Journal Asri
Tangan Giska
Tangan Teh Selvi
Tangan Husna

Sejak pandemi dan lapak Hayu Maca di Taman Kartini tutup, pengurus Hayu Maca jadi punya kebiasaan baru: nyekre tiap weekend. Awalnya berkegiatan di sekre ini berlangsung Sabtu Minggu, namun belakangan dengan sendirinya dan karena belum ada kebutuhan kegiatan mendesak lainnya jadi hanya berlaku tiap Sabtu saja. 

Tiap datang ke Sekre, selain membicarakan progress kegiatan, beberes kebun dan perpustakaan, menginput data buku bersama relawan, ada satu kegiatan yang tak pernah terlewat: Makan-makan!

Khusus untuk makan-makan ini ada spesialisnya sendiri, pimpinan dari kegiatan masak-masak adalah Giska, dibantu oleh Husna dan Teh Selvi. Saya? Jarang banget bantuin, bantuinnya makan aja! (haha maafkan manteman). Selain karena teman-teman yang lain lebih gesit di dapur, saya juga sering kali datang lepas jam makan siang ketika sudah tak ada lagi yang sibuk di dapur, baru sebulan belakangan saya datang sebelum jam makan siang karena sudah lebih enak datang lebih awal (secara fisik dan kesehatan). 

Kemarin seru sekali! Haha mungkin karena hari sebelumnya libur, ditambah tantangan bikin NPWP Yayasan yang jadi PR setahun penuh akhirnya selesai dalam seminggu saja melalui proses online (haha senangnya), saya dan teman-teman juga mulai punya ritme untuk membiasakan weekly check in tiap Sabtu sebelum makan siang. Kalau tidak ada program besar yang sedang jalan, teman-teman relawan sedang off tidak datang ke Sekre, lepas weekly-check in, makan siang, sisanya bisa bersantai di perpustakaan atau panen-panen di Kebun!

Gak sabar perpustakaan bisa segera dibuka agar makin banyak orang bisa merasakan keseruan di Hayu Maca. Tapi tentu harus sabar dan pelan-pelan, tidak terburu-buru dan menyiapkan segalanya dengan hati-hati di masa pandemi ini! Doakan lancar ya!

Bonus: Photoshoot bersama Husna di Perpustakaan Hayu Maca

Pagi di Cimahi Februari ini masih dingin sekali, Mas Har yang lebih sering menghabiskan hidupnya di tempat-tempat panas sekarang tidak bisa tidur tanpa jaket, selimut dan kaos kaki. Sementara saya yang besar disini, malah merindukan rasa dingin ini. Jarang sekali saya mengenakan jaket kecuali ketika keluar rumah (wajib itu mah!). Tapi kalau pagi-pagi begini, sambil baca atau menulis, jendela rumah pasti saya buka, asyik sekali merasakan udara pagi. 


Februari kali ini saya mau mulai rutin membagikan daftar buku-buku yang saya baca. Ada yang sudah selesai dibaca dan ada yang belum tapi tetap saya bagikan dengan harapan saya bisa makin terpacu untuk menyelesaikan buku tersebut. Karena memang bukunya ingin saya selesaikan (entah karena misi pribadi atau kata orang haha, kata orang bukunya bagus!).

Buku yang saya baca di Paruh Pertama Februari 2021


Saya menghabiskan waktu cukup lama membaca Atomic Habit, Review tentang buku ini bisa dibaca melalui link berikut ya: Review Atomic Habit. Non-fiksi memang selalu makan waktu lama buat saya. Mungkin karena saya terlalu imaginatif sementara buku-buku non-fiksi jauh dari kata itu hehe. Tapi seru! 

Di deretan buku fiksi, saya membaca karya Tere Liye: Negeri Para Bedebah. I know! it's a bit late to read this book in 2021 dan bukan! saya bukan baca ulang! beneran baru baca pertama kali. Saya menghabiskan waktu dua hari, waktu yang sama persis dengan Thomas menyelesaikan masalah-masalah Bank Semesta :) Meninggalkan 4 dari 5 bintang di Goodreads, baca di Gramedia Digital sampai tengah malam. Seru ya rasanya kembali membaca fiksi petualangan. 

Satu lagi buku yang saya baca adalah The Time We Walk Together karya Lee Kyu Young. Alasan baca bukunya: ILUSTRASINYA. Yap, ini buku ilustrasi yang digambar dan ditulis oleh orang yang sama. Bacanya: Giunggggg banget! berasa nonton Drakor yang isinya cinta-cintaan melulu. Tapi ilustrasinya bagus. Ini saya curiga buku ini adalah hadiah 'persembahan' Kyu Young untuk pasangannya, karena hanya memuat yang baik-baik dari hubungan mereka hehe. 

Baca Buku Anak di Awal Februari


Nah kalau ini, sebuah usaha saya dan Mas Har mengenalkan anak kami pada buku bahkan sebelum lahir, sehari baca satu buku atau satu dongeng atau satu cerita. Karena buku anak harganya lumayan banget ya! haha. Saya dan Mas Har memilih membaca via Gramedia Digital, aplikasi Let's Read atau Literacy Cloud. Buku anak saya semuanya sudah pindah tempat ke Hayu  Maca. Nanti kalau anak kami sudah lahir ya cicil-cicil beli buku anak yang memang bagus dan berkualitas, sambil rajin pinjam buku ke Hayu Maca hehe. 

Yang Sedang Dibaca di Februari 2021


Nah saya punya misi menyelesaikan tiga judul buku ini di Februari. Misi? Iyaaa haha. Satu buku Bringing up Bebe adalah misi membaca perspektif parenting dari seorang Ibu Amerika yang mengamati pola pengasuhan ala Prancis. Ini saya cukup senang bacanya, rasanya seperti baca jurnal si penulis, dibawakan dengan gaya bercerita yang dilengkapi dengan pendapat para ahli. 

Kedua buku Measure What Matters, tentang per-OKR-an yang harusnya sudah selesai saya baca karena niatnya mau jadi tambahan referensi sebelum visioning Hayu Maca akhir Februari ini, tapi apadaya love-hate relationship saya dengan buku non-fiksi memang kuat sekali yaaaa. Merasa terpacu baca karena mau tambah ilmu, tapi otak saya gak sekinclong itu untuk baca non-fiksi cepat-cepat haha. Bahkan membaca non-fiksi bisa jadi menyenangkan saja sudah progress yang lumayan buat saya, jadi yaaa, pelan-pelan. 

Terakhir buku fiksi nih. Laut Bercerita karya Leila S. Chudori. Fiksi yang cukup tenar, diskusinya dimana-mana, bahkan #SelasaBahasBuku juga rasanya sudah pernah membahas buku ini. Saya dapat salinan/Buku fisiknya bulan lalu hehe, hadiah bantu teman bikin logo untuk usahanya. Waktu cek, di Gramedia Digital juga ada ternyata. Tapi gak apa, gak pernah nolak buku fisik yang berkualitas! Haha.

--- 

Nah sekian list bacaan saya diparuh pertama Februari. Apakah akan ada paruh kedua dan ketiga atau hanya paruh kedua saja? Saya sendiri belum tahu! Hehe. Bahkan bisa membaca dan menuliskan apa yang saya baca ditengah kesibukan bekerja saat ini saja rasanya senang sekali!!!!

Memang benar ya istirahat yang cukup dan jam tidur teratur amat berpengaruh pada produktivitas dan bagaimana tubuh bekerja. Sejak mulai membenahi pola tidur di awal tahun, I never feel this good! Dan sejujurnya, gak nyangka bisa baca dan cicil baca sebanyak ini di awal Februari!

Jadi, teman-teman sedang dan sudah baca buku apa saja Februari ini? Bagikaaaan doooong, aku mau tau kalau ada rekomendasi bacaan bagus lainnya!

Ehm, this Sunday morning while having my morning tea and watching Doraemon on RCTI, I want to write about something important for us (Me & Mas Har): We're expecting a daughter in the end of April. 

I'm in the beginning of third trimester right now. Two days ago we visited a doctor and midwife, she's healthy and in a good condition alhamdulillah. Am I happy for this news? Am I excited to be a new mom?

Well, today I am, but not when I found out the news five months ago around September. Things was so weird back then, we always want to have kids, but we never thought it would be this fast (I know for some couple it's already late since we married in January earlier that year, but whatever, I just got a new job after months being a freelancer, we're in the middle of a global pandemic, pregnancy surely not a thing I imagine I would have at that time). 

My First Trimester

To make things worst, when I thought I was pregnant in September, lots of hospitals and clinics are closed due the pandemic and the so many healthy workers were infected. We tried to keep calm and come to the closest public health service near our house: Puskesmas! I have my first check up there, just to make sure that I really am pregnant. Even at that place, everything seems so gloomy and weird, only limited patients were allowed to do the check up at that Puskesmas, and the place only open for few hours. After a confirmation from a midwife, some general cautions about do's and dont's at the first trimester, a prescription of folac acid and pills to help me cope with the morning sickness and nausea, we left that place, still in a fuzzy feeling that we're going to be a parents. 

I took some times to cope with the news. The first person I told about this news was not my mom, it was Renti and Destin, my bestfriends who were just having their kids months before. I asked them what to do's and dont's and that was enough. I'm not gonna fill my head (at that time) with things I found randomly on the internet. I trust them. 

My first trimester was not easy. I was easily getting tired (which is frustrating for an active person like me), some weeks after the check up I got some spots on my underwear which is not a good sign according to books I read & of course the internet (I finally brave enough to do some readings on the internet but limit my self to not reading too much), I told Renti immediately, Renti told me to calm down and having a bed rest the whole day. "Try not to panic, if there are still spots three days in a row, visit the doctor" she said. 

I did what she said, I remember I was having spots in Wednesday night, told my boss to have a bed rest on Thursday and Friday. The spots vanished anyway, but I'm still doing the bedrest, following Renti's order. But on Friday nights, we still visited an obgyn because I do think we need a USG at least once in this trimester to make sure everything is okay, alhamdulillah everything was okay. Though the doctor still prescribe me an extra medicine to help me strengthen the pregnancy. I'm still not as excited as most of new moms to be, still worried about a lot of things but ready to face the second trimester because I heard it would be a lot easier. 

The Second Trimester

I can't remember exactly what date and month was to marks the second trimester, but my body can feel it. Suddenly I want (and have the energy) to cook again, after weeks of hiatus at my kitchen. I also feel excited to do some things for my community, I have good mood to read again, I always excited to wake up in the morning and do my job passionately. 

We begin to excited to be new parents too. We haven't discuss a lot about parenting stuff in this trimester, but Mas Har and I began to read about how to have a gentle birth books, how to deliver the baby without the panic. I join a yoga class online and told some friends-who is also a mom that I'm expecting and want to learn a lot from them. 

We even have the nick name for our baby girl; It's Rana, the short word for Derana. A word we love since the beginning we know the meaning. We read a book every evening after Magrib for her and we're delighted whenever she kick us when we read for her. 

We took Rana every month both to doctor and midwife clinic, I want to have birth on a midwife clinic because it seems more calming to me than having birth on a hospital of a general healthy clinic with random people who are sick, in a midwife clinic, people were there to have birth, which is a natural process, not because they were sick. But I'm also okay if I have to giving birth at Hospital anyway. 

The thing is; at the second trimester, I realize that I'm not really enjoyed my session with my obgyn, and I know it's important to trust my doctor, so I told Mas Har and we did not continue the session with the obgyn, the obgyn is quite popular. the clinic is famous too, but I'm just not comfortable with her approach. We found out that the midwife clinic I visited regulerly have an obgyn too, but only do the USG and check up at friday evening. 

I think "Okay, it's a good deal too, we can both discussed with the doctors and midwife at the same place and same time", but my first time experience of waiting is horrible. Turn out the docs is well-known with his friendly attitude and so many pregnant women was waiting, I came after Magrib and got my check up at 9PM, wow! Buuuuut! the way the doctor explained everything to me and Mas Har was really comforting. At that time, Rana was diognased under weight and the position is also breech? (I don't know the english word for Sungsang). The doctor told us it's totally fine and we don't have to panic, He told me to do a new routine, knee-chest position, drink lots of water and prescribe me a food supplement. The midwife taught me the right knee-chest position and told me, "Don't forget to communicate with the baby, and of course Pray to God" while teaching me. 

I, somehow feel comfortable with the doctor and the midwife and don't want to go to another doctor, I remember told the doctor "Thank you" on our last check up, and he told us "I'm the one who should be say thank you, thank you for trusting me". 

Welcoming the Third Trimester

Yeaaaay! Thanks to the smooth second semester we're more excited to have Rana. I'm in the beginning of the third trimester, I'm eager to read more about how to have birth without panicking (even though I know everything could happen when the labour begin, I'm still excited. 

Ah, we still have a lot to prepare, the things is I haven't bought any baby stuff. (anything!). Blanket, shirts, baby wraps or anything. We haven'y bought any. We decided to have bought that this range of time, maybe in March, because I'm due between the end of April and the beginning of May. (It's Ramadhaaan!). 

Didn't I scare of anything that could happen in this trimester?

Of course I am! Haha, I'm not gonna lie, Rana's is still not in a normal position, there are possibilities of her turn around my belly and have a normal and steady but I'm already prepared myself for another scenario. 

I also happen to know a friend who have a miscarriage at the third semester, so I always alarm and check Rana's kick regularly. 

Anything can happen, going into labour is also a near-death experience for some women, but it's a natural process. Both I and Mas Har is excited to meet Rana, but also know there are so things we need to notes and highlight for now. 

Right now I spend a lot of time reading some books, some were parenting books and books explain what to expect when we're expecting, but some books was fiction, non fiction, children books for Rana. 

I also try to consume good foods but still have a regular coffee once a week (I asked the doctor and midwife and it's okay!). I know so many mom to be willing to sacrifice anything for the baby, at some point, me too, but for coffee I choose to have lower the dose, from once a day to once a week shot! Haha. 

---

Yeah this weekend post is finally not about books or drawing. I decided to write it so I can read it again one day, maybe with Rana's around.

Happy weekend everyone!

 


Judul Buku: ATOMIC HABITS, Perubahan Kecil yang Memberikan Hasil Luar Biasa
Penulis: James Clear
Pertama Terbit tahun: 2018
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Harga: 108.000 (Buku Fisik Bahasa Indonesia), 203.000 (e-Book via Google Playbook, English)
Gramedia Digital: Tersedia (Bahasa Indonesia)
iPusnas: Belum Tersedia


Yeayyyy. Akhirnya selesai membaca buku ini, setelah seminggu maju mundur menyelesaikannya haha. 
Saya memang punya love-hate relationship sama buku non fiksi ya haha, ingin sekali tahu isinya, memahami maknanya tapi malas sekali bacanya, karena tentu saja tidak ada gambarnya (seperti komik/buku ilustrasi), tidak ada konfliknya (seperti novel) haha. 

Jadi setelah seminggu penuh penuh selingan baca buku-buku lainnya, malam tadi saya langsung buat resume dalam bentuk grafik diatas. Karena sekarang membaca e-books (yang gak bisa dicoret-coret hehe) jadinya sambil baca, biasanya saya buat catatan sekalian di binder notes saya, memudahkan saya menangkap apa yang saya dapat dari bukunya sih + saya senang jadi punya "oleh-oleh" tiap habis baca buku. Termasuk buku ini. Walaupun ratingnya 3 dari 5, tapi catatannya lumayan banyaaak. Alias tetap aja banyak hal yang bisa dipelajari disini. 

I just really wish there's an illustrated version of this book + saya kayanya akan lebih semangat bacanya kalau baca versi bahasa aslinya deh, versi terjemahannya ini agak lumayan njelimet, kaya baca buku kuliahan (yaaang tau sendiri lah kaya gimana), tapi e-book Bahasa Inggrisnya di Google PlayBook seharga dua bulan langganan Gramedia Digital (hiks) sementara di Gramedia Digital bukunya sudah tersedia, jadi saya baca versi terjemahannya.

Setelah baca buku ini sampai selesai, saya tahu kenapa saya mudah 'bosan' bacanya. Karena banyak hal dalam buku ini sudah pernah saya dengar atau baca sebelumnya di tempat lain, yang paling kerasa malah waktu baca bukunya saya berasa dengar Barbara Oakley di kelas Learn How to Learn di Coursera. Oh tentu isinya gak sepenuhnya sama, tapi banyak sekali yang mirip. + hints dalam buku ini, tips-tips tentang pengembangan kebiasaan yang baik pasti pernah teman-teman dengar di tempat lain: seperti: Kalau mau ubah kebiasaan, buat lingkungan yang mendukung. 
Misal ingin punya kebiasaan bangun pagi, berarti tidur gak boleh kemaleman, nah ini bisa dibantu dengan mengeluarkan TV dari kamar atau gadget harus sudah mati pukul 22.00.

FOKUS PADA LINGKARAN TERDALAM

Meskipun banyak yang pernah didengar di tempat lain, tetap banyak sekali yang bisa di pelajari di buku ini kok. Yang paling saya suka adalah teori tiga lapisan perubahan perilaku, ini mirip the goldern circle-nya Simon Sinek, tapi bagian paling dalam atau 'WHY' nya adalah 'IDENTITAS', lalu 'HOW' nya adalah 'PROSES' dan bagian paling luarnya, "WHAT" adalah "HASIL". Sama seperti yang Sinek bilang, Clear juga menyampaikan kalau kita mulai dari lingkaran terluar, kita jadi seperti gak punya kemudi dalam perubahan perilaku kita. Fokusnya jadi pada hasil, bukan the biggest reason why do we need to chance or make new habits. Nah, Kalau kita fokus pada WHY atau IDENTITAS apa yang ingin kita bentuk, ingin jadi orang seperti apa kita, itu akan lebih memperjelas langkah kita dalam merubah kebiasaan buruk atau membentuk kebiasaan baik. 

ATURAN DUA MENIT

Lalu ada juga bab tentang Aturan dua menit, apaan sih ini? 
Jadi di aturan dua menit ini, Clear bilang kalau biasanya yang paling susah dalam menjalankan kebiasaan itu karena kita udah kebayang dulu 'beratnya', nah alih-alih fokus pada hal berat ini, coba fokus ngerjain sesuatu yang bisa di kerjain di dua menit pertama untuk trigger kita nerusin kegiatannya. Misal, alih-alih fokus pada menghabiskan seluruh buku / 1 jam membaca buku, lebih baik mulai dengan membaca 1 halaman penuh. Atau kalau kamu sedang ingin membuat kebiasaan lari pagi, dari pada fokus ke 'lari' nya, lebih baik fokus ke Pakai sepatu dulu deh, kan kalau udah pakai sepatu lari mau ga mau kamu harus lari hehe. Daripada merekayasa kebiasaan yang sempurna sejak awal, lakukan versi mudahnya.

---

Masih banyak hal lain yang bisa kamu dapat dari membaca buku ini walaupun saya sendiri merasa buku ini agak terlalu overrated hehe. Tips-tips dari buku ini oke sekali untuk langsung dilakukan, saya sendiri sedang melakukan perubahan kebiasaan sejak awal tahun dan melakukan hal-hal yang disarankan di buku ini (walau taunya bukan dari buku ini), dan itu terbukti efektif. Bedanya James Clear akan jelaskan banyak hal secara ilmiah dan pakai bukti-bukti + contoh yang oke. 

Selamat bacaaa semuanya!


 


"Aku lama hidup di Kota, Kota tak menentramkan hati, itulah sebabnya aku ke kampung ini. Disini aku tentram dan bahagia, Kota memang punya banyak kemewahan, tapi kemewahan bukan tujuan hidup. Tujuan hidup adalah kedamaian hati, tidak berbuat dosa tapi banyak membuat pahala". 

--

Membaca Kemarau, karya A.A. Navis di tengah pekan ini membantu mengalihkan saya dari distraksi berita-berita tak mengenakkan selama seminggu penuh, kabar duka dari kerabat dekat, seorang sahabat yang juga ditinggal pergi Ibunda untuk selama-lamanya, Ibu dari anak murid suami yang juga berpulang karena covid-19, orang tua Sabahat yang belum kunjung negatif covid, serta sahabat dekat kami yang baru dikabarkan puskes kalau ia positif covid. Semua berita dalam satu pekan saja, beberapa membuat saya menangis tak henti-henti. Sisanya cukup bikin kepala cenat-cenut. 

Buku ini bercerita tentang kehidupan Sutan Duano di sebuah kampung di tanah Minang. Bahkan tak diberi tahu latar lokasi wilayahnya pun, kita akan bisa dengan mudah mengetahui kalau Novel ini mengambil setting di Sumatera Barat karena gaya bercerita A.A. Navis yang "amat Minang" buat saya. 

Diawali dengan kilas cepat bagaimana Sutan Duano datang ke kampung dan tinggal menetap, bekerja keras di kampung ini hingga menjadi bagian dari mereka, saking kerasnya bekerja tak henti, ia bisa dibilang cukup 'sukses' bahkan lebih sukses dari warga kampung asli, tapi suksesnya tak menimbulkan dengki, pasalnya Sutan Duano tak enggan membantu warga, memberi pinjaman yang fair, tak pernah mengambil bunga, bahkan menghapuskan sistem ijon yang jadi praktek umum sebelumnya. 

Konflik berawal ketika kemarau datang. Sebuah musim yang tak bisa dihindari di Negara Tropis, Hujan berbulan-bulan, kemarau berbulan-bulan pula. Naasnya kemarau kali ini nampaknya akan tinggal lebih lama, Sutan Duano mengajak warga bergotong royong mengangkut air dari danau. Bersama-sama mengairi sawah dengan usaha mereka alih alih menunggu hujan yang tak mungkin datang di musim kemarau, ide ini tak pernah dilakukan sebelumnya. Karenanya ia dianggap gila dan masalah tak kunjung berhenti sejak saat itu. 

---

Buku ini pertama kali terbit tahun 1967, sudah lama sekali sejak saya terakhir kali membaca karya sastra Indonesia tahun 60-70an, membaca buku ini rasanya bring back so many memories haha karena waktu SMP, perpustakaan sekolah saya isinya buku-buku Balai Pustaka yang kurang lebih seperti buku Kemarau pembawaannya. Tapi ini buku A.A. Navis pertama yang saya baca hehe, saya bahkan belum baca karya fenomenalnya Rubuhnya Surau Kami. 

A.A. Navis nampaknya gereget sekali dengan kondisi sosial masyarakat kala itu. Banyak sekali kritik sosial yang bisa kita temukan di buku ini, mulai dari kebiasaan orang Minang yang merantau tapi meninggalkan anak istri tanpa mengirimkan nafkah bulanan, hanya datang setahun sekali membawa baju bagus lalu pergi lagi, sekalipun ada yang sukses, malah cari istri baru di tanah rantau. 

Selain kondisi sosial, banyak juga kritik tentang praktek beragama yang dianggap penulis (lewat Sutan Duano) sebagai 'praktek' yang salah kaprah. Membaca Quran tanpa belajar tafsir, diibaratkan Sutan Duano bak membaca koran Inggris yang tak kita pahami isinya, atau kebiasaan membuat selamatan atau syukuran atau doa meninggal, tapi malah menambah beban tuan rumah karena harus berhutang. Belum lagi kritik pada 'penokohan', dimana Sutan Duano sendiri ingin warga tak mengikutinya karena dia Suatn Duano, tapi mengikuti prinsip dan nilai agama, siapapun yang sampaikan itu. 

Apakah Sutan Duano sesempurna itu?

Hmmmmm, disini serunya, walau tak diungkap di awal, di akhir lama-lama terungkap kehidupan Sutan Duano yang jauh dari sempurna, dan kekcauan hidup Sutan Duano berawal dari respon terhadap kematian cinta sehidup sematinya, istrinya. 

Secara keseluruhan saya suka sekali membaca buku ini, walau kurang sreg dengan endingnya (hehe). Bukunya tipis, 162 halaman saja. Saya selesai membaca buku ini dalam dua hari. Sepertinya berlangganan Gramedia Digital memang keputusan yang tepat yaaa haha. Belakangan saya jadi makin rajin baca buku karena buku-buku ini ada dalam genggaman. 


29 Januari 2021

Asri 

 


Kita gampang sekali terpengaruh oleh Media Sosial bukan?

Kurang lebih salah satu bagian dibuku ini bilang begitu, dan tebak, saya baca buku ini karena apa? Ya Karena terpengaruh lihat di medsos juga (hehe). Tentu saya terpengaruh oleh Media Sosial bisa jadi baik dan bisa jadi buruk. Untuk urusan membaca buku, saya mau masukkan hal tersebut sebagai pengaruh baik, makanya saya banyak sekali mengikuti akun pembaca atau bookstagramer di Medsos, agar saya juga ikut terpacu menyelesaikan daftar bacaan saya dibanding melanjutkan scrolling di Instagram.

Buku ini adalah buku kompilasi refleksi tentang kegagalan dari beberapa sosok, beberapa mungkin kita kenal karena sering wara-wiri di TV, Instagram atau timeline twitter kita, beberapa baru saya dengar kali ini namanya. Sebetulnya Greatmind mengeluarkan dua buku yang sepaket (kayanya ya, soalnya covernya senada), satu Failure ini refleksi tentang kegagalan, satu lagi Grateful, catatan tentang rasa bersyukur. Tapi saya pilih baca yang ini dulu karena rasanya sedang lebih dibutuhkan. 

Refleksi tentang kegagalan dari tokoh-tokoh di buku ini bisa jadi sangat relate dengan kisah kita, bisa jadi sangat jauh. Merasa gagal tentang pernikahan misalnya, mungkin rasanya gak masuk sama teman-teman yang belum menikah, tapi saya rasa tetap layak dibaca. Kunyah yang bisa dikunyah, sisanya bisa dibaca lagi dikemudian hari ketika kita memang sedang butuh untuk baca lagi. 

Ada beberapa catatan dari buku ini yang saya suka, salah satunya catatan dr. Jiemi Ardian tentang "MUSTERBATION", terminologi dalam teori kognitif yang diwakili dengan kata "seharusnya", "pokoknya", yang memberi beban pada diri kita untuk membuat semua jadi harus sempurna. Kombinasi antara ambisius dan perfectionist yang mengharuskan kita sukses, bisa jadi membuat kita kontraproduktif, alih-alih kita malah membuat 'Tyranny of the should'. 

Aristoteles pernah bilang, Bahagia mensyaratkan adanya pertumbuhan, bukan datang dari kesempurnaan. Kegagalan bisa jadi bagian dari pertumbuhan.

Selain catatan dr. Jiemi, ada juga catatan Shevani Thalia tentang Resilience, sebuah kata yang terus berdengung belakangan terutama untuk saya yang masih sering baca-baca buku parenting, goals pengasuhan orang tua di abad 21 salah satunya adalah mendidik anak dengan bekal resiliensi yang tinggi. Mereka yang punya resiliensi tinggi, paham bahwa tidak semua hal bisa dikendalikan, menjadi lebih bisa berlapang dada dan menerima kegagalan sebagai sebuah proses. 

Editorial Greatmind juga menambahkan tentang peran Media Sosial dalam membentuk pola berpikir kita tentang kegagalan. Kita disuguhkan dengan beragam hal-hal mentereng dan achievement, a looooot of other's achievement di Media Sosial, saking banyaknya sampai kita takut gagal karena semua orang terlihat berhasil, padahal untuk satu keberhasilan yang dibagikan di media sosial, mungkin ada puluhan kegagalan yang telah dilewati, hal ini yang membuat orang takut gagal, karena rasa malu ketika gagal tadi. 

Kalau ditanya apakah saya jadi ikut merefleksikan kegagalan-kegagalan saya selama ini setelah membaca buku ini? Hmmmm, rasanya beberapa tahun terakhir saya memang belajar berdamai dengan kegagalan, saya belajar untuk tidak menyesali pilihan-pilihan yang saya ambil walaupun itu berakhir membuat saya terlihat seperti 'orang gagal'. Saya percaya pada akhirnya kegagalan-kegagalan ini adalah proses yang membuat saya seperti sekarang. Bukaaaan, bukaaan saya yang sukses banyak uang, bisa traveling keliling dunia atau kuliah di luar negeri hahaaa (amiiin semoga bisa juga yaa), tapi saya yang bisa melepaskan hal-hal yang memang tidak bisa saya kendalikan. Saya yang walau masih sering marah-marah tapi bisa ambil jeda dan napas sejenak lalu coba untuk meluruskan pikiran. Saya rasa ini mahal harganya. Belum tentu bisa dibeli dengan kelas paling mahal sekalipun karena arena latihannya adalah kehidupan nyata. Dan untuk itu saya amat sangat bersyukur. 

Buku Failure bisa dibeli di Gramedia dan tersedia juga di Gramedia Digital. 

Selamat membaca semuanya!

 


Buku pertama di 2021? Hmmm tepatnya buku non-fiksi pertama hehe. Karena hampir tiap hari baca satu atau dua judul Buku Anak berbeda-beda sebetulnya. Sebetulnya banyak judul buku fiksi yang belum dibaca di rumah. Awal tahun ini dapat hadiah buku Laut Bercerita dan Orang-Orang Oetimoe yang belum saya baca, tapi tapiii lagi belum mood baca buku fiksi (huff tumben). Jadilah saya baca buku ini terlebih dahulu. 

Buku ini di tulis oleh Fellexandro Ruby, saya kenal (sok deket banget haha), tepatnya tahu beliau dari Instagram dan Podcast 30 days of Lunch. Gak terlalu tebal dan gak terlalu tipis, buku ini berisi tentang pencarian dalam hidup. Daaaan cocok dibaca untuk angkatan saya yang sekarang sedang berada di usia 20an. 

Berisi lima bab, tapi bisa dibaca acak gak harus berurut dari awal. Favorit saya Bab 1, isinya tentang bangaimana kita mengenali diri kita sendiri. By "mengenali", ini gak cuma dari satu sisi aja, Mas Ruby ajakin kita untuk coba lihat kepribadian kita, mengenali energi dan waktu terbaik kita, mengenali banyaaaak hal yang asyiknya sekalian nyoba lihat sambil coret-coret di jurnal. Bab 1 ini nantinya akan penting untuk menjawab "saya sebetulnya siapa?", "Saya mau jadi apa?". "Apa sih yang kita cari?", karena sebelum jawab ini semua, penting buat kita untuk mengenali diri sendiri terlebih dahulu. 

Bab 2 isinya tentang IKIGAI, saya pribadi suka bagaimana Mas Ruby menjelaskan miskonsepsi IKIGAI di masyarakat sekarang, apa artinya IKIGAI buat orang-orang di Jepang sana (negara asal folosofi ini) sampai diagram purpose yang sekarang dijadikan diagram IKIGAI. Sebagai orang yang udah pernah ikut 2x sesi IKIGAI di webinar (haha), saya sendiri merasa saya belum benar-benar menemukan ikigai saya apa, (lagian gak harus ketemu sekarang juga As, haha), tapi baca-baca ini lumayan ngerefresh banyak hal tentang purpose hidup, dan bagaimana IKIGAI ini sebenernya proses penemuan terus menerus, gak bisa sekali duduk kamu bisa menemukan IKIGAI kamu. 

Bab selanjutnya beragam isinya mulai dari mendisain hidup (diberagam rentang usia), building your networth (based on your skill, healthy, money and another stuffs i never thought could be a networth), sampai bab terakhir tentang Prinsip hidup-- yaaang kalau kata Mas Ruby penting dipertanyakan di bagian prinsip hidup, "Kita tuh learner enough gak sih?". 

Overall, saya suka sekali baca buku ini karena sebetulnya bahasannya lumayan berat, ada tentang Pola Pemetaan Skill (I Shape, T Shape, M Shape), sampai Personal Branding!, tapi dibawakan dengan ringan, jadi bacanya juga gak ngap-ngapan, Lalu hal lain yang saya suka, sebetulnya kita bisa aja menemukan bacaan-bacaan ini di highlights Instagram atau Thread-thread hits tentang self improvement di Twitter, but, Mas Ruby somehow helps us to connect the dots. Kita diajak lihat kalau semua ini bisa banget sambung menyambung menjadi satu membantu pencarian diri kita, gak sekedar bacaan yang lewat doang di timeline.

Yang menarik lagi, Ilustrasinyaaaa dong hehe. Simple tapi bermakna.

Ada banyak quotes-quotes bagus dari buku ini aaaahhhhh, ada yang memang requotes, ada yang beneran dari buku ini. Satu yang saya suka:

Every different level of you, requires different kind of you

Haha, relate banget sama apa yang dihadapi belakangan ini, sedang dihadapkan masalah yang sama dengan kejadian 4 tahun lalu, dan akhirnya saya memutuskan untuk, ok As, masa mau pakai cara 4 tahun lalu avoiding all problems hehe.

Cocok niiih untuk bacaan awal tahun. Silakan dibaca teman-teman semua!



Memasuki akhir Januari, saya semakin semangat menjalani hari-hari belakangan ini, alasannya: karena jam tidur dan jam bangun tidur saya yang berubah perlahan. Sebelumnya saya cukup ignorant dengan jadwal tidur dan bangun tidur saya, tidur selalu lewat jam 12 malam, bangun juga yang penting sebelum masuk kerja, tidak pernah benar-benar set waktu tertentu untuk bangun. 

Sejak awal tahun, saya berkomitmen untuk merubah gaya hidup yang acak-acakan ini. Dengan harapan waktu istirahat saya cukup dan lebih produktif di pagi dan siang hari. Sekarang ini saya mulai rutin tidur sebelum jam 10 atau jam 11 dan selalu bangun jam 6 pagi. Walaupun masih ada hari tertentu yang melewati waktu tidur, tapi waktu bangun saya sekarang selalu konsisten bahkan maju jam setengah enam. Kalau teman-teman yang membaca adalah teman-teman muslim, saya akan jujur saja mengakui kalau saya ya sholat subuhnya sebangunnya, sekarang ini belum mau drastis merubah bangun ketika adzan tapi tidur lagi (biasanya malah pusing dan bangung kesiangan). Jadi kalau bangun setengah enam, bangun langsung sholat, bangun jam enam ya langsung sholat. Semoga kedepannya bisa konsisten ke waktu tidur jam 10 dan bangun jam 5, perlahan taapii. Hehe.

Selain ingin punya waktu istirahat yang cukup dan jadi lebih produktif, saya juga ingin kualitas hidup saya lebih baik di tahun ini, jika dilancarkan, saya dan Mas Har akan memulai peran baru sebagai orang tua pertengahan tahun ini, membenahi kebiasaan-kebiasaan hidup termasuk waktu tidur sejujurnya adalah salah satu komitmen saya agar bisa jadi teladan yang baik untuk anak kami kedepannya. (doakan semuanya lancar ya). 

Nah, karena sekarang bangun cukup pagi, saya punya waktu lowong yang lumayan di pagi hari, karenanya saya memilih menulis jurnal di pagi hari, seminggu ini setiap hari menulis dan rasanya waaah, menenangkan dan menyenangkan sekali di banding menulis di malam hari. Jam enam bangun menyalakan TV untuk menonton berita pagi (kebiasaan almarhum Bapak yang masih saya teruskan sampai hari ini, padahal kadang beritanya tidak ditonton), membuka jendela, menghirup udara Cimahi pagi sambil minum teh hangat, rasanya sulit digambarkan dengan kata-kata sih, betul-betul membuat saya lebih tenang. Karenanya saya barengi sambil menulis jurnal, mencatat apa yang harus dikerjakan sehari kedepan, menuliskan perasaan ketika bangun pagi, bercerita tentang apa yang terjadi dihari sebelumnya. Hmmmm, damai. Dan bahkan ketika menuliskan jurnal di pagi hari, saya masih sempat masak dan menyelesaikan semuanya sebelum jam delapan. Jam delapan jam saya mulai kerja, jadi alarm sendiri agar semua pekerjaan rumah saya selesaikan dan fokus bekerja. 

Saking senangnya dengan penemuan ala-ala ini (hahaa! sejak kapan menulis jurnal jadi sebuah penemuan), saya baca-baca artikel-artikel tentang jurnaling di pagi hari. Pada kenyataannya, nulis jurnal gak ada jam 'pasti'nya sih kapan yang paling benar secara ilmiah, ada yang memang cocok nulis pagi dan ada yang cocok nulis malam and that's totally okay, kalau kamu nyaman pagi silakan menulis di pagi hari, pun jika nyaman menulis di malam hari, silakan diteruskan. 

Buat saya sendiri, menulis di pagi hari sangat membantu saya merapikan pikiran-pikiran, setelah bekerja seharian di hari sebelumnya, ada kalanya kita kepikiran beberapa hal, kebawa sampai tidur, bangun tidur masih juga kepikiran. (ha!) Nah, menuliskan jurnal di pagi hari bantu kita untuk merapikan pikiran-pikiran ini. Saya punya satu kolom early check in di jurnal saya untuk menuliskan apa yang saya rasakan pagi itu, beberapa hal yang bisa saya kontrol, seperti urusan pekerjaan, biasanya saya breakdown jadi strategi dan to-do list. Supaya gak mumet-mumet dan bisa langsung dikerjakan.

Keuntungan lainnya tentang menulis jurnal di pagi hari bisa kamu cek disini ya: https://www.masterclass.com/articles/tips-for-writing-morning-journal-pages#what-are-morning-pages

Teman-teman masih ada yang menulis jurnal harian kah? 
Kalian tim nulis pagi atau tim nulis malam nih?

Perjalanan masak-masak di rumah kami, bisa dibilang seperti perjalanan beragama, ada fase naaaaiiiiik, ada fase turuuuuun drastis, ada fase semangat-semangat-semangat cek-cek cookpad kaya denger ceramah ramadhan, ada fase ya udah deh beli aja. 

Alhamdulillah, setahun menikah, kami sama-sama tidak punya tekanan untuk menyiapkan makanan sendiri (baca: masak) setiap hari. Mas Har gak pernah maksa saya masak, saya gak pernah maksa Mas Har masak, dan belum ada desakan-desakan eksternal seperti keharusan ngirit-ngirit banget yang kalau gak masak pengeluarannya jebol atau keharusan masak sendiri karena makan harus super-duper sehat misalnya. 

Terkait hubungan antara masak dan irit, sebenarnya gampang banget ditepis sih kalau hanya hidup berdua haha, ya gimana ya, walau gak masak bukan berarti kami take-away Ta-Wan atau makanan dari Dapur Kraton hahaa, gak masak ya berarti tetap masak nasi, terus beli lauk di warteg atau warung nasi. Paket komplit kaya masak aja: menu protein, menu sayur + tambahan pelengkap lainnya. Harganya, kadaaaang jauh lebih murah daripada masak, kadang sama, tapi jarang lebih mahal. Mahal kalau seharian kami sama-sama sibuk sampai masak nasi pun bikin rusuh ajaa, baru take-away nasi+lauk, yang pasti lebih mahal dari biasanya, makanya kalau udah take-away + nasi ini, kami sekalian cheat jajan yang enak karena sekalian mahal. 

Kesadaran yang sama tentang masak bukan jadi "kewajiban" di rumah, malah bikin saya jauh lebih seloooow dan menikmati perjalanan masak-masak. Saya jadi suka sekali masak untuk makan saya dan Mas Har, rasanya senang bisa bangun lebih awal, belanja lima menit buat masak hari itu, masak-masak semuanya sendiri di dapur sambil dengar lagu atau dengar podcast gak diganggu siapapun kecuali kucing gang yang kadang suka nerobos masuk rumah. 

Masakan saya juga berkembang setahun belakangan, dari yang awalnya cuma bisa tumis-tumis, sekarang mulai berani eksperimen yang aneh-aneh dari ayam woku, ikan bakar sampai pernah sekali waktu bikin olahan jantung pisang + kelapa kesukaan Mas Har. 

Kalau dihitung-hitung, sehari-hari cost untuk siapin makanan di rumah (sarapan + makan siang + makan malam) dengan menu nasi + protein hewani (ayam/ikan) ~~saya baru sekali doang ngolah daging + protein nabati (tempe/tahu) + sayur-sayur + buah itu bisa berkisar dari 30.000 - 70.000 tergantung apa yang diolah. Sama kaya beli 3 lauk di warteg kan heheee. Tapi memang sekarang mengalami betul betapa menyenangkan dan serunya masak-masak di dapur. 

Satu hal yang masih bikin saya sering malas masak adalah: Kami belum punya sink/wastafel di rumah kontrakan kami. Sebetulnya mau banget bikin dari awal ngontrak; tapi maju mundur karena ini masih rumah kontrakan, mau beli yang portable udah susah cari tempat dan ngakalin saluran-saluran airnya, mau bikin kitchen set, Yakaaaleeee ini bukan rumah kami. Sampai sekarang, tempat cuci piring masih nebeng di kamar mandi, dan saya ogaaah banget cuci piring di kamar mandi, selain karena harus duduk jongkok, juga karena prosesnya lebih panjang dari pada nyuci di sink, habis cuci piring, harus bersihin kamar mandinya juga. Akhirnya tugas cuci piring, jatuh ke Mas Har, saya bantu sesekali doang kalau lagi pengen. Tapi itu jadi kewajiban Mas Har, saya masak, Mas Har cuci piring hehee. 

Aaaah, minggu ini pencapaian bisa masak Senin-Selasa-Rabu-Kamis, siap sebelum jam delapan pagi, biar jam delapan bisa langsung kerja. Mau share foto-foto kehebohan di dapur biar resmi sudaaah jadi Ibu Rumah Tangga (yang suka pamer dedapuran hahaaaa, gapapa yaaa). 

 





Mulai berlari sebelum beli sepatu lari
Mulai nanam sebelum ikut kelas berkebun super mahal
Mulai nulis di medsos/blog gratis sebelum beli domain
Mulai belajar dari YouTube sebelum ikut kelas berbayar
Mulai gambar dengan alat dan ada sebelum beli alat pro
Mulai masak sebelum beli panci harga sejutaaaa~~~

Mulai sisipkan waktu, sebelum beli segala-gala.

Ini salah satu catatan belajar saya sepanjang 2020. Tahun dimana saya dan mungkin kebanyakan orang di dunia punya waktu yang cukup longgar di rumahnya masing-masing dibanding sebelumnya. Waktu yang longgar ini memberikan saya banyak kesempatan untuk eksplor hal-hal baru, lebih dari hobi biasanya, gambar-gambar di sketchbook atau nulis di jurnal. 2020 memberikan saya kesempatan bercocok tanam, belajar masak, ikut course dan webinar dan banyak lainnya yang saya coba. 

Setiap kali mencoba hal baru, let's say berkebun, saya punya kebiasaan bikin research di medsos, kebanyakan lewat Instagram yang memang visual dan membantu sekali. Lihat-lihat apa yang perlu dilakukan duluan, mengikuti 'sosok' berpengaruh di bidang ini. Banyak belajar? tentu, hampir semua ilmu berkebun saya dapat dari medsos awalnya. Tapi, ada tapinya niiiih, Melihat Ibu A punya alat siram yang lucu, saya latah beli. Melihat iklan bibit murah saya latah beli, melihat ada rekomendasi alat berkebun B, saya beli. Wah, gak terhitung banyaknya beli-belian untuk exploring satu hal baru. Sebenarnya belanja barang-barang ini gak salah-salah banget kalau memang dipakai dan dicoba semua. Masalahnya banyak yang akhirnya beli karena nafsu saja dan sebenarnya bisa menggunakan alat seadanya di rumah. Di akhir 2020 ini saya belajar, oh baik. Ada yang salah nih. harusnya saya investasi waktu sebelum investasi barang dan uang. 

Perihal investasi waktu ini juga erat kaitannya dengan hobi saya gambar-gambar. Kadang gereget lihat karya yang artist-artist di Medsos yang baaaagus sekali karena menggunakan alat yang menurut saya bagus. 

"Wah, apa karena alat saya seadanya ya makanya gambarnya biasa aja?" pertanyaan ini sering muncul di benak saya. Padahal jawabannya sudah jelas!

BUKAN AS! BUKAN!

Tools mereka untuk gambar memang bagus sekali. Investasi barang dan uang mereka untuk berkarya gak sedikit, tapi yang lebih penting adalah investasi waktu untuk berlatih dan belajar! Konsistensi menggambar hal baru setiap hari, latihan dengan pensil dan marker murah, hasil berkarya bertahun-tahun, rasa bosan dan suntuk yang mereka terobos, hasilnya adalah karya-karya luar biasa yang mereka ciptakan saat ini. 

JADI TOOLSNYA GAK PENTING DONG?

Pertanyaan yang saya juga tahu jelas jawabannya. Tools penting, tapi bukan itu yang paling penting. 

Jadi 2021 saya ingin mencoba mengubah pola belajar dan berkarya untuk terlebih dahulu menginvestasikan waktu dibanding barang. Bagaimana caranya? Saya bagi dalam 4 tahap. 

1. Membuat Habit Tracker 

Habit tracker apa? tergantung dari habit yang ingin dibangun. Saya mau 2021 saya menggambar setiap hari berarti saya buat tracker gambar harian. Saya mau masak tiap hari saya buat tracker masak harian. Sejauh ini tracker yang sudah saya buat adalah: Bangun Pagi & Membaca 10 menit sehari. Tidak ingin ambisius membuat habit tracker di bulan pertama 2021, bertahap tapi konsisten. 

2. Show My Work

Menampilkan apa yang saya sedang bangun atau apa yang sedang saya kerjakan. Untuk tahap satu ini, saya banyak terinspirasi dari buku Show Your Work-nya Austin Kleon. Dia menyarankan kita untuk melibatkan orang lain (baca: audience) yang bisa siapa saja untuk melihat kita berproses. Yaaaa kurang lebih 2021 saya mau mulai sharing lagi di Medsos tentang habit dan karya yang saya buat tanpa takut di jugde karena memang tujuannya memperlihatkan "proses" bukan hasil.

3. Minta Feedback pada orang yang tepat

Ini salah satu hal yang belum banyak saya lakukan di 2020. Kehitung jari sekali berapa orang yang memberikan feedback membangun pada saya, yang paling rajin tentu pasangan yang sehari-hari melihat saya berproses. Tahun ini saya ingin mendengar feedback dari orang lain selain pasangan. Minta pendapat dan masukan beberapa orang gak hanya satu dua orang saja ketika bingung menentukan satu pilihan. Sambil banyak-banyak belajar mendengarkan. 

4. Mulai Aja Dulu!

Iyaaa, terdengar seperti tagline ecommerce di Indonesia haha! tapi beneran deh, kayanya saya harus banyak-banyak mengucapkan mantra ini. Mulai aja dulu sebelum beli-beli barang baru, mulai aja dulu sebelum beli kelas berbayar. Mulai apa? Mulai berlatih doooong. Berlatih sendiri setiap hari dan belahar dari kelas-kelas gratis di YouTube Universe haha. 

2021, semoga benar-benar bisa menginvestasikan banyak waktu untuk belajar dan berkaryaaa yaaa, bukan heboh ingin upgrade tools sebelum bahkan mengerti basicnya. Semoga ya, semoga! 

*boleh sih As sesekali beli atau upgrade tools untuk hadiahi diri sendiri. Tapi pastikan betul-betul pastikan ke diri sendiri sudah layak diberikan hadiah tersebut belum ya! Hehe



Dua tahun lalu saya membaca seabrek-abrek buku parenting karena keperluan pekerjaan. Dari yang berat sampai berat berat banget (bacanya malah bikin keblinger), sampai menyempatkan waktu ke toko buku dan ternyata ada banyak juga buku-buku parenting yang bahasanya ringan dan mudah dipahami. Tapi karena saat itu sedang banyak butuh buku-buku penguat teori, saya jadi harus menghabiskan waktu baca si 'buku-buku berat' tadi. 

Usai membaca buku-buku parenting untuk keperluan pekerjaan, saya sempat rehat baca buku-buku parenting. Bosan dan jenuh haha, baru baca lagi awal tahun lalu ketika ada diskon di Google Play Book, saya beli buku The Danish Way of Parenting, yang (setelah baca bukan untuk keperluan perkejaan) ternyata seru juga yaaah. 

Bulan Oktober lalu saya dan Mas Har pergi ke Gramedia untuk jajan buku, ini pertama kalinya kami ke toko buku lagi selama pandemi, sejak pandemi saya gak ke Gramed, gak ke toko buku dan gak beli buku sama sekali. Baca buku-buku dari perpus Hayu maca aja. Nah, jatah bulan Oktober saya belikan buku Happy Little Soul ini. 

Sebetulnya saya sudah cukup lama tahu buku ini, karena sudah lama mengikuti Ibu Retno di Instagram, mengikuti cerita-cerita Kirana yang menggemaskan. Tapi belum tergerak beli bukunya hehehe, baru kemarin beli, pas sekali ada cetakan dan cover baru. 

Kalau biasanya saya meramu teori-teori parenting dalam bahasa sederhana, tapi tetap mengatur sedemikian rupa agar pembaca tau kalau yang dibaca ini ada teorinya loh! nah buku ini jelas kebalikan dari apa yang saya biasa lakukan untuk keperluan pekerjaan saya sebelumnya. Teman-teman, tidak akan menemukan teori-teori perkembangan anak usia sekian-sekian dari ahli A atau ahli B, teman-teman juga tidak akan menemukan aturan A dan B berdasarkan teori X dan Y. Yang kita baca di buku ini, murni pengalaman Ibu Retno sebagai seorang Ibu (yang saya yakin tentu saja sebelum melakukan hal ini banyak riset dan bacaan yang jadi sumber Bu Retno). 

Dengan gaya bercerita Bu Retno, kita diajak menyelami pengalaman beliau selayaknya seorang teman. Bagimana menatur perasaan ketika pertama kali keguguran? Bagaimana rasanya hamil tapi harus ditinggal suami? Bagimana rasanya mengurus bayi di Negeri orang? dan yang paling bikin penasaran, tentu bagaimana mengasuh Kirana menjadi anak yang percaya diri dan penuh empati. 

Di awal saya sempat berekspektasi akan menemukan banyak catatan-catatan religius dalam perjalanan pengasuhan Bu Retno karena tergambar di Instagram seperti itu, tapi porsi nilai religius ini pas sekali, tidak membuat kita yang setelah baca merasa ini buku parenting yang 'islami' sekali, tapi juga tetap ada nilai religius yang Bu Retno ceritakan disini. Bagian favorit saya adalah bagaimana cara Bu Retno 'merayu' Allah, tak berhenti meminta ketika ingin punya anak lagi. Ada rasa percaya kepada Tuhan yang sangat kuat, yang membuat saya juga diingatkan agar tak lupa menitipkan beragam keinginan dalam doa. 

Sisanya saya mencatat beberapa poin kenapa buku ini amat menarik untuk dibaca oleh teman-teman semua:

- Bu Retno menggambarkan pentingnya menjadi pemimpin untuk diri sendiri ketika kita menjadi seorang Ibu, dengan banyaknya informasi yang masuk, kitalah pengambil keputusan terbaik untuk anak-anak kita. 

- On Books & Toys, buku penting jika kita ingin menumbuhkan anak yang juga mencintai baca dan buku. Walaupun kita tak suka baca, tapi pastikan kita menyiapkan anak kita tumbuh dengan buku dalam kesehariannya. Untuk mainan, ingat bahwa semewah apapun mainannya, adalah kehadiran orang tua yang paling penting untuk menemani anaknya bermain.

- Saran screen time yang menurut saya pas. Tidak melarang, tapi juga tidak berlebihan. Termasuk konten apa saja yang ok untuk di tonton anak sesuai usia.

- Bagaimana pengasuhan positif yang dilakukan Bu Retno sehari-hari. Bukan hanya praktik yang terlihat 'wah keren' tapi juga bagaimana menyikapi insecurity sebagai seorang Ibu yang harus bisa membagi waktu antara anak dan rumah. 

- How to be a creative parents, berisi tips kegiatan bersama anak untuk dilakukan bersama.

- Bagaimana mengajarkan kebaikan dilihat dari aspek agama juga aspek humanity secara universal. 

- BECOME A HAPPY MOTHER. Bagaimanapun juga, Ibu yang bahagia akan menumbuhkan anak yang bahagia, akan ada catatan untuk mengatur emosi, meredakan rasa bersalah, bagaimana memaafkan diri sendiri dan belajar dari kesalahan serta mengajak Ayah untuk team up dalam pengasuhan. 

Saya memberi rating 4/5 untuk buku ini. Karena masih ada juga typo dan penempatan halaman yang rasanya kurang pas, tapi tidak sampai merubah esensi buku. Boleh dibaca kalau teman-teman sedang mempersiapkan diri menjadi Ibu yang lebih baik, ingin melihat praktik baik pengasuhan positif, dan tak mesti jadi seorang Ibu untuk membaca buku ini. 

Kalau kamu ingin memberikan hadiah buku parenting untuk teman-temanmu yang tidak terlalu suka membaca, buku ini layak loh jadi hadiah. Karena bahasanya amat sangat ringan. Untuk yang suka baca bisa juga gak? Tentu bisa hehehe. 

Oiya saya juga menulis review buku ini untuk Instagram Hayu Maca, bisa di cek disini ya: https://www.instagram.com/p/CI2-6yprFN-/

Terima kasih teman-teman semua! Selamat membaca !

Sampai jumpa di Review Asri berikutnya.
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

POPULAR POSTS

  • [Review Asri] Atomic Habits - James Clear
  • Review Asri: Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom
  • Review Asri - Tempat Terbaik di Dunia karya Roanne Van Voorst
  • [Review Asri] Kemarau - A.A. Navis
  • Review Asri: As Long As The Lemon Trees Grow karya Zoulfa Katouh
  • Review Buku Angsa dan Kelelawar karya Keigo Higashino
  • Sabtu yang Menyenangkan dan kenapa saya suka membeli bunga
  • Main ke Toko Buku Pelagia Bandung
  • Review Asri: Manabeshima Island Japan karya Florent Chavouet
  • Review Asri - the house of my mother karya Shari Franke

Arsip Blog

  • ▼  2025 (16)
    • ▼  Mei 2025 (3)
      • Review Asri: Pengantin-pengantin Loki Tua karya Yu...
      • Review Asri: Minimarket yang Merepotkan karya Kim ...
      • Tiap Anak Berbeda, Termasuk Proses Melahirkannya; ...
    • ►  April 2025 (2)
    • ►  Maret 2025 (2)
    • ►  Februari 2025 (3)
    • ►  Januari 2025 (6)
  • ►  2024 (8)
    • ►  November 2024 (1)
    • ►  Agustus 2024 (1)
    • ►  Juni 2024 (1)
    • ►  Mei 2024 (2)
    • ►  April 2024 (3)
  • ►  2023 (17)
    • ►  November 2023 (1)
    • ►  September 2023 (1)
    • ►  Juli 2023 (4)
    • ►  Juni 2023 (4)
    • ►  Maret 2023 (2)
    • ►  Februari 2023 (2)
    • ►  Januari 2023 (3)
  • ►  2022 (52)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  September 2022 (12)
    • ►  Agustus 2022 (2)
    • ►  Juli 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (4)
    • ►  Mei 2022 (9)
    • ►  April 2022 (7)
    • ►  Maret 2022 (5)
    • ►  Februari 2022 (6)
    • ►  Januari 2022 (3)
  • ►  2021 (35)
    • ►  Desember 2021 (5)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (4)
    • ►  Agustus 2021 (3)
    • ►  Juli 2021 (2)
    • ►  Juni 2021 (1)
    • ►  Mei 2021 (3)
    • ►  April 2021 (1)
    • ►  Maret 2021 (2)
    • ►  Februari 2021 (6)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (13)
    • ►  Desember 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (4)
    • ►  Juni 2020 (3)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (1)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (14)
    • ►  November 2019 (1)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (2)
    • ►  Juli 2019 (2)
    • ►  Maret 2019 (3)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (2)
  • ►  2018 (15)
    • ►  Desember 2018 (4)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Juli 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (3)
    • ►  Maret 2018 (3)
    • ►  Januari 2018 (2)
  • ►  2017 (20)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  Oktober 2017 (3)
    • ►  September 2017 (2)
    • ►  Agustus 2017 (4)
    • ►  Juli 2017 (4)
    • ►  Mei 2017 (3)
    • ►  Januari 2017 (2)
  • ►  2016 (65)
    • ►  Desember 2016 (2)
    • ►  September 2016 (2)
    • ►  Agustus 2016 (3)
    • ►  Juli 2016 (17)
    • ►  Juni 2016 (7)
    • ►  Mei 2016 (7)
    • ►  April 2016 (25)
    • ►  Februari 2016 (1)
    • ►  Januari 2016 (1)
  • ►  2015 (29)
    • ►  Desember 2015 (3)
    • ►  September 2015 (2)
    • ►  Agustus 2015 (13)
    • ►  Juli 2015 (4)
    • ►  Juni 2015 (1)
    • ►  Maret 2015 (2)
    • ►  Februari 2015 (1)
    • ►  Januari 2015 (3)
  • ►  2014 (29)
    • ►  Desember 2014 (8)
    • ►  November 2014 (6)
    • ►  Oktober 2014 (2)
    • ►  September 2014 (2)
    • ►  Juni 2014 (3)
    • ►  Mei 2014 (2)
    • ►  Februari 2014 (6)
  • ►  2013 (66)
    • ►  Desember 2013 (1)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  Oktober 2013 (7)
    • ►  September 2013 (7)
    • ►  Agustus 2013 (15)
    • ►  Juli 2013 (4)
    • ►  Juni 2013 (8)
    • ►  Mei 2013 (2)
    • ►  April 2013 (5)
    • ►  Februari 2013 (3)
    • ►  Januari 2013 (9)
  • ►  2012 (6)
    • ►  November 2012 (4)
    • ►  Oktober 2012 (2)
  • ►  2011 (8)
    • ►  Oktober 2011 (4)
    • ►  September 2011 (1)
    • ►  Maret 2011 (3)

Goodreads

Asri's books

Kejutan Kungkang
it was amazing
Kejutan Kungkang
by Andina Subarja
The Fine Print
liked it
The Fine Print
by Lauren Asher
Under One Roof
liked it
Under One Roof
by Ali Hazelwood
Lessons from Surah Yusuf
it was amazing
Lessons from Surah Yusuf
by Abu Ammaar Yasir Qadhi
Setelah membaca ini sampai selesai malam ini. Jadi paham kenapa Allah bilang kalau Kisah Yusuf ini salah satu kisah terbaik dalam Quran. Ada terlalu banyak pelajaran berharga dari kisah Yusuf. Dr. Yasir Qadhi mengawali buku ini dg sebab...
No Exit
liked it
No Exit
by Taylor Adams

goodreads.com

Blog Perempuan

Blog Perempuan

Cari Blog Ini

Kamu pengunjung ke

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © Journal Asri. Designed by OddThemes