Journal Asri


 

The Cat Who Saved Books (Hon O Mamoro to Suru Neko No Hanashi)

Judul Bahasa Indonesia: Kucing Penyelamat Buku karya
Penulis: Sosuke Natsukawa
Penerjemah: Lulu Wijaya
Editor: Tanti Lesmana
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbitan: Pertama, 2023
Jumlah halaman: 200 halaman; 20cm 
ISBN: 978-602-06-7165-9

---

Disclaimer: Tulisan bersifat subjektif dari sudut pandang saya sebagai pembaca, pengalaman baca kamu dengan pengalaman baca saya bisa jadi berbeda. Reviu hanya diterbitkan untuk blog pribadi saya, boleh disebarkan dengan menyertai tautan namun tidak untuk diduplikasi dimanapun tanpa izin. 

---

Saya menyelesaikan tantangan #JanuaryinJapan yang diramaikan di Instagram agar pembaca bisa membaca literasi Jepang di bulan Januari ini. Tertarik ikut karena ada beberapa tumpukan buku yang belum dibaca yang masuk kategori ini. Salah satunya buku The Cat Who Saved Books karya Sosuke Natsukawa. Saya membaca buku ini tanpa ekspektasi apapun dan tanpa membaca reviu dari siapapun sebelumnya, termasuk tidak mengintip apa kata orang di Goodreads. Bukunya tidak terlalu tebal, 200 halaman dan cukup ringan untuk dibaca, ini kategori yang bisa dibaca sekali duduk kalau kamu bisa menikmati membaca bukunya. Sayangnya tidak bagi saya. 

Rating akhir saya untuk buku ini adalah 2,5 dari 5 bintang. Bukan buku yang ingin saya baca lagi atau saya rekomendasikan untuk dibaca juga oleh orang lain untuk buku dengan topik buku. Kenapa? Mari kita bahas detailnya. 

Blurb

Buku ini diawali dengan kisah Rintaro Natsuki, seorang anak SMA yang baru saja ditinggal wafat kakeknya. Sebagai yatim piatu, ia hanya tinggal berdua dengan kakeknya, yang setelah wafat mewarisi sebuah toko buku bekas yang selama ini menjadi tempat kakeknya mencari nafkah. Baru selang sehari setelah sang kakek wafat, nasib Rintaro seperti sudah diketok palu, ia akan tinggal dengan bibinya dari kota. Toko buku ini akan ditutup, tapi saat ia datang ke toko buku, ia bertemu Tiger, seekor kucing yang bisa bicara dan mengajaknya untuk menyelamatkan buku-buku yang kesepian. 

Petualangan mereka pun dimulai, Rintaro diajak tiger masuk ke sebuah labirin di belakang rak buku di toko buku Natsuki dan mencoba 'menyelamatkan' buku-buku yang mati, atau dicabik-cabik pemiliknya. 

Empat Labirin Petualangan

Buku ini dibagi menjadi empat chapter, atau yang disebut juga empat labirin di mana di tiap labirin, Rintaro dan Tiger punya misi untuk menyelamatkan buku-buku. Misi ini beragam, di labirin pertama, Rintaro dan Tiger punya misi untuk 'menyelamatkan' buku-buku yang dipenjarakan. Buku yang dipenjarakan ini ternyata metafora dari buku-buku yang sangat banyak--50ribu lebih jumlahnya, di rumah seorang pembaca buku. Buku-buku ini ia simpan di lemari kaca dan ditutup rapat-rapat. Pegangannya digembok menjadi satu. Ia bertemu orang yang sangat mencintai buku dan suka membaca tapi memperlakukan buku selayaknya barang museum, ia bahkan tak pernah menyentuh kembali buku yang ia baca. 

Di labirin lainnya, Rintaro bertemu dengan masalah-masalah lain seperti 'pencincang buku', peneliti yang ingin mencincang buku sesingkat mungkin agar bisa ditelan dengan cepat oleh pembaca, atau labirin 'Penjual Buku' dimana ia bertemu pemilik perusahaan yang menolak buku-buku yang tidak laku dan hanya ingin menjual buku-buku laris saja. 

Setiap labirin ini adalah metafor pengalaman pembaca, kalau kamu pembaca, pencinta buku atau orang yang suka buku, kamu mungkin familiar dengan 'masalah-masalah' perbukuan yang dibahas di buku ini. Apa yang akhirnya membuat saya tidak terlalu menikmati membaca buku ini adalah: apakah semua yang menjadi pembahasan di labirin buku ini adalah masalah sebenarnya dunia perbukuan? 

Hitam putih.. tak ada diantaranya

Belakangan saya sering sekali mengikuti diskursus literasi atau perbukuan di Twitter atau X. Dibilang mengikuti sebetulnya saya hanya baca dan mengamati saja, jarang sekali saya ikut-ikut berkomentar. Saya rasa, apa yang jadi 'masalah-masalah' di labirin Rintaro dan Tiger ini akan ramai sekali jika diperbincangkan di platform tersebut. 

Sebut saja labirin ketiga dimana seorang pebisnis menolak menerbitkan buku-buku yang tidak diminati pembaca, susah dipahami, dan dalam tanda kutip kurang laku. Saya mencoba memahami jawaban Rintaro untuk 'membebaskan buku' di labirin ketiga ini dan merasa Rintaro hidup hanya di bubblenya yang sangat ideal (yang juga menjadi kritik di labirin ke empat). 

Ketika membaca labirin ketiga, saya tergelitik sekali. Apakah bagi Rintaro hanya buku-buku 'sastra' berat yang berhak dicetak banyak-banyak? buku self-help (yang sejujurnya juga gak cocok-cocok banget sama saya) selalu laku ya karena berhasil menemukan pembacanya. Buku romantis bentuknya juga tak melulu buku sastra berat kan ya? (kalau yang ini saya beneran kesenggol sebagai penikmat buku romance LOL). Tapi intinya, keseimbangan perlu kan ya? penerbit buku ya perlu cari untung, supaya buku-buku bagus dan buku populer bisa sama-sama terbit, supaya penulis penulis baru bisa terus hadir, supaya orang tetap membaca dan menemukan kesenangannya dalam membaca. 

Sejujurnya ketika menemukan ketidaknyamanan dalam idealisme Rintaro, saya mencoba memposisikan diri sebagai Rintaro. Apakah karena Rintaro masih SMA ya? jadi berpikirnya hitam putih begitu, tapi juga gambaran hitam putih ini tidak cocok rasanya dengan sosok Rintaro yang coba digambarkan sebagai wise grandson yang dapat wisdom dari percakapan-percakapan bersama Kakeknya. Jadi kaya gak cocok aja rasanya penggambarannya buat saya. 

Bisa tetap dinikmati kah? 

Saya mencoba tetap menyelesaikan baca buku sampai selesai untuk melihat apakah ada bagian dari buku ini yang bisa saya nikmati, tapi sepertinya agak sulit. Setelah selesai membaca buku ini saya sempat membaca beberapa reviu teman-teman pembaca lainnya dan melihat bagaimana point of view mereka tentang buku ini. Ternyata tetap banyak pembaca yang suka sekali buku ini, ratingnya di goodreads juga bagus dari 60.000 lebih pembaca. Jadi saran saya kalau kamu suka buku (nilai plus kalau suka kucing, walaupun saya bingung kenapa disebut kucing penyelamat buku), coba saja baca buku ini. Siapa tahu cocok buat kamu! kebetulan saja tidak cocok untuk saya. 

Tapi buku selalu menemukan pembacanya bukan? :) So maybe you should give this book a try. 

Tahun ini saya kembali ikutan #ReadChristie setelah absen beberapa lama. Alasannya sederhana, banyak buku Agatha Christie yang sempat saya beli beberapa waktu kebelakang, tapi belum sempat dibaca. Jangankan dibaca, segelnya saja belum dibuka. Jadi gas lah, mumpung tahun ini ada banyak waktu luang untuk membaca. Bulan ini temanya adalah Artist. Sebetulnya buku yang direkomendasikan adalah Five Little Pigs. Tapi saya belum punya di rumah. Opsi lainnya bisa buku Third Girl yang saya baca ini atau buku The Hollow. Third Girl dan The Hollow saya punya di rumah, jadi langsung pilih satu dan akhirnya membaca Third Girl. 

Jujur membaca Third Girl seru sekali! Buku Oma tuh kan khas banget ya buat saya, beliau ngebuild dulu cerita di awal yang bikin beberapa buku emang agak bikin ngantuk dan bisa dibilang bikin bosan sampai akhirnya ketemu hook yang bikin kita gak mau simpan buku sampai akhir. Nah si Third Girl ini malah menempatkan hooknya di awal gitu. 

Blurb

Ceritanya seorang gadis datang ke rumah Poirot untuk mengakui kalau dia telah membunuh seseorang, tapi dia sendiri kelihatan ragu. Gak lama berselang, sang gadis ini ngilang. Karena Poirot gak tahu nama dan asal usul si gadis, dia kelihatan udah mau bodo amat, tapi juga kepikiran, sampai bertemulah dia dengan sahabatnya, Mrs. Oliver, penulis novel misteri yang cerita kalau baru-baru ini dia nyuruh orang ketemu Poirot dan dari deskripsinya, mirip dengan yang disampaikan Poirot. 

Setelah tahu nama dan alamatnya, Poirot mendatangi rumah sang gadis di pedesaan, rumah keluarga, bukan rumah sehari-hari yang ditempati, karena si Gadis, yang belakangan ketahuan namanya adalah Norma Restarick, tinggalnya di London. 

Setelah datang ke rumah keluarganya, ketemu beberapa orang yang kenal dia, semua orang seolah menganggap Norma ini agak gak waras, gila, sinting, gak normal, pokoknya gak ada bagus-bagusnya deh yang orang sampaikan tentang Norma. Norma punya kehidupan sulit dengan Ibunya (bukan secara finansial, karena Bapaknya kaya), sejak kecil Norma ditinggal ayahnya yang kabur buat bertualang ke Negara-negara eksotis sama perempuan muda yang dicintai sang Ayah. Ibunya kesel dan benci banget sama di perempuan selingkuhan ini dan sepanjang masa kecilnya, Norma dibikin gak nyaman dengan keadaan ini. 

Sang Ayah akhirnya kembali ke London setelah 'petualangan'nya selesai. Dia balik dan punya istri baru, Mary Restarick yang ditemuinya di Afrika Selatan. Norma hidup gak akur dengan Mary, ini juga yang akhirnya membuat Norma pindah ke London. 

Artist

Tema Januari ini memang Artist dan kamu akan menemukan benang merah tema dengan buku ini di pertengahan sampai akhir cerita dimana orang-orang terdekat Norma mulai kelihatan kesehariannya mengerjakan apa. Jadi saya gak bisa cerita lebih lanjut karena nanti malah spoiler. 

Saya sendiri cenderung gak menebak-nebak di awal siapa yang menjadi pelaku pembunuhan (yap, beneran ada pembunuhan di sini), dan mencoba menikmati baca bukunya aja, jadi ga bisa bilang juga apakah tebakan saya akan pelaku benar atau salah. Tapi cukup mindblowing dan agak gak ketebak. Jadi secara keseluruhan menurut saya bukunya seru!

Rating

Saya kasih 4 dari 5 bintang untuk buku ini karena saya menikmati baca bukunya, misteri di dalamnya yang lumayan bikin Poirot pusing. Hints di buku ini juga asyik banget sebenernya, dibanding buku lain, menurut saya ada banyak petunjuk yang bertebaran yang membuat pembaca bisa barengan menganalisis beragam kemungkinan. 

Saya juga lumayan suka sama karakter Mrs. Oliver yang sumpah agak nyebelin hahaa! tapi saya suka karena membantu penyelidikannya Poirot, terlepas dari agak ngeyelnya beliau ya. Sudah dikasih tahu untuk hati-hati tapi gak juga, jadi ajah kenapa-napa. Tapi kemunculan Mrs. Oliver di sini memang memegang peranan penting. Terakhir saya ketemu beliau di buku hallowe'en party kalau gak salah. 

Kesimpulannya buku ini lumayan OK buat dibaca bahkan oleh kamu yang belum membaca karya Agatha Christie yang lain pun! Gak membosankan, karakternya banyak tapi juga semuanya pegang peranan penting, jadi kita ingat walaupun gak sampai detail namanya hehe. Kalau kamu mau ikutan #ReadChristie2025 di Januari ini, boleh banget nih baca buku ini!





Halo! dengan Asri mode review di sini. Ceritanya akhir pekan lalu saya mampir untuk pertama kalinya ke Artemedia Shop di Jalan Soekarno Hatta Bandung. Saya sudah sering sekali ke Artemedia tapi ke tokonya yang di Balubur Town Square untuk belanja Art Supply. Ini pertama kali ke Soetta dan baru tahu kalau ada tokonya di sini karena gak sengaja search maps di google, eh yang muncul yang di Soetta. Karena lebih dekat dari rumah, saya senang senang aja sih mencoba ke sana. Daaaaan, please kalau kalian suka belanja Art Supply dan kalian tinggal di Bandung dan sekitarnya, kalian harus coba ke sini! Karena tokonya super duper besar, lega dan lengkap banget (please note tetap gak semua brand ada ya, karena sepertinya beberapa brand emang gak masuk ke Artemedia). 



Sebetulnya saya datang untuk beli kertas gambar buat oil pastel dan paper stump saja, tapi seperti kebiasaan kalau masuk toko Art Supply yaaa, ga mungkin beli yang direncanakan ajaa, apalagi kalau ada diskon besar. Nah kali ini kembali terjadi nih. Harusnya Saya ga beli cat air karena kemarin cek banyak banget cat air dan watercolor pencils di rumah. Tapi Mba petugasnya kasih tahu ada diskon best deals banget dari Winsor & Newton watercolor gift set seri professional. 

Karena belum punya seri professional, saya penasaran banget. Jadi muter-muter di toko agak lama sambil menimbang beli gak ya beli gak yaaa. Dan berujung beli! hehe karena beneran best deals banget sih. 

Set Journal Gift Collection ini harganya 2.000.000 yang isinya:
1. Set 12 half pan Winsor & Newton Professional dan tin boxnya,
2. 1 brush series 7 nomor 3, dan
3. Winsor & Newton watercolor Paper professional
Bonus lainnya ada kertas watercolor buat nyobain swatch color.

Nah, dari 2juta, diskonnya 60% jadi saya hanya perlu bayar 800.000 ajaaaa! FYI harga Brush series 7-nya Winsor & Newton yang Nomor 3 itu udah 700.000 sendiri! (I don't think I will need this brush tbh! it's so expensive, tapi jadi penasaran juga buat nyoba brush 700ribuan (cry)). Jadi kalau bahasa marketing Mba petugasnya: Anggap aja beli brushnya, tapi bonusnya watercolor professional series dan sketchbook winsor professional (LOL). Nah, sebelumnya saya memang sudah punya set Winsor & Newton, tapi yang Cotman 12 half pan. Kayanya saya beli sekitar 2018, berarti sudah 7 tahun lalu dan masih ada aja di rumah, belinya juga di Artemedia. Series professional ini memang ada di wishlist saya, jadi yaa sekalian deh. Itungannya juga tetap jauh lebih murah buat beli set ini bahkan kalau gak ada brush super mahal dan watercolor papernya. Karena satu half pan Winsor & Newton Professional series 1 saja harganya sudah 132.000/warna. Dikali 12 sudah 1,5juta. Jadi memang best deal! 

Boxnya memang exclusive sekali!

Detail isinya apa aja

Close up Look

Perbandingan brush Series7 dengan seri Foundation yang saya pakai sehari-hari di rumah

Perbedaan series cotman dengan seri professional yang saya punya di rumah
Semua warnanya setelah dicoba
Termasuk di dalam set: Kertas Cat Air 300gsm - Cold Pressed - 13x18cm - 15 Lembar


Sampai rumah ga sabar sekali mau unboxing dan langsung coba cat airnya. Kerasa gak bedanya sama seri Cotman? Kerasa sih hahaaa. Memang ada harga ada rupa ya.  Setelah coba langsung cat airnya di kertas cat air 300gsm, berikut perbedaannya: (disclaimer dulu, buat warnanya memang gak sama persis seriesnya ya, karena yang ada di set Cotman dan Professional emang beda). 

Nah, saya baru banget bongkar dan belum sempat pakai buat melukis apapun! semoga hari ini bisa amiiiin. Nanti kalau sudah coba buat melukis, gak hanya swatch-swatch aja, saya update juga ya disini! Oiya, kalau kamu tertarik juga buat punya seri ini, di Tokopedia dan Shopee mereka juga ada diskon walaupun gak sebesar di toko langsung. Dari 2juta jadi 1,2juta aja (tetap worth it mengingat isinya aja 2jt++). Catatan: selama persediaan masih ada, waktu saya beli di toko kemarin, stoknya sisa dua aja.

Sekian review Art Supply kali ini. Sampai temu di review selanjutnya yaaa! 


Halo! hari ini mau cerita pengamalan mencoba Mungyo Artist soft oil pastel yang sata punya di rumah. 

Sebetulnya, ini bukan kali pertama saya bersentuhan dengan oil pastel. Sejak SMP (seingatku), saya sudah dapat mata pelajaran Seni Rupa dan salah satu alat warna yang harus dimiliki dan digunakan untuk mengerjakan tugas. Oil pastel pertama saya adalah Pentel, merek sejuta umat yang lumayan affordable tapi juga kualitasnya bagus. 




Nah, tapi sejak dulu saya memang punya kendala pakai Oil Pastel hehe, terlepas dari masalah bakat (wkkkk, memang dasarnya tidak berbakat), tapi oil pastel ini kalau dipakai melelahkan sekali. Untuk mewarnai bidang sebesar A4 saja tangan saya sudah lelah sekali, terus kotor semua pula. Baru sekarang-sekarang setelah dewasa saya paham malah seninya ya di kotor-kotorannya ini, ngeblend pakai jari malah jadi pilihan utama buat beberapa artist. 

Tahun lalu, saya melihat video seorang ilustrator menggunakan oil pastel sebagai salah satu art supply untuk mix media sketchbook yang ia buat tiap hari. Dan saya naksirrr sekali sama oil pastelnya. Brandnya Mungyo, ketika cek di Indonesia sudah masuk dan ada official shopnya sendiri, saya langsung check out set card yang isi 48 dan sekalian coba beli watercolor crayons yang isi 12. Tapi sepanjang tahun jugaaa tidak digunakan karena memang gak ada waktunya hehe. 

Karena tahun ini ada banyak waktu untuk explore alat lukis dan alat gambar yang sudah dibeli, jadi ini waktu yang tepat untuk mencoba Mungyo Gallery Oil Pastel ini. Set 48 harganya saya beli 429.000 (sekarang sepertinya lebih murah gak sampai 350ribuan) dan set watercolor isi 12 di harga 123.000 rupiah. Agak pricey ya sebetulnya, tapi ketika lihat reviewnya memang kualitasnya baik. Belum selevel professional seperti Sennelier yang satu oil pastel-nya harganya sampai hampir 50.000, tapi juga diatas standar oil pastel lainnya yang banyak masuk ke Indonesia sekarang. 

Kalau kamu mau mencoba-coba oil pastel, beberapa waktu terakhir saya sempat lihat review pengguna yang lebih sering pakai oil pastel dan ada beberapa brand alternatif jika ingin mulai belajar, yang dari kualitasnya cukup ok untuk beginner dan tetap mantap buat diblend yang jadi khasnya di oil pastel. 

Beberapa referensi untuk begineer:

1. Joyko Artist's Oil Pastel (mulai dari isi 12 s.d 48), harganya dari 20.000an sampai 90.000an untuk isi yang 48. Super affordable. 

2. Faber Castell Oil Pastel Black Edition Series, set 12nya mulai dari 35.000an dan ada set 48 dengan harga 130ribuan.

3. Grebel Artist's Oil Pastel, Set 12 warnanya di harga 180ribuan, set 24 di 330ribuan, set 36 di harga 430ribuan, set 48 di harga 600ribuan dan set paling banyak 72 warna di harga 900ribuan.

Sisanya ada juga brand lain seperti MontMarte, Mungyo seperti yang saya coba dan tentu saja yang professional level seperti Sennelier dan Caran d'Ache. Tapi harganya juga professional ya hehe, jadi buat yang beginner seperti saya better coba-coba menggunakan brand-brand student grade level, atau artist level yang lebih affordable. 

Ini gambar pertamaku tahun ini yang kubuat menggunakan Oil Pastel:





Referensinya diambil dari sini: 


Ternyata memang untuk bisa menghasilkan warna yang ngeblend yang bagus seperti khasnya oil pastel, ya harus diblend ya. Buat membantu ngeblend warna, saya pakai paper stump yang baru saya beli di Artemedia Bandung, tapi di toko online juga banyak banget dan harganya murah banget. Selain Paper stump, kamu bisa juga pakai tisu, atau tangan kamu sendiri untuk ngeblend warna Oil Pastel. 

Nah sekiaaan! Semoga tahun ini aku bisa banyak coba-coba oil pastel juga supaya art supply yang sudah dibeli bisa dipakai hehe. Kamu punya pengelaman unik atau tips pakai Oil Pastel? Share di kolom komentar yaa! 

Sampai ketemu lagi di cerita #GambarAsri lainnya. 

 

Sampai juga di hari ke-7 challenge gambar-gambar tiap hari! Hari ke-7 ini saya menggambar bunga yang referensinya diambil dari buku Wild Flowers by Colour karya Marjorie Blamey. Salah satu botanical illustrator favorit saya yang skill-nya aduuuh hehe luar biasa. Saking sukanya, saya pelan pelan mencoba mengoleksi buku Blamey. Sekarang ada tiga buku Blamey di rumah, selain buku yang saya sebut diatas, ada Painting Flowers dan A Handbook Guide to the World Flowers of Britain and Northeren Europe. Mengoleksinya pelan-pelan tentu saja karena harganya mantappp menguras kantong sekali. Buku-buku ini sudah tidak lagi terbit, sehingga tiap ada penjual yang menawarkan prelovednya, harus war dengan kolektor lainnya. 

Gambar-gambar lain untuk challenge gambar harian saya unggah di Instagram! Kamu bisa ikuti di https://www.instagram.com/wanderbook_/ semoga terus konsisten sampai 343 hari berikutnya ya. Amiin

Selamat tahun baru semuanya! Menyambut tahun yang baru dan kesibukan yang baru sebagai stay at home mom, tahun ini saya menambahkan salah satu habit yang ingin saya bangun di 2025: menggambar lagi. Rutin, tiap hari dan progressnya akan saya share di media sosial. Harapannya supaya lebih konsisten karena harusnya jadi reminder yaaaa supaya update gambar kalau kelewat. 

Supaya makin gereget, gambarnya juga akan saya share di blog! 

Semoga kita semua diberikan kesehatan dan banyak-banyak hal baik di 2025 ya!

1/365: Kue Apa? Kue Apa?


watercolor on paper

Paper: Baohong 230gsm A6
Brush: vtech 230R Artist Brush No. 12
Watercolor: Pebeo studio watercolor 

 


2024 belum berakhir, namun 2024 menjadi salah satu tahun yang paling menantang dalam hidup saya. 

Mengawali tahun dengan pekerjaan tanpa henti sampai pertengahan tahun. Sulit sekali mencari waktu-waktu berkualitas yang bisa dinikmati bersama keluarga. Sesekali kami pergi kemping, lain waktu kami pergi berenang karena Rana senang sekali bermain air. Tapi sisanya, saya disibukkan luar biasa dengan pekerjaan. 

Di akhir 2024, saya mengambil keputusan besar untuk rehat sejenak dari bekerja karena tahun ini alhamdulillah kami dititipkan amanah baru dari Allah. Menjadi orang tua untuk anak kedua kami, perkiraan kelahirannya di H1 2025, namun kondisi fisik saya saat ini tidak setangguh kondisi pada saat mengandung Rana. Sehingga saya memutuskan untuk resign. 

Ini akan jadi pertama kalinya saya tidak bekerja sejak lulus kuliah dulu. Rasanya agak aneh tapi saya juga menantikan dan ingin melihat hal-hal baru yang bisa saya lakukan di 2025. Tentunya tidak banyak, mengingat kondisi fisik yang juga terbatas. Namun ini pertama kalinya saya sangat bersemangat berada di kondisi tidak bekerja. 

Tentunya ada banyak penyesuaian yang harus dilakukan, termasuk diantaranya penyesuaian finansial karena tidak bekerja artinya tidak dapat pendapatan lagi :) tapi bismillah yaa, semoga bisa 2025 tetap dapat dilewati dengan menyenangkan dan penuh makna. 

Semoga saya bisa semakin sering membaca, menulis, memasak, berkebun dan menggambar. Bisa punya waktu untuk menulis lagi di blog atau sesekali di sosial media (yang beberapa bulan ini saya tinggalkan). 

Aamiiin YRA. 


Setelah seminggu penuh berjibaku pindahan rumah, akhirnya selesai juga set up rak buku dan tempat kerja di rumah baru :) 

Tahun ini, saya dan keluarga harus pindah ke rumah baru karena kontrak rumah lama sudah habis. Setelah beberapa pekan cari-cari lokasi yang pas dan rumah yang enak, akhirnya ketemu. Alhamdulillahnya, rumah kali ini bisa digunakan buat saya set up home library. 

Sebelumnya sudah pikir-pikir mau beli rak buku baru tapi gak memungkinkan buat disimpan di rumah sebelumnya. Selain karena ga cukup tempatnya, juga karena tahu bentar lagi pindah anyway, malah ribet nanti pindahannya. Eh pas banget di rumah baru ada tempat yg bisa dipakai buat ngejejerin 2 rak lama saya dan 2 rak yang baru saya beli setelah pindahan. 

Karena tempatnya terbuka, alias semua orang di rumah bisa lihat, saya set up meja kerja saya lebih clean dibanding set up di rumah sebelumnya, dimana tempat kerja saya udah mirip tempat belanja stiker dan stationary LOL. Sekarang, saya gak tempel apapun di depan meja saya karena semua alat lukis dan stationery bisa sudah punya tempat penyimpanan di bawah meja dan di rak buku. 

Butuh seminggu penuh buat cicil-cicil beresin semua barang dari rumah lama ke rumah baru, hari ini ketika akhirnya selesai senang sekali rasanya. Semoga hari-hari ke depan di rumah dengan dua pohon mangga di depannya ini bisa sama menyenangkan dan sama hangatnya seperti hari-hari kami di rumah sebelumnya :).

Amiin. 

 

Hai! Pekan lalu saya membaca buku Masquerade Hotel karya Keigo Higashino. Buku ini adalah buku ke-10 Keigo Higashino yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Saya ikut perordernya, lumayan dapat diskon kalau tidak salah sekitar 20% ditambah dapat bonus sticky notes (? gak tau namanya) spesial edisi Masquerade Hotel ini. 


Setelah terakhir membaca Tragedi Pedang Keadilan beberapa waktu lalu, saya tidak punya menaruh ekspektasi apapun pada buku Keigo Higashino hehe, kalau memang ceritanya setrue-crime Tragedi pedang Keadilan, ya sudah, akan tetap saya baca juga karena Keigo memang masuk ke daftar penulis yang bukunya tetap saya nikmati bagaimanapun ceritanya. Tapi ternyata buku ini sangat menyenangkan untuk dibaca, setidaknya dibanding tragedi pedang keadilan yang amat menyayat hati, buku ini sangat menghibur buat saya. 

Buku ini berkisah tentang kasus pembunuhan berantai yang terjadi di Tokyo. Di tiap lokasi pembunuhan, selalu ditemukan kartu berisi petunjuk menuju lokasi dan waktu pembunuhan berikutnya. Awalnya polisi tidak bisa menebak lokasi dan waktu pembunuhan tersebut, namun ketika akhirnya mereka bisa membaca petunjuk tersebut, sampailah mereka pada dugaan lokasi pembunuhan berikutnya: Hotel Cortesia Tokyo! 

Berangkat dari kesimpulan tersebut, beberapa petugas kepolisian ditugaskan menyamar di hotel, menempati beberapa posisi mulai dari petugas kamar, bell boy, sampai.. front desk, sebuah posisi sulit yang biasanya ditempati petugas senior hotel yang sudah berpengalaman. Petugas kepolisian yang dengan setengah hati menempati posisi ini adalah Nitta Kosuke. Ia dipasangkan dengan staf front desk sungguhan yang sangat berpengalaman, Yamagashi Naomi yang tugasnya melatih Nitta dan memastikan penyamaran Nitta tidak terbongkar. 

Belajar mengenali karakter tamu hotel

Salah satu hal yang tidak diduga Nitta ketika ditugaskan menjadi front desk adalah ia juga berkesempatan memahami karakter tamu hotel yang datang. Mulai dari bertemu tamu yang biasa saja, sampai meninggalkan kesan mendalam. Sebetulnya Nitta juga memang harus mengamati tamu-tamu mencurigakan, siapa tahu ada petunjuk kalau tamu tersebutlah pelaku kejahatannya. Di sepanjang buku, kita akan banyak bertemu tamu-tamu menyebalkan (he he), mulai dari tamu menyebalkan yang masih bisa ditoleransi tingkat nyebelinnya, sampai yang betulan ngehe. 

Sepertinya bagian menyelami karakter manusia ini jadi ciri khas Keigo sensei banget ya, bagaimana tamu yang egonya tersinggung mencoba menjebak staf hotel, bagaimana tamu yang terluka di masa lalu mencoba membalas dendam dengan cara kekanak-kanakan, sampai bagaimana kasus-kasus pembunuhan tersebut terjadi, semuanya meninggalkan kesan yang mendalam bagi saya, karena yaa manusia tuh gitu hehe saya juga gitu, kebanyakan orang juga gitu, kalau punya pengalaman tidak menyenangkan akan gampang teringat, hanya saja bagaimana cara orang merespon, itu yang beda-beda yang kita mendapatkan beberapa contohnya di buku ini. 

Perkembangan karakter Nitta

Nah, menariknya, tidak hanya diajak mengenal karakter tamu hotel,  kita juga akan diajak untuk mengenali karakter utama di buku ini dengan lebih mendalam. Menurut saya, salah satu yang asyik dan menyenangkan dari buku ini, adalah karakter Nitta yang amat manusiawi. Dia sangat ingin terlihat menonjol, terutama dalam kasus yang sedang ramai dan jadi sorotan ini. Sebagai polisi yang sebelumnya memegang kasus secara langsung, penugasannya untuk undercover menjadi seorang front desk sungguh melukai egonya. Ia ingin melakukan sebuah pembuktian, dan dalam hal ini, ia dibantu Polisi senior dari kepolisian daerah, yang sangat bijak dan bisa melihat keinginan Nitta yang menggebu-gebu. Nose namanya. 

Bagaimana perjalanan pendewasaan Nitta dalam kasus ini, dari yang awalnya: harus saya yang menuntaskan dan menyelesaikan kasusnya, menjadi it's not about me, it's about them namun tanpa mengurangi kejeliannya dalam melihat apa yang terjadi, buat saya menjadikan buku ini jadi sangat kaya pembelajaran juga. 

Plot twist


Seperti buku misteri pada umumnya, tentu tidak seru ya kalau tidak ada plot twist yang terjadi, dan tenang saja, buku ini menyajikan plot twist yang buat saya sih gak ketebak ya, tapi entah mengapa saya merasa beberapa orang yang biasa membaca buku misteri sepertinya bisa menebak hehe. (Kalau kamu sudah baca bukunya boleh loh komentar di tulisan ini, kamu bisa tebak plot twistnya atau tidak). 

Saya suka plot twist yang disajikan! ada bumbu-bumbu romance pula (walaupun setitik saja hehe), tapi buat saya yang suka romance, ini menjadikan bukunya lebih menarik! Bayangkan bau parfum jadi salah satu petunjuk di akhir buku hehe. 

Endingnya, baik ending kasus maupun ending buku, buat saya pribadi sekali lagi: sangat menyenangkan dan memuaskan.

Membaca buku ini mengingatkan saya pada buku The Newcomers dan after effect setelah membacanya, seperti tidak membaca buku misteri, tapi ada perasaan hangat, karena tak hanya diajak membaca kasus pembunuhan yang menegangkan saja, tapi juga diajak mengenali karakter di buku secara lebih dalam. Sangat berbeda dengan membaca buku Tragedi Pedang Keadilan he he. Bukan berarti Tragedi Pedang Keadilan jelek ya, tapi jelas bukan buku yang akan saya baca ulang dalam waktu dekat. 



 


𝘏𝘪𝘥𝘶𝘱 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘯𝘥𝘢 𝘬𝘦𝘬𝘢𝘭𝘢𝘩𝘢𝘯


Saya pertama kali mengenal Derai-Derai Cemara di SMA.
Satu waktu guru Bahasa Indonesia meminta kami membuat musikalisasi puisi dari karya-karya Chairil Anwar. Saya ingat betul semua puisi yang kami garap.

Kelompok saya mendapatkan puisi Senja di Pelabuhan Kecil, puisi yg sepertinya sedang ditulis Chairil saat sedang gaau galaunya. Kelompok lain mendapatkan puisi Cintaku Jauh di Pulau, puisi yang juga isinya seperti curhatan cinta bertepuk sebelah tangan buatku dulu. Lalu satu kelompok lagi menyanyikan versi musikalisasi puisi untuk Derai-Derai Cemara, yang tiap baitnya tidak bisa saya lupakan sampai sekarang.

𝘈𝘬𝘶 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨𝘯𝘺𝘢 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘵𝘢𝘩𝘢𝘯
𝘚𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘱𝘢 𝘸𝘢𝘬𝘵𝘶 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘯𝘢𝘬 𝘭𝘢𝘨𝘪
𝘛𝘢𝘱𝘪 𝘥𝘶𝘭𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘥𝘢 𝘴𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘣𝘢𝘩𝘢𝘯
𝘠𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘴𝘢𝘳 𝘱𝘦𝘳𝘩𝘪𝘵𝘶𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘬𝘪𝘯𝘪


Bisa jadi saya saya terkesima dengan pilihan nada kelompok ini yg jauh lebih baik dari kelompok kami, bisa jadi saya memang terpukau dengan pilihan kata pada Derai-Derai Cemara.

Puisi ini tidak berisi ungkapan hati ketika putus cinta seperti puisi saya. Puisi ini, buat saya yang bocah waktu itu isinya tentang bagaimana Chairil jauh lebih dewasa, menerima nasib, paham betul kalau semua akan berpulang, juga ada bait-bait berisi pengakuan kalau dulu yaa dia tidak sedewasa ini.

Saya sering mengulang membaca puisi ini pada situasi terpuruk, pada hari-hari yang terasa penat, pada malam-malam sepi saat saya harus tetap bekerja dan jauh dari keluarga, juga ketika semua hal mulai berada diluar kendali saya. Rasanya menakjubkan bagaimana sebuah puisi bisa hidup melintasi jaman dan tetap relevan buat saya dan mungkin pembaca lainnya. Saya tidak merasa sendiri ketika membaca puisi ini. Juga tak merasa begitu buruk, karena ya pada akhirnya, bahkan setelah belajar dan sedikit lebih dewasa, kita semua akan menyerah, bukan?

---
Puisi ini ditulis tahun 1949, tahun dimana Chairil Anwar juga “menyerah”, berpulang dari kehidupan dunia di usia 27 tahun. Tak meninggalkan harta apapun selain karya-karyanya yang tetap hidup sampai sekarang. Sekarang, tiap tahun, hari kelahirannya dan hari kematiannya dijadikan hari puisi nasional.












Dua tahun lalu, saya membaca sebuah Esai berjudul Yang Menarik dan Tidak Menarik dari Pulang, dari Buku Dera Anugrah berjudul kenapa Kita Tidak Berdansa. Saya pernah menuliskan reviunya di sini jika kamu tertarik untuk membaca lebih lanjut. 

Sejak membaca tulisan tersebut, saya bertekad untuk membaca buku Leila Chudori yang satu ini. Sebetulnya saya pernah mencoba membaca karya Bu Leila yang cukup hits, Laut Bercerita. Tapi ya, tidak selesai, saya lupa alasan kenapa waktu itu bukunya tidak selesai saya baca, tapi sepertinya salah satu alasannya karena pace ceritanya yang cukup lambat di awal, ditambah bukunya buat saya overhype di Twitter/X, membuat saya jadi malas duluan membacanya. Tapi ternyata buku Pulang berbeda ya. 

Saya membaca Pulang agak lama. Tiga bulan lamanya, saya tahu betul karena saya track bacaan saya di Goodreads. Lalu apa yang membuat Pulang berbeda? 

Saya membaca Pulang ketika film Eksil garapan Lola Amaria diputar secara terbatas di Februari 2024. Sebuah film yang topiknya sama dengan Pulang; menceritakan kisah orang-orang Indonesia yang menjadi korban konflik politik dalam negeri sehingga mereka tidak bisa pulang, dan kehilangan kewarganegaraan. Saya tidak bisa menonton Eksil. Sekali lagi karena pekerjaan sedang padat-padatnya, tapi selain itu juga karena film ini diputar terbatas dan bioskop yang memutar film ini di Bandung, lokasinya cukup jauh dari rumah saya. Karena tidak bisa menonton Eksil, saya menonton Surat dari Praha di Netflix, tapi itu tidak cukup membuat saya terpuaskan dengan cerita eksil 65, sehingga akhirnya saya memutuskan membaca Pulang. 

Saya rasa, saya akan agak kesulitan menuliskan Yang Menarik dan Tidak Menarik dari Pulang, karena apa yang saya rasakan hampir secara keseluruhan telah termuat dalam review Dea Anugrah (aduh, saya sangat berharap bisa menuliskan reviu buku sebaik itu :')). 

Tapi yaa rasanya gatal juga tidak menuliskan pengalaman saya membaca buku ini. Jadi kurang lebih berikut catatan saya membaca buku Pulang. 

Fiksi Sejarah yang cemerlang

Pulang adalah sebuah buku penting untuk memahami sejarah yang terjadi pada kaum intelektual Indonesia pada saat tragedi 1965 terjadi. Singkatnya, buku ini menggambarkan betul bahwa 'korban' dalam peristiwa ini bukan hanya orang-orang yang dituduh PKI tanpa bukti dan tanpa pengadilan. Korban yang jarang mendapatkan sorotan ya contohnya para eksil seperti tokoh utama dalam buku ini, Dimas Suryo, seorang wartawan yang dekat dengan orang-orang kiri, namun tidak pernah secara terbuka memproklamirkan diri sebagai seorang komunis, bahkan cenderung tidak sepaham dengan gagasan yang diusung, kebetulan berada di luar negeri pada saat tragedi berlangsung, dan tertahan tidak bisa pulang. 

Bukan sebuah kebetulan, Leila juga menyuguhkan dua sejarah besar Indonesia yang terjadi di buku ini:
  1. Tragedi 1965 dan implikasinya pada Dimas dan teman-temannya, keluarganya, serta anak-anaknya di masa mendatang.
  2. Tragedi 1998; Yup! di sepertiga bagian akhir buku, kita akan membaca cerita Lintang Utara (anak Dimas Suryo) yang datang ke Indonesia untuk membuat film pendek tentang tahun 1965. Lintang datang ke Jakarta yang sedang cukup panas saat itu, jadi di buku ini, kita juga bisa melihat apa sih yang terjadi pada waktu tragedi 1998 terjadi, walaupun tentu dari sudut pandang Alam, Lintang dan rekan-rekannya yang tidak secara langsung menjadi korban dari tragedi ini. 
Karenanya, buku ini adalah buku yang sangat baik jika kamu ingin membaca buku fiksi sejarah Indonesia. Dua latar penting buku ini sangat berhubungan. Awal dan akhir sang Jenderal. Awal dan akhir seorang pemimpin yang selama 32 tahun menjadi presiden di Indonesia, terpotret lewat keseharian 'korban' atau masyarakat umum, yang bukan siapa-siapa, tapi kena getahnya juga. 

Kisah Cinta yang Bertebaran, dari yang Mendalam sampai yang Begajulan 

Selain mengambil tema sejarah, penting untuk diketahui bahwasanya buku ini merupakan buku dengan tema percintaan yang begitu kental! Tapi saya tidak bisa mengeluh, karena seperti yang Dea Anugrah tulisakan dalam Esainya tentang novel Pulang, "Memangnya siapa yang betah membaca novel setebal 500 halaman yang tak ada kisah cintanya?". 

Ada banyak kisah cinta di sini, dari yang terlihat megah dan dalam seperti kisah cinta Dimas dan Surti, yang saya tahu betul sangat menarik buat banyak orang, yang juga sangat realistis, karena kita tidak selalu bisa mendapatkan orang yang kita inginkan, kan ya?, lalu ada juga kisah cinta yang meletup-letup dan begajulan seperti kisah Lintang dan Alam, yang ini mungkin tidak disukai banyak orang karena melibatkan adegan perselingkuhan, tapi ya saya menikmati saja kisah cinta mereka berdua, yang ini mungkin dipengaruhi kebiasaan dan kesenangan saya membaca cerita contemporary romance yang dua tokohnya mungkin bertemu diawali dengan perseteruan, tapi berakhir jatuh cinta. 

Nah, uniknya kita tidak hanya akan membaca kisah mereka berdua. Tapi juga kisah rekan-rekan sekitar tokoh utama yang saling jatuh cinta, lalu karena setting waktu di buku ini yang sangat lama rentangnya, kita akan bisa melihat, bagimana cinta adalah sesuatu yang harus terus menerus dipelihara dengan serius, jika tidak akan selalu ada konsekuensi yang menanti. Apakah konsekuensi ini berarti buruk? seperti perceraian? belum tentu. Saya misalnya sangat senang ketika Vivienne memutuskan bercerai dari Dimas, tapi kan memang tetap ada yang menjadi 'korban' dan patah hati dari tiap putus dan perceraian. Dalam kasus Vivienne dan Dimas, ya yang paling patah hati adalah Lintang, anaknya yang tak lagi mendapatkan privilese orang tua lengkap. 

Kita bisa memilih untuk menikmati saja tokoh-tokoh di buku ini berproses pada kisah cinta mereka, atau bisa juga belajar dari kisah cinta mereka. 

Tak ada gading yang tak retak

Tentu saja buku ini tak jadi buku yang 100 persen sempurna. Kritik saya terhadap buku ini agak mirip dengan kritik Dea di esainya, bahwasanya tokoh di buku ini seringkali hitam putih, terutama penggambaran tokoh antagonis seolah-olah tak ada kebaikannya sama sekali, saya beneran melongo waktu Rininta, tunangan Rama (sepupu Lintang) digambarkan sebagai perempuan anak orang kaya yang hanya tahu belanja dan hura-hura di Paris sana. Konflik Rama malah jadi melempem. Tidak terbayang kalau ternyata Rininta perempuan terpelajar yang juga tidak mudah menghakimi. Pasti lebih seru. Tapi pilihan ini sedikit banyak juga dimaklumi, karena pasti tulisannya akan jadi lebih tebal dan konflik-konfliknya makin melebar. 

---

Secara keseluruhan, Pulang menjadi buku yang menyenangkan untuk saya baca, dan sangat saya rekomendasikan untuk dibaca teman-teman yang ingin mulai membaca fiksi sejarah Indonesia. Dengan catatan ini bukunya U17 yaa ratingnya! 

Kalau kamu memutuskan untuk membaca buku ini, jangan lupa lanjutkan dengan menonton film eksil dan surat dari praha supaya semakin lengkap membaca perspektif Dimas dan sosok eksil real yang telah berpulang ataupun yang masih ada di negeri seberang.
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

POPULAR POSTS

  • [Review Asri] Atomic Habits - James Clear
  • Review Asri: Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom
  • [Review Asri] Kemarau - A.A. Navis
  • Review Asri - Tempat Terbaik di Dunia karya Roanne Van Voorst
  • Review Asri: As Long As The Lemon Trees Grow karya Zoulfa Katouh
  • Review Buku Angsa dan Kelelawar karya Keigo Higashino
  • Sabtu yang Menyenangkan dan kenapa saya suka membeli bunga
  • Review Asri: Manabeshima Island Japan karya Florent Chavouet
  • Main ke Toko Buku Pelagia Bandung
  • Review Asri - the house of my mother karya Shari Franke

Arsip Blog

  • ▼  2025 (16)
    • ▼  Mei 2025 (3)
      • Review Asri: Pengantin-pengantin Loki Tua karya Yu...
      • Review Asri: Minimarket yang Merepotkan karya Kim ...
      • Tiap Anak Berbeda, Termasuk Proses Melahirkannya; ...
    • ►  April 2025 (2)
    • ►  Maret 2025 (2)
    • ►  Februari 2025 (3)
    • ►  Januari 2025 (6)
  • ►  2024 (8)
    • ►  November 2024 (1)
    • ►  Agustus 2024 (1)
    • ►  Juni 2024 (1)
    • ►  Mei 2024 (2)
    • ►  April 2024 (3)
  • ►  2023 (17)
    • ►  November 2023 (1)
    • ►  September 2023 (1)
    • ►  Juli 2023 (4)
    • ►  Juni 2023 (4)
    • ►  Maret 2023 (2)
    • ►  Februari 2023 (2)
    • ►  Januari 2023 (3)
  • ►  2022 (52)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  September 2022 (12)
    • ►  Agustus 2022 (2)
    • ►  Juli 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (4)
    • ►  Mei 2022 (9)
    • ►  April 2022 (7)
    • ►  Maret 2022 (5)
    • ►  Februari 2022 (6)
    • ►  Januari 2022 (3)
  • ►  2021 (35)
    • ►  Desember 2021 (5)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (4)
    • ►  Agustus 2021 (3)
    • ►  Juli 2021 (2)
    • ►  Juni 2021 (1)
    • ►  Mei 2021 (3)
    • ►  April 2021 (1)
    • ►  Maret 2021 (2)
    • ►  Februari 2021 (6)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (13)
    • ►  Desember 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (4)
    • ►  Juni 2020 (3)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (1)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (14)
    • ►  November 2019 (1)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (2)
    • ►  Juli 2019 (2)
    • ►  Maret 2019 (3)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (2)
  • ►  2018 (15)
    • ►  Desember 2018 (4)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Juli 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (3)
    • ►  Maret 2018 (3)
    • ►  Januari 2018 (2)
  • ►  2017 (20)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  Oktober 2017 (3)
    • ►  September 2017 (2)
    • ►  Agustus 2017 (4)
    • ►  Juli 2017 (4)
    • ►  Mei 2017 (3)
    • ►  Januari 2017 (2)
  • ►  2016 (65)
    • ►  Desember 2016 (2)
    • ►  September 2016 (2)
    • ►  Agustus 2016 (3)
    • ►  Juli 2016 (17)
    • ►  Juni 2016 (7)
    • ►  Mei 2016 (7)
    • ►  April 2016 (25)
    • ►  Februari 2016 (1)
    • ►  Januari 2016 (1)
  • ►  2015 (29)
    • ►  Desember 2015 (3)
    • ►  September 2015 (2)
    • ►  Agustus 2015 (13)
    • ►  Juli 2015 (4)
    • ►  Juni 2015 (1)
    • ►  Maret 2015 (2)
    • ►  Februari 2015 (1)
    • ►  Januari 2015 (3)
  • ►  2014 (29)
    • ►  Desember 2014 (8)
    • ►  November 2014 (6)
    • ►  Oktober 2014 (2)
    • ►  September 2014 (2)
    • ►  Juni 2014 (3)
    • ►  Mei 2014 (2)
    • ►  Februari 2014 (6)
  • ►  2013 (66)
    • ►  Desember 2013 (1)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  Oktober 2013 (7)
    • ►  September 2013 (7)
    • ►  Agustus 2013 (15)
    • ►  Juli 2013 (4)
    • ►  Juni 2013 (8)
    • ►  Mei 2013 (2)
    • ►  April 2013 (5)
    • ►  Februari 2013 (3)
    • ►  Januari 2013 (9)
  • ►  2012 (6)
    • ►  November 2012 (4)
    • ►  Oktober 2012 (2)
  • ►  2011 (8)
    • ►  Oktober 2011 (4)
    • ►  September 2011 (1)
    • ►  Maret 2011 (3)

Goodreads

Asri's books

Kejutan Kungkang
it was amazing
Kejutan Kungkang
by Andina Subarja
The Fine Print
liked it
The Fine Print
by Lauren Asher
Under One Roof
liked it
Under One Roof
by Ali Hazelwood
Lessons from Surah Yusuf
it was amazing
Lessons from Surah Yusuf
by Abu Ammaar Yasir Qadhi
Setelah membaca ini sampai selesai malam ini. Jadi paham kenapa Allah bilang kalau Kisah Yusuf ini salah satu kisah terbaik dalam Quran. Ada terlalu banyak pelajaran berharga dari kisah Yusuf. Dr. Yasir Qadhi mengawali buku ini dg sebab...
No Exit
liked it
No Exit
by Taylor Adams

goodreads.com

Blog Perempuan

Blog Perempuan

Cari Blog Ini

Kamu pengunjung ke

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © Journal Asri. Designed by OddThemes