Love Hate Relationship saya dan Jakarta

Akhir Juli dan Akhir Agustus ini saya dua kali bolak balik ke Jakarta! Hihi kunjungan pertama karena kondangan, tapi seru bisa sekalian main ke tempat seorang teman, balik lagi naik KRL dan balik lagi main ke Taman Suropati. Bahkan kali ini lebih seru karena bisa bareng Rana. 

Kunjungan kedua, urusan pekerjaan. Berangkat dan pulang dihantui ketakutan karena kasus Covid sedang naik lagi, alhamdulillah sebelum berangkat dan sebelum balik ke Cimahi tes Covid keduanya negatif. 

Dua kunjungan ini membuat saya merefleksikan lagi hubungan saya dengan Jakarta! Ibukota Indonesia; yang sering disebut tempat cuan-cuan ngumpul, dan saya sedikit banyak setuju. 

Kunjungan pertama saya setelah pandemi, akhir Juli lalu, saya lebih mirip turis. Datang naik kereta Argo Parahiyangan, turun di Gambir, langsung istirahat di hotel, main ke tempat teman naik KRL di akhir pekan (yang sepii banget). Keesokannya kembali naik KRL sampai Stasiun Cikini dan lanjut jalan kaki ke Taman Suropati. It was really fun! Saya dan suami senang sekali mengajak Rana ke Jakarta dan saya sendiri ingin balik lagi untuk exploring Jakarta, karena ada banyak atraksi menarik (baca: museum, perpustakaan dan galeri! +tempat jajan buku), serta transportasi umum yang menyenangkan sekali. Murah, mudah!





Kunjungan kedua, akhir bulan Agustus, saya datang untuk bekerja. Damn! setelah sebelumnya di love mode, saya kembali ke hate mode. Padahal kali ini kantor benar-benar memfasilitasi saya agar bisa bekerja lebih mudah. Ada mobil yang stand by untuk antar kemana-mana, hotel, makan, tapi tetap saja. Datang ke Jakarta untuk bekerja rasanya benar-benar bikin penat. Saya datang Rabu, pulang Sabtu, hanya 3 hari. Tapi ya pulang-pulang langsung bersyukur benar manager saya selama ini memberikan kebebasan untuk WFO dari Bandung (saya sudah mulai hybrid seminggu 2x), padahal harusnya saya ngantor di Jakarta. 




Terlepas dari semua itu, menarik sekali rasanya kalau melihat lebih jauh relasi saya dan Jakarta. Jakarta punya magnet yang sangat sangat sangat kuat menarik saya kembali kesana. Sejujurnya sebelum punya anak, saya merasa saya lebih cocok tinggal di Jakarta, saya suka pacenya yang cepat, saya suka integrasi transportasi umumnya yang membuat saya tidak bergantung pada kendaraan pribadi, saya suka beragam kegiatan terbuka yang diadakan di Jakarta. Namun setelah punya anak, semuanya berubah.

Saya tidak merasa Jakarta akan menjadi kota yang ramah bagi saya, suami dan anak saya. Bukan berarti Cimahi (atau Bandung) jauh lebih ramah, tidak juga sebetulnya, masih banyak PR dari kota tempat saya tinggal sekarang ini. Tapi setidaknya, saya punya keluarga disini, apapun yang terjadi saya bisa punya back up, di Jakarta, saya dan suami tak punya siapapun. Gak kebayang kalau weekend lelah gak bisa nitip Rana dua atau tiga jam sama embahnya sehingga saya bisa baca buku atau tidur siang. Selama ini saya sering lupa menyadari kalau itu adalah hal yang sangat mahal. 

Tapi ya, saya dan suami tidak akan pernah tahu bagaimana Allah mengatur hidup kami kedepannya, bahkan hingga hari ini, rejeki kami dibukakan Allah dari kantor-kantor yang ada di Jakarta, yang para pemimpinnya memberikan kebebasan untuk berkarya dari mana saja, termasuk dari Cimahi seperti kami saat ini. Semoga kedepannya saya, suami dan kamu yang membaca tulisan saya juga diberikan kemudahan itu untuk seterusnya ya! 

0 comments

leave yout comment here :)