Journal Asri


"Ketika anak lahir, ibu tidak hanya merasakan bahagia. Emosinya bisa sepaket dengan perasaan tak berharga, kesepian, kesediah, kemarahan, hingga, perasaan mulai gila. Ibu merasakan hari yang berbunga-bunga sekaligus kesepian"

Anatomi Perasaan Ibu

---

Buku pertama yang saya baca sampai tamat di September: Anatomi Perasaan Ibu.

Buku ini saya baca sekali duduk (dan tiduran hehe karena bacanya malam), beberapa hari setelah pindahan rumah yang sangat melelahkan. Buku ini ditulis oleh Sophia Mega, saya mengikuti Mega di Instagram sejak beberapa tahun terakhir dan tahu beberapa hal yang sering ia bagikan di story Instagram-nya. Ia tak ragu membagikan hal-hal yang mungkin bagi sebagian orang dianggap tabu, seperti cerita dibalik layar pengasuhannya (yang tentu tak selalu indah), namun yang paling unik buat saya adalah pengalaman Mega menghadapi orang tua atau mertuanya yang cukup challenging.

Ketika tahu buku ini terbit, saya langsung penarasan ingin membaca dan buku Anatomi Perasaan Ibu ini sangat-sangat-sangat saya rekomendasikan untuk dibaca tidak hanya  oleh seorang ibu atau calon ibu ya, tapi juga Ayah dan calon Ayah, atau bahkan jika kamu belum memutuskan suatu hari nanti mau punya anak atau tidak, dan yang penting juga: sangat baik dibaca calon nenek dan calon kakek, serta Bapak Ibu yang sudah menjadi nenek dan kakek. Hehe. 

Apa saja isinya?

Buku ini dibagi menjadi empat bagian:

  1. Bagian satu -- Pernikahan
  2. Bagian dua -- Hamil
  3. Bagian Tiga -- Melahirkan
  4. Bagian Empat -- Menjadi Ibu
Pada tiap bagian tersebut terdapat tiga sampai enam bab pendek yang membuat buku ini sangat ringan untuk dibaca, walaupun isinya sama sekali tidak ringan ya haha. Tapi dengan membagi tulisan ini jadi pendek-pendek, rasanya memudahkan saya untuk membaca buku ini. 

Tentang hubungan unik anak dengan orang tua dan hubungan menantu dengan mertua

Bagian satu - Pernikahan berisi tentang refleksi penulis tentang alasannya menikah, ini menurut saya adalah hal yang sangat menarik. Penulis mampu menjawab pertanyaan tersebut, bahkan pertanyaan lanjutan, mengapa menikah di usia yang terbilang muda (hanya setahun atau kurang dari setahun saya agak lupa) sejak lulus kuliah. 

Jawaban yang sering kita dapatkan ketika pertanyaan ini dilontarkan pada pasangan yang telah menikah adalah: ya, sudah menemukan orang yang tepat, jadi dan waktunya juga sudah tepat, jawaban ini agak template ya, somehow juga agak klise, tapi ya ga salah juga. Sayapun kalau ditanya kenapa menikah dengan suami saya tahun saya menikah, mungkin akan menjawab hal yang sama, walaupun sebagian besar kenapa saya menjawab hal tersebut lebih ke males aja jelasin ke orang yang tidak terlalu mengenal saya atau suami. 

Tapi penulis mampu menyelami hal-hal yang membuat ia ingin bergegas 'pergi' dari rumah. Apa yang terjadi di rumah? luka apa yang ia dapatkan hingga membuat ia ingin cepat-cepat menikah? 

Hal ini menarik karena sekali lagi, butuh waktu refleksi yang menurut saya tidak pendek, sesi berkali-kali ngobrol dengan ahli atau orang yang kita kenal terkait hal ini sampai akhirnya berbesar hati menerima kenyataan kalau alasan ingin cepat menikah karena ingin 'kabur dari rumah' dan menyambut kebebasan yang ditawarkan gerbang pernikahan. Alasan yang sering kali dianggap tidak benar-benar menyelesaikan masalah-- dan diakui oleh penulis di buku ini, karena sekarang, ga hanya harus menghadapi orang tua sendiri, tapi juga harus menghadapi mertua. 

Refleksi penulis di buku ini, membuat saya ingat drama korea berjudul Because This Is My First Life, drama slice of life yang menceritakan pasangan suami istri yang menikah secara kontrak (fake marriage trope wkkk sungguh favorit saya), dan berakhir saling jatuh cinta. Singkat cerita kedua keluarga besar mereka cukup 'ngatur2' supaya suami dan istri ini harus menjadi sosok suami dan istri ideal di mata masing-masing orang tua. Ketika akhirnya memutuskan untuk menikah beneran, mereka juga menuliskan kesepakatan untuk membuat masing-masing dari mereka 'lepas' dari beban untuk memuaskan ekspektasi mertua dan keluarga besar pasangan. 

Kesepakatan yang pasangan dalam drama korea ini lakukan adalah apa yang disebut penulis membuat boundaries atau batasan dalam hubungan dengan orang tua dan mertua setelah menikah. Tentu akan terlihat 'aneh' di mata orang lain yang tidak benar-benar memahami, atau bahkan yang paham tentang boundaries sekalipun akan mempertanyakan 'kenapa sih, ke orang tua sendiri atau mertua sendiri aja gitu banget', tapi sekali lagi, siapa kita sih harus tanya-tanya pilihat atau keputusan orang lain? :') kan kita ga tahu apa yang benar-benar terjadi dan apa yang akan terjadi kalau boundaries itu diterabas. 

Buat bagian ini, saya sejujurnya gak terlalu relate dengan kisah penulis. Orang tua saya tidak terlalu banyak ikut campur urusan saya, saya cukup beruntung mendapat kepercayaan orang tua, sejak awal memutusakan kuliah jauh dari rumah, merantau dan mengambil keputusan-keputusan dalam hidup saya. 
Namun bagian ini benar-benar menjadi pengingat buat saya untuk tidak menghakimi orang-orang yang memang mengambil keputusan untuk membuat batasan-batasan tertentu dengan orang tua atau mertua. Ini biasanya mudah jika tidak terjadi di keluarga kita, namun jadi latihan untuk benar-benar adil sejak dalam pikiran ketika terjadinya di keluarga sendiri. 


Punya suami yang baik saja, kadang tidak cukup

Judul sub-reviu yang satu ini mungkin buat sebagian orang seperti membaca tulisan orang yang tak pandai bersyukur (haha), tapi ya begitulah yang saya rasakan setelah membaca buku ini, setelah membaca Kim Ji Yeong 1982 dan setelah hidup dengan suami saya selama hampir empat tahun. 

Punya suami yang memahami kita, memahami impian kita, memberikan banyak waktu untuk me-time, mau melakukan atau bagi tugas mengerjakan hal domestik, bahkan bare minimum punya suami yang mengizinkan istrinya bekerja saja, rasanya adalah privilese yang sangat-sangat besar di Indonesia, atau di Asia pada umumnya. Tapi sampai kapan ya ini akan terus terjadi? 

View this post on Instagram

A post shared by Asri (@wanderbook_)


Penulis bertemu dengan circle terdekat (orang tua dan mertua) yang acapkali menyangsikan pilihan yang diambil, terutama urusan anak. Kim Ji Yeong, bertemu orang asing yang dengan asal berceletuk kalau ia adalah istri yang gemar menghabiskan uang suami untuk ngopi. Saya beberapa kali bertemu orang yang bertanya keputusan untuk menitipkan anak di daycare ketika saya dan suami padahal sama-sama bekerja di rumah. Ini baru tiga contoh, saya yakin tiap Ibu pernah punya pengalaman-pengalaman dimana pilihan-pilihan pengasuhan, pilihan-pilihan hidupnya dipertanyakan. 

Komentar yang paling menyakitkan memang kalau pertanyaannya datang dari orang terdekat, teman, keluarga yang justru dari mereka kita mengharapkan support. Namun ada kalanya komentar dari orang asing pun masuk ke hati dan membuat kita mempertanyakan keputusan kita sendiri, atau kalaupun tidak berujung kesal kenapa selalu (atau seringkali) Ibu lah yang selalu dipertanyakan terkait pilihan-pilihan pengasuhan, pilihan untuk menitipkan anak di daycare dan tetap bekerja, pilihan untuk me time sejenak dan membiarkan anak bermain dengan kakek neneknya beberapa jam di akhir pekan. Tapi tidak pernah (atau jarang sekali) yang bertanya atau menghakimi pilihan tersebut pada Ayah. 

Kebanyakan Ibu sudah sangat lelah dengan urusan mengasuh anak, menyiapkan makanan, (pada banyak kasus) juga mengurus suami, kelelahan ini bisa jadi bertambah jika ibu bekerja, apalagi yang bekerja karena memang harus bekerja (misal karena kebutuhan finansial). Sudah ya capek, masih saja dikomentari seenaknya oleh orang lain :') 

Peran suami, jika memang tidak bisa meladenin secara langsung orang yang mempertanyakan pilihan-pilihan tersebut pada istrinya, minimal dengan memberikan support pada Istri dan tidak menganggap komentar tersebut sebagai angin lalu. 

Buku ini membantu saya untuk menyadarkan saya pada realita ini. 


Siapa saja yang saya sarankan untuk membaca buku ini?

Buku ini menurutku sangat cocok dibaca semua orang.
Ibu yang membaca bisa merasa punya teman senasib seperjuangan.
Ayah yang membaca jadi tahu rumitnya hari-hari yang dijalani Ibu terutama di tahun-tahun awal kehidupan anak.
Orang dewasa yang belum/tidak punya yang belum ataupun sudah memutuskan ingin atau tidak ingin punya anak juga bisa tahu kalau punya anak tuh perjuangan panjang dan tidak seindah apa yang di lihat di sosial media saja.
Nenek Kakek dan calon nenek kakek juga sangat-sangat cocok membaca buku ini untuk memahami adanya jarak pengetahuan yang membuat beberapa informasi yg mereka pahami dulu tidak lagi sesuai dengan sekarang.

Buku ini adalah sebuah buku parenting yang jujur (menurut saya masuk genre parenting, walaupun label belakang buku menyebut ini seri gender), kamu tidak akan menemukan tips teknis pengasuhan anak di buku ini, tapi justru banyak menemukan proses penulis ‘mengasuh’ diri sendiri untuk menjadi Ibu yang lebih baik setiap harinya. Mengingatkanku pada keseruan membaca Bringing Up Bebe karena gak hanya menceritakan indahnya atau excitementnya punya anak pertama, tapi juga kelelahan malam tak berkesudahan yang dialami Ibu (yap, Ibu lebih capek!) hehe. 

View this post on Instagram

A post shared by Asri (@wanderbook_)

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

POPULAR POSTS

  • [Review Asri] Atomic Habits - James Clear
  • Review Asri: Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom
  • Review Asri - Tempat Terbaik di Dunia karya Roanne Van Voorst
  • [Review Asri] Kemarau - A.A. Navis
  • Review Asri: As Long As The Lemon Trees Grow karya Zoulfa Katouh
  • Review Asri: Pengantin-pengantin Loki Tua karya Yusi Avianto Pareanom
  • Review Buku Angsa dan Kelelawar karya Keigo Higashino
  • Main ke Toko Buku Pelagia Bandung
  • Review Asri: Minimarket yang Merepotkan karya Kim Ho-yeon
  • Review Asri: Manabeshima Island Japan karya Florent Chavouet

Arsip Blog

  • ►  2025 (17)
    • ►  Mei 2025 (4)
    • ►  April 2025 (2)
    • ►  Maret 2025 (2)
    • ►  Februari 2025 (3)
    • ►  Januari 2025 (6)
  • ►  2024 (8)
    • ►  November 2024 (1)
    • ►  Agustus 2024 (1)
    • ►  Juni 2024 (1)
    • ►  Mei 2024 (2)
    • ►  April 2024 (3)
  • ▼  2023 (17)
    • ►  November 2023 (1)
    • ▼  September 2023 (1)
      • Review Asri: Anatomi Perasaan Ibu - Sebuah Pengala...
    • ►  Juli 2023 (4)
    • ►  Juni 2023 (4)
    • ►  Maret 2023 (2)
    • ►  Februari 2023 (2)
    • ►  Januari 2023 (3)
  • ►  2022 (52)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  September 2022 (12)
    • ►  Agustus 2022 (2)
    • ►  Juli 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (4)
    • ►  Mei 2022 (9)
    • ►  April 2022 (7)
    • ►  Maret 2022 (5)
    • ►  Februari 2022 (6)
    • ►  Januari 2022 (3)
  • ►  2021 (35)
    • ►  Desember 2021 (5)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (4)
    • ►  Agustus 2021 (3)
    • ►  Juli 2021 (2)
    • ►  Juni 2021 (1)
    • ►  Mei 2021 (3)
    • ►  April 2021 (1)
    • ►  Maret 2021 (2)
    • ►  Februari 2021 (6)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (13)
    • ►  Desember 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (4)
    • ►  Juni 2020 (3)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (1)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (14)
    • ►  November 2019 (1)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (2)
    • ►  Juli 2019 (2)
    • ►  Maret 2019 (3)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (2)
  • ►  2018 (15)
    • ►  Desember 2018 (4)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Juli 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (3)
    • ►  Maret 2018 (3)
    • ►  Januari 2018 (2)
  • ►  2017 (20)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  Oktober 2017 (3)
    • ►  September 2017 (2)
    • ►  Agustus 2017 (4)
    • ►  Juli 2017 (4)
    • ►  Mei 2017 (3)
    • ►  Januari 2017 (2)
  • ►  2016 (65)
    • ►  Desember 2016 (2)
    • ►  September 2016 (2)
    • ►  Agustus 2016 (3)
    • ►  Juli 2016 (17)
    • ►  Juni 2016 (7)
    • ►  Mei 2016 (7)
    • ►  April 2016 (25)
    • ►  Februari 2016 (1)
    • ►  Januari 2016 (1)
  • ►  2015 (29)
    • ►  Desember 2015 (3)
    • ►  September 2015 (2)
    • ►  Agustus 2015 (13)
    • ►  Juli 2015 (4)
    • ►  Juni 2015 (1)
    • ►  Maret 2015 (2)
    • ►  Februari 2015 (1)
    • ►  Januari 2015 (3)
  • ►  2014 (29)
    • ►  Desember 2014 (8)
    • ►  November 2014 (6)
    • ►  Oktober 2014 (2)
    • ►  September 2014 (2)
    • ►  Juni 2014 (3)
    • ►  Mei 2014 (2)
    • ►  Februari 2014 (6)
  • ►  2013 (66)
    • ►  Desember 2013 (1)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  Oktober 2013 (7)
    • ►  September 2013 (7)
    • ►  Agustus 2013 (15)
    • ►  Juli 2013 (4)
    • ►  Juni 2013 (8)
    • ►  Mei 2013 (2)
    • ►  April 2013 (5)
    • ►  Februari 2013 (3)
    • ►  Januari 2013 (9)
  • ►  2012 (6)
    • ►  November 2012 (4)
    • ►  Oktober 2012 (2)
  • ►  2011 (8)
    • ►  Oktober 2011 (4)
    • ►  September 2011 (1)
    • ►  Maret 2011 (3)

Goodreads

Asri's books

Kejutan Kungkang
it was amazing
Kejutan Kungkang
by Andina Subarja
The Fine Print
liked it
The Fine Print
by Lauren Asher
Under One Roof
liked it
Under One Roof
by Ali Hazelwood
Lessons from Surah Yusuf
it was amazing
Lessons from Surah Yusuf
by Abu Ammaar Yasir Qadhi
Setelah membaca ini sampai selesai malam ini. Jadi paham kenapa Allah bilang kalau Kisah Yusuf ini salah satu kisah terbaik dalam Quran. Ada terlalu banyak pelajaran berharga dari kisah Yusuf. Dr. Yasir Qadhi mengawali buku ini dg sebab...
No Exit
liked it
No Exit
by Taylor Adams

goodreads.com

Blog Perempuan

Blog Perempuan

Cari Blog Ini

Kamu pengunjung ke

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © Journal Asri. Designed by OddThemes