya newborn susah betul haha. Baru buka cat air, anak menangis minta susu, atau baru kepikiran mau gambar apa, kakaknya mengajak main. Hehe, memang sepertinya aktivitas ini lebih cocok kalau anak-anak besaran dikit. Tapi saya tetap ingin gegambaran, alhasil supaya lebih satset, biasanya saya pakai pensil warna saja. Kadang gambar-gambar di jurnal, kecil saja, sehingga tidak lama tapi tetap bikin happy. Atau ya gambarnya tidak harus langsung selesai. 


Selain gambar di jurnal, saya juga masih gambar-gambar di pocket sketchbook saya. Karena ukurannya kecil 12 x 12 cm saja. Kalau buka-buka kertas lain, masih agak rempong yha. Di sketchbook kecil saya ini, saya sedang coba-coba menyalin gambar-gambar botani, tentunya kualitas gambarnya jauh berbeda hehe, tapi seru juga sambil belajar ilmu botaninya sedikit-sedikit. 

Buat sekarang, gambar-gambarnya segitu aja dulu, semoga nanti bisa lebih banyak lagi gambar-gambar seiring waktu. Tapi poinnya juga salah sih ya kalau mau lebih banyak haha, semoga kedepannya lebih menikmati gambarnya, mau banyak mau sedikit. 


Sekarang kan saya gambar masih betul-betul semaunya sendiri. Gak punya ciri khas, gak tau mau mendalami gambar yang mana. Dulu sempat ingin belajar gambar ilustrasi anak, seiring waktu mau gambar-gambar landscape mix media saja di sketchbook, tapi juga ingin belajar botani. Tahun depan sepertinya saya ingin benar-benar belajar dengan serius, dalam artian ikut kelas atau ikut komunitas gambar untuk coba-coba dulu aja. Tujuannya memang untuk mengisi waktu dengan hal yang saya senangi. Karyanya jadi bonus. Kenapa tahun depan? Nunggu Ayu MPASI biar gak galau kalau ditinggal kelamaan hehe. 


Sekian dulu curhat curhat dan update gambar-gambar bulan Juni! Semoga Juli gak kelewat buat update lagi di blog. 











Di Kampung Merdeka, tak ada satu orang pun yang suka mengajukan diri menjadi Ketua RT. Menjadi ketua kampung tak semudah dan seindah yang dibayangkan. Amanah yang diemban pun tidak ringan. Ketua kampung harus rela berkorban waktu, uang, dan tenaga. Dan itu b-e-r-a-t. Tidak semua orang sanggut. Kecuali orang yang haus jabatan, sejujurnya tak ada yang mau dipilih.

Apa hebatnya jadi ketua RT? itu bukan jabatan yang bergengsi. herannya, Bu As menginginkannya dan menikamtinya. Menjadi Ketua PKK adalah jabatan strategis, ajang untuk tampil. Bu As menikmati peran menjadi ibu nomor satu di kampung.

Lauk Daun - Hartari, halaman 23

Sudah lama saya tidak tertawa lepas dan gemas-gemas sebal ketika membaca sebuah buku. Beberapa waktu belakangan memang bacaan saya sedang dipenuhi karya-karya yang cenderung ‘berat’, entah isinya memang berat seperti Metode Jakarta, atau berat betul bukunya seperti karya Junghuhn yang juga sangat tebal dan isinya lebih ke bikin senyum dan takjub ketimbang ketawa. Selingannya, buku-buku Agatha Christie yang saya baca tiap bulan untuk ikut Tantangan Bacanya juga jauh dari kata lucu. Jadi ketika bertemu buku Lauk Daun (thanks to @awaywithbooks) saya senang sekali karena akhirnya bisa tertawa ditengah bacaan yang serius.

Saya agak menebak-nebak dari kaver bukunya, saya kira ini tentang makanan pendamping nasi berupa dedaunan; atau yang biasa kita sebut sayur. Tapi nyatanya jauh betul dari prediksi saya, dan justru judul buku ini lah yang bikin saya tertawa tak henti-henti.

Membaca Lauk Daun (1)

Lauk Daun bercerita tentang dinamika hidup di kampung Merdeka, sebuah kampung di tengah kota yang sangat mirip dengan kampung-kampung pada umumnya. Penghuninya beragam, status sosial ekonominya beragam, pekerjaannya pun beragam. Penulis membuka buku ini dengan kerusuhan di grup WhatsApp (WA)! (beneran mirip komplek atau RT kamu gak tuh ada grup WAnya!). Warga di grup WA ini sedang berunding tentang pandemi yang datang dan apakah perlu kampung mereka melakukan Lockdown.

Diskusi di grup ini tentu saja seru betul, ada yang setuju, ada yang tidak, ada yang vokal berbicara (baca: mengirim dan membalas pesan), ada juga yang menjadi silent reader saja. Ya rupanya ini memang sehari-hari terjadi di Kampung Merdeka. Bukan hanya ketika pandemi saja.

Diskusi tersebut menjadi pengantar menuju cerita selanjutnya: asal usul kampung merdeka, dari penamaannya sampai sejarah kepala kampungnya. Fokus cerita Lauk Daun memang berpusat pada kepala kampungnya. Mulai dari masa Pak Aripin, Pak Amar hingga Pak Asikin dan istrinya Bu Asikin (yang lebih dikenal dengan sebutan Bu As) yang menjadi pemimpin Kampung Merdeka. Meskipun Pak Asikin, seperti bapak-bapak pada umumnya, tidak terlalu heboh dan ingin biasa saja dalam memimpin Kampung Merdeka, tapi Bu As ternyata punya misi lain: Ia ingin menjadi Ibu kepala kampung dan kepemimpinannya membekas dan berprestasi, sehingga dimulailah dramanya disini. Kenapa drama? karena Bu As sebetulnya bukan sosok yang dekat dengan masyarakat, ia bahkan tidak mengenal semua orang di Kampung Merdeka meskipun sudah tinggal di sana.

Dinamika Warga Kampung Kota

Ketika membaca buku ini, saya jadi ingat kampung Ibu saya. Yap, Ibu saya, bukan saya. Kebetulan saya belum memiliki rumah tetap alias masih mengontrak dan mencari rumah yang pas dari waktu ke waktu, alhasil tak banyak bisa bersosialisasi dengan warga setempat, tapi Ibu saya, yang rumahnya tetap di satu kampung, dan saya yang juga menyicip hidup sebagai warga kampung yang sama selama beberapa waktu yang sama, paham betul dinamika yang terjadi di Lauk Daun ya memang ada di kehidupan warga.

Bedanya, saya tidak pernah menemukan kombinasi Ibu-ibu menyebalkan yang kemudian diberikan kesempatan untuk mengecap kekuasaan. Alias biasanya yang jadi Pak RT dan Bu RT ya baik-baik saja, yang nyebelin ada tapi karena sudah terkenal menyebalkan ya tidak mungkin dipercaya jadi RT hehe.

Tokoh utama dalam buku ini, Bu As jadi kombinasi menyebalkan ketika misalnya ia ingin warga kampungnya mengikuti lomba kampung hijau dan semuanya harus memiliki pohon cabai, jika tidak akan di denda, tapi disisi lain Bu As adalah pedagang tanaman, warga yang tak sempat menanam mau tak mau harus membeli tanaman kepadanya. Ia juga jadi kombinasi menyebalkan ketika sudah tidak menjabat sebagai Bu RT namun masih mengatur-ngatur Bu RT yang baru, atau ketika ia memaksakan semua warga untuk berolahraga, atau sok tau tentang acara kampung, sok asik pula.

Bu As jadi super duper menyebalkan dan membuat kita gemas ketika membaca tingkahnya. Sementara itu seperti halnya dinamika di kampung, bapak-bapak kecil sekali perannya di sini (di sini: di drama dan pergosipan kampung). Seperti halnya di kampung-kampung kebanyakan: Ibu Ibu lah pemegang kekuasaan sebenarnya. Alias kalau Ibu-ibu gak mau kerja ya sepi juga kampungnya.

Selain kelakuan Bu As, kita juga akan menemukan sosok Yayuk yang tak kalah dominan. Yayuk jadi stereotipe perempuan yang juga sering digosipkan tetangganya seperti Bu As, bedanya Yayuk digosipkan karena kisah asmaranya. Suka gonta ganti pacar, hamil duluan sebelum menikah, hingga batal kawin siri karena calon suaminya dijemput istri sah, tak kurang kurang ia juga tipe warga yang senang ribut dengan tetangga lainnya.

Bu As, Yayuk dan warga lain di buku ini rasanya begitu dekat dengan saya yang selama ini hanya jadi silent reader saja di kampung.

Kenapa tertawa lepas sekaligus gemas?

Mungkin tidak sepenuhnya tepat kalau sepanjang buku, saya hanya tertawa-tawa saja. Lebih tepatnya terhibur ya. Melihat tingkah Ibu-Ibu dan Bapak Bapak Kampung Merdeka rasanya seperti sedang menonton sitkom, walaupun tidak ada punch line di setiap bab. Hanya beberapa bab saja yang memberikan punch line tersebut. Tapi karena temanya begitu dekat, yaa hiburannya makin terasa.

Emosi lain yang muncul justru gemas dengan tingkah Bu As dan Yayuk, tapi tahu tidak kawan? Sering kali kita memang tidak bisa berbuat banyak jika kita berada di posisi warga Kampung Merdeka yang ada dibawah ‘jajahan’ Bu As. Kenapa? karena tidak banyak dari kita yang mau ambil bagian atau repot-repot menjadi Ibu PKK seperti Bu As. Tidak ada juga bapak-bapak yang mau repot-repot jadi ketua RT. Seperti halnya di Kampung Merdeka, kebanyakan jabatan RT RW di tempat kita ya karena tidak ada yang lain yang mau saja hehe, dan ini ya memang relatable dengan warga kampung kota. Karena kalau di desa, jabatan Kepala Desa justru jadi rebutan dan pertarungan yang sering kali berdarah atau bisa memutus tali silaturahmi antar saudara sendiri; karena di desa ada Dana Desa yang jumlahnya tidak sedikit :’) sementara di Kota kan tidak ada.

Jadinya yaa gemas-gemas tapi tidak bisa melakukan hal lain juga, ujung-ujungnya: gosip dan ngomongin di belakang. Persis betul warga Kampung Merdeka.

Membaca Lauk Daun (2)

Saya membaca buku ini tidak sekali duduk, tapi dua kali duduk. Tetap bisa cepat diselesaikan karena bukunya tipis, masuk ke kategori novella ketimbang novel. Bahasanya tidak berat, tidak ada plot twist yang terlalu bikin hah heh hoh dan saya suka betul tema kehidupan sehari-hari yang diambil di sini. Senang sekali ada novella ringan yang mendapat predikat “Naskah yang menarik perhatian juri” pada Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2021; rasanya bisa juga ya sastra dekat dengan saya, sastra dekat dengan masyarakat biasa. Bisa dikunyah dengan mudah tanpa harus berkerut memikirkan maknanya.

Kalau kamu suka cerita slice of life, mau melihat dinamika kampung dalam bentuk tulisan, kamu bertemu Bu As dan sebal-sebal sendiri dibuatnya, sedang mencari bacaan ringan tapi bermakna untuk keluar dari reading slump, coba baca buku ini deh! seru!



Malamnya, aku mengajak bicara Jay Catsby—Kucing yang sering datang ke kamar kosku—sampai kami berdua tertidur. Kuceritakan padanya tentang Penyair K, tentang si kecu Alif Sudarso, tentang Ibuku, tentang Sekar, tentang kalimat “Dari sekian banyak cara untuk mati, yang terburuk adalah melanjutkan hidup” yang tertera di nisan sesuai permintaan Pat. --Anjing Menggonggong Kafilah Berlalu - Dea Anugrah

Membaca Bakat Menggonggong (1)

Ketika tahu kalau buku Bakat Menggonggong di cetak ulang, saya tidak heboh bersemangat hendak segera membeli dan membaca buku ini walaupun saya sangat menikmati membaca esai-esai Dea yang sudah saya baca beberapa tahun lalu dan begitu membekas buat saya. Alasannya sederhana: saya tak begitu mahir membaca cerita pendek. Beberapa kali mencoba membaca cerita pendek, saya sering bingung dengan maknanya, atau sering kecewa karena ceritanya begitu pendek (padahal ya namanya juga cerita pendek), tapi lebih sering alasan pertama sebetulnya. Karena itu saya menunda membeli langsung buku ini. Tapi seorang kawan mengirim saya pesan pendek, “coba baca, As! kayanya kamu akan suka”.

Jadilah saya membeli buku ini, berbarengan dengan sepaket buku-buku lain yang saya beli di bulan Juni. Bulan kesurupan karena saya habis menjual beberapa koleksi buku dan uangnya saya pakai lagi untuk membeli buku-buku baru. Lalu membaca cerita pertamanya, saya lanjutkan ke cerita kedua, ketiga, eh kok tidak serumit yang saya biasanya temukan ketika membaca cerita-cerita pendek lainnya. Saya juga merasa cara Dea ‘bercerita’ di buku ini sangat mirip dengan caranya bercerita di dua buku kumpulan esainya yang sudah saya baca.

Diskusi Buku Bakat Menggonggong

Tidak berapa lama, saya dapat info kalau Dea akan mampir ke Bandung untuk tur buku ini, di TB Pelagia tempatnya. Saya tentu saja sangat ingin datang, tapi sebagai seorang ibu dua anak, satunya toddler, satunya belum genap dua bulan, ikut acara-acara di tempat terbuka seperti ini sangat bergantung pada mood anak-anak, energi saya hari ini—apakah masih tersisa atau tidak— dan kesediaan Bapak Hari untuk mengantar istrinya ke Bandung. Beruntungnya hari itu ketiga prasyaratnya terceklis, sehingga saya bisa ikut acara diskusi bukunya.

Lewat acara ini, saya jadi bisa dengar langsung terkait proses kreatif Dea dalam menulis, termasuk bagaimana tulisan fiksi dan nonfiksi Dea memang tidak jauh berbeda karena menggunakan cara bercerita yang sama, “Bedanya kalau esai ya harus benar info dan apa yang dibahas, tapi seharusnya pendekatan penulisan tidak mengkotak-kotakkan genre tulisan” katanya.

Dea juga berbagi tentang Fabulasi, yang ia gunakan dalam menulis beberapa cerita pendek di buku ini, ini yang menarik buat saya yang tidak pernah menulis fiksi, fabulasi ini teknik dimana penulis memasukkan beberapa cerita atau fakta yang benar adanya, sehingga pembaca penasaran “ini ceritanya beneran atau tidak ya?”. Saya lalu jadi ngeh, oh ini ya cara bercerita di Raden Mandasia di Pencuri Daging Sapi, yang sesudahnya membuat saya benar-benar cek mana yang benar mana yang karangan penulis. Di kumpulan cerpen ini, salah satu cerita yang menggunakan teknik ini adalah Kisah Afonso.

Bagaimana Dea menulis

Karena sudah datang langsung bertemu penulis yang bukunya sangat saya nikmati, tidak lengkap rasanya kalau tidak menyampaikan langsung bagaimana tulisan-tulisan Dea di dua kumpulan esainya: Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya dan Kenapa Kita Tidak Berdansa sangat berarti buat saya karena membuka jalan saya untuk berkenalan dengan buku-buku lain. Mulai dari Pulang karya Leila Chudori, Tempat Terindah di Dunia karya antropolog Roanne van Voorst, karya-karya Gabo (yang tentu saja belum saya baca semuanya, sampai The Makioka Sisters.

Selain apresiasi tersebut, saya tentu penasaran, bagaimana bisa menulis esai yang sangat baik seperti yang beliau tulis.

Menurut Dea, salah satu alasannya karena sebagai jurnalis, ia bukan tipe jurnalis yang bisa siap bangun pagi-pagi untuk mengejar narasumber, ia tipe jurnalis yang lebih ‘santai’ dan diakomodasi oleh pemred saat itu untuk menulis cerita yang sesuai dengan gayanya, jadilah ia yang harus menyesuaikan bagaimana caranya menulis cerita-cerita yang terlihat sederhana dari sudut pandang yang berbeda. Salah satu yang dikenangnya adalah saat ditugaskan di pulau tanpa penduduk saat Tahun baru, yang tidak memiliki nilai historis apapun atau tidak memiliki cerita unik apapun.

Kemampuan menuliskan cerita sederhana dari sudut pandang yang berbeda, ditambah lingkungan yang mengakomodasi dirinya menuliskan dengan gayanya alih-alih menjadikannya jurnalis yang harus bangun pagi untuk mengejar narasumber tadi, jadi kombinasi yang membentuk esai-esai Dea yang ciamik.

Ikut langsung diskusi buku kemarin rasanya sangat menyenangkan. Banyak sekali hadirin yang juga meramaikan diskusinya, ada yang pembaca seperti saya, ada juga jurnalis dan penulis, tidak hanya mendengar tentang teknis menulis, tapi juga pandangan Dea tentang bagaimana seharusnya ‘Sastra jangan terlalu banyak bicara’, mengkritisi Seno Gumira Ajimara yang bilang Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara.

Sastra jangan terlalu banyak bicara, karena kalau menggantikan jurnalisme, jadi seperti berita. Jurnalisme harus berisik, sastra sebaliknya. Sastra tujuannya mengganggu pikiran orang, membuat orang-orang memikirkan lagi apa yang mungkin tidak dipikirkan, tidak seharusnya berkhutbah, itu tugas jurnalisme.

Membaca Bakat Menggonggong (2)

Saya baru bisa menuliskan pengalaman saya mengikuti diskusi buku kemarin setelah saya akhirnya menamatkan membaca Bakat Menggonggong. Saya masih tetap berpendapat membaca cerpen itu susah, bahkan ketika narasinya mengalir dan enak untuk dibaca seperti cerpen-cerpen Dea, ada beberapa cerpen yang harus saya baca berulang untuk benar-benar memahami maksud tulisannya. Sejujurnya beberapa cerpen tidak pusing-pusing saya cari maksudnya apa, tapi ya beberapa cerita betul-betul membekas.

Cerita favorit saya di buku ini adalah cerita yang saya kutip diatas. Anjing Menggonggong, Kafilah Berlalu. Saya suka sosok jurnalis dalam buku ini menjadi teman bercerita sosok Pat yang antisosial tapi menjadi banyak bicara ketika bertemu dengannya. Cerita lain yang membekas: Sebuah Cerita Sedih, Gempa Waktu. dan Omong Kosong yang Harus Ada. Oh ini membekas sekali karena sempat dibahas sekilas di diskusi buku kemarin, tentang bagaimana sepinya menjadi seorang caregiver dan secara personal juga sedih sekali membaca kisah Ibu dalam cerita ini, yang begitu hebat lalu habis betul ketika disakiti seorang lelaki.

Buat yang tidak jago membaca cerpen, saya menikmati membaca kumpulan cerpen ini, kocaknya ada, pesimismenya terasa, kocak-kocaknya juga ada, tapi memang yang paling menyenangkan tetap bagaimana cara naratornya bercerita. Seabsurd apapun ceritanya, saya merasa seperti sedang membaca dongeng yang bagus.



 

Tak sampai lama Benny pun diundang ke acara-acara kelas atas di barrio alto, tempat tinggal para elite. Bila Anda berdiri di pusat kota Santiago dan melihat ke timur, pemandangannya nyaris selalu mencekat. Anda biasanya akan bisa melihat salju-salju menyelimuti pucuk-pucuk Andes yang megah menjulang di atas Anda, sementara ke bawah Anda berjalan melalui udara tebal hangat beraroma rempah-rempah tropis. 

Pada waktu Benny naik ke bukit ke lingkungan orang-orang kaya inilah ia pertama kali melihatnya: "Yakarta viene", "Djakarta se acerca", atau hanya "Jakarta". Ini mengejutkan. 

Ia harus bertanya ke sana-sini untuk tahu apa arti grafiti tersebut, dari mana slogan-slogan ini muncul. Ia akhirnya tahu, itu lebih mengejutkannya lagi. Ibukota negaranya telah bermakna bukan kosmopolitanisme, bukan solidaritas Dunia Ketiga dan keadilan global, namun kekerasan reaksioner. "Jakarta" artinya pembasmian brutal orang-orang yang mengupayakan dunia menjadi lebih baik. Dan sekarang ia berada di negara lain, yang juga disokong AS, yang pemerintahnya merayakan sejarah tersebut alih-alih mengecamnya. -- Metode Jakarta hal. 320.  

Postingan Lama Beranda

POPULAR POSTS

  • [Review Asri] Atomic Habits - James Clear
  • Review Asri: Salt to The Sea karya Ruta Sepetys
  • Review Asri: Jalan Panjang untuk Pulang karya Agustinus Wibowo
  • Review Asri: Metode Jakarta karya Vincent Bevins, Bacaan untuk Memahami Pembantaian Massal 1965 dalam Konteks Global
  • Review Asri: Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom
  • Review Asri: As Long As The Lemon Trees Grow karya Zoulfa Katouh
  • [Review Asri] Kemarau - A.A. Navis
  • Review Asri - Tempat Terbaik di Dunia karya Roanne Van Voorst
  • Review Asri: Pengantin-pengantin Loki Tua karya Yusi Avianto Pareanom
  • Review Asri: Lauk Daun karya Hartari; Cerita yang Dekat Dengan Warga Kampung Kota

Arsip Blog

  • ▼  2025 (24)
    • ▼  Juli 2025 (2)
      • Review Asri: Parasit dan Cerita-Cerita Lain dari K...
      • Gambar Asri: Juni 2025
    • ►  Juni 2025 (4)
    • ►  Mei 2025 (5)
    • ►  April 2025 (2)
    • ►  Maret 2025 (2)
    • ►  Februari 2025 (3)
    • ►  Januari 2025 (6)
  • ►  2024 (8)
    • ►  November 2024 (1)
    • ►  Agustus 2024 (1)
    • ►  Juni 2024 (1)
    • ►  Mei 2024 (2)
    • ►  April 2024 (3)
  • ►  2023 (17)
    • ►  November 2023 (1)
    • ►  September 2023 (1)
    • ►  Juli 2023 (4)
    • ►  Juni 2023 (4)
    • ►  Maret 2023 (2)
    • ►  Februari 2023 (2)
    • ►  Januari 2023 (3)
  • ►  2022 (52)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  September 2022 (12)
    • ►  Agustus 2022 (2)
    • ►  Juli 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (4)
    • ►  Mei 2022 (9)
    • ►  April 2022 (7)
    • ►  Maret 2022 (5)
    • ►  Februari 2022 (6)
    • ►  Januari 2022 (3)
  • ►  2021 (35)
    • ►  Desember 2021 (5)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (4)
    • ►  Agustus 2021 (3)
    • ►  Juli 2021 (2)
    • ►  Juni 2021 (1)
    • ►  Mei 2021 (3)
    • ►  April 2021 (1)
    • ►  Maret 2021 (2)
    • ►  Februari 2021 (6)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (13)
    • ►  Desember 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (4)
    • ►  Juni 2020 (3)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (1)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (14)
    • ►  November 2019 (1)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (2)
    • ►  Juli 2019 (2)
    • ►  Maret 2019 (3)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (2)
  • ►  2018 (15)
    • ►  Desember 2018 (4)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Juli 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (3)
    • ►  Maret 2018 (3)
    • ►  Januari 2018 (2)
  • ►  2017 (20)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  Oktober 2017 (3)
    • ►  September 2017 (2)
    • ►  Agustus 2017 (4)
    • ►  Juli 2017 (4)
    • ►  Mei 2017 (3)
    • ►  Januari 2017 (2)
  • ►  2016 (65)
    • ►  Desember 2016 (2)
    • ►  September 2016 (2)
    • ►  Agustus 2016 (3)
    • ►  Juli 2016 (17)
    • ►  Juni 2016 (7)
    • ►  Mei 2016 (7)
    • ►  April 2016 (25)
    • ►  Februari 2016 (1)
    • ►  Januari 2016 (1)
  • ►  2015 (29)
    • ►  Desember 2015 (3)
    • ►  September 2015 (2)
    • ►  Agustus 2015 (13)
    • ►  Juli 2015 (4)
    • ►  Juni 2015 (1)
    • ►  Maret 2015 (2)
    • ►  Februari 2015 (1)
    • ►  Januari 2015 (3)
  • ►  2014 (29)
    • ►  Desember 2014 (8)
    • ►  November 2014 (6)
    • ►  Oktober 2014 (2)
    • ►  September 2014 (2)
    • ►  Juni 2014 (3)
    • ►  Mei 2014 (2)
    • ►  Februari 2014 (6)
  • ►  2013 (66)
    • ►  Desember 2013 (1)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  Oktober 2013 (7)
    • ►  September 2013 (7)
    • ►  Agustus 2013 (15)
    • ►  Juli 2013 (4)
    • ►  Juni 2013 (8)
    • ►  Mei 2013 (2)
    • ►  April 2013 (5)
    • ►  Februari 2013 (3)
    • ►  Januari 2013 (9)
  • ►  2012 (6)
    • ►  November 2012 (4)
    • ►  Oktober 2012 (2)
  • ►  2011 (8)
    • ►  Oktober 2011 (4)
    • ►  September 2011 (1)
    • ►  Maret 2011 (3)

Goodreads

Asri's books

Kejutan Kungkang
it was amazing
Kejutan Kungkang
by Andina Subarja
The Fine Print
liked it
The Fine Print
by Lauren Asher
Under One Roof
liked it
Under One Roof
by Ali Hazelwood
Lessons from Surah Yusuf
it was amazing
Lessons from Surah Yusuf
by Abu Ammaar Yasir Qadhi
Setelah membaca ini sampai selesai malam ini. Jadi paham kenapa Allah bilang kalau Kisah Yusuf ini salah satu kisah terbaik dalam Quran. Ada terlalu banyak pelajaran berharga dari kisah Yusuf. Dr. Yasir Qadhi mengawali buku ini dg sebab...
No Exit
liked it
No Exit
by Taylor Adams

goodreads.com

Blog Perempuan

Blog Perempuan

Cari Blog Ini

Kamu pengunjung ke

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © Journal Asri. Designed by OddThemes