Hari ini saya ingin meluangkan waktu agak lama untuk menuliskan kesan mendalam dari sebuah buku yang saya baca sebulan kebelakang. Kisah di Kebun Terakhir, buku non-fiksi yang saya beli ketika mampir ke Theotrapi, Yogyakarta di Desember 2022. Penjaga tokonya semangat sekali meracuni saya membeli buku ini karena kebetulan buku yang saya cari, Tempat Terbaik Di Dunia, sedang tidak ada. Ia bilang, pengalaman membaca buku ini akan sama serunya, karena sama-sama buku yang ditulis oleh seorang antropolog.
Saya belum membaca Tempat Terbaik Di Dunia, sampulnya bahkan belum saya buka, tapi satu hal yang pasti: Kisah dari Kebuh Terakhir bisa jadi akan menjadi salah satu buku terbaik yang saya baca di 2023. Padahal ini baru Januari.
Buku ini ditulis oleh Tania Murray Li, Guru Besar pada Department of Anthropology, University of Toronto, versi pertama buku ini terbit dalam Bahasa Inggris, pertama kali diterbitkan di Amerika Serikat pada 2014 dengan judul Land's End: Capitalist Relations on Indigenous Frontier oleh Duke University Press. Buku yang saya baca adalah versi Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Marjin Kiri, diterjemahkan oleh Nadya Karimasari dan Ronny Agustinus.
Saya ingin mencoba menuliskan pengalaman saya membaca buku ini, tapi saya mau disclaimer dulu, saya bukan aktivis gerakan, bukan akademisi dan bukan orang yang bergerak di gerakan sosial terutama untuk isu agraria. Jadi kalau kamu mengharapkan review dari sudut pandang tersebut, mungkin kamu tidak akan menemukannya di tulisan saya.
Sebelum menulis review ini, saya sempat menonton bedah buku ini di video Youtube. Salah satu pembahasnya, Suraya A. Affif membahas kalau buku ini ditujukan untuk tiga audience:
Nah, saya tidak masuk ke-ketiganya. Apa yang saya tuliskan, murni dari sudut pandang seserang yang biasanya membaca novel misteri, komik dan buku-buku fantasi, kemudian bertemu dengan buku nonfiksi yang amat asyik untuk dibaca.
Apa yang membuat saya begitu jatuh hati pada buku ini?
Sebelum menjawab pertanyaan diatas, saya akan sedikit menceritakan isi buku ini.
Buku ini adalah tulisan yang bersumber dari pengalaman Tania Li selama dua puluh tahun melakukan riset etnografis di Sulawesi. Tepatnya di Sulawesi Tengah. Tania melakukan riset tentang hubungan kapitalisme di antara penduduk adat, tepatnya yang terjadi di Suku Lauje yang dibuku ini dikisahkan tinggal di perbukitan.
Kisah dari Kebun Terakhir membahas upaya penghuni perbukitan untuk ikut serta dalam iming-iming derap kemajuan yang dijanjikan oleh narasi modernisasi, hanya untuk mendapati dampak kesenjangan akibat hubungan-hubungan kapitalis yang muncul di antara mereka. Petani yang mampu mengakumulasi lahan dan modal mereka menjadi sejahtera; mereka yang kalah bersaing tertendang keluar arena. Kebun Terakhir membahas berbagi lahan, dan berakhirnya hutan primer sebagai cadangan tanah, tempat penghuniperbukitan bisa berekspansi manakala dibutuhkan atau ada kesempatan. Buku ini juga membahas rasa kebingungan mereka--tiba di jalan buntu, akhir dari semenanjung yang dikitari lautan, tanpa rakit ataupun arah tujuan. Inilah nasih Kasar dan petani-petani lain seperti dia, yang tidak bisa lagi menghidupi keluarganya dengan cara-cara lama, tetapi juga tidak punya pilihan lain yang tersedia (pendahuluan, hal. 2, Kisah dari Kebun Terakhir)
Buku ini memang membahas (mungkin lebih tepat disebut bercerita) tentang kemunculan hubungan kapitalis di antara penduduk adat di perbukitan. Namun cara Tania berkisah sangat-sangat membuat pembaca yang awam pada isu sosial politik seperti saya, sangat menikmati buku ini. Diawali dengan narasi pedih tentang kehidupan Kasar, seorang lelaki empat puluh tahunan yang dikunjungi Tania, yang kondisinya mengenaskan namun tak punya banyak pilihan hidup.
Mengenal Lauje lewat Kisah dari Kebun Terakhir
|
Orang-orang Lauje, kalau dicari di Google |
Saya diajak berkenalan dengan Suku Lauje, bentang alamnya, hubungan-hubungan yang membuat penghuni perbukitan Lauje sebagai orang miskin dan terbelakang, dan mendorong mereka mencari jalan untuk memperbaiki nasib, bagaimana cara mereka hidup dan bertani di masa lampau, kebiasaan kerja dan tolong menolong orang-orang Lauje serta bagaimana akhirnya terjadi pengkavlingan yang menyebabkan pergeseran kepemilikan tanah untuk bercocok tanam di Lauje.
Secara geografis, orang-orang Lauje tinggal di beberapa Kabupaten di Sulawesi Tengah, namun dalam penelitian di buku ini, wilayah yang dibahas secara spesifik adalah Kabupaten Parigi Moutong.
Ada lima bab utama dalam buku ini:
1. Posisi
2. Kerja dan Tolong-menolong
3. Pengavelingan
4. Hubungan-hubungan Kapitalis
5. Politik, Ditinjau Kembali
Di masing-masing Bab, kita akan melihat pengamatan Tania yang digabungkan dengan teori serta catatan akademik, kamu bisa langsung melihat catatan kaki dari jurnal atau buku yang dibahas Tania di buku ini.
Meskipun membagi buku ini dalam lima bab utama, kita akan merasa kalau membaca buku ini seperti membaca catatan maju, kebanyakan kisah-kisah penelitan awal memang ditempatkan diawal buku, semakin maju membaca buku, semakin saya dibuat penasaran bagaimana nasib mereka sekarang setelah hilangnya budaya tolong-menolong dan terjadinya pengavelingan?
Ketika membaca buku ini, saya merasa amat dekat dengan orang-orang Lauje karena satu hal:
Saya pernah tinggal di tempat yang tidak jauh dari Lauje, dengan posisi geografis yang amat mirip dengan mereka. Tahun 2017 saya pernah meengajar di sebuah SD di daerah perbukitan di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Karena tidak pernah tertarik dengan isu agraria sebelumnya, ketika bertugas saya tak pernah banyak bertanya tentang asal mula warga di desa saya bertugas menanam tanaman-tanaman yang mereka miliki sekarang.
Tapi gambaran Tania tentang kehidupan sosial warga perbukitan di Sulawesi, rasanya sama persis dengan tempat saya pernah tinggal selama setahun. Mulai dari kebiasaan saling membantu, guru yang tinggal di pesisir dan perlu melakukan perjalanan jauh ke sekolah di perbukitan sehingga kadang tak hadir mengajar, bagaimana gesekan sosial di desa, kondisi ketika jalan mulai di bangun dan bagaiman pemerintah pernah berusaha memindahkan warga ke tempat yang lebih dekat ke pesisir, namun tak berhasil.
Jadi ya, saya merasa amat relevan dengan buku ini.
Membaca buku ini menawarkan pengalaman membaca yang cukup baru bagi saya, membaca hasil penelitian dengan narasi yang sangat indah dan membuat saya merasakan emosi yang bercampur aduk rasanya. Ada marah, geram, kesal, sedih, atau merasa useless ketika membaca buku ini dibagian akhir karena tahu ini adalah satu fenomena yang terjadi di Indonesia tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa.
Antropolog yang tidak 'narsis'
Cara Tania bercerita berkisah benar-benar membuat saya ikut mendengarkan ia duduk bersama warga di Lauje dan mendengarkan satu cerita dari beberapa sudut pandang. Saya juga diajak menyaksikan "ketamakan" salah satu sosok di buku ini, yang oleh Tania tidak dilabeli sebagai seseorang yang Tamak, saya bahkan hampir tidak menemukan label-label tertentu ditulis oleh Tania di buku ini, jika ada label yang menyangkut, biasanya adalah label dari warga lain kepada orang tersebut. Seperti yang ada di halaaman 212, ketika ia menceritakan pernikahan sebagai salah satu peristiwa yang bisa mempengaruhi keputusan ekonomi warga Lauje (saking besarnya pengeluaran yang diperlukan).
Ia menuliskan:
Ada satu contoh terkenal di Pelalang. Seorang pria tua yang membuka banyak dapat menjual semuanya untuk membayar tinggi mahar istri muda, dan dengan demikian membuat anak-anaknya tidak punya warisantanah. Tahan itu memang miliknya, tetapi pada masa ketika tanah menjadi kian langka dan mahal, tetangga menilai tindakannya itu bodoh sekaligus egois. (hal 212)
Karena mendengarkan dan melihat dari sudut yang lebih banyak, penulis bahkan bisa mengoreksi prasangka secara objektif berdasarkan catatan penelitian yang ia punya.
Petani Sibogo juga mengatakan saudara mereka di Sipil tidak bisa mengelola uang dan ingin mengonsumsi barang-barang yang sebenarnya tidak mampu mereka beli. ----kritik semacam ini ada benarnya untuk beberapa kasus tetapi sebagian besar tidak. Petani Sibogo tidak merasakan impitan yang dialami keluarga miskin dengan lahan sempit dan upah kecil yang menjual kebun produktif demi bertahan di masa krisis. (hal 214).
Ada salah satu kutipan dalam diskusi Bedah buku Kisah dari Kebun Terakhir dari Ben White, yang menyebutkan apa yang membuat buku Tania amat menyenangkan untuk dibaca. Kebanyakan antropolog atau penulis yang menulis studi etnografi kebanyakan 'narsis', seolah-olah membuat pembaca 'lihat nih saya sedang melakukan studi seperti ini'. Tapi Tania berhasil membuat pembaca (TERMASUK SAYA) yang membacanya merasa duduk disebelahnya, ikut dalam studinya, hidup bersama orang-orang Lauje walau sebentar saja. Videonya bisa kamu saksikan disini.
Siapa yang cocok membaca buku ini?
Meskipun judulnya terkesan berat (terutama bagian hubungan kapitalis di wilayah adat), namun membaca buku ini sangat-sangat tidak membosankan dan tidak membuat kita pusing dengan istilah-istilah yang sulit dipahami. Bahkan jika kita bukan orang yang tertarik pada isu agraria, konflik sosial, atau gerakan sosial, buku ini tetap akan sangat menarik untuk dibaca jika kamu ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada masyarakat perbukitan.
Namun memang buku ini akan lebih relevan jika kamu punya ketertarikan terhadap isu sosial. Tapi teteeeep sih, enggakpun, saya merekomendasikan siapa saja untuk membaca buku ini!
Ini pertama kalinya saya membaca tulisan etnografi dan sepertinya akan mulai membaca beberapa buku etnografi yang diterbitkan Marjin Kiri setelah membaca buku ini.
Informasi Buku
Kisah dari Kebun Terakhir: Hubungan Kapitalis di Wilayah Adat
Penulis: Tania Muraay Li
Diterbitkan pertama kali tahun 2014 di Amerika serikat dengan judul Land's End: Capitalist Relations on Indigenous Frontier oleh Duke University Press
Penerjemah: Nadya Karimasari dan Ronny Agsutinus
Editor: Muhammad Iqbal
Penyusun indeks: Muhammad Haikal
Cetakan pertama: Agustus 2020
Diterbitkan oleh Marjin Kiri
Jumlah halaman: i - xiv + 326 halaman
Ukuran: 14 x 20,3 cm
Harga: 97.000
Bisa dibeli di Tokopedia Marjin Kiri