Review Asri: Lauk Daun karya Hartari; Cerita yang Dekat Dengan Warga Kampung Kota
Di Kampung Merdeka, tak ada satu orang pun yang suka mengajukan diri menjadi Ketua RT. Menjadi ketua kampung tak semudah dan seindah yang dibayangkan. Amanah yang diemban pun tidak ringan. Ketua kampung harus rela berkorban waktu, uang, dan tenaga. Dan itu b-e-r-a-t. Tidak semua orang sanggut. Kecuali orang yang haus jabatan, sejujurnya tak ada yang mau dipilih.
Apa hebatnya jadi ketua RT? itu bukan jabatan yang bergengsi. herannya, Bu As menginginkannya dan menikamtinya. Menjadi Ketua PKK adalah jabatan strategis, ajang untuk tampil. Bu As menikmati peran menjadi ibu nomor satu di kampung.
Lauk Daun - Hartari, halaman 23
Sudah lama saya tidak tertawa lepas dan gemas-gemas sebal ketika membaca sebuah buku. Beberapa waktu belakangan memang bacaan saya sedang dipenuhi karya-karya yang cenderung ‘berat’, entah isinya memang berat seperti Metode Jakarta, atau berat betul bukunya seperti karya Junghuhn yang juga sangat tebal dan isinya lebih ke bikin senyum dan takjub ketimbang ketawa. Selingannya, buku-buku Agatha Christie yang saya baca tiap bulan untuk ikut Tantangan Bacanya juga jauh dari kata lucu. Jadi ketika bertemu buku Lauk Daun (thanks to @awaywithbooks) saya senang sekali karena akhirnya bisa tertawa ditengah bacaan yang serius.
Saya agak menebak-nebak dari kaver bukunya, saya kira ini tentang makanan pendamping nasi berupa dedaunan; atau yang biasa kita sebut sayur. Tapi nyatanya jauh betul dari prediksi saya, dan justru judul buku ini lah yang bikin saya tertawa tak henti-henti.
Membaca Lauk Daun (1)
Lauk Daun bercerita tentang dinamika hidup di kampung Merdeka, sebuah kampung di tengah kota yang sangat mirip dengan kampung-kampung pada umumnya. Penghuninya beragam, status sosial ekonominya beragam, pekerjaannya pun beragam. Penulis membuka buku ini dengan kerusuhan di grup WhatsApp (WA)! (beneran mirip komplek atau RT kamu gak tuh ada grup WAnya!). Warga di grup WA ini sedang berunding tentang pandemi yang datang dan apakah perlu kampung mereka melakukan Lockdown.
Diskusi di grup ini tentu saja seru betul, ada yang setuju, ada yang tidak, ada yang vokal berbicara (baca: mengirim dan membalas pesan), ada juga yang menjadi silent reader saja. Ya rupanya ini memang sehari-hari terjadi di Kampung Merdeka. Bukan hanya ketika pandemi saja.
Diskusi tersebut menjadi pengantar menuju cerita selanjutnya: asal usul kampung merdeka, dari penamaannya sampai sejarah kepala kampungnya. Fokus cerita Lauk Daun memang berpusat pada kepala kampungnya. Mulai dari masa Pak Aripin, Pak Amar hingga Pak Asikin dan istrinya Bu Asikin (yang lebih dikenal dengan sebutan Bu As) yang menjadi pemimpin Kampung Merdeka. Meskipun Pak Asikin, seperti bapak-bapak pada umumnya, tidak terlalu heboh dan ingin biasa saja dalam memimpin Kampung Merdeka, tapi Bu As ternyata punya misi lain: Ia ingin menjadi Ibu kepala kampung dan kepemimpinannya membekas dan berprestasi, sehingga dimulailah dramanya disini. Kenapa drama? karena Bu As sebetulnya bukan sosok yang dekat dengan masyarakat, ia bahkan tidak mengenal semua orang di Kampung Merdeka meskipun sudah tinggal di sana.
Dinamika Warga Kampung Kota
Ketika membaca buku ini, saya jadi ingat kampung Ibu saya. Yap, Ibu saya, bukan saya. Kebetulan saya belum memiliki rumah tetap alias masih mengontrak dan mencari rumah yang pas dari waktu ke waktu, alhasil tak banyak bisa bersosialisasi dengan warga setempat, tapi Ibu saya, yang rumahnya tetap di satu kampung, dan saya yang juga menyicip hidup sebagai warga kampung yang sama selama beberapa waktu yang sama, paham betul dinamika yang terjadi di Lauk Daun ya memang ada di kehidupan warga.
Bedanya, saya tidak pernah menemukan kombinasi Ibu-ibu menyebalkan yang kemudian diberikan kesempatan untuk mengecap kekuasaan. Alias biasanya yang jadi Pak RT dan Bu RT ya baik-baik saja, yang nyebelin ada tapi karena sudah terkenal menyebalkan ya tidak mungkin dipercaya jadi RT hehe.
Tokoh utama dalam buku ini, Bu As jadi kombinasi menyebalkan ketika misalnya ia ingin warga kampungnya mengikuti lomba kampung hijau dan semuanya harus memiliki pohon cabai, jika tidak akan di denda, tapi disisi lain Bu As adalah pedagang tanaman, warga yang tak sempat menanam mau tak mau harus membeli tanaman kepadanya. Ia juga jadi kombinasi menyebalkan ketika sudah tidak menjabat sebagai Bu RT namun masih mengatur-ngatur Bu RT yang baru, atau ketika ia memaksakan semua warga untuk berolahraga, atau sok tau tentang acara kampung, sok asik pula.
Bu As jadi super duper menyebalkan dan membuat kita gemas ketika membaca tingkahnya. Sementara itu seperti halnya dinamika di kampung, bapak-bapak kecil sekali perannya di sini (di sini: di drama dan pergosipan kampung). Seperti halnya di kampung-kampung kebanyakan: Ibu Ibu lah pemegang kekuasaan sebenarnya. Alias kalau Ibu-ibu gak mau kerja ya sepi juga kampungnya.
Selain kelakuan Bu As, kita juga akan menemukan sosok Yayuk yang tak kalah dominan. Yayuk jadi stereotipe perempuan yang juga sering digosipkan tetangganya seperti Bu As, bedanya Yayuk digosipkan karena kisah asmaranya. Suka gonta ganti pacar, hamil duluan sebelum menikah, hingga batal kawin siri karena calon suaminya dijemput istri sah, tak kurang kurang ia juga tipe warga yang senang ribut dengan tetangga lainnya.
Bu As, Yayuk dan warga lain di buku ini rasanya begitu dekat dengan saya yang selama ini hanya jadi silent reader saja di kampung.
Kenapa tertawa lepas sekaligus gemas?
Mungkin tidak sepenuhnya tepat kalau sepanjang buku, saya hanya tertawa-tawa saja. Lebih tepatnya terhibur ya. Melihat tingkah Ibu-Ibu dan Bapak Bapak Kampung Merdeka rasanya seperti sedang menonton sitkom, walaupun tidak ada punch line di setiap bab. Hanya beberapa bab saja yang memberikan punch line tersebut. Tapi karena temanya begitu dekat, yaa hiburannya makin terasa.
Emosi lain yang muncul justru gemas dengan tingkah Bu As dan Yayuk, tapi tahu tidak kawan? Sering kali kita memang tidak bisa berbuat banyak jika kita berada di posisi warga Kampung Merdeka yang ada dibawah ‘jajahan’ Bu As. Kenapa? karena tidak banyak dari kita yang mau ambil bagian atau repot-repot menjadi Ibu PKK seperti Bu As. Tidak ada juga bapak-bapak yang mau repot-repot jadi ketua RT. Seperti halnya di Kampung Merdeka, kebanyakan jabatan RT RW di tempat kita ya karena tidak ada yang lain yang mau saja hehe, dan ini ya memang relatable dengan warga kampung kota. Karena kalau di desa, jabatan Kepala Desa justru jadi rebutan dan pertarungan yang sering kali berdarah atau bisa memutus tali silaturahmi antar saudara sendiri; karena di desa ada Dana Desa yang jumlahnya tidak sedikit :’) sementara di Kota kan tidak ada.
Jadinya yaa gemas-gemas tapi tidak bisa melakukan hal lain juga, ujung-ujungnya: gosip dan ngomongin di belakang. Persis betul warga Kampung Merdeka.
Membaca Lauk Daun (2)
Saya membaca buku ini tidak sekali duduk, tapi dua kali duduk. Tetap bisa cepat diselesaikan karena bukunya tipis, masuk ke kategori novella ketimbang novel. Bahasanya tidak berat, tidak ada plot twist yang terlalu bikin hah heh hoh dan saya suka betul tema kehidupan sehari-hari yang diambil di sini. Senang sekali ada novella ringan yang mendapat predikat “Naskah yang menarik perhatian juri” pada Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2021; rasanya bisa juga ya sastra dekat dengan saya, sastra dekat dengan masyarakat biasa. Bisa dikunyah dengan mudah tanpa harus berkerut memikirkan maknanya.
Kalau kamu suka cerita slice of life, mau melihat dinamika kampung dalam bentuk tulisan, kamu bertemu Bu As dan sebal-sebal sendiri dibuatnya, sedang mencari bacaan ringan tapi bermakna untuk keluar dari reading slump, coba baca buku ini deh! seru!
0 comments
leave yout comment here :)