Review Asri: Rumah Kertas - Carlos Maria Domininguez

 


Buku pertama yang saya tamatkan sebagai seorang Ibu: Rumah Kertas karya Carlos Maria Domininguez. Membaca buku setelah menjadi seorang ibu ternyata beda sekali ya dengan sebelum menjadi ibu hihi. Setelah melahirkan, saya membeli satu buku, Mas Har menghadiahkan tiga buku, belum lagi langganan Gramedia Digital yang masih berjalan, tapi gak banyak buku yang tamat saya baca. Bisa jadi karena sebagian besar adalah buku non-fiksi, sementara Rumah Kertas ini buku fiksi dengan 75 halaman saja. Tipis sekali. 

Saya pertama kali mendengar tentang buku ini di #SelasaBahasBuku yang diselenggarakan Hayu Maca. Saya lupa siapa pengulas buku ini tapi saya terhipnotis sekali dengan ulasannya dan langsung ingin baca tapi bukunya ga ada hehe. Rasanya setelah itu saya langsung masukkan keranjang belanja, karena bukunya tipis, pikir saya nanti sekalian beli buku lain baru check out, supaya hemat ongkir (hehe). Tapi ga di check-out sampai setahun lebih, keburu lupa. Kemarin, Mas Har membelikan saya buku ini. 

Kenapa saya amat sangat ingin membaca buku ini: karena temanya tentang buku. Ringkasan buku ini dibagian belakang buku saya amat membuat saya penasaran:

Seorang profesor sastra di Universitas Cambridge, Inggris, tewas ditabrak mobil saat sedang membaca buku. Rekannya mendapati sebuah buku aneh dikirim ke alamatnya tanpa sempat ia terima: sebuah terjemahan berbahasa Spanyol dari karya Joseph Conrad yang dipenuhi seprihan-serpihan semen kering dan dikirim dengan cap pos Uruguay. Penyelidikan tentang asal usul buku aneh itu membawanya (dan membawa pembaca) memasuki semesta para pecinta buku, dengan berbagai ragam keunikan dan kegilaannya!

Menarik sekali bukan!
Judul asli buku ini adalah La Casa de Papel, yang terjemahannya adalah Rumah Kertas dalam Bahasa Indonesia, ha! Jangan kaget kalau search judul aslinya di google yang keluar adalah gambar dan artikel tentang serial Money Heist ya! hehe, karena serial tersebut aslinya berjudul sama dengan buku ini sebelum diterjemahkan menjadi Money Heist. Tapi ceritanya sama sekali tidak sama kok :). Buku ini ditulis oleh penulis Argentina, Carlos Maria Domininguez. 

Berkisah tentang perjalanan si tokoh utama atau 'aku' di buku ini. Si tokoh utama adalah rekan kerja Bluma Lennon, profesor sastra Amerika Latin yang dikisahkan meninggal usai tertabrak mobil ketika sedang membaca karya Emily Dickinson. Bekerja di ruangan yang tadinya milik Bluma, si tokoh utama menerima paket misterius yang berisi buku La linea de sombra, terjemahan Spanyol The Shadow Line karya Joseph Conrad. Buku tersebut dikirim dalam keadaan koyak, dibagian depan dan belakangnya terdapat kotoran berkerak, belum lagi ada bekas-bekas semen dan debu halus dari buku tersebut. Karena penasaran, tokoh utama mencari siapa pengirim buku tersebut dan pencariannya mengerucut pada satu nama: Carlos Braurer, seorang bibliofil dari Uruguay. 

Lewat perjalanan mencari Carlos Braurer inilah, si tokoh utama bertemu beberapa orang yang menceritakan siapa Carlos dan seberapa cinta dan gilanya ia pada buku dan membaca. Oh iya! si tokoh utama disini juga seorang penggila buku yang diawal buku disebutkan sedang bingung karena bukunya butuh rak baru dan ia tak tahu harus simpan dimana bukunya. 

Tokoh utama bertemu Jorge Dinarli, pemilik salah satu toko buku lawas yang sebelum menceritakan tentang Carlos, terlebih dahulu menceritakan tentang dua tipe bibliofil yang ia kenal:

1. Kolektor, yang bertekad mengumpulkan edisi-edisi langka dan mengagumi buku-buku tersebut layaknya objek yang indah dan barang yang langka.
2. Para kutu buku, pelahap bacaan yang rakus. Seperti halnya Carlos Braurer, yang sepanjang hidupnya membangun koleksi perpustakaan, pecinta buku tulen, yang mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk buku dan menghabiskan waktu untuk mempelajari dan memahaminya. 

Hmmmm, membaca percakapan antara tokoh utama dan Dinarli saya langsung mikir saya masuk yang mana haha, walau sepertinya bukan keduanya. Buat saya, membaca buku amat menyenangkan karena bisa membawa saya 'pergi'dari tempat saya berada tanpa benar-benar pergi. Belakangan membaca nonfiksi juga sama menyenangkannya karena seru ya bisa membaca beragam pemikiran orang, yang bisa jadi kita setujui dan tidak. 

Nah, sepanjang 75 lembar buku ini, rasanya tak habis-habis saya diajak refleksi tentang kecintaan saya pada buku. Walau tidak sampai level kegilaan Braurer (ga mau spoiler tapi kalian harus baca kegilaan dia pada buku yang bikin saya merinding) membaca buku ini seperti diajak mengenali beragam tipe pembaca dan pengoleksi buku. Ada pembaca yang senang bukunya bersih, ada yang suka coret-coret sambil baca, ada yang ngoleksi untuk kesenangan semata ada yang untuk dibaca, macam-macam deh. Belum lagi kalau sudah level kolektor, ternyata biaya perawatan buku bagi mereka lebih mahal daripada harga bukunya hehe. 

Pada akhirnya, usai membaca buku ini saya kembali pada satu kesimpulan:

Namanya cinta yang berlebihan itu ga ada yang bagus, termasuk cinta pada buku yang katanya sumber ilmu pengetahuan. Cinta yang berlebihan bisa membutakan, membuat kita tak bisa pandang sesuatu dengan jernih. 

Jika diawal buku, si tokoh utama bingung meletakaan rak baru untuk buku-bukunya, di bagian akhir ia memilih membagi-bagikan buku tersebut kepada mahasiswanya. Menolak menjadi penimbun buku terutama untuk buku-buku yang kemungkinan tidak ia butuhkan lagi. Ini mengingatkan saya pada beberapa teman yang mulai unhaul buku-buku mereka entah dengan membagikan gratis atau menjualnya untuk membeli kembali buku baru. Saya sendiri belum sampai level bagi-bagiin buku gratis terutama kalau bukunya bagusss heheee. Saya akui saya masih suka menimbun. Tapi sepertinya mulai harus buat aturan kaya baju yaa, satu buku baru masuk, satu buku lama harus keluar biar ga penuh-penuhin rumah juga :)


 

0 comments

leave yout comment here :)