Journal Asri


Setelah membaca Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya, saya mengakui dengan terbuka kalau saya jadi kecanduan membaca tulisan-tulisan Dea Anugrah. Lewat buku ini saya menemukan banyak sekali jawaban dari beberapa pertanyaan yang saya cari. Unik sebetulnya menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan (yang kebanyakan tentang kehidupan) dari sebuah kumpulain esai, kumpulan tulisan dari seorang wartawan. Tapi dalam hidup ini, memang semua orang adalah murid dan semua orang adalah guru bukan?

Membaca buku ini, saya merasa menjadi seorang murid yang belajar. Belajar banyak. 

Kisah-Kisah Personal

Buku ini sedikit lebih tipis dari buku pertama, 130 halaman saja. Total esainya pun lebih sedikit, 17 di buku ini, di buku sebelumnya ada 20 total tulisan. Namun buat saya, tulisan-tulisan di buku ini jauh lebih personal. Karena memang banyak hal personal juga yang dibagikan Dea di buku ini. Dari sedikit cerita tentang sosok ayahnya di tulisan pertama, hingga kisah sentimental perjalanan awal Dea sebagai seorang Ayah di tulisan terakhir. 

Selain dua tulisan diatas, ada beberapa tulisan yang juga personal. Seperti masa awal kuliah di tulisan berjudul Kalau Nasi Sudah Menjadi Bubur, mungkin tulisan itu rasanya personal juga buat saya, yang seperti Dea, pernah coba ikut KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) di awal masa kuliah, hihi, namun kenangan saya lebih pendek lagi, hanya ikut DM (Daurah Marhalah?) semacam on boarding yang luar biasa membuat saya mengantuk hingga saya ketiduran. Akibat ketiduran itu, saya dihukum lari keliling lapangan! (dihukum lari di usia kuliah!) Kalau dipikir-pikir lagi, sekarang saya tahu kenapa saya mundur waktu itu. 

Namun diantara semua tulisan dibuku ini, yang amat sangat membekas buat saya adalah tulisan berjudul Rumah = Nostalgi + Fantasi. Lewat tulisan ini Dea menuliskan sebuah hipotesis mengapa ia enggan pulang ke rumah. Mengapa mudik adalah tradisi yang tidak ia tunggu-tunggu. 

Mungkin sebabnya adalah kemarahan. Saya marah karena pernah terpaksa menumpang tinggal di rumah orang lain, terpisah dari semua anggota keluarga. (Hal. 62)

Saya menandai paragraf ini, tulisan ini memperlihatkan sebuah pemahaman yang penting buat Dea, yang paham akar masalah dalam dirinya, memahami inner child yang bisa membuat persepsinya tentang Rumah jadi berbeda dengan kebanyakan orang.

Tulisan ini spesial buat saya karena saya pernah merasakan hal ini, dalam kasus saya, saya tak sampai takut pulang atau menghindari keluarga. Ketika kecil dulu, keluarga saya pernah berada di masa-masa kelam dimana Bapak dan Ibu saya harus segera hijrah ke Cimahi, sebelumnya kami tinggal di Cirebon. Saya yang waktu itu kelas 5 SD, ditinggal, dititip dengan embah saya yang sudah sangat sepuh untuk menyelesaikan sekolah saya. 

Saya jadi anak perempuan yang amat nakal, tak pernah belajar, tak pernah mengerjakan PR, datang ke sekolah selalu mepet bel masuk, saya bahkan pernah mencuri uang embah saya untuk jajan (jajan apa saya lupa), tapi ada perasaan ditinggalkan yang membuat saya akhirnya mencari perhatian orang tua saya dengan cara lain. 

Baru ketika saya sebesar ini, saya tau sulitnya mencari uang, saya punya anak. Saya sadar keputusan yang orang tua saya ambil juga bukan keputusan yang mudah. 

Ketika saya akhirnya pindah ke Cimahi, saya merasa jadi orang paling bodoh di dunia. Berada disekitar sepupu saya yang disekolahkan orang tuanya di sekolah swasta terbaik, rajin mengaji dan bisa Bahasa Inggris, diluar saya tak punya teman, saya tak terlalu pandai bergaul waktu kecil, mungkin salah satu penyebabnya karena saya minder. Saya tak cerdas dan tak punya uang. Rumah saya kecil, sangat kecil, hanya punya satu kamar dan harus berbagi dengan adik-adik saya. 

Membaca tulisan ini membangkitkan semua kenangan itu, di akhir tulisan saya membubuhkan tambahan komentar. Rasanya seperti membaca fiksi (karena mengalir begitu indah, dan rasanya seperti membaca kisah saya sendiri. 

Saat ini, saya amat dekat dengan keluarga saya. Namun saya juga paham benar ada beberapa hal yang tersisa dari masa lalu yang membuat saya punya kebiasaan yang agak aneh sekarang. Contoh paling tampak: tak pernah pikir panjang dalam membeli buku, semahal apapun itu dan betapa itu uang terakhir di dompet saya pun, akan saya gunakan untuk membeli buku karena buat saya membeli buku adalah kemewahan, membeli buku adalah bentuk paling tinggi saya tidak merasa miskin. Hal yang tidak bisa saya lakukan ketika kecil, dan tidak bisa orang tua saya lakukan untuk saya kala itu. 

Politik

Selain hal-hal personal yang begitu dekat dengan saya. Ada beberapa tulisan di buku ini yang berkaitan dengan politik. Kita akan mendengar cerita tentang distrik dan kritik Dea pada pejabat yang seringkali berjarak dengan masyarakat yang tinggal di kampung-kampung. Judul buku ini, Kenapa Kita Tidak Berdansa, adalah tulisan Dea saat Jakarta berulang tahun. Ia menuliskan beberapa poin terkait polarisasi politik yang terjadi di masa pilpres dan pilgub DKI juga. Ah, ada juga catatan Dea ketika sedang kerja lapangan saat terjadi demo besar di Jakarta pasca Pilpres 2019. 

Saya ingat ketika pilpres 2019 saya juga ada di Jakarta, masa-masa mengerikan itu agak terasa karena kantor saya kebetulan ada di Menteng, hanya berjarak dua halte bus saja dari kantor KPU. Demo dan kerumunan orang lewat biasa saya lihat. 

Menulis dan Membaca

Asal Usul Penderitaan dan Yang Menarik dan Tidak Menarik dari Pulang adalah dua tulisan yang saya tandai khusus karena berkaitan dengan dua hobi saya saat ini: menulis dan membaca. 

Tulisan pertama, Asal Usul Penderitaan, berangkat dari sebuah tantangan dan pertanyaan tentang menulis. Sebetulnya, apa tujuan kita dalam menulis? (dalam buku ini, apa tujuan Dea dalam menulis).

Saya senang membayangkan bahwa saya menulis untuk meneruskan kebaikan buku-buku yang pernah saya baca. Ada harapan kelak, entah dari mana, tulisan-tulisan saya menyentuh seseorang dan mengubah caranya memandang dunia. (paragraf 2, hal. 48)

Tetapi tulisan tak sepatutnya dibuat dengan tujuan mengubah orang. Saya baru menyadari bahwa itulah sumber penderitaan saya dalam tiga pekan belakangan. Kelewat ingin menyampaikan bermacam-macam urusan, saya lupa bahwa aturan utama dalam menulis bukanlah menanamkan ide di kepala orang. (paragraf 3, hal. 49).

Membaca tulisan ini justru membantu saya mendefinisikan ulang, sebetulnya apa tujuan saya menulis? Saya bukan penulis seperti Dea, saya tidak pernah menerbitkan buku. Saya hanya menulis di blog saya secara reguler dan kebanyakan bercerita tentang buku-buku yang saya baca, karena keseruan dalam hidup saya sekarang kebanyakan saya dapatkan dari membaca. Namun tulisan ini membantu saya, untuk juga mencari tahu tujuan saya menulis. 

Yang Menarik dan Tidak Menarik dari Pulang, tulisan kedua yang saya sebutkan tadi, adalah tulisan yang mungkin paling dekat dan paling jauh dengan saya di buku ini. Paling dekat karena tulisan ini adalah sebuah review buku. Satu hal yang saya juga lakukan selama ini baik di Instagram maupun di blog ini. Namun juga paling jauh karena saya sadar diri akan kualitas review saya dan Dea. Mengkritisi tulisan atau buku buat saya adalah hal yang sulit dilakukan, biasanya saya hanya menuliskan kalau buku ini tidak relevan untuk saya saat ini. Mungkin saya takut mengkritisi penulis (?) Mungkin ya, atau mungkin saya memang tidak punya cukup banyak referensi bagaimana mengkritisi sebuah karya tapi juga memberikan referensi yang apik agar kritik tersebut berdasar. 

Intinya, saya jadi banyak belajar, saya jadi haus menuliskan lagi review yang tak sekedar pengalaman membaca saya lalu sudah selesai, tapi juga ingin mengaitkan bacaan tersebut dengan pengalaman saya, atau mungkin dengan bacaan lainnya. Karena saya suka membaca tulisan Yang Menarik dan Tidak Menarik dari Pulang, dan saya ingin bisa menulis sebagus ini suatu hari nanti. 

Semoga, ya semoga.


Rasanya saya sudah lama sekali tidak membaca kumpulan esai. April 2022 saya membuka sebuah buku yang masih tersegel di rak buku. Buku ini sudah saya beli sejak akhir tahun lalu, satu paket dengan buku keduanya yang juga berisi kumpulan esai yang ditulis Dea Anugrah, seorang penulis dan pewarta yang cukup terkenal untuk sebagian besar kalangan muda Indonesia yang hobi bermain sosial media, terutama Twitter. 

Buku ini berjudul Hidup Begitu Indah dan Hanya itu yang Kita Punya. Berisi 20 kumpulan esai yang ditulis Dea periode 2015-2018. Esai-esai dalam buku ini kebanyakan dipublikasikan di Tirto.id kecuali satu esai berjudul Efek Proust yang diterbitkan oleh Pindai.


Menemukan Buku dalam Buku

Satu hal yang langsung saya sadari ketika selesai membaca buku ini adalah betapa banyak referensi bacaan yang saya temukan sepanjang membaca. Kebanyakan adalah karya sastra tenar (--yang sayangnya belum pernah saya baca), atau nama-nama yang sama sekali baru buat saya. Kamu bisa menemukan satu esai yang khusus membahas Ernest Hemmingway, satu cerita yang dikaitkan pada tokoh dalam buku Gabriel Garcia Marquez, kisah tentang para penulis yang saling mengejek penulis lainnya, hingga bagaimana tanggapan para penulis tentang Masturbasi. 

Selain salut pada betapa luasnya ragam bacaan fiksi Dea Anugrah, saya juga menggaris bawahi betapa banyak referensi non-fiksi, jurnal, bahkan cerita pendek yang saya temukan dalam buku ini. Rasanya menyenangkan membaca buku yang banyak bercerita tentang penulis atau memberikan referensi buku-buku lainnya buat saya. Ada dua buku yang paling membuat saya penasaran dan masuk wishlist buku saya sekarang. The Old Man and The Sea karya Ernest Hemmingway dan In Search of Lost Time karya Marcel Proust. Buku yang terakhir saya sebut mungkin baru saya baca nanti, mengingat di buku ini pun disebutkan sebagai salah satu buku dan tebal (dan berat) :'), namun buku pertama akan saya masukkan list bacaan tahun ini.

Esai Favorit: Kisah Rumphius

Dari 20 esai di buku ini, favorit saya adalah esai berjudul Orang Buta Berpandangan Jauh. Esai ke-8 di halaman 63. Lewat esai ini saya seperti membaca dongeng tentang seorang Ahli Botani bernama Georg Eberhard Rumpf, seorang warga negara Jerman yang melamar menjadi serdadu VOC dan ditugaskan di Ambon. Ia jatuh cinta pada alam Maluku dan memiliki sebuah misi untuk mencatat beragam flora yang ada di kepulauan tempatnya tinggal. 

Esai ini lebih mirip biografi singkat Rumphius yang ditulis oleh Dea untuk pembaca, lewat tulisan ini saya mengenal Rumpf untuk pertama kalinya. Tulisan ini juga tulisan yang amat relevan dengan judul buku yang dipilih Dea untuk tulisan terakhirnya (tulisan ke-20). Semangat pantang menyerah Rumpf untuk terus melakukan yang terbaik yang ia bisa, to live his life to the fullest membuat saya teringat film Soul :). Dan kembali mengingatkan saya kalau Hidup (yang singkat ini) Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya. 

Pengalaman Baru

Buku 163 halaman ini mampu membuat saya membaca hal-hal baru yang belum pernah saya tahu sebelumnya. Sebut saja mengapa sekarang Pisang Cavendish merajai dunia, juga tentang nasib Media Sosial saya setelah saya mati suatu hari nanti, hingga pengalaman membaca tentang Bruno. 

Karena bentuknya esai-esai pendek, saya cukup mudah membaca semuanya dalam waktu singkat. Cara Dea menuliskan esai-esai ini menjadi narasi yang mengalir juga menjadi faktor mengapa buku ini sangat asyik dibaca. Saat ini saya sedang membaca buku kedua yang juga berisi kumpulan esai Dea, berjudul Kenapa Kita Tidak Berdansa. 

Sangat saya rekomendasikan untuk dibaca! terutama jika kamu suka membaca esai dan menikmati narasi cerita yang baik. Membaca buku ini rasanya seperti membaca cerpen saja :))).

Informasi Buku

Judul: Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya
Penulis: Dea Anugrah
ISBN: 978-602-7760-47-9
Jumlah Halaman: v + 163 hal
Ukuran Buku: 13 x 19 cm
Penerbit: Shira Media 
Cetakan: I, 2021
Harga: Rp. 50,000 (Harga Normal non diskon)
Beli online bukunya disini untuk harga diskon

 

Animal Farm - ©Wanderbook_

Blurb

Buku ini berkisah tentang hewan-hewan di pertenakan Manor yang melakukan pemberontakan karena menanggap Pak Manor, manusia pemilik dan pengelola peternakan ini berlaku tidak adil dan semena-mena pada hewan-hewan di peternakan. Hewan-hewan disini merasa diperalat, diambil tenaganya, susunya, telur dan dagingnya, tapi yang menikmati hanya manusia, apa yang mereka dapatkan (makanan dan kenyamanan) tak sebanding dengan apa yang mereka berikan. Bagi mereka manusia adalah mahluk yang sadis, tercela dan tidak layak untuk dijadikan teman. 

Hewan-hewan di peternakan ini pada akhirnya berhasil menyingkirkan Pak Manor dibawah komando Snowball dan Napoleon, dua babi yang banyak memberikan pemikiran terkait revolusi atau pembaharuan di Peternakan. Setelah berdiskusi, semua hewan sepakat membuat semacam dasar 'peternakan', dimana isinya diantaranya adalah: dilarang mabuk-mabukan, semua hewan setara dan dilarang berteman dengan manusia. 

Snowball mengambil peran pemimpin diawal buku, hingga akhirnya terjadi konflik antara Snowball dan Napoleon terkait ide pembangunan Kincir Angin di peternakan. Konflik ini nantinya akan berdampak panjang, kita diajak melihat juga bagaimana kondisi peternakan dibawah pimpinan Napoleon. 

Membaca Orwell Pertama Kali

Animal Farm adalah buku George Orwell pertama yang saya baca. Meskipun sering kali mendengar tentang buku ini dari teman-teman gerakan ketika di kampus dulu, saya sama sekali tidak tertarik untuk membaca buku ini. Sampai akhirnya kemarin Sofa Literasi memilih buku ini sebagai buku yang di#BacaBarengan di bulan April. 

Impresi membaca buku Orwell buat saya cukup menyenangkan. Mungkin karena saya sama sekali tidak mencari tahu tentang background dibalik buku ini jadinya ketika membaca ya seperti membaca fabel biasa, walaupun ketika selesai membaca buku ini saya googling siapa sih tokoh-tokoh yang digambarkan hewan-hewan di buku ini. 

Ini juga pertama kalinya saya membaca buku bertema satire politik. Genre yang sama sekali asing buat saya. Sebagai buku yang pertama kali terbit tahun 1945, rasanya luar biasa sekali karena membaca buku ini masih saja relevan dengan kondisi saat ini. Meskipun tidak berkaitan dengan background buku ini. Saya sendiri lebih banyak mengaitkan dengan kondisi di Indonesia. Baik di Uni Soviet maupun disini, baik itu 1945 ataupun 2022, kita akan selalui menemui manusia seperti Snowball & Napoleon yang merasa kedudukannya lebih 'tinggi' karena lebih pandai dari orang-orang/ras lainnya, kita juga akan menemui tokoh Boxer yang selalu percaya apa kata pemerintah dan berakhir mengenaskan ditangan orang yang ia percaya, pun kita akan menemui orang-orang seperti Squealer, seorang juru bicara handal yang menjadi penyambung lidah orang-orang diatas sana dengan orang-orang dibawah. 

Lelah setelah membaca

Walaupun menyenangkan karena seperti membaca fabel, tetap saja membaca buku ini membuat saya merasa lelah :'), lelah karena overthinking jadinya. 

Diskusi Buku Animal Farm - Sofa Literasi April 2022

Ada satu pertanyaan menarik yang dibahas di diskusi buku Sofa Literasi kemarin. "Apa jadinya Animal Farm jika Snowball tetap memimpin? Apakah akan seperti Napoleon? Apakah akan lebih baik?".

Ini pertanyaan yang sangat menarik buat saya, buat semua orang juga saya rasa, karena buat saya pribadi pertanyaan ini adalah pertanyaan yang selalu ada dibenak semua orang merasa salah memilih, salah mengambil keputusan, salah menyimpan kepercayaan. Tapi saya setuju juga dengan beberapa pernyataan di diskusi kemarin yang bilang kalau belum tentu Snowball lebih baik dari Napoleon. Ia toh pada dasarnya merasa kalau rasnya (babi) adalah yang paling superior diantara semua binatang. 

Bacalah setidaknya sekali seumur hidup

Saya memberikan bintang 5 dari 5 untuk buku ini. Buku yang tipis tapi memberikan dampak yang luar biasa pada pembacanya. Layak terpilih menjadi satu dari 100 buku yang wajib dibaca sebelum kita mati. Jika teman-teman tak terlalu suka membaca isu politik pun, membaca buku ini tetap membuat kita memahami watak-watak manusia yang diwakili binatang-binatang di Animal Farm. 

Buku ini bisa dibaca di Gramedia Digital, saya membaca di GD. Selain di GD, ada juga versi eBook Bahasa Indonesianya di Rakata. Jika ingin membaca buku fisiknya, ada cukup banyak penerbit yang mengalih bahasakan buku ini. Ada penerbit Gramedia, Mizan, Kakatua dan ShiraMedia. 

Versi Bahasa Inggris buku ini bisa dibaca gratis loh karena sudah jadi public domain! Silakan berselancar di Internet untuk mencari versi ebook legal gratisnya ya!




"If you are grateful, I will surely give you more." - Quran 14:7

This ayat is one of my favorite ayat in The Qur'an and since I have limited knowledge about The Quran, it makes this ayah become more favorite for me. This ayah become more popular these days when people sharing quotes on their status and social media. People put the ayah on an aesthetic picture and it become even more powerful since the meaning is already beautiful. Honestly I did it too sometimes. I don't remember what on what occasion do I share it as a status, sometimes I just randomly pick some picture on pinterest and post it without any intension. Maybe it just a reminder to myself, to always be thankful for Allah's blessing, to not be greedy, to know that what I have today: a family, a healthy family, a healthy body, a chance to do what I love to do, enough foods to eat and not worrying what to eat for few days ahead is purely a blessing I often forget. 

I reread the ayah today from two books: Secret of Divine Love by A. Helwa and Revive Your Heart by Nouman Ali Khan. 

In the first book, Helwa give a notes on gratitude. "True gratitude or shukr, is not based on your circumstance but based on the state of your spirit. Our gratitude does not make God more generoud; rather, our gratitude makes us more receptive to receiving all that God continuously gives to us".

In the second book, one of my favorite book written by Nouman Ali Khan, Ust. Nouman give us more context of the ayah, when Musa AS turns to the Israelites who are in the middle of the desert, complaining about the heat, lack of food, lack of water, he turn to them and says, "Your Master had already declared that, "If you can become grateful, I will absolutely increase you". This is interesting because in the first chapter of the book, Musa AS already experiencing this. That when we are grateful, Allah always give us more and more and more. 

I rarely write about The Quran in this blog, but I really want to share it here. Sometimes, I feel I'm too greedy, I know that because Allah actually give me more than enough, and I'm not talks about money only, I feel another blessing, more than money, family, support system, health, the ability to think, the ability to read, the ability to write, yet I always want more and mostly it's about possession. It's about dunya. 

I want to reflect more this Ramadan, Allah already give everything I need right now. This time, I aspire to become the people who know when enough is enough, and become the people who always grateful.



So, last Thursday I randomly choose a book to read after work and I can't drop the book down until I finish it, and the book was Sherlock Holmes: A Study in Scarlet. 

As a big fans of Detective Conan [been read the comic since I was in Junior High School and now I am a mother of one], I always have a respect for Sherlock Holmes since he's been such an idol for Sinichi Kudo. But I never got a chance to read Sherlock books. The closest experience I got to know Sherlock was from the BBC Series: Sherlock, which aired in 2010 and I watched the first season I think in 2013 and the series become one of my favorite series ever since. Also, that was the time I have a crush on Benedict Cumberbatch :P


Sherlock Hunting

It was last year, 2021. The year when I have so much time scrolling social media also some spending some times to check online marketplace regularly [because I have the maternity leave] and also 2021 was the year when I thought I was financially stable to buy books without thinking too much, in the end I was cry and couldn't even afford to buy delicious snack after realize I got no more entertainment money left and it's only in the middle of the month, anyway, in 2021 I start collecting Sherlock Holmes books. 


I've been in love with Indonesian translation edition from Penerbit Shira Media, I mean look at the books when I complete a month of online book hunting this edition. I guess this edition was discontinue and all I can found was preloved books, which was fine because I got a very nice price for these 5 books. I found it from different marketplace, got it from Tokopedia, Shopee & Bukalapak. I haven't opened the book to be honest so aside from the very pretty book cover and the arrangement of the back of the books, I can't tell you anything about book especially the translation. 

Then, a month (or two maybe) after I complete the collection of Shira Media edition (only 5 books actually not all series), there's Gramedia Online Book Fair, when they offered some books with 50% off price cut! I mean! it's now or never haha! So one of the book I checked out that time was Sherlock Holmes: A Study in Scarlet. I bought it only for 35,000! for someone who's growing up worrying about money [wkkk] buying books with big deals is always an achievement! haha sorry not sorry. 

Finally Meet Sherlock

So, months after that time, I finally read the book. It tooks only 6 hours, not in total, but I open the book after work so maybe it's around 6 PM, between iftar, nursing my baby and some errands to do, I finished it in the middle of the night at 12PM. And guess what! I'm in love with this book. It's so weird since I don't put high expectation on this book. I mean I've watch the series and I can guess the plot but still, this one is masterpiece. At least this edition, translated by Sendra B Tanuwijaya! kudos to the translator to make the this book fun to read and did not feel like a translation at all :').

I'm not gonna give you blurb or anything in this post, you guys could found it on Goodreads. I just want to share my experience reading this book haha! I really want to read the Shira-Media version but I got some books to read first before that and somehow I prefer to read the book based on the year published, maybe I'm gonna read the previous book from Gramedia Digital so I don't have to buy more books. I hope I could read the book this month, but I put my expectation lower since the books short stories, unlike the first book I read. :) After reading Gramedia version and Shira Media version, maybe I'm gonna write the difference too and giving more detail reviews. This one is only an intro! wkkkk. 

Anyway! 

I'm so happy I finally meet the original Sherlock in the book! and also happy that I watch the series first and I could visualize Benedict as Sherlock! 


Thank you for reading!


Beberapa pekan lalu, saya ikutan PreOrder buku Ramadan yang Sepi dari penerbit Surau Kecil (imprint penerbit Little Quoqa). Ini buku Little Quoqa pertama yang saya beli untuk diri saya sendiri (hehe), sebelumnya pernah order Willa dan Rempah untuk Hayu Maca. Tepat sehari sebelum Ramadan, buku ini sampai di Rumah. Oiya, saya pesan di Maktabah Syam, toko buku online yang dikelola Kak Dedeh, teman-teman bisa cek link tokopedianya disini ya. Buku ini diterbitkan terbatas hanya 3.000 eksemplar (alasan utama saya langsung ikut PO haha). Terus bagaimana isinya? Yuk kita cek pelan-pelan.

Ramadan dari Perspektif Anak

Buku ini berkisah tentang Sabit, anak SD kelas rendah yang tidak terlalu bersemangat menghadapi Ramadan. Ia yang senang bermain, senang makaaan, jadi tak punya teman bermain dan teman makan karena teman-temannya, tak seperti dia, justru sangat semangat menyambut bulan Puasa. 

Ramadan yang sepi mengingatkan saya pada suasana Ramadan ketika saya kecil dulu. Dulu saya tinggal di Kabupaten Cirebon dan tempat saya tinggal, puaaaanaaas sekaliiiiii. Saya gak penah sama sekali menantikan Ramadan dengan semangat karena biasanya ada saja puasa saya yang pecah, gak kuat karena terlalu panas. [Saya sudah pernah tinggal di beberapa kota berbeda, Cimahi, Bengkulu, Jakarta, Banggai, Songkhla dan Cirebon, plus menginap beberapa hari di kota-kota yang kata orang panas, tapi asli deh, Cirebon yang paling panas haha]. Makanya saya bisa relate sama Sabit. 

Ini juga jadi poin utama yang membuat saya suka buku ini: Buku ini memberikan perspektif tentang bulan Ramadan dari kacamata anak-anak, bukan kacamata orang dewasa atau orang tua yang ingin memberikan informasi 'enak-enaknya' aja tentang Ramadan. 

Character Develompent

Nah, tapi jangan khawatir bapak dan ibu yang belum baca hehe, buku ini juga memberikan perkembangan karakter Sabit dalam memahami Bulan Ramadan, ia yang tadinya merasa sepi di bulan tersebut, di akhir cerita akan berubah perspektifnya menjadi Sabit yang lebih mencintai Ramadan, tapi porsinya pas tidak berlebihan. 

Nah, ada satu hal lagi yang saya suka dari buku ini. Orang tua Sabit sama sekali tidak memaksakan Sabit untuk puasa! alih-alih merayu untuk puasa setengah hari atau gimana gitu ya [seperti kebanyakan orang tua kita, atau dalam kasus saya ya orang tua saya], mereka tetap digambarkan tersenyum menanggapi Sabit. Ku sukaaa sekaliiii. 

Ilustrasi yang 10/10!

Nah ngomongin buku anak rasanya gak afdhol kalau gak ngomongin ilustrasinya. Ilustrasi di buku ini BAGUUUUUS banget. Saya cukup concern sama ilustrasi buku anak. Karena saya sendiri pernah menggeluti bidang ilustrasi, pernah juga jadi guru TK dan SD, buat saya peran ilustrasi dalam buku anak itu besar banget, kadang lebih penting gambarnya kaya gimana dari pada tulisannya apa :'). Nah di buku ini, Singgih Cahyo berhasil sekali memvisualisasikan kegalauan Sabit, kesediahannya, kesepiannya. Lalu ada juga gambar temaram malam di desa tempat Sabit tinggal, suasana tarawihnya, indah sekali ilustrasi di buku ini menggambarkannya! Saya beli bintang sempurna untuk ilustrasinya.

Kekurangan Buku

Untuk konten/isi buku, saya gak ada masalah sama sekali. Tapi ada kekurangan minor yang mengganggu ketika membuka buku ini: cetakannya agak kurang sempurna. Ada halaman yang lipatannya tidak sempurna sehingga sulit dibuka dan ada lipatan yang sepertinya sudah dilipat berkali-kali :') jadi membekas seperti buku tua, padahal ini buku baru. 

Agak termaafkan karena ilustrasi bukunya sebagus itu sih. Tapi semoga juga bisa jadi perbaikan penerbit kedepannya. 

Rekomendasi Usia

Buku ini cocok dibaca anak-anak yang baru belajar puasa, usia TK dan SD kelas rendah (5- 8 tahun) adalah yang paling pas, karena sama dengan usia tokoh Sabit di buku ini.



Halo semua! Waktunya kembali mereview buku! Akhir pekan dua minggu lalu saya membaca sebuah buku yang sudah saya beli dari tahun lalu, tapi saya anggurin karena tahu ceritanya bakal super sadis :') Tahun kemarin saya di racunin buat baca buku-buku Akiyoshi Rikako sama Kak Ketty setelah baca karya-karya Minato Kanae (yang tidak kalah sadis huaaah), kadang saya bertanya-tanya sendiri apa sih yang saya cari dari baca novel-novel macam ini :')), tapi keseruan dan rasa penasaran akan alur cerita membuat pertanyaan saya sering hilang, haha baca mah ya udah baca aja As :')

Blurb

Ini sepertinya kalau saya yang bikin blurb bakalan malah spoiler deh, jadi saya tuliskan blurb di belakang buku aja ya:

Terjadi pembunuhan mengerikan terhadap seorang anak laki-laki di kota tempat Honami tinggal. Korban bahkan diperkosa setelah dibunuh.

Berita itu membuat Honami mengkhawatirkan keselamatan putri satu-satunya yang dia miliki. Pihak kepolisian bahkan tidak bisa dia percayai.

Apa yang akan dia lakukan untuk melindungi putri tunggalnya itu?

Dari blurbnya saja sudah amat mengerikan bukan? membayangkan ada orang bisa membunuh bahkan memperkosa anak dibawah lima tahun saja saya tak sanggup :'(

Review (+curhat)

Nah sejujurnya seusah banget buat bikin review buku ini tanpa spoiler (buat saya) karena ini plot twistnya luar biasa gila. But here we go.

Ada beberapa tokoh utama di buku ini. Pertama Honami, seorang Ibu yang tinggal di Kota di tempat terjadinya pembunuhan. Di Bab Pertama, kita akan banyak membaca background kecemasan Honami terhadap kasus ini. Ia dulu susah sekali mau punya anak, karena memiliki penyakit reproduksi. Ia mencoba terus menerus untuk punya anak hingga akhirnya bisa hamil di usia 43 tahun. 

Lalu ada Makoto, anak kelas 2 SMA, pemain dan pelatih Kendo untuk anak-anak TK dan SD di Balaikota. Ia sering disebut sebagai 'sensei' yang baik oleh anak-anak kecil ini, it's a bit spoiler [tapi juga enggak], di bab ketiga kita akan membaca kalau Makoto adalah tersangka dari pembunuhan anak yang terjadi belakangan. 

Tokoh lainnya adalah detektif yang bertugas untuk menangani kasus ini. Sebetulnya ada banyak detektif yang bertugas, namun dua detektif ini yang paling disorot dalam buku. Pertama Tanizaki, detektif perempuan yang masih muda dan masih sangat semangat dalam menangani kasus-kasus yang datang padanya. Kedua, Detektif Sakaguci, detektif laki-laki yang sudah lebih tua, sering melakukan hal-hal yang dianggap kolot oleh Sakaguci, namun beliau adalah detektif yang berpengalaman, terlihat dari saran-saran yang ia berikan kepada Tanizaki. Mereka berdua agak gak akur di awal-awal buku, anyway. 

Oiya, nantinya akan ada dua kasus pembunuhan anak yang berbeda di buku ini, buat seorang Ibu seperti saya, sebenarnya ini cukup trigering loh bacanya! :') mana eksplisit banget pembunuhan keduanya huhu.

Apakah buku ini menghibur? Iya kalau kamu suka baca cerita misteri, in my case saya sukaaa cerita misteri, tapi ini terlalu sadis!!! untuk yang ga suka cerita misteri dan gak suka cerita sadis pula, saya sangat tidak merekomendasikan buku ini.

Nah nilai tambahan lain dari buku ini adalah plot twist yang luar biasa brilian! Huah, pecinta plot twist pasti memuja buku ini :') habis baca endingnya saya baca-baca ulang halaman-halaman pertama dan merasa ditipu mentah-mentah sama penulisnya haha. Briliant sekali sih memang.

Kritik Sosial tentang Undang-Undang Kekerasan Seksual

Buat saya ini adalah highlight paling menarik dibuku ini. Apalagi kritik sosial ini juga amat relevan di Indonesia yang belum punya undang-undang anti kekerasan seksual. Seminggu setelah saya selesai membaca buku ini, saya membaca kabar tentang seorang Dekan di Universitas Negeri di Sumatera yang dibebaskan dari tuduhan pelecehan seksual karena tidak ada bukti yang cukup. It's sad though! 

Nah dibuku ini kita akan diajak menyelami perasaan seorang korban kekerasan seksual, bagaimana ia hidup dalam ketakuatan, perasaan cemas tak karuan, juga bagaimana keluarganya menanggapi hal tersebut :'(/

Menurutku Akiyoshi Rikako amat sangat keras mengkritik sistem hukum untuk pelaku kekerasan seksual  lewat tokoh-tolohnya, pun lewat aksi pelaku yang memperlihatkan kalau kekerasan seksual itu kejahatan yang gak berhenti disatu titik saja. Ada trauma yang dialami korban, ada resiko-resiko setelah itu seperti kehamilan, kelahiran anak yang tidak direncanakan, keluarga yang bercerai berai, hingga dendam yang berujung permbunuhan. 

Selain dilihat dari sudut pandang korban, buku ini juga memiliki tokoh polisi perempuan yang berpikiran terbuka terkai kasus kekerasan seksual. Justru dari Tanizaki saya belajar banyak tentang UU Kekerasan seksual di Jepang. 

Mau Baca lagi gak?

Waduh, saya sih tidak berniat membaca lagi buku ini huhuwa, terlalu mengerikan. Sekali saja deh cukup, ini pun sepertinya buku fisiknya mau saya preloved-kan saja saking tak ada keinginan untuk membaca buku ini kembali :')))))

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

POPULAR POSTS

  • [Review Asri] Atomic Habits - James Clear
  • Review Asri: Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom
  • Review Asri - Tempat Terbaik di Dunia karya Roanne Van Voorst
  • [Review Asri] Kemarau - A.A. Navis
  • Review Asri: As Long As The Lemon Trees Grow karya Zoulfa Katouh
  • Review Asri: Pengantin-pengantin Loki Tua karya Yusi Avianto Pareanom
  • Review Buku Angsa dan Kelelawar karya Keigo Higashino
  • Main ke Toko Buku Pelagia Bandung
  • Review Asri: Minimarket yang Merepotkan karya Kim Ho-yeon
  • Review Asri: Manabeshima Island Japan karya Florent Chavouet

Arsip Blog

  • ►  2025 (17)
    • ►  Mei 2025 (4)
    • ►  April 2025 (2)
    • ►  Maret 2025 (2)
    • ►  Februari 2025 (3)
    • ►  Januari 2025 (6)
  • ►  2024 (8)
    • ►  November 2024 (1)
    • ►  Agustus 2024 (1)
    • ►  Juni 2024 (1)
    • ►  Mei 2024 (2)
    • ►  April 2024 (3)
  • ►  2023 (17)
    • ►  November 2023 (1)
    • ►  September 2023 (1)
    • ►  Juli 2023 (4)
    • ►  Juni 2023 (4)
    • ►  Maret 2023 (2)
    • ►  Februari 2023 (2)
    • ►  Januari 2023 (3)
  • ▼  2022 (52)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  September 2022 (12)
    • ►  Agustus 2022 (2)
    • ►  Juli 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (4)
    • ►  Mei 2022 (9)
    • ▼  April 2022 (7)
      • Review Buku Kenapa Kita Tidak Berdansa karya Dea A...
      • Review Buku Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang ...
      • Review Buku Animal Farm - Membaca Perangai Manusia...
      • Grateful
      • Hello, Sherlock!
      • Review Asri - Ramadan yang Sepi Karya Lilih S. Hil...
      • Review Asri - Holy Mother karya Akiyoshi Rikako
    • ►  Maret 2022 (5)
    • ►  Februari 2022 (6)
    • ►  Januari 2022 (3)
  • ►  2021 (35)
    • ►  Desember 2021 (5)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (4)
    • ►  Agustus 2021 (3)
    • ►  Juli 2021 (2)
    • ►  Juni 2021 (1)
    • ►  Mei 2021 (3)
    • ►  April 2021 (1)
    • ►  Maret 2021 (2)
    • ►  Februari 2021 (6)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (13)
    • ►  Desember 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (4)
    • ►  Juni 2020 (3)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (1)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (14)
    • ►  November 2019 (1)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (2)
    • ►  Juli 2019 (2)
    • ►  Maret 2019 (3)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (2)
  • ►  2018 (15)
    • ►  Desember 2018 (4)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Juli 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (3)
    • ►  Maret 2018 (3)
    • ►  Januari 2018 (2)
  • ►  2017 (20)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  Oktober 2017 (3)
    • ►  September 2017 (2)
    • ►  Agustus 2017 (4)
    • ►  Juli 2017 (4)
    • ►  Mei 2017 (3)
    • ►  Januari 2017 (2)
  • ►  2016 (65)
    • ►  Desember 2016 (2)
    • ►  September 2016 (2)
    • ►  Agustus 2016 (3)
    • ►  Juli 2016 (17)
    • ►  Juni 2016 (7)
    • ►  Mei 2016 (7)
    • ►  April 2016 (25)
    • ►  Februari 2016 (1)
    • ►  Januari 2016 (1)
  • ►  2015 (29)
    • ►  Desember 2015 (3)
    • ►  September 2015 (2)
    • ►  Agustus 2015 (13)
    • ►  Juli 2015 (4)
    • ►  Juni 2015 (1)
    • ►  Maret 2015 (2)
    • ►  Februari 2015 (1)
    • ►  Januari 2015 (3)
  • ►  2014 (29)
    • ►  Desember 2014 (8)
    • ►  November 2014 (6)
    • ►  Oktober 2014 (2)
    • ►  September 2014 (2)
    • ►  Juni 2014 (3)
    • ►  Mei 2014 (2)
    • ►  Februari 2014 (6)
  • ►  2013 (66)
    • ►  Desember 2013 (1)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  Oktober 2013 (7)
    • ►  September 2013 (7)
    • ►  Agustus 2013 (15)
    • ►  Juli 2013 (4)
    • ►  Juni 2013 (8)
    • ►  Mei 2013 (2)
    • ►  April 2013 (5)
    • ►  Februari 2013 (3)
    • ►  Januari 2013 (9)
  • ►  2012 (6)
    • ►  November 2012 (4)
    • ►  Oktober 2012 (2)
  • ►  2011 (8)
    • ►  Oktober 2011 (4)
    • ►  September 2011 (1)
    • ►  Maret 2011 (3)

Goodreads

Asri's books

Kejutan Kungkang
it was amazing
Kejutan Kungkang
by Andina Subarja
The Fine Print
liked it
The Fine Print
by Lauren Asher
Under One Roof
liked it
Under One Roof
by Ali Hazelwood
Lessons from Surah Yusuf
it was amazing
Lessons from Surah Yusuf
by Abu Ammaar Yasir Qadhi
Setelah membaca ini sampai selesai malam ini. Jadi paham kenapa Allah bilang kalau Kisah Yusuf ini salah satu kisah terbaik dalam Quran. Ada terlalu banyak pelajaran berharga dari kisah Yusuf. Dr. Yasir Qadhi mengawali buku ini dg sebab...
No Exit
liked it
No Exit
by Taylor Adams

goodreads.com

Blog Perempuan

Blog Perempuan

Cari Blog Ini

Kamu pengunjung ke

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © Journal Asri. Designed by OddThemes