Menjelang Petang.
Dulu diteriaki ulang oleh ibu.
Kini dipanggil lembur oleh bosku.
Dulu tubuh sudah ditaburi bedak
kini terjebak di kendaraan yang membeludak.
Dulu bersiap untuk pergi mengaji
kini sudah terbiasa saling mencaci.
Dewasaku membuat gamang.
Saat menjelang petang.
-gaber-
Kutipan diatas saya ambil dari halaman belakang buku Menjelang Petang karya Rizal Fahmi atau lebih dikenal sebagai Banggaber.
Saya sepertinya mengikuti akun @banggaber di Instagram sejak satu atau dua tahun lalu saya lupa persisnya. Setiap karya Banggaber, tak hanya menyajikan visual yang menarik tapi juga dibubuhi kata-kata reflektif yang selalu menancap dalam bagi saya.
Belakangan, Banggaber seringkali menampilkan karya bertema senja di akun instagramnya. Eh tunggu, Banggaber tak menyebutnya senja sih, tapi petang. Mungkin karena senja erat kaitannya dengan aktivitas ala penggemar musik Indi, sore hari menutup aktivitas dengan menikmati kopi dan mendengarkan musik di warung-warung kopi. Petang, meskipun arti katanya sama, lebih netral, masih bisa diartikan banyak hal oleh banyak orang.
Saya tidak anti aktivitas ala penggemar musik indi tadi loh, sejujurnya saya sendiri termasuk orang yang lebih senang menghabiskan waktu sore di warung kopi, sambil menggambar, menulis atau sekedar duduk-duduk saja, seringkali sambil membuat to do list dalam seminggu, karena waktu reguler saya bisa duduk duduk ngopi sore hari adalah hari Sabtu atau Minggu. Hari lainnya selalu menghabiskan sore di kantor.
Nah, meskipun cara saya menikmati senja sekarang amat sangat mainstream, saya punya ingatan tersendiri yang begitu melekat tentang waktu-waktu sehabis ashar hingga menjelang magrib ini. Senja, petang, sore teman-teman bisa bebas menggunakan kata apapun.
Bagi saya, waktu-waktu ini adalah waktu-waktu paling damai, kembali ke kenangan kecil ketika pada waktu-waktu ini biasanya Ibu saya atau Saudara-saudara saya mencari saya untuk pulang, mandi bersiap mengaji. Kadang dengan mudahnya saya pulang. Kadang Ibu bisa sampai marah-marah datang menyeret saya dari arena permainan. Sesudahnya saya mandi, sudah harum meski bedaknya cemong, menunggu adzan magrib dan wajib pergi ke tajug sebutan untuk Mushola di tempat saya tumbuh dulu.
Menjelang petang, saat-saat sinar matahari menyusup lewat jendela dengan hangatnya, matahari bersinar paling indah saat sore hari, apalagi saat angin juga berhembus lembut. Saya sering menemui sore-sore seperti ini dan sering berakhir menangis. Saking rindunya dengan masa kecil dulu.
Ternyata menjelang petang meninggalkan kesan yang amat dalam bagi saya.
Buku Banggaber kurang lebih menceritakan hal yang sama, yang saya suka tentu gambar dengan efek menjelang petang, efek matahari senja yang memang amat ciamik disajikan oleh banggaber.
Permainan kata Banggaber juga menurut saya luar biasa baik.
Tak banyak ilustrator yang pandai juga menulis. Bukan sekedar 'menulis' tentunya. Tapi bisa mengartikan hal-hal biasa yang terjadi dalam hidup kita semua, dengan luar biasa.
Ah iya, karena saya membeli dimasa pre-order, saya sekalian memesan kaosnya untuk Mas Har, kata-kata banggaber di kaos ini pernah diunggah di Instagramnya, membuat saya langsung merepost saking berartinya kata-kata ini bagi saya. Saya merekomendasikan teman-teman untuk membaca buku ini untuk mengalami dua pengalaman: Merefleksikan arti senja bagi teman-teman dan merefleksikan arti kehidupan yang kita jalani saat ini.
Buku ini akan bisa ditemui di toko buku kesayangan teman-teman Bulan September ini!
Selamat membaca dan mengartikan kembali makna senja!
Salam,
Asri