Journal Asri
  • Home
  • About Me

Bulan Juni kali ini diawali dengan teracuni sebuah komik horor klasik, Uzumaki karya Junji Ito yang diterbitkan oleh Penetbit M&C. Komik ini sebelumnya sudah pernah diterbitkan (namun tidak legal) oleh Penerbit Shiteru. Ini pertama kalinya saya membaca karya Junji Ito, walaupun rekomendasinya banyak berseliweran di Instagram, namun saya justru kena racun setelah beberapa waktu kebelakang banyak mengikuti akun penggila komik di Twitter. 

Dari mereka saya jadi tahu kalau edisi ini cukup spesial karena langsung tamat dalam satu buku (edisi ilegal sebelumnya ada tiga buku), namun ini juga yang membuat bukunya amat tebal untuk ukuran komik. Karena tidak ada jumlah halaman dan keterangan halaman di buku, saya juga kurang tahu nih ini berapa halaman. Tapi kalau disejajarkan dengan komik Elex Media ukuran biasa (saya bandingkan dengan Detektif Kindaichi edisi lama) komik ini tebalnya sekitar 5x komik ukuran reguler. Faktor yang membuat komik ini jadi tebal juga salah satunya karena sudah pakai format bookpaper, karenanya jadi terkesan premium + ada jaket covernya juga juga! memang layak koleksi sih :'). 

Nah tapi sebelum mengoleksi komik ini, berikut hal-hal yang perlu teman-teman tahu tentang buku ini:

Cerita tentang Kota Spiral

Komik ini bercerita tentang petulangan Goshima Kirie. Ia tinggal di sebuah kota kecil dan damai dan tentram hingga suatu hari ia bertemu seorang temannya, Saito Shuichi yang merasa kota ini adalah kota yang memuakkan. Beragam hal kecil dari kota ini, lautnya, suara panggilan dari stasiun, hingga mercusuar yang tak lagi digunakan, semuanya nampak amat menyebalkan bagi Shuichi. 

Ternyata, rasa muak ini muncul dari rumah. Ayah Shuichi amat terobsesi dengan segala hal yang berbentuk spiral. Ia merasa semua hal yang berbentuk spiral adalah sesuatu yang indah. Obsesinya berubah jadi parah sampai ia tak bisa makan tanpa uzumaki. Ia juga 'meracuni' kegilaannya pada hal-hal berbentuk spiral pada Ayah Goshima yang merupakan pengrajin keramik. Ia meminta Ayah Goshima membuat keramik berbentuk spiral. 

Uzumaki

Kegilaan ini membuat Ayah Shuichi pada akhirnya mati dalam kondisi spiral di bak kayu pesanannya sendiri. Di hari kematiannya, saat di kremasi, asap dari pemakaman membentuk spiral dan seolah-olah memanggil istrinya untuk ikut mati. Sejak saat itulah wabah spiral tejadi di Kota ini. 

Jalan cerita dari komik ini sebetulnya menarik sekali, walaupun di awal kita dibuat penasaran, sebenarnya Kota ini jadi spiral karena kelakuan Ayah Shinichi kah? atau karena hal lain? kita akan mendapatkan jawaban di akhir buku. Hal ini jugalah yang membuat saya bertahan membaca bukunya hingga akhir walaupun isinya sangat mengerikan dan literally menjijikan. 


Dari awal hingga akhir, kita akan menemukan beragam kisah spiral yang sungguh gila. Kisah manusia keong, nyamuk yang mengganggu ibu-ibu hamil di Kota tersebut, rambut-rambut yang menjadi spiral sendiri dan mencari perhatian, aduh! ampun deh baca dan lihat gambarnya. Saya merasa pusing dan mual sendiri sesudahnya. 

Visual yang mengagumkan, seram dan menjijikan, tapi ya! mengagumkan!

Saya sampai menuliskan kata mengagumkan dua kali karena visual komik ini aduhlah memang bagus sekali, detailnya! ya ampun, saya sampai gak bisa berkata-kata lagi, memang dua jempol deh untuk komikusnya, empat malah saking gila detailnya. Ga kebayang membuat komik setebal itu dan terus menerus mengulang menggambar spiral hanya dalam bentuk dan medium yang berbeda. 

Nah tapi ini menurut saya jadi warning kalau kamu mudah tertrigger ketika melihat gambar-gambar yang menjijikan. Baiknya tidak dibaca ketika hendak atau setelah makan, karena gambarnya benerang dirancang komikusnya untuk bikin jijik yang baca. 

Plus, saya pribadi gak menyarankan buku ini dibaca oleh Ibu hamil :'), ada satu cerita yang cukup mengerikan tentang Ibu hamil disini, dan karena buku ini bergenre horror, saya tahu betul section khusus tentang hal-hal mistis dan Ibu hamil selalu jadi hal seksi untuk dieksplore, gak hanya di Indonesia saja ternyata ya. Kecuali Mba/Ibu sudah biasa baca komik Junji Ito dan sudah paham efeknya akan seperti apa, ya gapapa. hehe tapi kalau newbie seperti saya, lebih baik jangan :)

Hati-hati menyimpan Koleksi ini di rumah

Menurut saya, komik ini memang layak koleksi kalau kamu suka Junji Ito, suka komik horror klasik dan suka manga dengan detail yang ciamik. Tampilannya juga eksklusif sekali, mantap untuk masuk list koleksi. 

Kalau setelah membaca review diatas kamu jadi tertarik untuk mengoleksi komik ini, please be mindful untuk meletakkan buku ini ditempat yang aman dari jangkauan anak-anak. Keterangan "DEWASA" di bagian depan jaket cover buku ini sebetulnya amat bagus, membantu memperjelas supaya anak-anak tidak membaca buku ini. Jadi ayok simpan di rak bagian atas atau disembunyikan jangan sampai mengundang penasaran anak-anak hihi. 







Informasi Buku

Judul Buku: Uzumaki
Penulis: Junji Ito
Terbit pertama kali: 2010
Terbit pertama kali di Indonesia: 2022
Alih Bahasa: Hasina Sari, Martina Rosmawati
Penyunting: Mustika Arum
Artistik: Heru Lesmana
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama - M&C
Harga: 128,000 (P. Jawa), saya beli dengan harga diskon 20% disini.
Rating: Dewasa

Saya baru sadar saya tidak pernah menuliskan review dan pengalaman saya membaca buku Am I there Yet karya Mari Andrew empat tahun lalu :') sediih karena ini merupakan salah satu buku nonfiksi favorit saya diusia pertengahan 20an. 

Beberapa pekan lalu, saya kembali membaca buku ini dan kali ini saya ingin menuliskan pengalaman saya membaca buku ini, siapa tahu kamu sedang membutuhkan buku yang bisa menemani perjalanan kamu bertumbuh di usia 20an, terutama jika kamu perempuan dan masih single! saya amat merekomendasikan buku ini. (eits, buku ini tetap relevan dibaca kamu yang tidak lagi single kok!) hehe.

Siapa Mari Andrew?

Buku ini ditulis oleh Mari Andrew, ia merupakan seorang ilustrator yang banyak mengilustrasikan kesehariannya di atas kertas lalu ia bagikan di Instagram. Lewat buku ini, ia banyak menuliskan refleksi perjalanan hidupnya di usia 20 sampai menjelang 30. Maybe that's why I really love this book when I read it at 25! and even when I re-read it at 29 :). 

Bisa dibilang buku ini adalah guide to adulthood berdasarkan pengalaman Mari (---yang adalah orang biasa seperti saya dan orang-orang yang membaca bukunya), yang merasakan kebingungan pergi kencan pertama, yang galau sama pekerjaan, yang merasakan patah hati, yang merasakan kebahagiaan ketika menemukan sesuatu yang ternyata ia cintai. 

Membaca buku ini membuat saya sadar kalau saya suka sekali membaca buku-buku nonfiksi yang perspektifnya banyak diambil dari pengalaman dan kacamata personal penulisnya. This makes the book feel humanist and relatable. 

Di pengantar buku ini, Mari menuliskan: 

Ini bukanlah buku panduan yang akan membantumu mendapatkan pekerjaan atau membuatmu bisa melipat rapi seprai dengan pinggiran berkaret (yang ternyata tetap saja susah). Ini adalah scrapbook tentang perjalanan saya--sejauh ini-- menuju hidup dewasa. Saya berharap buki ini bisa menyenangkan dan kamu enggak sedang tersesat di perjalanan kehidupanmu. Sejalan saya memasuki usia dua puluhan, kisah-kisah orang lain adalah lampu bagi saya. Setiap perasaan yang saya dapatkan ketika mendengar kisah mereka dan bilang. "Eh, gue juga kaya gitu!" telah membantu menyingkap jalan setapak misterius di depan saya. Jalan itu pun tidak lagi terasa menakutkan.

What's on the book?

Buku ini berisi delapan bab yang padat, penuh cerita menarik, penuh refleksi dan penuh ilustrasi. Saya senang sekali Bentang Pustaka (penerbit buku ini dalam versi Bahasa Indonesia) tidak menerjemahkan ilustrasi Mari ke Bahasa Indonesia. Karena entah mengapa saya lebih suka ilustrasi tersebut dalam versi bahasa aslinya :') dan karena dikemas dalam ilustrasi ciamik, tidak terlalu sulit untuk memahami artinya, bahkan kalau kita masih di tahap belajar-belajar Bahasa Inggris, bukan di level advance. 

Karena ada banyak sekali isinya. Saya hanya akan menuliskan dua bab yang membekas buat saya! Bab 1 sebagai bab pembuka yang membuat saya merefleksikan kehidupan saya sekarang. Dan bab 5 tentang patah hati dan kehilangan. Oh iya, saya juga akan menambahkan ilustrasi menarik dari bab 6 ya!

Bab 1: Menaklukkan ketidakpastian

Bagian ini berisi tentang kegalauan pertengahan usia mid 20s, bagaimana penulis (seperti halnya saya HAHA) merasa galau dengan pekerjaan yang ia lakukan di usia pertengahan 20 tahunan. "Sering saya merasa cemas. Saya ingin sekali menjadi mapan, berhenti mencari-cari, dan cukup dengan apa yang sudah saya dapat" Cara yang paling ampuh untuk mengatasi kecemasan ini adalah dengan berpikir bahwa kehidupan merupakan kumpulan musim, bukan anak tangga. Meski memang harus diakui, rasanya puas sekali jika kita bisa menapaki anak-anak tangga dan melengkapi daftar "Hal-hal yang harus dicapai orang dewasa". 

Bab pembuka buku ini benar-benar pas sekali menyentil apa yang sedang saya pikirkan ketika masih berusia 25 tahun. Ketika ada banyak sekali pilihan di depan saya dan saya sendiri tidak benar-benar tahu sebetulnya apa yang terbaik untuk saya. 

Ketika membaca lagi bab ini diusia 29 tahun, ketika saya sudah menikah (yang hingga saat ini merupakan keputusan terbesar yang pernah saya ambil), dan punya anak (keputusan terbesar kedua yang pernah saya ambil juga :')). Rasanya tidak banyak pilihan yang ada didepan saya, atau setidaknya tidak sebanyak ketika saya belum menikah dan punya banyak pertimbangan dibahu saya. 

Apakah ini berarti menikah dan punya anak membuat saya tidak bahagia? Aha, saya akui kehidupan setelah menikah dan punya anak tidak selamanya seperti apa yang terlihat di media sosial, ada banyak tangis dan lelah yang tak tampak. Namun kalau diberikan kesempatan untuk mengulang beberapa tahun kebelakang dan diberikan pilihan untuk menikah dengan partner saya saat ini atau tidak. Saya akan tetap memilih untuk menikah. 


Bab 2: Menciptakan Rumah
Bab 3: Menemukan Tujuan
Bab 4: Kencan dan percintaan

Bab 5: Patah hati dan kehilangan

Bab ini adalah Bab favorit saya.
Alasannya: saya membaca buku ini tepat beberapa bulan setelah Ayah saya berpulang. Meninggalkan saya dan keluarga untuk selama-lamanya. Rasa sakit kehilangan orang yang kita sayangi untuk selama-lamanya itu unik, ia tidak langsung menghancurkan perasaan saya dalam satu waktu, tapi menggerogoti hati saya perlahan-lahan. Ada banyak malam ketika saya sendirian di kamar kos saya di Jakarta empat tahun lalu, ketika saya bertanya-tanya: apakah akan jadi berbeda kalau Bapak masih ada? will you fight this cruel world for me, dad? or if not, will you share your time to listen to my story and told me how proud you are of your daughter. 

Mari menuliskan pengalamannya kehilangan Ayahnya yang kurang lebih sama menyakitkannya, hanya versi ceritanya saja yang berbeda. Ia membuat ilustrasi tentang stages of grief yang merupakan siklus dari feel crazy dan feel less crazy-- yep, dua hal itu saja. 

Bab 6: Menghadapi kekecewaan



Bab 7: Mencari Jati Diri
Bab 8: Menemukan Jati Diri

Review Asri

Saya ingin mengulang sekali lagi: Buku ini akan superduper cocok dibaca: perempuan, single, berada diusia 20an, karena ceritanya relevan sekali dengan apa yang dirasakan Mari. Tapi! ada tapinya dan perlu saya tambahkan tanda seru. Buku ini akan tetap relevan dibaca siapapun. Perempuan atau laki-laki, single atau sudah menikah, berada diusia berapapun karena saya yakin di usia berapapun kamu, siklus hidup yang dituliskan Mari akan terus berulang. I mean, kita akan terus menerus menghadapi hal yang membuat kita kecewa kan walaupun berusia 50 tahun? yang beda tentu penerimaan kita terhadap hal tersebut. 

Saya suka sekali buku ini. It's 5/5 stars! dan ilustrasinya amat-amat-amat mewakili perasaan saya. Saya juga bisa merasakan spirit Mari di usia 20an dimana kita terlihat bisa melakukan perjalanan kemanapun, mengambil banyak pilihan dan itu amat tergambar dari ilustrasinya.

Versi terjemahan Bentang Pustaka juga bagus sekali, penerjemah bisa tetap membuat bahasanya relevan dengan kita sebagai pembaca, bukan terjemahan yang kaku! 

A very reflective yet fun reading! wajib masuk reading list kamu yang sedang ingin banyak merefleksikan hidup!


Di awal tahun ini saya mendapatkan sebuah beberapa feedback yang membekas hingga hari ini. Bukan hanya membekas, feedback ini bahkan memunculkan hal terburuk dalam diri saya: menghilang dari orang-orang, hanya bertemu dengan orang-orang yang saya pilih dan tidak memberikan respon atas feedback yang saya dapat. 

Awalnya saya merasa saya amat ter-trigger dengan feedback ini karena feedback ini diberikan dengan cara yang amat buruk: saya tidak diberikan clue kalau saya akan menerima feedback, bukan hanya dari satu orang; tapi tiga orang +1, feedback ini diberikan didepan anak saya (kalau saya tahu perihal ini, saya tidak akan membawa anak saya ke tengah drama kerapuhan diri Ibunya), ketiga saya merasa telah memberikan banyak hal. Di hakimi dan dipermalukan dalam satu waktu rasanya jadi poin breakdown saya beberapa bulan setelahnya. 

Saya menemui seorang psikolog untuk membicarakan hal ini, saya juga mencoba bicara dengan partner saya untuk mengutarakan perasaan saya dan mempertanyakan beberapa hal yang menurut saya tidak tepat (iya, saya mencari validasi), dan beberapa bulan kebelakang, saya terus bertanya pada diri saya: why As, why was that moment hurt you so much. 

Perkenalan dengan Feedback

Saya mengenal kata feedback ketika saya berada di Camp Pelatihan Indonesia Mengajar, tahun 2016. Sebelumnya saya hanya mengenal kata kritik. Ketika satu pekerjaan selesai, jika ada yang tidak beres, kritik akan diberikan, ditempat saya bekerja sebelum IM, saya hampir tidak pernah mendapatkan apresiasi dari atasan saya, jadi saya juga tidak mengenal kalau feedback ini ada dua jenisnya, baru setelah pelatihan IM saya mengenal positive feedback dan constructive feedback. 

Lewat pelatihan IM dulu, saya mengenal beberapa teknik dalam memberikan feedback, juga prinsip-prinsip dalam memberikan feedback, beberapa prinsip utama seperti spesifik, disampaikan pada waktu yang sesuai (tidak terlalu lama sehingga tidak lupa pada dampak pada kejadian), memastikan bahwa yang bersangkutan tahu bahwa pada moment tersebut ia akan menerima feedback dan dipersilakan juga untuk memberikan feedback balik. Saya juga belajar bagaimana seorang pribadi seharusnya menerima feedback, seperti tidak defensif dan sebagainya. 

Lepas IM, saya memulai perjalanan karier lainnya yang personel-personelnya lebih dekat ke pengetahuan tentang feedback, saya sering mendengar kritik tentang saya, dan setelah menjalani setahun perjalanan di IM dimana saya terbiasa menerima feedback dari teman-teman saya, saya jadi lebih mudah dealing with feedback. Bahkan sekarang, di tempat kerja saya saat ini, saya beberapa kali menerima feedback, sometimes it's a strong one sampai beberapa rekan kerja saya chat japri mengatakan "it's okay ya", saya malah bingung dapat japri seperti itu karena I mean it, I'm okay and took this feedback profesionally, and I know this feedback is objective. Saya malah suka mendapatkan feedback seperti ini. 

Karenanya, kejadian mendapatkan feedback di hadapan beberapa orang lainnya awal tahun ini agak membingungkan buat saya, I realy took this personally, I got hurt, I feel humiliated and found myself reflecting over and over and over again "is it really a good place to grow?". Because at this moment I'm not sure. 

The Feedback Challenge

Walaupun berat, saya memaksa diri saya menamatkan membaca sebuah buku berjudul Thanks for the Feedback, The Science and art of receiving feedback well* (*even when it is off base, unfair, poorly delivered, and, frankly, you're not in the mood) karya Douglas Stone dan Sheila Heen, keduanya merupakan dosen di Harvard Law School, sebelumnya mereka menulis buku Difficult Conversation (yang belum saya baca sampai hari ini walaupun sudah nangkring di Kindle). 

Dari buku ini saya mengenal The Feedback Challange, tantangan feedback. Penulis tahu betul kalau feedback, terutama the negative one ini bisa memberikan sensasi tidak menyenangkan untuk beberapa banyak orang. Termasuk saya :'). 

Ada sebuah gambaran tepat tentang bagaimana rasanya mendapatkan negative feedback yang tidak kita inginkan:

This kind of feedback trigger us: Our heart pounds, our stomach clenches, our thoughts rase and scatter. We usually think of that surge of emotion as being "In the way"-- a distraction to be brushed aside, an obstacle to overcome. After all, when we're in the grip of a triggered reaction we feel lousy, the world looks darker, and our usual communication skills slip just out of reach. We can't think, we can't learn, and so we defend, attack, or withdraw in defeat. (page 15).

Gambaran diatas adalah gambaran yang sangat tepat tentang gimana rasanya mendapatkan feedback negatif yang poorly delivered.

Tapi, buku ini juga yang menyadarkan saya kalau perasaan-perasaan diatas adalah hasil dari trigger-trigger yang perlu kita cari tahu lebih lanjut. Karena triggers ini adalah informasi berharga, semacam peta yang bisa bantu kita menemukan masalah yang sebenarnya. 

Ada 3 feedback challenge yang ditulis dibuku ini:

1. The Truth Triggers

Triggers ini terbentuk dari reaksi kognitif dan emosional kita ketika menerima feedback yang dirasa tidak tepat. Ketika kita ketrigger, kita jadi kesulitan untuk melihat sebenarnya jenis feedback apa yang sedang kita dapatkan? Apa maksud orang tersebut memberikan feedback ini kepada saya? dan kita jadi kesulitan memandang diri kita sendiri secara lebih jelas. 

Triggers pertama ini mengajak kita untuk mengenal jenis feedback: Apresiasi, coaching dan evaluasi dan bagaimana ketiganya sama pentingnya untuk pertumbuhan kita secara personal. Ada panduan menarik sebelum memberikan feedback untuk menghindari truth triggers bagi penerimanya. 

(i) What's my puspose in giving/receiving this feedback?
(ii) Is it the right purpose from my point of view?
(iii) Is it the right purpose from the other person's point of view?

Ini terutama bisa digunakan untuk tahu sebetulnya yang mau kita berikan tuh feedback yang mana. 

Truth trigger ini juga bisa kejadian ketika penerima feedback  merasa melakukan satu hal yang benar dan ditangkap secara salah oleh pemberi feedback, ada gap atau perspektif yang berbeda dari si pemberi dan penerima dalam mengolah informasi, yang~~ memang gak susah sama kalau gak diklarifikasi. 

2. The Relationship Triggers

Kalau truth triggers fokusnya pada isi feedbacknya,  si trigger kedua ini fokusnya pada hubungan antara pemberi feedback dan penerima. 

Ada dua tipe relationship triggers. 

(1) Apa yang kita pikirkan tentang pemberi feedback

Skill or judgement: How, when, or where they gave the feedback
Credibility: They don't know what they're talking about
Trust: Their motives are suspecs

Simplenya, ketika kena trigger ini, kita seringkali bertanya, "Siapa kamu ngasih-ngasih saya kritik tentang A?" atau "Duh, kamu tau apa sih?" Bisa jadi kita mempertanyakan kredibilitas mereka. Mungkin karena mereka gak punya background, pengalaman atau expertise di bidang yang sedang jadi ladang perang ini. Atau bisa jadi kita punya issue kedua: mereka punya pengalaman atau expertisnya, tapi kita gak mau jadi orang atau pemimpin yang seperti mereka. Either itu terkait gaya kepemimpinan atau values atau identitas.


Relationship triggers ini yang paling menarik buat saya karena sepertinya saya terluka karena ter-triggers disini. Misalnya buat saya, feedback tidak langsung yang diberikan kepada saya (pemberi feedback tidak hadir langsung, tapi feedbacknya disampaikan kepada saya), memberikan asumsi: "Duh ini orang punya masalah sama saya ternyata udah lama, tapi malah diam-diam dan ngomongin saya dibelakang. Maksudnya apa? mau jelek-jelekin saya?, mau saya terlihat jelek didepan semua orang".  

Dan menarik sekali mengaitkan Relationship triggers ini bisa sangat bahaya karena narik lagi banyak hal-hal kebelakang. Seperti "Aduh, aku melakukan banyak banget hal yang kamu gak lakukan, bertahun-tahun, berbulan-bulan, gak dapat apresiasi yang proper sesimple ucapan terima kasih, tapi sekarang, satu kesalahan ini membuat semua orang punya hak untuk menghakimi saya secara gak adil didepan banyak orang termasuk anak saya". ---- this is an emotional notes, yang bahkan baru saya sadari ketika menuliskan post ini. 

3. Identity Triggers

Kenapa feedback bisa membuat kita merasa terancam dan bikin kita gak nyaman: karena ini biasanya bikin hubungan kita yang paling penting dalam diri kita jadi dipertanyakan: hubungan dengan diri kita sendiri. 

Kita seringkali mempertanyakan diri sendiri setelah mendapatkan feedback :') 

Salah satu cara yang disebutkan dibuku ini jika kita merasa ketriggers dengan hal ini adalah dengan menjawab tiga pertanyaan ini:

(i) What do I feel?
(ii) What's the stroy I'm telling (and inside the story, what's the threat)?
(iii) What's the actual feedback?

Hal ini perlu kita lakukan untuk memisahkan feeling, story & feedback supaya kita bisa lebih objektif memandang feedback yang diberikan. 

Ada juga satu hal yang bisa kita ingat-ingat ketika mendapatkan feedback yang dirasa menyerang identitas kita. 

- Time: The Present does not change the past. The presents influences but does not determine the future
- Specificity: Being lousy at one thing does not make us lousy at unrelated things. Being lousy at something now doesn't mean we will always be lousy at it.
- People: If one person doesn't like us it doesn't mean that everyone doesn't like us. Even a person who doesn't like us usually like some things about us. And people's views of us can change over time.

What The Feedback and The book has Taught Me

Seperti yang saya bilang di awal post, feedback terakhir yang saya terima kemarin rasanya berat sekali buat saya, setelah baca buku ini saya jadi bisa mulai membedah apa sih sebenarnya trigger-trigger yang membuat saya kesulitan menerima feedback-feedback tersebut? 

Relationship Triggers

Yes, trigger ini trigger yang paling besar menyita pikiran saya. Saya mendapatkan banyak feedback dari beberapa orang, uniknya ada feedback dari satu orang yang menyiapkan kegiatan ini dari awal hinggal akhir dan saya tahu betul semua feedback yang diberikan adalah feedback yang objektif. I didn't even feel hurt by her words or tears. I take it all. I am wrong. I am being irresponsible. I am a selfish bit*h that deserve this. 

Tapi, hal ini gak berlaku ketika saya menerima feedback dari orang lain. Tarik balik ke penjelasan tentang triggers relationship ini, rupanya saya gak terima dapat feedback dari orang-orang yang mempertanyakan kehadiran saya ketika orang-orang tersebut juga gak sepenuhnya hadir. 

Saya jadi merasa sakit hati sendiri karena saya mendapat penghakiman ketika sebenarnya "kita sama aja loh, you did not present the whole time too, sho why me? why suddenly me deserve this but not you?".

Identity Triggers

Setelah dapat feedback tersebut, hingga hari ini saya terus mempertanyakan apakah diri saya adalah orang yang sebegitu gak bertanggung jawabnya? Am I an irresponsible person? Am I an irresponsible employee? Am I an Irresponsible mother? Emosi saya begitu meluap, ditambah keresahan jadi Ibu baru yang gak tamat-tamat sampai sekarang, that moment become a big time to question myself: am I a good person?

Well, sekarang saya bisa bilang iya saya mungkin orang yang gak bertanggung jawab pada satu hal karena saya punya prioritas lain saat itu (still part of me being defensive), tapi saya merasa saya pekerja yang bertanggung jawab, dan urusan tanggung jawab-tanggung jawab yang lain, bukan urusan orang yang menghakimi saya kemarin juga. I am good, at least for my self. (took 5 freakin' month for me to answer this). 

Sekarang apa?

Setelah kejadian kemarin, saya menarik diri dari banyak pergaulan. Saya bahkan menghapus instagram pribadi saya, hanya bertahan dengan instagram yang isinya review buku karena saya tetap butuh supply informasi tentang buku dan diskon buku :'). 



Tapi untuk kembali ke tempat saya kemarin, rasanya berat sekali. Saya sudah pernah menjadwalkan untuk kembali-- lalu tepat sehari sebelum saya harus datang secara fisik ke tempat tersebut, perut saya sakit sekali, maag saya kambuh, saya demam semalaman dan anak saya ikutan sakit. Saya menganggap ini cara tubuh saya memberikan sinyal kalau saya belum siap untuk kembali. 

Namun ada satu hal yang juga luput saya lakukan karena saya terlalu sibuk dengan penerimaan diri atas feedback kemarin: saya tidak melakukan apa yang penting: follow up. Menyampaikan apa yang saya terima dan apa yang saya bisa lakukan saat ini, kalau memang tidak bisa kembali, mau rehat sampai kapan? Kalau memang menerima feedback, kenapa malah pundung (tapi yang memberik feedback sudah tahu saya akan pundung dari awal saya diberikan feedback, good for them).  

Lima bulan merenungkan ini, saya merasa saya amat kekanak-kanakan hanya karena feedback yang orang lain berikan untuk saya, yang sebetulnya dampak terhadap tujuan besar yang ingin dicapainya tidak besar. Tapi ketika merasa diserang, boro-boro mikirin the grand vision, pengennya kabur aja gimana caranya bikin anak saya gak merasa terancam sama keadaan saat itu. Dan setelah menuliskan ini, saya tahu saya bukan sedang bersikap kekanak-kanakan. Saya sedang mencerna apa yang terjadi pada diri saya dan membuat saya terluka, hanya saja dalam kasus saya, butuh waktu yang cukup lama untuk mencerna hal ini.

Jadi setelah panjang lebar menuliskan curhatan saya diatas, saya akan melakukan apa yang disarankan buku ini dibagian 1/3 akhir buku: setting up boundaries. 

Be transparent by telling them what burden me, being appreciative for their feedback (because yes: i learn a lot how to become present because it matters most in relationship, and being honest that I will be need some specific time to learn and unlearn some things, that I still need to digest this, that I will be back one day when I'm ready). 
Ah, satu lagi; saya belajar banyak dari feedback yang saya dapat dan buku yang saya baca: key player dalam feedback itu penerimanya bukan pemberinya, dalam hal ini; saya. I couldn't agree more with the book that we can't expect what kind of feedback we get in some specific situation. Kuncinya ada di saya. Mau tumbuh dengan feedbacknya, atau mau hancur karena dua jam yang menyeramkan karena merasa diserang?. 

Plusnya lagi: kalau kamu baca buku ini, karena tahu rasanya menerima feedback itu gimana, mungkin jadi mau mikir-mikir berkali-kali sebelum memberikan feedback supaya bisa menghindari hal-hal yang bikin feedbacknya poorly delivered. 

---

Informasi Buku

Judul Buku: Thanks for the Feedback, The Science and Art of Receiving Feedback Well*
Penulis: Douglas Stone & Sheila Heedn
ISBN: 978-0-14-312713-0
Penerbit: Penguin Books
Bahasa: Inggris
Jumlah halaman: 346
Terbit pertama kali di USA, 2015
Cetakan ke: 10




Libur Hari Pancasila jadi salah satu hari libur paling menyenangkan buat saya, selain bisa libur di tengah pekan, saya sempat pergi piknik bersama anak dan partner saya, serta saya bisa nonton satu episode terbaru dari series Detective Kindaichi di Disney Plus dan nonton CODA di Apple TV sebelum tidur!

CODA jadi salah satu film yang ada di watchlist saya sejak langganan Apple TV, tapi baru kali ini bisa nonton daaaan ini jadi salah satu film terbaik yang pernah saya tonton. 

CODA ini singkatan dari Child of Deaf Adult, sebagaimana judulnya CODA bercerita tentang seorang anak yang memiliki orang tua yang tuli. Rubi, tokoh utama di film ini merupakan satu-satunya hearing people (orang yang bisa mendengar) di rumahnya. Ayahnya, Ibunya dan kakaknya merupakan tunarungu, tak bisa mendengar dan tak bisa bicara. Ia tumbuh menjadi penghubung keluarganya dengan dunia luar, terutama untuk berkomunikasi dengan orang-orang yang tidak bisa bahasa isyarat. 

Rubi juga membantu orang tuanya mencari ikan di lautan, ia tinggal di daerah pesisir dan keluarganya merupakan keluarga nelayan. Ia tetap sekolah namun di sekolah ia mengalami bullying  karena dianggap berbeda dengan teman-temannya, bullying ini terjadi sejak ia kecil, ketika ia bisa bicara dan suara yang ia keluarkan sangatlah aneh. 

A glimpse reminder of Glee

Apa yang membuat film ini begitu spesial buat saya? 

Film ini sebetulnya sederhana sekali alurnya: gadis remaja yang meledak-ledak dan penuh gejolak, mencoba mencari identitas diri dengan melakukan apa yang ia suka, namun disisi lain mengejar mimpi bisa jadi berbahaya karena ia merupakan translator untuk keluarganya; ia tak bisa pergi jauh dari mereka dan merasa memiliki tanggung jawab untuk terus berada didekat mereka. 

Rubi punya satu bakat: menyanyi, ia bergabung dengan grup musikal di sekolahnya. Awalnya karena ia punya orang yang ia taksir dan ia ingin lebih dekat dengan laki-laki ini, namun ia jadi bisa benar-benar belajar bernyanyi disini. 

Saya suka sekali film bertema grup musikal! Tumbuh menonton puluhan episode Glee membuat saya suka sekali konsep grup musikal di sekolah (yang tidak saya temui di sekolah saya dulu). 

Lewat Grup ini, Ruby bertemu Mr. V, penanggung jawab dan guru musik di sekolahnya, ia kemudian mendapatkan latihan intensif untuk bisa masuk sekolah musik yang sangat prestigious. 

Isu Difabel: ThisAble

Walaupun sebelumnya saya bilang ide cerita film ini sederhana tentang cerita remaja perempuan yang mengejar mimpinya, film ini menampilkan sesuatu yang tidak banyak diangkat banyak film: kelompok minoritas difabel yang kesulitan untuk mengikuti ritme kehidupan tanpa akses yang cukup baik. 

Ayah, Ibu dan Kakak Ruby, mampu bekerja dengan baik dengan Ruby terlibat didalamnya. Tanpa Ruby, beberapa hal bisa jadi berbahaya (ketika bekerja di lautan tidak mendengar sirine) atau jadi tidak bisa mengikuti konteks pembahasan yang sedang mereka ikuti (ketika rapat bersama asosiasi nelayan). Ketergantungan mereka pada Ruby disatu sisi memberatkan Ruby di usianya yang remaja, dinamika ini menarik sekali buat saya. 

Film ini juga menunjukkan bahwa teman-teman difable, yang sering kali diperlihatkan sebagai golongan yang tidak berdaya, ternyata menjalani kehidupan yang kurang lebih seperti golongan yang disebut normal: bekerja, berpikir bagaimana bisa menjalani kehidupan tanpa kekurangan, mengalami kegalauan dalam hidup, dan realita kehidupan lainnya. Namun, keterbatasan mereka membuat apa yang harusnya tidak jadi masalah bagi orang normal, malah menjadi masalah yang luar biasa berat bagi mereka. 

Kehangatan Keluarga

Buat saya, tema film ini yang paling utama adalah keluarga. Keluarga yang terlihat bahagia seperti keluarga Ruby, ya keluarga yang juga mengalami dinamika dan rusuh besar, tapi berusaha untuk mencari jalan keluar terbaik untuk semuanya. 

Ada hal-hal yang terlihat sederhana tapi juga kurasa amat relate dengan kebanyakan kita. Bagaimana Ibu biasanya jadi sosok yang kadang menyalahkan anaknya terlebih dahulu sebelum bersikap reflektif mengenai kesalahan-kesalahannya sendiri. Bagaimana cara seorang ayah marah. Bagaimana sex (sorry not sorry) adalah salah satu resep hubungan yang awet hingga anak-anak dewasa! 

Keluarga Ruby digambarkan sebagai keluarga yang sederhana, tapi saling menyayangi satu sama lain. Mereka juga tidak menyembunyikan emosi yang sedang mereka rasakan. Keluarga mereka jadi keluarga yang didambakan anak-anak lainnya yang justru tumbuh jauh dari kasih sayang orang tua, yang padahal hidup tanpa kekurangan fisik seperti keluarga Ruby. 

Sebuah film yang hangat dan layak sekali untuk ditonton menemani weekend kamu! 

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT ME

Nih buat jajan

POPULAR POSTS

  • Review Asri - Buku Seribu Wajah Ayah karya Nurun Ala
  • Review Asri: Buku Confession karya Minato Kanae
  • Reading Recap September 2021
  • [Review Asri] Kemarau - A.A. Navis
  • [Review Asri] Atomic Habits - James Clear
  • We're Expecting!
  • Juni yang Tidak Terlalu Bersahabat
  • [Review Asri] Failure - Greatmind
  • Review Asri - The Power of Language Karya Shin Do Hyun & Yoon Na Ru
  • Senin Pagi

Goodreads

Asri's books

Kejutan Kungkang
it was amazing
Kejutan Kungkang
by Andina Subarja
The Fine Print
liked it
The Fine Print
by Lauren Asher
Under One Roof
liked it
Under One Roof
by Ali Hazelwood
Lessons from Surah Yusuf
it was amazing
Lessons from Surah Yusuf
by Abu Ammaar Yasir Qadhi
Setelah membaca ini sampai selesai malam ini. Jadi paham kenapa Allah bilang kalau Kisah Yusuf ini salah satu kisah terbaik dalam Quran. Ada terlalu banyak pelajaran berharga dari kisah Yusuf. Dr. Yasir Qadhi mengawali buku ini dg sebab...
No Exit
liked it
No Exit
by Taylor Adams

goodreads.com

Blog Perempuan

Blog Perempuan

Kamu pengunjung ke

Cari Blog Ini

Arsip Blog

  • ►  2023 (7)
    • ►  Maret 2023 (2)
    • ►  Februari 2023 (2)
    • ►  Januari 2023 (3)
  • ▼  2022 (53)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  September 2022 (13)
    • ►  Agustus 2022 (2)
    • ►  Juli 2022 (2)
    • ▼  Juni 2022 (4)
      • [Review Asri] Komik Uzumaki, Komik Horor Klasik ka...
      • [Review Asri] - Buku Am I There Yet karya Mari Andrew
      • Kenapa Saya Tidak Bisa Menerima Feedback dengan Baik?
      • CODA (Child of Deaf Adults), Film Hangat tentang K...
    • ►  Mei 2022 (9)
    • ►  April 2022 (7)
    • ►  Maret 2022 (5)
    • ►  Februari 2022 (6)
    • ►  Januari 2022 (3)
  • ►  2021 (35)
    • ►  Desember 2021 (5)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (4)
    • ►  Agustus 2021 (3)
    • ►  Juli 2021 (2)
    • ►  Juni 2021 (1)
    • ►  Mei 2021 (3)
    • ►  April 2021 (1)
    • ►  Maret 2021 (2)
    • ►  Februari 2021 (6)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (13)
    • ►  Desember 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (4)
    • ►  Juni 2020 (3)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (1)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (15)
    • ►  November 2019 (1)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (2)
    • ►  Juli 2019 (2)
    • ►  April 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (3)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (2)
  • ►  2018 (15)
    • ►  Desember 2018 (4)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Juli 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (3)
    • ►  Maret 2018 (3)
    • ►  Januari 2018 (2)
  • ►  2017 (21)
    • ►  Desember 2017 (1)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  Oktober 2017 (3)
    • ►  September 2017 (2)
    • ►  Agustus 2017 (4)
    • ►  Juli 2017 (4)
    • ►  Mei 2017 (3)
    • ►  Januari 2017 (2)
  • ►  2016 (65)
    • ►  Desember 2016 (2)
    • ►  September 2016 (2)
    • ►  Agustus 2016 (3)
    • ►  Juli 2016 (17)
    • ►  Juni 2016 (7)
    • ►  Mei 2016 (7)
    • ►  April 2016 (25)
    • ►  Februari 2016 (1)
    • ►  Januari 2016 (1)
  • ►  2015 (29)
    • ►  Desember 2015 (3)
    • ►  September 2015 (2)
    • ►  Agustus 2015 (13)
    • ►  Juli 2015 (4)
    • ►  Juni 2015 (1)
    • ►  Maret 2015 (2)
    • ►  Februari 2015 (1)
    • ►  Januari 2015 (3)
  • ►  2014 (32)
    • ►  Desember 2014 (9)
    • ►  November 2014 (7)
    • ►  Oktober 2014 (2)
    • ►  September 2014 (3)
    • ►  Juni 2014 (3)
    • ►  Mei 2014 (2)
    • ►  Februari 2014 (6)
  • ►  2013 (69)
    • ►  Desember 2013 (1)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  Oktober 2013 (7)
    • ►  September 2013 (7)
    • ►  Agustus 2013 (15)
    • ►  Juli 2013 (4)
    • ►  Juni 2013 (8)
    • ►  Mei 2013 (2)
    • ►  April 2013 (5)
    • ►  Februari 2013 (4)
    • ►  Januari 2013 (11)
  • ►  2012 (6)
    • ►  November 2012 (4)
    • ►  Oktober 2012 (2)
  • ►  2011 (8)
    • ►  Oktober 2011 (4)
    • ►  September 2011 (1)
    • ►  Maret 2011 (3)
Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © Journal Asri. Designed by OddThemes