Journal Asri

 


𝘏𝘪𝘥𝘶𝘱 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘯𝘥𝘢 𝘬𝘦𝘬𝘢𝘭𝘢𝘩𝘢𝘯


Saya pertama kali mengenal Derai-Derai Cemara di SMA.
Satu waktu guru Bahasa Indonesia meminta kami membuat musikalisasi puisi dari karya-karya Chairil Anwar. Saya ingat betul semua puisi yang kami garap.

Kelompok saya mendapatkan puisi Senja di Pelabuhan Kecil, puisi yg sepertinya sedang ditulis Chairil saat sedang gaau galaunya. Kelompok lain mendapatkan puisi Cintaku Jauh di Pulau, puisi yang juga isinya seperti curhatan cinta bertepuk sebelah tangan buatku dulu. Lalu satu kelompok lagi menyanyikan versi musikalisasi puisi untuk Derai-Derai Cemara, yang tiap baitnya tidak bisa saya lupakan sampai sekarang.

𝘈𝘬𝘶 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨𝘯𝘺𝘢 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘵𝘢𝘩𝘢𝘯
𝘚𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘱𝘢 𝘸𝘢𝘬𝘵𝘶 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘯𝘢𝘬 𝘭𝘢𝘨𝘪
𝘛𝘢𝘱𝘪 𝘥𝘶𝘭𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘥𝘢 𝘴𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘣𝘢𝘩𝘢𝘯
𝘠𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘴𝘢𝘳 𝘱𝘦𝘳𝘩𝘪𝘵𝘶𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘬𝘪𝘯𝘪


Bisa jadi saya saya terkesima dengan pilihan nada kelompok ini yg jauh lebih baik dari kelompok kami, bisa jadi saya memang terpukau dengan pilihan kata pada Derai-Derai Cemara.

Puisi ini tidak berisi ungkapan hati ketika putus cinta seperti puisi saya. Puisi ini, buat saya yang bocah waktu itu isinya tentang bagaimana Chairil jauh lebih dewasa, menerima nasib, paham betul kalau semua akan berpulang, juga ada bait-bait berisi pengakuan kalau dulu yaa dia tidak sedewasa ini.

Saya sering mengulang membaca puisi ini pada situasi terpuruk, pada hari-hari yang terasa penat, pada malam-malam sepi saat saya harus tetap bekerja dan jauh dari keluarga, juga ketika semua hal mulai berada diluar kendali saya. Rasanya menakjubkan bagaimana sebuah puisi bisa hidup melintasi jaman dan tetap relevan buat saya dan mungkin pembaca lainnya. Saya tidak merasa sendiri ketika membaca puisi ini. Juga tak merasa begitu buruk, karena ya pada akhirnya, bahkan setelah belajar dan sedikit lebih dewasa, kita semua akan menyerah, bukan?

---
Puisi ini ditulis tahun 1949, tahun dimana Chairil Anwar juga “menyerah”, berpulang dari kehidupan dunia di usia 27 tahun. Tak meninggalkan harta apapun selain karya-karyanya yang tetap hidup sampai sekarang. Sekarang, tiap tahun, hari kelahirannya dan hari kematiannya dijadikan hari puisi nasional.












Dua tahun lalu, saya membaca sebuah Esai berjudul Yang Menarik dan Tidak Menarik dari Pulang, dari Buku Dera Anugrah berjudul kenapa Kita Tidak Berdansa. Saya pernah menuliskan reviunya di sini jika kamu tertarik untuk membaca lebih lanjut. 

Sejak membaca tulisan tersebut, saya bertekad untuk membaca buku Leila Chudori yang satu ini. Sebetulnya saya pernah mencoba membaca karya Bu Leila yang cukup hits, Laut Bercerita. Tapi ya, tidak selesai, saya lupa alasan kenapa waktu itu bukunya tidak selesai saya baca, tapi sepertinya salah satu alasannya karena pace ceritanya yang cukup lambat di awal, ditambah bukunya buat saya overhype di Twitter/X, membuat saya jadi malas duluan membacanya. Tapi ternyata buku Pulang berbeda ya. 

Saya membaca Pulang agak lama. Tiga bulan lamanya, saya tahu betul karena saya track bacaan saya di Goodreads. Lalu apa yang membuat Pulang berbeda? 

Saya membaca Pulang ketika film Eksil garapan Lola Amaria diputar secara terbatas di Februari 2024. Sebuah film yang topiknya sama dengan Pulang; menceritakan kisah orang-orang Indonesia yang menjadi korban konflik politik dalam negeri sehingga mereka tidak bisa pulang, dan kehilangan kewarganegaraan. Saya tidak bisa menonton Eksil. Sekali lagi karena pekerjaan sedang padat-padatnya, tapi selain itu juga karena film ini diputar terbatas dan bioskop yang memutar film ini di Bandung, lokasinya cukup jauh dari rumah saya. Karena tidak bisa menonton Eksil, saya menonton Surat dari Praha di Netflix, tapi itu tidak cukup membuat saya terpuaskan dengan cerita eksil 65, sehingga akhirnya saya memutuskan membaca Pulang. 

Saya rasa, saya akan agak kesulitan menuliskan Yang Menarik dan Tidak Menarik dari Pulang, karena apa yang saya rasakan hampir secara keseluruhan telah termuat dalam review Dea Anugrah (aduh, saya sangat berharap bisa menuliskan reviu buku sebaik itu :')). 

Tapi yaa rasanya gatal juga tidak menuliskan pengalaman saya membaca buku ini. Jadi kurang lebih berikut catatan saya membaca buku Pulang. 

Fiksi Sejarah yang cemerlang

Pulang adalah sebuah buku penting untuk memahami sejarah yang terjadi pada kaum intelektual Indonesia pada saat tragedi 1965 terjadi. Singkatnya, buku ini menggambarkan betul bahwa 'korban' dalam peristiwa ini bukan hanya orang-orang yang dituduh PKI tanpa bukti dan tanpa pengadilan. Korban yang jarang mendapatkan sorotan ya contohnya para eksil seperti tokoh utama dalam buku ini, Dimas Suryo, seorang wartawan yang dekat dengan orang-orang kiri, namun tidak pernah secara terbuka memproklamirkan diri sebagai seorang komunis, bahkan cenderung tidak sepaham dengan gagasan yang diusung, kebetulan berada di luar negeri pada saat tragedi berlangsung, dan tertahan tidak bisa pulang. 

Bukan sebuah kebetulan, Leila juga menyuguhkan dua sejarah besar Indonesia yang terjadi di buku ini:
  1. Tragedi 1965 dan implikasinya pada Dimas dan teman-temannya, keluarganya, serta anak-anaknya di masa mendatang.
  2. Tragedi 1998; Yup! di sepertiga bagian akhir buku, kita akan membaca cerita Lintang Utara (anak Dimas Suryo) yang datang ke Indonesia untuk membuat film pendek tentang tahun 1965. Lintang datang ke Jakarta yang sedang cukup panas saat itu, jadi di buku ini, kita juga bisa melihat apa sih yang terjadi pada waktu tragedi 1998 terjadi, walaupun tentu dari sudut pandang Alam, Lintang dan rekan-rekannya yang tidak secara langsung menjadi korban dari tragedi ini. 
Karenanya, buku ini adalah buku yang sangat baik jika kamu ingin membaca buku fiksi sejarah Indonesia. Dua latar penting buku ini sangat berhubungan. Awal dan akhir sang Jenderal. Awal dan akhir seorang pemimpin yang selama 32 tahun menjadi presiden di Indonesia, terpotret lewat keseharian 'korban' atau masyarakat umum, yang bukan siapa-siapa, tapi kena getahnya juga. 

Kisah Cinta yang Bertebaran, dari yang Mendalam sampai yang Begajulan 

Selain mengambil tema sejarah, penting untuk diketahui bahwasanya buku ini merupakan buku dengan tema percintaan yang begitu kental! Tapi saya tidak bisa mengeluh, karena seperti yang Dea Anugrah tulisakan dalam Esainya tentang novel Pulang, "Memangnya siapa yang betah membaca novel setebal 500 halaman yang tak ada kisah cintanya?". 

Ada banyak kisah cinta di sini, dari yang terlihat megah dan dalam seperti kisah cinta Dimas dan Surti, yang saya tahu betul sangat menarik buat banyak orang, yang juga sangat realistis, karena kita tidak selalu bisa mendapatkan orang yang kita inginkan, kan ya?, lalu ada juga kisah cinta yang meletup-letup dan begajulan seperti kisah Lintang dan Alam, yang ini mungkin tidak disukai banyak orang karena melibatkan adegan perselingkuhan, tapi ya saya menikmati saja kisah cinta mereka berdua, yang ini mungkin dipengaruhi kebiasaan dan kesenangan saya membaca cerita contemporary romance yang dua tokohnya mungkin bertemu diawali dengan perseteruan, tapi berakhir jatuh cinta. 

Nah, uniknya kita tidak hanya akan membaca kisah mereka berdua. Tapi juga kisah rekan-rekan sekitar tokoh utama yang saling jatuh cinta, lalu karena setting waktu di buku ini yang sangat lama rentangnya, kita akan bisa melihat, bagimana cinta adalah sesuatu yang harus terus menerus dipelihara dengan serius, jika tidak akan selalu ada konsekuensi yang menanti. Apakah konsekuensi ini berarti buruk? seperti perceraian? belum tentu. Saya misalnya sangat senang ketika Vivienne memutuskan bercerai dari Dimas, tapi kan memang tetap ada yang menjadi 'korban' dan patah hati dari tiap putus dan perceraian. Dalam kasus Vivienne dan Dimas, ya yang paling patah hati adalah Lintang, anaknya yang tak lagi mendapatkan privilese orang tua lengkap. 

Kita bisa memilih untuk menikmati saja tokoh-tokoh di buku ini berproses pada kisah cinta mereka, atau bisa juga belajar dari kisah cinta mereka. 

Tak ada gading yang tak retak

Tentu saja buku ini tak jadi buku yang 100 persen sempurna. Kritik saya terhadap buku ini agak mirip dengan kritik Dea di esainya, bahwasanya tokoh di buku ini seringkali hitam putih, terutama penggambaran tokoh antagonis seolah-olah tak ada kebaikannya sama sekali, saya beneran melongo waktu Rininta, tunangan Rama (sepupu Lintang) digambarkan sebagai perempuan anak orang kaya yang hanya tahu belanja dan hura-hura di Paris sana. Konflik Rama malah jadi melempem. Tidak terbayang kalau ternyata Rininta perempuan terpelajar yang juga tidak mudah menghakimi. Pasti lebih seru. Tapi pilihan ini sedikit banyak juga dimaklumi, karena pasti tulisannya akan jadi lebih tebal dan konflik-konfliknya makin melebar. 

---

Secara keseluruhan, Pulang menjadi buku yang menyenangkan untuk saya baca, dan sangat saya rekomendasikan untuk dibaca teman-teman yang ingin mulai membaca fiksi sejarah Indonesia. Dengan catatan ini bukunya U17 yaa ratingnya! 

Kalau kamu memutuskan untuk membaca buku ini, jangan lupa lanjutkan dengan menonton film eksil dan surat dari praha supaya semakin lengkap membaca perspektif Dimas dan sosok eksil real yang telah berpulang ataupun yang masih ada di negeri seberang.
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

POPULAR POSTS

  • [Review Asri] Atomic Habits - James Clear
  • Review Asri: Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom
  • Review Asri - Tempat Terbaik di Dunia karya Roanne Van Voorst
  • [Review Asri] Kemarau - A.A. Navis
  • Review Asri: As Long As The Lemon Trees Grow karya Zoulfa Katouh
  • Review Asri: Pengantin-pengantin Loki Tua karya Yusi Avianto Pareanom
  • Review Buku Angsa dan Kelelawar karya Keigo Higashino
  • Main ke Toko Buku Pelagia Bandung
  • Review Asri: Minimarket yang Merepotkan karya Kim Ho-yeon
  • Review Asri: Manabeshima Island Japan karya Florent Chavouet

Arsip Blog

  • ►  2025 (17)
    • ►  Mei 2025 (4)
    • ►  April 2025 (2)
    • ►  Maret 2025 (2)
    • ►  Februari 2025 (3)
    • ►  Januari 2025 (6)
  • ▼  2024 (8)
    • ►  November 2024 (1)
    • ►  Agustus 2024 (1)
    • ►  Juni 2024 (1)
    • ▼  Mei 2024 (2)
      • Saya dan Derai Derai Cemara
      • Membaca Buku Pulang, Melihat Tragedi Tahun 1965 da...
    • ►  April 2024 (3)
  • ►  2023 (17)
    • ►  November 2023 (1)
    • ►  September 2023 (1)
    • ►  Juli 2023 (4)
    • ►  Juni 2023 (4)
    • ►  Maret 2023 (2)
    • ►  Februari 2023 (2)
    • ►  Januari 2023 (3)
  • ►  2022 (52)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  September 2022 (12)
    • ►  Agustus 2022 (2)
    • ►  Juli 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (4)
    • ►  Mei 2022 (9)
    • ►  April 2022 (7)
    • ►  Maret 2022 (5)
    • ►  Februari 2022 (6)
    • ►  Januari 2022 (3)
  • ►  2021 (35)
    • ►  Desember 2021 (5)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (4)
    • ►  Agustus 2021 (3)
    • ►  Juli 2021 (2)
    • ►  Juni 2021 (1)
    • ►  Mei 2021 (3)
    • ►  April 2021 (1)
    • ►  Maret 2021 (2)
    • ►  Februari 2021 (6)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (13)
    • ►  Desember 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (4)
    • ►  Juni 2020 (3)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (1)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (14)
    • ►  November 2019 (1)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (2)
    • ►  Juli 2019 (2)
    • ►  Maret 2019 (3)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (2)
  • ►  2018 (15)
    • ►  Desember 2018 (4)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Juli 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (3)
    • ►  Maret 2018 (3)
    • ►  Januari 2018 (2)
  • ►  2017 (20)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  Oktober 2017 (3)
    • ►  September 2017 (2)
    • ►  Agustus 2017 (4)
    • ►  Juli 2017 (4)
    • ►  Mei 2017 (3)
    • ►  Januari 2017 (2)
  • ►  2016 (65)
    • ►  Desember 2016 (2)
    • ►  September 2016 (2)
    • ►  Agustus 2016 (3)
    • ►  Juli 2016 (17)
    • ►  Juni 2016 (7)
    • ►  Mei 2016 (7)
    • ►  April 2016 (25)
    • ►  Februari 2016 (1)
    • ►  Januari 2016 (1)
  • ►  2015 (29)
    • ►  Desember 2015 (3)
    • ►  September 2015 (2)
    • ►  Agustus 2015 (13)
    • ►  Juli 2015 (4)
    • ►  Juni 2015 (1)
    • ►  Maret 2015 (2)
    • ►  Februari 2015 (1)
    • ►  Januari 2015 (3)
  • ►  2014 (29)
    • ►  Desember 2014 (8)
    • ►  November 2014 (6)
    • ►  Oktober 2014 (2)
    • ►  September 2014 (2)
    • ►  Juni 2014 (3)
    • ►  Mei 2014 (2)
    • ►  Februari 2014 (6)
  • ►  2013 (66)
    • ►  Desember 2013 (1)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  Oktober 2013 (7)
    • ►  September 2013 (7)
    • ►  Agustus 2013 (15)
    • ►  Juli 2013 (4)
    • ►  Juni 2013 (8)
    • ►  Mei 2013 (2)
    • ►  April 2013 (5)
    • ►  Februari 2013 (3)
    • ►  Januari 2013 (9)
  • ►  2012 (6)
    • ►  November 2012 (4)
    • ►  Oktober 2012 (2)
  • ►  2011 (8)
    • ►  Oktober 2011 (4)
    • ►  September 2011 (1)
    • ►  Maret 2011 (3)

Goodreads

Asri's books

Kejutan Kungkang
it was amazing
Kejutan Kungkang
by Andina Subarja
The Fine Print
liked it
The Fine Print
by Lauren Asher
Under One Roof
liked it
Under One Roof
by Ali Hazelwood
Lessons from Surah Yusuf
it was amazing
Lessons from Surah Yusuf
by Abu Ammaar Yasir Qadhi
Setelah membaca ini sampai selesai malam ini. Jadi paham kenapa Allah bilang kalau Kisah Yusuf ini salah satu kisah terbaik dalam Quran. Ada terlalu banyak pelajaran berharga dari kisah Yusuf. Dr. Yasir Qadhi mengawali buku ini dg sebab...
No Exit
liked it
No Exit
by Taylor Adams

goodreads.com

Blog Perempuan

Blog Perempuan

Cari Blog Ini

Kamu pengunjung ke

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © Journal Asri. Designed by OddThemes