Journal Asri

Buku ini saya beli untuk menemani perjalanan kerja ke Lombok, Nusa Tenggara Barat. Perjalanannya singkat sekali, Senin subuh saya di Soekarno Hatta, penerbangan saya sebetulnya jam 9.20 WIB, jadi kesempatan menunggu dari subuh, saya gunakan untuk mampir ke Periplus. Disana, setelah menimbang galau, akhirnya membeli buku ini. Daaaaan sebuah pilihan yang tepat, karena buku ini akan jadi satu buku terbaik yang saya baca di tahun ini :')

Buku ini sepertinya sedang cukup ramai di linimasa Instagram saya, tapi seperti biasa, saya selalu skip atau melewatkan caption atau review buku yang belum saya baca :'), kebiasaan ini gak hilang sampai sekarang. Saya senang membaca caption orang lain tentang buku yang sudah saya baca, tapi menunda baca kalau itu buku yang belum saya baca, nanti deh, baca lagi setelah saya tamat baca biar merasa relevan. 

Akhirnya, kesampaian baca buku ini diperjalanan kemarin. Baca ini lumayan ngebut, Rabu sore di perjalanan dari Bandara sampai Bandung, saya selesai membaca buku ini. Dengan agak penuh perjuangan karena sudah mulai gelap dan lampu travel tidak mungkin dinyalakan, hehe jadi senteran sekitar 30 menit untuk membaca buku ini. 

Salama dan Perang Suriah

Buku ini ditulis menggunakan point of view tokoh utamanya, Salama. Seorang mahasiswa 19 tahun yang menjadi paramedis di Rumah Sakit Zaytouna, Homs, Suriah. Salama sebetulnya masih mahasiswa tingkat satu ketika perang dimulai, ia bahkan belum banyak melakukan praktek-praktek medis, bahkan ia sebetulnya bukan kuliah kedokteran atau keperawatan, ia mengambil jurusan farmasi dan amat sangat tertarik pada pengobatan dari bahan herbal, ia hapal tiap tumbuhan dan kegunaannya untuk tubuh manusia Namun karena tak banyak paramedis yang tersisa ditengah perang, ia akhirnya menjadi garda depan bersama paramedis lain yang tersisa di kota tersebut. 

Perang Suriah dan awal mula perang tersebut berkecamuk menjadi latar penting dalam buku ini. Zoulfa Katouh, sang penulis, memang menuliskan di akhir buku kalau ia ingin menjelaskan pada dunia tentang apa yang terjadi di Suriah. Tentang bagaimana Salama tinggal hanya dengan Layla, sang sahabat yang juga kakak iparnya. Ayah dan kakaknya, dokter ternama di kota Homs, ditangkap tentara pemerintah karena mengikuti aksi unjuk rasa. Sang Ibu, tewas naas karena bom, tepat di rumahnya. 

Sejak awal buku, kita diajak mengikuti trauma yang dihadapi Salama dan bagaimana ia berjuang untuk melakukan yang terbaik untuknya, Layla dan calon keponakannya agar bisa memiliki kehidupan yang lebih baik di luar Suriah. 

Salama dan Kenan

Tak disangka-sangka, buku ini juga menawarkan genre romansa yang rasanya agak sulit dibayangkan mengingat kondisi semua orang yang sedang sulit saat perang. 

Salama bertemu Kenan, seorang pemuda yang membawanya pergi ke rumahnya untuk melakukan operasi darurat untuk adiknya. Saat operasi selesai, kerusuhan terjadi di luar rumah Kenan, Ia terpaksa harus menginap di rumah Kenan bersama dua orang adiknya yang lain. 

Saat itulah Salama menyadari bahwa Kenan adalah pemuda yang hampir saja menjadi suaminya, andai perang tak terjadi. Setahun sebelumnya, keluarga mereka berdua hampir bertemu untuk membicarakan pernikahan, namun hal tersebut tak pernah terjadi. 

Sejak saat itu Salama dan Kenan menjadi tak terpisahkan. Menarik sekali bagaimana kehadiran Kenan bisa memberikan warna dalam kehidupan Salama. 

Keinginan untuk pergi dari Suriah kali ini jauh lebih besar lagi, namun Salama tak hanya ingin menyelamatkan dirinya dan Layla. Ia ingin Kenan dan adik-adiknya ikut. 

Namun saat itu pula konflik terjadi. Kenan tak mau pergi meninggalkan tanah air tercintanya. 

Salama dan Layla

Tokoh penting dalam buku ini, juga tokoh penting dalam buku ini adalah Layla. Sahabat Salama sejak kecil. Layla menikah dengan Hamza, kakak Salama dan otomatis menjadi tanggung jawab Salama ketika Hamza ditangkap tentara pemerintah. Layla sedang hamil ketika ditinggal Hamza. 

Trauma dengan kondisi perang dan kondisi kehamilannya, Layla tak pernah keluar dari rumah. Salama yang bekerja dan melakukan kegiatan lainnya. 

Layla selalu menjadi teman cerita Salama dalam suka dan duka. Rumah yang Salama tinggali sekarang adalah rumah Layla dan Hamza. Salama pergi dari rumahnya sejak Ibunya meninggal. 

---

Ada beberapa alasan mengapa buku ini jadi salah satu buku terbaik yang saya baca di tahun ini:

1. Mengenalkan saya pada Perang Suriah

Perang Suriah merupakan perang yang sering kali saya dengar namun tak pernah benar-benar saya tahu mengapa perang tersebut bisa terjadi. Setelah membaca buku ini, saya tak berhenti-hentinya googling dan membaca kisah perang Suriah yang sungguh memilukan. Saya tidak terbayang jika kondisi tersebut terjadi di Indonesia. Apa yang terjadi kalau waktu orde baru, Soeharto tak mundur dan membuat kondisi di Indonesia sekacau Suriah? Mengerikan sekali rasanya membayangkannya. Gara-gara buku ini juga, saya akhirnya membeli sebuah buku, The Bok Collectors of Daraya, sebuah buku yang menceritakan kisah empat puluh orang yang mengumpulkan buku-buku yang tersisa setelah bom meledak di kota mereka.

2. Kepedihan Salama sebagai korban perang

Buku ini benar-benar menggambarkan dengan baik betapa perihnya hidup di tengah peperangan. Melihat sarana prasarana, rumah, fasilitas umum hancur is one thing, tapi kehancuran kehidupan seseorang yang tak terlihat? mungkin dampaknya lebih fantastis, membaca kisah Salama, bisa jadi sarana untuk kita memahami bagaimana perang bisa menghantui hidup seseorang. Menhancurkannya secara perlahan, dan perlu bertahun-tahun waktu untuk kembali pulih.

3. Kisah Salama dan Kenan

Kisah Salama dan Kenan sebetulnya membuat saya agak deg-degan. Romance ditengah perang :') Saya sudah siap dengan ending apapun yang ditulis untuk Salama dan Kenan. Namun entah itu ending yang menyenangkan atau menyedihkan, saya jatuh cinta dengan kisah mereka sejak awal dan sepanjang prosesnya di buku ini :')

---

Buku As Long As The Lemon Tree Grows saat ini sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia! Kamu bisa beli di marketplace atau toko buku kesukaan kamu!

Setelah sekian lama ada di wishlish saya, akhir pekan lalu akhirnya saya memboyong buku ini ke rumah. Jumat kemarin saya mampir ke Periplus, dan sedang ada diskon lumayan besar untuk beberapa buku pilihan. Salah satunya buku ini; Manabeshima Island Japan, One Island, twi months, one minicar, sixty crabs, eighty bites and fifty shots of shochu karya Florent Chavouet. Dari harga aslinya yang bikin saya urung beli kala itu, 318.000, saya jadi bayar sekitar 110.000 saja di Periplus Bandung. 

Jadi buku ini isinya tentang apa?

Buku ini berisi pengalaman penulis di sebuah pulau bernama Manabe. Ia sebelumnya telah berkeliling Jepang namun lebih banyak di daerah perkotaan; salah satunya Tokyo, penulis juga membuat Graphic Travels berjudul Tokyo on Foot yang berisi pengalamannya di Tokyo. Ia merasa perlu menjelajahi daerah Jepang lainnya yang justru lebih besar dari pada daerah kota-nya, karena Jepang merupakan negara kepulauan. Ia akhirnya memilih pulau kecil berpenghuni yang tetap aksesible, dan tidak terlalu crowded dengan aktivitas tourism. Dipilihlah Manabeshima. 

Ada banyak alasan kenapa saya dangat suka buku ini, diantaranya adalah:

1. Ilustrasi yang sangat detail dan indah. Chavouet jelas punya bakat luar biasa dalam mengilustrasikan keseharian yang ia alami di Manabe :'). It's so beautiful

2. Observasi yang jujur dan teliti. Selain lewat gambar, Chavouet juga menuliskan kesan dan pengalamannya. Tulisan ini jujur bikin penasaran dan ditulis dengan gaya observasi tanpa ditambah bumbu 'perasaan' yang ia rasakan sepanjang perjalanan. Tanpa banyak 'refleksi' namun ini justru jadi hal yang menarik dan authentic. Saya merasa seperti sedang benar-benar ada di pulau tersebut. Walaupun Chevouet tidak menuliskan ia sedih di akhir buku, jadinya saya yang sedih berpisah dengan orang-orang yang ditulis dan digambar di buku ini. 

3. Peta! yap, peta. Chavouet suka sekali menggambar peta. Ia membuat peta perjalanan di laut, peta desa, peta Manabe yang juga jadi bonus poster super besar yang ada di bagian akhir buku. Petanya juga dibuat dengan gaya ilustrasi yang Chavouet banget! 

4. Buku ini berhasil membuat saya jadi kembali membuka sketchbook dan alat gambar saya untuk mulai menggambar hal-hal sederhana yang saya lihat :')

Saya lampirkan beberapa halaman dari buku ini yang sangat memanjakan mata ya! Buku ini jelas salah satu buku yang akan jadi buku favorit saya, dan membuat saya ingin membaca (dan membeli) Graphic Travel Memoars atau Illustrated Journey lainnya :') Harga buku genre ini pasti mahal dan sebetulnya sebanding dengan gambar yang akhirnya jadi miliki kita di rumah. Jadi sepertinya harus rajin menabung agar bisa membeli buku-buku genre ini. 











Menjalani akhir pekan yang normal setelah sebulan penuh akhir pekan diisi dengan bekerja-bekerja-bekerja, rasanya menyenangkan sekali!

Bulan Mei kemarin, hampir tiap akhir pekan saya berada di Bogor untuk bekerja, biasanya Sabtu malam baru bisa pulang ke Cimahi, Minggu kelelahan baru bisa bangun siang, Senin sudah kembali bekerja, teruus begitu, ada satu pekan yang bahkan Sabtu Minggu diterabas terus bekerja, Senin judah harus kembali standby, sudah bilang izin setengah hari pun, tetap tidak bisa benar-benar 'izin' dari kerusuhan pekerjaan haha! Kalau dituliskan rasanya memang melelahkan sekali, tapi alhamdulillah terlewati dan dilewati bersama teman-teman kerja yang menyenangkan. Sehingga walaupun lelah dan bawaannya ingin mengeluh, tetap bisa terlewati. 

Hari ini Saya, Mas Har dan Rana akhirnya bisa menikmati akhir pekan normal kami seperti waktu-waktu sebelumnya. Sarapan garang asem, dilanjutkan pergi Taman Hutan Kota Babakan Siliwangi, tempat favorit Rana se-Bandung Raya hehe, beneran super duper happy tiap diajak ke Baksil. Mampir ke Salman untuk Sholat Dzuhur dan cari makanan sekitar ITB, lalu lanjut ke Gramedia Merdeka untuk menjemput Conan 102, ditutup mampir ke Baltos untuk belanja beberapa keperluan. 

Seharian ini juga saya membaca buku yang baru datang Jumat malam kemarin, buku preloved yang saya beli random karena murah :') tapi isinya gak bisa bikin berhenti baca.


Sjahrir; Peran Besar Bung Kecil. Buku setebal 258 halaman ini mampu menghipnotis saya sampai bisa mengacuhkan pesan-pesan di WhatsApp, absen buka medsos sampai terus baca sepanjang perjalanan Cimahi - Bandung - Cimahi. Sekarang belum habis sih :) masih setengahnya, entah akan dilanjutkan malam ini atau akan diselingin membaca Conan dulu, tapi cerita Sjahrir seru sekali :') 

Tiap-tiap baca buku sejarah atau tokoh yang namanya sering saya dengar di buku sejarah dulu tuh, saya sering ngucap: where have I've been siih, kok baru tahu kisah-kisah ini sekarang. Gara-gara baca buku ini juga saya jadi kepikiran mau mulai mengoleksi seri buku saku Tempo lainnya. Tidak banyak buku sejarah yang ditulis dengan gaya bahasa yang mengalir dan membuat pembacanya penasaran terus-menerus, tapi tim penulis Tempo bisa sekali menyajikan ini di buku Sjahrir. 

Sejak membaca Mirah dari Banda, saya penasaran ingin membaca kisah Hatta dan Sjahrir yang sempat diasingkan di Banda Neira, menarik sekali di buku ini dijelaskan bagaimana Sjahrir menjalani hari-hari di sebuah tempat pengasingan yang menurutnya adalah Surga :').

Lebih lanjut tentang buku ini nanti akan saya tulis di postingan terpisah ya setelah membaca hingga selesai! Selamat berakhir pekan! Semoga akhir pekanmu menyenangkan!

Akhir Pekan yang Normal dan menyenangkan yang sudah lama saya rindukan:

Rana di Baksil

Melamun di pelataran Salman

Menjemput Conan

Belanja di Baltos
Setelah sekian lama! Akhirnya menulis reviu di blog lagi hehe :') 

Buku yang baru saja selesai saya baca kali ini adalah Angsa dan Kelelawar, buku terbaru Keigo sensei yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Buku ini merupakan buku ke-7 Keigo yang saya baca. Judul aslinya 白鳥とコウモリ atau Hakucho to Komori. Edisi Bahasa Indonesia buku ini kembali diterbitkan oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama dan diterjemahkan oleh Eri Pramestiningtyas. 

Buku setebal 560 halaman ini berhasil saya baca dalam waktu satu minggu, cukup lama dibandingkan buku-buku Keigo Higashino lain yang saya baca (saya masih ingat membaca salah satu bukunya hanya dalam waktu 2 hari 1 malam saja saking serunya). Apakah ini berarti bukunya kurang seru dibanding yang lain? Hmmm mari kita ulas. 

Blurb:

Buku ini diawali dengan temuan mayat seorang pengacara di Tokyo yang teridentifikasi bernama Shiraishi Kensuke. Kita akan melihat Godai dan Nakamachi, detektif yang bertugas menyelesaikan kasus ini bertemu dengan orang-orang yang terakhir bertemu korban dan dekat dengan korban, seperti sedang ikut menyelidiki kasus dari awal, hingga akhirnya bertemu dengan Kuraki Tatsuro, seorang pria tua yang tinggal sendirian di Perfektur Aichi, jauh dari Tokyo yang dengan mudahnya mengakui kejahatannya membunuh Shiraishi.

Pihak kepolisian, jaksa, pengacara dan pihak-pihak yang terlibat dalam kasus ini merasa tidak ada lagi yang perlu diselidiki karena kesaksian korban bisa menjadi bukti dalam persidangan, namun berbeda halnya dengan Shiraishi Mirei, anak perempuan Kensuke dan Kuraki Kazuma, anak laki-laki Tatsuro yang tinggal di Tokyo. Keduanya merasakan adanya keanehan dalam kasus ini. 

Mirei merasa motif pembunuhan yang diutarakan Tatsuro, tidak cocok dengan kepribadian Ayahnya. Sementara Kazuma merasa ayahnya tidak akan mungkin melakukan pembunuhan apapun alasannya. Berangkan tadi keanehan ini dan rasa penasaran untuk mengetahui kebenaran dibalik kasus ini, Mirei dan Kazuma melakukan penyelidikan sendiri-sendiri, hingga akhirnya di satu titik, mereka bertemu dan bekerja sama untuk menyelesaikan kasus ini.

Tidak masuk list buku Keigo favorit saya

Sejujurnya, dibandingkan buku Keigo lainnya, saya tak begitu dibuat penasaran dengan ending dan pelaku sesungguhnya dalam kasus kali ini. Walaupun tidak bisa secara detail menebak siapa pelakunya, namun saya bisa membayangkan alasan-alasan dan motif pelaku serta gambaran besar kasus yang pada akhirnya benar terbukti ketika membaca sampai akhir. 

Tetap menjadi bacaan yang menarik, namun bukan buku terbaik Keigo (setidaknya buat saya). Dan saya jelas tidak akan merekomendasikan buku ini untuk pembaca yang belum pernah membaca buku keigo sebelumnya. Saya akan lebih merekomendasikan buku-buku Detective Kaga atau Detective Galileo hehe. 

Rasanya buku ini terlalu tebal untuk kisah Tatsuro dan Shiraishi :') tapi tentu ini sangat subjektif yaaaa, cukup lama buat saya untuk menemukan titik ngebut baca karena penasaran bangeeet. Biasanya langsung ketemu di awal-awal, namun untuk buku ini, saya harus membaca hingga tengah buku, tepat disaat Mirei bertemu dengan Kazuma baru akhirnya baca dengan kecepatan penuh.  

Hal Menarik yang membuat buku ini bisa tetap jadi pertimbangan kamu untuk lanjut baca buku ini:

1. Dua kasus yang berhubungan
Salah satu hal yang membuat buku ini begitu tebal adalah kaitan kasus pembunuhan Shiraishi di 2017 dengan kasus pembunuhan yang mengakibatkan seseorang menjadi korban salah tangkap dan korban memilih gantung diri di penjara di tahun 80an, kasus ini telah kadaluarsa dan penyelidikannya cukup menyusahkan semua orang di buku ini. 

Lumayan seru menghubungkan apa yang terjadi di masa lalu hingga berdampak pada sebuah pembunuhan 30 tahun setelahnya

2. Mirei dan Kazuma
Mirei dan Kazuma, anak korban dan anak tersangka, tidak menelan begitu saja fakta-fakta yang mereka dapatkan dari polisi, mereka merasa ada yang salah hingga akhirnya melakukan penyelidikan mandiri, bertemu dengan orang-orang dari masa lampau kedua ayah mereka. 

Sebagai seseorang yang juga gemar membaca romance, saya berharap ada banyak cerita tentang Mirei dan Kazuma hahaaa, tapi tentu tidak akan didapatkan di buku ini. Setidaknya endingnya lumayan menangkan saya yang suka penasaran apa sih yang terjadi pada tokoh utama dalam buku ini. 

3. Pesan tersirat dari Angsa dan Kelelawar
Menemukan kebenaran tentunya jadi keinginan Mirei dan Kazuma disini, namun ketika kebenaran yang sesungguhnya muncul, butuh waktu buat semua orang untuk menerima kebenaran ini. Saya suka bagaimana di bagian akhir buku, penulis memberikan gambaran cara Mirei berproses dengan kebenaran yang ia temukan.

Saya juga suka bagaimana penulis seolah memberikan pesan bahwa berkorban untuk orang lain dengan menutupi kebenaran belum tentu jadi solusi, bahkan banyakan bikin masalah baru. Dan ketika kita mengorbankan diri untuk apa yang kita anggap benar, jangan - jangan ada orang terdekat kita yang akhirnya jadi korban baru dari tindakan kita. 

Rating untuk Angsa dan Kelelawar

Saya pribadi memberikan 3,5 dari 5 bintang untuk buku ini, tapi di goodreads ratingnya lumayan loh! 4.12, jadi mungkin saya-nya saja yang tidak terlalu cocok dengan cerita di buku ini! tetap bisa jadi pilihan bahan bacaan yang lumayan menyegarkan di sela-sela kesibukan!

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

POPULAR POSTS

  • [Review Asri] Atomic Habits - James Clear
  • Review Asri: Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom
  • Review Asri - Tempat Terbaik di Dunia karya Roanne Van Voorst
  • [Review Asri] Kemarau - A.A. Navis
  • Review Asri: As Long As The Lemon Trees Grow karya Zoulfa Katouh
  • Review Asri: Pengantin-pengantin Loki Tua karya Yusi Avianto Pareanom
  • Review Buku Angsa dan Kelelawar karya Keigo Higashino
  • Main ke Toko Buku Pelagia Bandung
  • Review Asri: Minimarket yang Merepotkan karya Kim Ho-yeon
  • Review Asri: Manabeshima Island Japan karya Florent Chavouet

Arsip Blog

  • ►  2025 (17)
    • ►  Mei 2025 (4)
    • ►  April 2025 (2)
    • ►  Maret 2025 (2)
    • ►  Februari 2025 (3)
    • ►  Januari 2025 (6)
  • ►  2024 (8)
    • ►  November 2024 (1)
    • ►  Agustus 2024 (1)
    • ►  Juni 2024 (1)
    • ►  Mei 2024 (2)
    • ►  April 2024 (3)
  • ▼  2023 (17)
    • ►  November 2023 (1)
    • ►  September 2023 (1)
    • ►  Juli 2023 (4)
    • ▼  Juni 2023 (4)
      • Review Asri: As Long As The Lemon Trees Grow karya...
      • Review Asri: Manabeshima Island Japan karya Floren...
      • Membaca Sjahrir dan Sebuah Akhir Pekan yang Normal
      • Review Buku Angsa dan Kelelawar karya Keigo Higashino
    • ►  Maret 2023 (2)
    • ►  Februari 2023 (2)
    • ►  Januari 2023 (3)
  • ►  2022 (52)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  September 2022 (12)
    • ►  Agustus 2022 (2)
    • ►  Juli 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (4)
    • ►  Mei 2022 (9)
    • ►  April 2022 (7)
    • ►  Maret 2022 (5)
    • ►  Februari 2022 (6)
    • ►  Januari 2022 (3)
  • ►  2021 (35)
    • ►  Desember 2021 (5)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (4)
    • ►  Agustus 2021 (3)
    • ►  Juli 2021 (2)
    • ►  Juni 2021 (1)
    • ►  Mei 2021 (3)
    • ►  April 2021 (1)
    • ►  Maret 2021 (2)
    • ►  Februari 2021 (6)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (13)
    • ►  Desember 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (4)
    • ►  Juni 2020 (3)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (1)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (14)
    • ►  November 2019 (1)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (2)
    • ►  Juli 2019 (2)
    • ►  Maret 2019 (3)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (2)
  • ►  2018 (15)
    • ►  Desember 2018 (4)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Juli 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (3)
    • ►  Maret 2018 (3)
    • ►  Januari 2018 (2)
  • ►  2017 (20)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  Oktober 2017 (3)
    • ►  September 2017 (2)
    • ►  Agustus 2017 (4)
    • ►  Juli 2017 (4)
    • ►  Mei 2017 (3)
    • ►  Januari 2017 (2)
  • ►  2016 (65)
    • ►  Desember 2016 (2)
    • ►  September 2016 (2)
    • ►  Agustus 2016 (3)
    • ►  Juli 2016 (17)
    • ►  Juni 2016 (7)
    • ►  Mei 2016 (7)
    • ►  April 2016 (25)
    • ►  Februari 2016 (1)
    • ►  Januari 2016 (1)
  • ►  2015 (29)
    • ►  Desember 2015 (3)
    • ►  September 2015 (2)
    • ►  Agustus 2015 (13)
    • ►  Juli 2015 (4)
    • ►  Juni 2015 (1)
    • ►  Maret 2015 (2)
    • ►  Februari 2015 (1)
    • ►  Januari 2015 (3)
  • ►  2014 (29)
    • ►  Desember 2014 (8)
    • ►  November 2014 (6)
    • ►  Oktober 2014 (2)
    • ►  September 2014 (2)
    • ►  Juni 2014 (3)
    • ►  Mei 2014 (2)
    • ►  Februari 2014 (6)
  • ►  2013 (66)
    • ►  Desember 2013 (1)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  Oktober 2013 (7)
    • ►  September 2013 (7)
    • ►  Agustus 2013 (15)
    • ►  Juli 2013 (4)
    • ►  Juni 2013 (8)
    • ►  Mei 2013 (2)
    • ►  April 2013 (5)
    • ►  Februari 2013 (3)
    • ►  Januari 2013 (9)
  • ►  2012 (6)
    • ►  November 2012 (4)
    • ►  Oktober 2012 (2)
  • ►  2011 (8)
    • ►  Oktober 2011 (4)
    • ►  September 2011 (1)
    • ►  Maret 2011 (3)

Goodreads

Asri's books

Kejutan Kungkang
it was amazing
Kejutan Kungkang
by Andina Subarja
The Fine Print
liked it
The Fine Print
by Lauren Asher
Under One Roof
liked it
Under One Roof
by Ali Hazelwood
Lessons from Surah Yusuf
it was amazing
Lessons from Surah Yusuf
by Abu Ammaar Yasir Qadhi
Setelah membaca ini sampai selesai malam ini. Jadi paham kenapa Allah bilang kalau Kisah Yusuf ini salah satu kisah terbaik dalam Quran. Ada terlalu banyak pelajaran berharga dari kisah Yusuf. Dr. Yasir Qadhi mengawali buku ini dg sebab...
No Exit
liked it
No Exit
by Taylor Adams

goodreads.com

Blog Perempuan

Blog Perempuan

Cari Blog Ini

Kamu pengunjung ke

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © Journal Asri. Designed by OddThemes