Gak Semua Sekolah bisa SFH, Gak Semua Anak bisa SFH


Berani nulis ini karena akhirnya mengalami jadi pendamping belajar Dimas di rumah selama hampir seminggu. Dimas sekarang naik ke kelas enam. Awal masa pandemi kemarin belajar dari rumah ibu full. Jarak rumah Ibu - rumah saya berjarak sekitar 10 rumah hihi. Tetangga satu RT. 

Nah, kemarin belajar di rumah Ibu salah satunya juga karena mau masuk bulan puasa, selain Dimas beradaptasi dengan jam tidur, pandemi dan rasa lapar haus selama Ramadan, saya pun cukup sibuk selama Ramadan. Sibuk beradaptasi karena harus masak sahur wkkk. 

Singkat cerita, sekarang setelah jam tidur mulai kembali normal. Ujian Dimas di sekolah semuanya selesai, saya dan Dimas membuat komitmen untuk belajar di rumah saya sekitar satu sampai dua jam per hari. Sekarang sudah jalan hampir seminggu. 

Sebelum saya menuliskan tipsnya, saya mau kasih gambaran tentang Dimas dan sekolahnya terlebih dahulu. Dimas sekolah di SD Negeri yang dekat dari rumah, tinggal jalan kaki. Gurunya di kelas V kemarin gak punya whatsapp untuk berkomunikasi sama orang tua murid. Bahkan Dimas bilang harusnya sudah pensiun sejak Januari, tapi karena belum ada guru pengganti, masih lanjut teroooos. 

Beruntung ada satu orang tua murid yang inisiatif ngambilin soal-soal buat dikerjain di rumah, soalnya difoto dan dikirim lewat whatsapp di grup orang tua murid. 

Jadi kalau ada yang ribut-ribut kemarin, gak semua anak dan gak semua sekolah bisa School from Home (SFH), gak usah jauh-jauh ke daerah perbatasan Indonesia. Di Cimahi adaaaa. Kota Cimahi, yang tinggal ngangkot 15 menit sudah sampai ke pusat pemerintahan Provinsi Jawa Barat. 

Dari Seminggu ini, saya ngajar Dimas pakai gaya ngajar di sekolah swasta dulu, skimming materi di buku paketnya, jelasin bentar, print worksheet dari internet, kerjain bareng dan banyakin hands-on learning material biar Dimas gak bosan. Dimasnya ya senang senang aja sih, kemarin kita bikin ASEAN project, semacam bikin klipping tentang ASEAN tapi dia cari sendiri referensinya dari google, buka atlas gede yang ada di rumah dan bandingin sama google maps, gunting-gunting bendera, mewarnai batas tiap negara dsb. Tiga hari ini dia bisa ceritain banyak hal tentang ASEAN dari hasil belajar yang sebenarnya dia cari sendiri. Saya sedikit banget jelasin. 

Jadi guru untuk Dimas akhirnya buka perspektif saya tentang si SFH yang kabarnya akan dilanjutkan hingga Januari nanti. Kemarin di Facebook saya lihat petisi wara-wiri di timeline, meminta pemerintah menutup sekolah sampai pandemi ini benar-benar selesai. Saya tentu tidak menandatangani. Bukan apa, saya belum punya anak. Pragmatis sekali mikirnya kemarin. 

Mungkin kalau ada piramida anak sekolah selama SFH, Dimas ini masuk paling atas kali ya. Yang punya akses mudah ke SFH. Gadget ada, kuota aman, pendamping banyak (Ibu bisa nyambi jualan di rumah sambil ngajar Dimas + kakak-kakaknya yang udah gede-gede).  Saya coba buat coret-coretnya dibawah ini ya: 
Nah, ini baru ngomongin dari privilage si anak di rumah aja ya. Belum ditambah variabel lain seperti sekolah yang tech-ready, guru yang bikin jadwal zoom meeting tiap pagi, bahkan bikin zoom meeting khusus buat ulang tahun siswa atau bikin zoom meeting ngajarin bikin roti. Sebelum ngajar Dimas, melihat banyak orang yang saya follow di Instagram bikin postingan gini gak bikin saya panas hahaaa. (ya udah lah ya, emang mereka anaknya sekolah di tempat yang udah ready dengan guru mumpuni). Tapi setelah ngajar Dimas. Ngebayangin ada 21 Juta siswa SD lainnya yang nasibnya mirip Dimas, bikin saya ingin menangis. Ya Allah, selama pandemi pendamping belajar mereka siapa?  

Cerita tentang belajar selama masa pandemi di daerah terpencil bisa dibaca disini juga https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-52661836.

Tulisan ini tidak dibuat untuk memperdebatkan sekolah harusnya buka atau tidak selama masa pandemi ya. Saya sendiri mendukung penuh keputusan sekolah tutup hingga akhir tahun, bagaimanapun keselamatan tetap yang paling utama. Tapi ya gitu, tetap saja tertegun dalam hati, kalau Dimas yang sekolahnya gak siap SFH, gurunya gak siap SFH dan gak sanggup bayar tutor online yang harganya Rp 100.000 per 30 menit atau langganan layanan belajar daring aja saya bilang beruntung. Gimana nasib anak di piramida paling bawah tadi?

Pandemi malah memperlihatkan jurang yang semakin jauh antara pendidikan untuk orang-orang berada yang bisa menyekolahkan anak-anaknya di sekolah swasta dengan anak-anak yang mengenyam pendidikan di sekolah negeri. Pun juga terlihat dari yang paling lantang berteriak agar sekolah tetap ditutup, adalah mereka yang punya pekerjaan stabil atau tabungan cukup hingga pandemi yang mungkin benar berakhir di akhir tahun nanti. Tak khawatir karena ada yang menjaga anak di rumah. 
Abang-abang pedagang keliling, yang istrinya juga harus sibuk bekerja jadi tukang cuci, mungkin malah bingung, mau ajak anak keluar takut corona, ditinggal di rumah sendirian bahaya. 

Ah, sudah lah, jangan terlalu pusing As. 
Berdoa saja pandemi tidak terjadi lagi setelah ini. Atau suatu saat ketika pandemi kembali terjadi, sistem kita mungkin sudah lebih baik.



Cimahi, 10 Juni 2020
22:27 WIB


0 comments

leave yout comment here :)