Review Asri: Jalan Panjang untuk Pulang karya Agustinus Wibowo


Ketika masih kuliah dulu, saya sangat suka sekali menulis cerita perjalanan. Saking sukanya, saya agak terobsesi, banyak belajar, blog-walking ke blog para traveler yang jago banget nulis, beli buku travel blogger yang terkenal kala itu, sampai ikut kelas-kelas menulis perjalanan secara luring (waktu itu belum marak kelas daring). 

Saya pikir dulu saya senang menulis tentang perjalanan karena banyak perjalanan yang saya lakukan, mulai dari yang dekat sampai yang jauh. Tapi sepanjang bekerja di 2023-2024 saya juga banyak sekali melakukan perjalanan ke tempat-tempat baru, dari Aceh sampai Papua, ternyata bukan tempatnya yang jadi kendala,  belakangan saya menyadari kenapa saya tidak bisa menuliskan cerita perjalanan saya yang padahal lebih beragam tempatnya: saya jadi tidak memaknai perjalanan saya karena harus bekerja dengan ritme cepat.

Perjalanan ketika bekerja artinya buru-buru berangkat ke bandara, ini biasanya dari jam 02.00 atau 03.00 dini hari, karena saya tinggal di Cimahi dan penerbangan kebanyakan dari Soekarno Hatta, dan buru-buru pulang mengambil pesawat tercepat yang bisa diambil, lalu segera lanjut ke Cimahi menggunakan travel tercepat yang tersedia, rupanya saya jarang sekali 'santai' di perjalanan yang menyangkut urusan pekerjaan karena: punya anak. Prioritas saya berubah, sesedikit mungkin waktu di perjalanan dan waktu bekerja di luar rumah agar bisa segera bertemu Rana. Hanya satu atau dua perjalanan yang memang saya niatkan lebih panjang agar bisa lebih santai dan tidak terburu-buru di jalan, salah satunya perjalanan ke Jayapura di pertengahan 2024 karena itu untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Papua. 

Jayapura - a short gateway during a work trip in 2024

Bicara tentang tulisan tentang perjalanan, salah satu penulis yang masuk ke top of mind saya adalah Agustinus Wibowo. Nama ini bukan nama yang asing ya di dunia travel writing. Bukunya sudah banyak diterbitkan penerbit mayor di Indonesia, saya sendiri punya empat bukunya di rumah, namun baru membaca dua buku yang pengalaman membacanya sangat membekas buat saya karena cara beliau memaknai perjalanan sungguh berbeda dan membuat saya sebagai pembaca merasa dibawa ke lokasi tempat beliau melakukan traveling. Tak hanya diajak 'jalan-jalan', saya juga diajak kenalan dengan orang-orang, budaya, sejarah singkat mengenai lokasi dan sejarah peradaban di tempat tersebut. 

Beberapa waktu lalu, saya membaca kumpulan tulisan Agustinus Wibowo sejak tahun 2000an sampai tulisan pada masa awal covid-19 yang dimuat dalam buku Jalan Panjang untuk Pulang. Buku ini memuat 34 tulisan Agustinus. Beberapa pernah dimuat dalam majalah travel seperti National Geographic (NG), baik NG Indonesia, atau NG di Negara lain. Dibagi menjadi empat bab: Bab 1 Lokasi, Lokasi, Lokasi, Bab 2 Melintas Batas, Bab 3 Rumah di Sini dan di Sana, dan Bab 4 Pulang, bacaan sebanyak 460 halaman ini betul-betul membuat saya kagum dengan cara Agustinus menulis dan memaknai perjalanannya. 

Mengenal Cina lewat tulisan Agustinus

Buku ini memuat cukup banyak tulisan tentang Cina, tulisan tentang Cina cukup membekas buat saya, terutama tulisan tentang sejarah keluarga yang cukup personal tentang bagaimana keluarga penulis yang asli Tionghoa bisa sampai di Indonesia, pengalaman menjadi orang Cina di Indonesia dan bagaimana pengalaman 'pulang' penulis ke Tiongkok. 

Suharto melarang segala hal yang berhubungan dengan komunisme, dan baginya, itu termasuk segala hal yang berhubungan dengan Cina: bahasa Cina, budaya Cina, agama Cina. Orang-orang Cina di Indonesia juga diharapkan memutuskan hubungan dengan negeri leluhur dan melupakan tradisi leluhur, demi menjadi orang Indonesia seutuhnya. Tetapi, tidak peduli seberapa pun orang Cina berusaha melebih ke dalam dunia Indonesia, mereka selalu dicurigai sebagai orang luar, yang masih lebih setia pada Cina daripada Indonesia. - Hal 449

Membaca buku ini, mengingatkan saya pada buku Perkumpulan Anak Luar Nikah karya Grace Tioso yang memberikan perspektif menjadi orang Cina di Indonesia dan sedih sekali rasanya ketika membaca kutipan berikut sebagai salah satu catatan kejadian kumpulan rasisme yang terjadi ke 'Orang Cina' yang mencapai puncaknya pada 1998: 

Tetapi justru di Cinalah pertama kali aku menyadari, bahwa aku bukan bagian dari negara Cina......... Di tanah kelahiranku, aku adalah orang asing; dan di tanah leluhurku, ternyata tetap aku adalah orang asing. -- Hal 458

 Di Darah dan Nasionalisme saya juga diajak membaca refleksi penulis tentang makna pulang:

Justru ketika berada di Cina, saya pertama kali menyadari betapa Indonesianya saya. 

Lewat tulisan ini, kita diajak berpikir kritis tentang makna nasionalisme dan identitas kesukuan yang seringkali menjadi konflik di beberapa tempat. Penulis mengaitkan hal ini dengan Imagined Community-nya Benedict Anderson. Orang-orang sebangsa itu, dalam angannya, memiliki darah yang sama dengan dirinya, leluhur yang sama, budaya yang sama, sejarah yang sama, musuh yang sama, impian dan masa depan yang sama. Tetapi ini, sekali lagi, adalah sebuah angan (Hal. 222).  

Semua identitas bangsa ini memang adalah imajinasi, tetapi imajinasi ini sangatlah penting. Dengan imajinasi sebagai satu bangsa ini, beratus-ratus etnik yang ada di Indonesia bisa bersatu untuk mengusir penjajah asing dan mendirikan negara Indonesia. Imajinasi bangsa ini pula yang mebuat negara -bangsa Indonesia berdiri hingga hari ini. Tetapi Nasionalisme adalah pedang bermata ganda. Disatu sisi dia berguna untuk mempersatukan "kita" untuk melawan musuh di luar, tetapi di sisi lain, dia bisa digunakan untuk menghantam orang-orang di dalam negeri sendiri yang dianggap berbeda. Di Indonesia pada era Soeharto, minoritas keturunan Tionghoa dilabeli sebagai "non-pribumi", dipaksa untuk berasimilasi dengan berbagai peraturan diskriminatif. Di Papua, tentara Indonesia pada masa Orde Baru pernah memaksa warga asli untuk melepaskan koteka dan rok jerami. Di Cina, orang-orang muslim Uighur mendapat pembatasan dalam beribadah dan bepergian. Di Myanmar, orang Rohingya dianggap sebagai pendatang ilegal. Di Eropa, keturunan imigran Muslim sering dicurigai sebagai pelaku kriminal. Di Amerika, orang kulit hitam bisa dibunuh polisi tanpa proses pengadilan (Hal. 226-227).


Tulisan ini menyadarkan saya sekali lagi kalau hidup saya sekarang banyak mudahnya ya karena saya orang Jawa tinggal di Jawa, orang muslim tinggal di negara mayoritas Muslim, itu sudah jadi privilese sendiri yang seringkali saya abaikan. 

Saya tidak pernah merasa saya rasis, semua orang, semua suku, semua agama, sama saja buat saya, saya bisa berteman dengan mereka selama saya cocok berteman sama mereka, tapi ya tulisan ini jadi bikin bertanya-tanya juga. Dengan saya sendiri gak rasis (yang mana menurut saya sendiri juga, gak objektif-objektif amat), apakah itu sudah cukup? atau ada hal lain yang bisa saya lakukan agar teman-teman minoritas bisa lebih diterima? Hal-hal seperti ini cukup bikin kepikiran setelah selesai membaca buku ini. 

Perjalanan bukan sekedar foto-foto cantik saja 

Sejak era media sosial di tahun 2010an sampai sekarang, tren plesiran untuk mengambil foto dan mengunggahnya di media sosial jadi tak terhidarkan. Saya sendiripun pernah melakukan itu ketika sedang 'fase'nya, tapi belakangan saya jarang sekali mengunggah foto perjalanan. Ketika mencoba menyelami lagi 'kenapa?', ternyata, saya tidak bisa menceritakan foto yang saya ambil tersebut. Fotonya ada cantik banget, tapi terus? apa maknanya buat saya? apa catatan saya tentang foto tersebut? tentang perjalanan tersebut?

Medio 2013-2014an, saya senang menangkap momen atau mengambil foto yang bisa bercerita. Kebanyakan saya tulis di blog, sebagian ada di medsos walaupun sebagian besar sudah diarsipkan. Sekarang, karena perjalanan hanya sekedar perjalanan saja, maknanya berkurang, saya jadi tidak bisa bercerita, alhasil tak pernah berujung mengunggahnya ke media sosial atau ke blog. 



Buku-buku Agustinus Wibowo jarang memuat foto instagram-able yang sering kamu temui di media sosial, di buku Jalan Panjang untuk Pulang ini bahkan semua gambarnya hitam putih karena tidak ada halaman berwarna, tapi saya jauh jauh jauh lebih suka membacanya dibanding melihat foto cantik dengan kontras tinggi di media sosial. Saya suka sekali foto yang bisa bercerita. Semua foto dibuku ini menjadi pelengkap bagi cerita dan semua makna perjalanan bagi penulis. Tak hanya cerita dari PoV penulis, tulisan-tulisan ini juga kebanyakan ditambahkan beberapa fakta sejarah yang baru saya tahu karena ada banyak tempat unik yang dikunjungi penulis. 

Fakta-fakta sejarah seperti awal mula konflik India dan Pakistan serta sengketa Kashmir lewat tulisan Surga yang Berontak, fakta bahwa Pakistan adalah lokasi salah satu peradaban tertua di dunia yang melahirkan agama-agama Timur di tulisan Ketika Tuhan Menjadi Negara, Kisah tentang migrasi orang-orang Jawa menjadi buruh pekerja di Suriname lewat tulisan Dukun Jawa di Belanda dan Imigran Jawa Terakhir di Suriname, bagaimana awal mula kisah diaspora Republik Maluku Selatan (RMS) di Belanda lewat tulisan Kisah Maluku di Negeri Belanda, juga fakta menarik tentang akhir pekan sebagai hari yang paling berbahaya di Papua Nugini lewat tulisan Ketika Era Prasejarah Bertemu Globalisasi. 

Ada terlalu banyak highlight dan sticky notes anotasi saya di buku ini saking banyaknya fakta baru yang saya tahu. Sejujurnya fakta sejarah ini membantu saya memahami kenapa penulis bisa memaknai perjalanan sedalam ini. Saya sampai penasaran, penulis riset sejarahnya sebelum melakukan perjalanan? atau ketika sedang menulis hasil perjalanannya? atau keduanya?
 
Buku Wajib untuk Kamu yang Suka Memaknai Perjalanan

Terakhir dari saya, buku ini wajib wajib wajib (haha tiga kali) kamu baca kalau kamu tipe orang yang mirip saya: suka memaknai perjalanan. Kadang perjalanan yang jauh dan menghabiskan banyak uang tidak selalu jadi perjalanan bermakna, kalau kita lewat memaknainya. Salah satu cara memaknai perjalanan tersebut: dengan menulis. Menceritakan apa yang kita rasakan, bagaimana interaksi kita dengan orang, dengan alam di tempat tersebut. Kadang juga bukan tentang lokasi baru atau lama, bukan jauh atau dekat, tapi seberapa 'berada di sana' kita, ketika sedang melakukan perjalanan. 

Buku ini bisa kamu beli di Gramedia atau lokapasar daring. Penulisnya juga bikin video yang menjelaskan sekilas tentang buku ini di sini, silakan tonton dulu biar makin penasaran membaca bukunya!





0 comments

leave yout comment here :)