Journal Asri


Buku yang dibaca V, salah seorang member BTS

First of all, I'm not an army haha! Saya hanya tahu satu atau dua lagu BTS yang biasanya sedang viral di Media Sosial dan cukup menikmati walau tak tahu artinya. Nah, waktu beli buku ini saya tidak tahu kalau buku ini cukup viral karena pernah dibaca salah seorang member BTS, saya beli buku ini karena beberapa ulasan menarik di media sosial, ketika baca pengantar dari penulis di buku ini, barulah saya tahu. Waw asyik juga ya kalau idol banyak menularkan semangat membaca buku dan menular ke para penggemarnya.

Belajar Berbahasa dan Komunikasi dari cendikiawan Barat dan Timur

Buku ini dibagi menjadi 8 chapter, ditiap chapter terdapat beberapa bagian yang awalnya selalu diawali dengan kutipan dari buku atau perkataan seorang filususf atau pemikir. Penulis kemudian mengelaborasi kutipan tersebut dan kaitannya dalam berkomunikasi atau berbahasa. Buku ini isinya seperti kumpulan esai, kalau buat saya. 

8 chapter ini adalah tahapan dari hal dasar kalau kita ingin meningkatkan kemampuan komunikasi dan berbahasa. Isinya bukan hal teknis tapi ya, walaupun ada beberapa tips yang bisa kita praktekkan langsung jugasetelah membaca buku ini. 

Apa saja isinya?

1. Cara Memperbesar Mangkuk Kata-kata

Chapter ini menegaskan kalau kita kunci dari pembelajaran bahasa adalah pengembangan diri. Tujuan pengembangan diri ini untuk apa? untuk kenal sama diri sendiri, kenal sama diri sendiri membuat kita cinta sama diri sendiri dan ketika kita bisa mencintai diri sendiri, kita bisa makin percaya diri dalam berbahasa. 

2. Sudut Pandang

Menurut penulis, penting bagi kita untuk punya sudut pandang akan satu hal atau peristiwa, karena ketika kita tidak punya sudut pandang, ketika kita berbicara, ucapan kita jadi tak ada maknanya. Tidak berbobot. 

Apakah karena hal ini kita jadi harus tau tentang semua hal yang terjadi di dunia? tentu saja tidak, tapi perlu juga bagi kita untuk stay courious, Serta penting juga untuk bertanya dengan sungguh-sungguh, gak asal nanya aja. 

3. Kecerdasan

Kenapa ada bahasan tentang kecerdasan. Penulis menyampaikan kalau kecerdasan diperlukan jika kita ingin sesuatu yang kita ucapkan memiliki makna yang lebih dalam. Dibagian ini penulis juga mengutarakan kalau kecerdasaran amat diperlukan bahkan adalah sesuatu yang lebih tinggi dari hati. (yang mana saya kurang setuju sih haha, buat saya keduanya sama pentingnya). 

Dibagian ini ada salah satu bagian yang saya suka, yaitu tentang tips membaca buku dari Shin Young-Bok (pakar ekonomi dan penulis korea) untuk membaca satu buku sebanyak tiga kali. Pertama, kita membaca tulisannya. Kedua, kita membaca penulisnya. Dan yang terakhir, kita membaca diri kita sendiri sebagai pembaca buku tersebut. 

4. Kreativitas

Apa hubungannya kreativitas dengan berbahasa dan komunikasi? di pengantar bagian ini, penulis menyebutkan, kata-kata yang membosankan akan sulit diterima banyak orang, sehingga penting untuk mengasah kreativitas kita, isi dan bentuk ucapan haruslah baru. Tidak benar-benar baru sebetulnya, tapi lebih baik dari yang sebelumnya. 

Bagian ini juga menyarankan kita untuk belajar dari sejarah, tapi bukan menghapal tangaal-tanggal seperti di sekolah dulu ya (sama aja ya ternyata Korea Selatan sama Indonesia haha), belajar sejarah ini perlu untuk dimaknai, agar kita bisa mengambil pembelajaran dari peristiwa di masa lalu. 

Satu hal menarik dibagian ini adalah saran untuk menulis. Karena dengan menulis, pikiran dan penyampaian kita jadi lebih baru, bisa dicek terlebih dahulu juga, beda dengan ucapan yang bisa menguap begitu saja. 

5. Menyimak

Ini menarik nih! Jadi penulis bilang kalau kita mau jadi pembicara yang ulung, kita harus jadi penyimak yang jaauh lebih ulung. Menyimak ini bukan hanya mendengarkan seadanya ya. Tapi mendengarkan dengan sepenuh hati. Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk menjadi pendengar yang baik. Seperti mengalahkan keinginan untuk bicara, berlatih diam, konsentrasi dan tidak berpura-pura mendengarkan). 

Sejujurnya, ini bagian paling menarik dan paling saya suka dari buku ini.

6. Pertanyaan

Chapter 2 sempat mengulas tentang mengajukan pertanyaan yang baik itu penting untuk membentuk sudut pandang. Nah chapter 6 lebih dalam mengulas tentang budaya bertanya kita yang cerderung satu arah. Bos tanya ke bawahan, guru tanya ke karyawan, orang tua tanya ke anak. Jarang sekali atau frekuensi bertanya sebaliknya cenderung lebih sedikit. 

Padahal kalau kita tidak bertanya, bisa jadi kita gak belajar. Penting sekali untuk menyiapkan pertanyaan ketika kita tak paham, tapi ingat prinsip untuk tidak asal bertanya dan pastikan kita tidak bertanya untuk sekedar ngetes orang ya!

Satu lagi: orang berani bertanya ketika percaya kalau kita akan jawab tanpa merendahkan mereka. Jadi penting sekali membangun kepercayaan satu sama lain dengan lawan bicara agar bisa saling terbuka dan akhirnya saling berani bertanya.

7. Gaya Bicara

Seperti halnya perang, bicara juga ounya taktik standar yang seharusnya dilakukan oleh semua orang. Apa saja? 

- Berpikir sebelum berbicara

- Tidak berlebihan ketika berbicara

- Berbicara sambil memperhatikan lawan bicara kita

Wow! menarik ya! ada juga pembahasan selanjutnya tentang bicara yang harus seimbang, tidak sok tau ketika ngobrol, serta sebuah tips: jika kita ingin menjadi 'pemimpin' dalam sebuah pembicaraan, jadilah moderator dalam pembicaraan tersebut.

8. Kebebasan

Setelah semua hal, mulai dari mengenal diri sendiri hingga gaya bicara, hal terakhir yang bisa kita lakukan agar bisa bicara dan berkomunikasi dengan baik adalah kebebasan. Sebetulnya bagian ini lebih banyak membahas tentang pentingnya "walk the talk", ketika kita bicara kita memang melakukan apa yang kita ucapkan. Bukan hanya membual belaka. Supaya apa? supaya kita bisa jadi orang yang 'bebas' dalam artian tidak terbebani dengan ucapan kita sendiri. 

Bagian ini juga beberapa punchline yang saya suka, seperti ada beberapa hal yang memang tidak bisa diucapkan, akan lebih baik dibiarkan dalam diam, and it's okay. 

Serta perlunya berlatih meditasi, supaya kita bisa praktekkan 'zen' dalam bicara, yaitu menghilangkan beragam prasangka saat bicara dengan orang lain.

Catatan Asri tentang buku ini

Panjang juga ya review saya kali ini, semoga bisa memberikan gambaran bagi teman-teman yang penasaran ingin membaca buku ini. Buat saya pribadi buku ini cukup memberikan perspektif yang baru karena ternyata ilmu berkomunikasi ini dari dulu sampai sekarang ya sama dasar-dasarnya. Meskipun ada beberapa hal dalam buku ini yang saya tak sepenuhnya setuju, tapi banyak sekaaaali yang bisa saya coba praktekkan. 

Cocok dibaca bagi teman-teman yang memang ingin tahu lebih lanjut tentang pengetahuan dasar dalam berbahasa dan berkomunikasi. Bagi yang akan membaca buku ini, baiknya siapkan notes atau highlighter untuk menandai bagian penting dalam buku ini. Walaupun didalamnya sudah banyak yang dibold oleh penulis. 

Oh satu hal yang agak mengganggu di awal, buat saya adalah pengaturan margin buku ini! mepet sekali haha, tapi entah bagaimana akhirnya malah nyaman-nyaman saja. :D

Informasi Buku The Power of Language

Judul Buku: The Power of Language
Penulis: Shin Do Hyun & Yoon Na Ru
Pertama kali diterbitkan: 2018
Cetakan kesembilan Bahasa Indonesia: Juli 2021
Penerbit: Penerbit Haru
Jumlah Halaman: 208 halaman
ISBN:978-623-7351-34-4
Penerjemah: Hyacinta Louisa
Harga Pulau Jawa: Rp. 79.000

Tambahan

Saya mencoba buat ulasan versi videonya disini ya :)







Sekilas tentang Ego is the Enemy
Ego is the Enemy bisa jadi salah satu buku pengembangan diri paling tenar belakangan ini, serunya sudah ada versi Bahasa Indonesianya juga. Saya baca buku ini di bulan Juni. Rasanya keputusan yang tepat baca buku ini sebelum kembali bekerja. Saya cuti cukup lama dan kembali bekerja di tempat yang sama, dengan tim yang sama, namun dengan tugas baru.

Seperti judulnya, buku ini membahas Ego~ sebagai sesuatu yang membahayakan. Membahayakan bagaimana? Ego cenderung membuat kita merasa lebih dari orang lain, tidak mau kalah dan merasa sombong. Ego adalah musuh di setiap langkah. Ambisi yg hanya berpusat pada diri sendiri.

Buku ini dibagi jadi tiga bagian: 
1. Inspirasi
2. Kesuksesan
3. Kegagalan. 

Dalam tiga bagian ini ego akan selalu ada dan siap menghancurkan kita. Yap bahkan saat Sukses sekalipun!

Sejujurnya buat saya pribadi hampir tiap bagian dalam buku ini amat amat penting untuk dibaca dan yaa~ beberapa mungkin bisa mulai bisa dipraktekkan di kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan kunci yg saya suka dari buku ini: 

Teruslah menjadi pembelajar. Ketika belajar kita menyempatkan ego dan ambisi kita di tangan orang lain. Ketika berguru, kita meruntuhkan langit ego karena kita tahu ada orang yg lebih baik dari kita.

Oiya, buku ini juga menginatkan tentang penting juga untuk menerima feedback dari orang lain, banyak bekerja daripada bicara.

Ada bagian menarik juga tentang bagaimana kita perlu mengabaikan ego saat mendapatkan perlakuan buruk dari orang lain. Buku ini menegaskan kalau perlakuan buruk tidak akan menurunkan kualitas kita, tapi kualitas mereka yang melakukan hal buruk tersebut. Abaikan kebisingan yang ada, karena kita tidak akan mungkin merubah sistem kecuali kita sudah sukses, karenanya ketika mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan, cari cara agar sistem ditempat kita bisa tetap mencapai tujuan kita. Gunakan kesempatan ini untuk berkembang dan belajar dari orang lain. Karena kemampuan menahan diri adalah kunci.

Apa yg paling membuat saya tergugah sampai tidak nyaman karena bisa jadi saya pernah melakukannya?
Di bagian: strategi kanvas, penulis menjelaskan, kita kadang melihat ada "penghinaan" ketika kita melayani orang lain. Terdapat poin belajar dari bagian ini: di tempat baru, turunkan ego. Serap semua yg bisa kita Serap tanpa menghadang visi misi orang lain. Tapi bukan jadi penjilat ya.
Entah bagaimana bagian ini rasanya menampar saya karena yes, saya pernah berada di kondisi merasa diperbudak haha. Setidaknya beberapa kali, disatu kesempatan, keadaan ini membuat saya sampai cabut dari tempat bekerja saking tidak nyamannya. 

Kalau dipikir-pikir saya jadi merasa ada yang salah ketika mengerjakan perintah orang lain, karena tidak adanya sistem yang jelas di tempat bekerja saya dulu, setelahnya saya mencari tempat bekerja yang lebih jelas dan tersistem, mana atasan mana bawahan, kepada siapa harus bertanggung jawab atas apa yang saya kerjakan, kepada siapa saya bisa meminta bimbingan dan kepada siapa saya harus menjadi mentor yang juga bertanggung jawab.

Di tempat kerja yang sistemnya jelas, ketika kejadian merasa diperbudak tadi, saya cenderung bisa menahan diri karena saya cukup tau kondisi dan kedudukan saya. Kalau memang saya gak kuat, ya saya tinggal cabut juga. Tapi saya bertahan karena kondisi tersebut bisa dirubah dan saran dari saya selaku bawahan masih banyak didengar.

Membantu diri dengan membantu orang lain. Terdengar mudah tapi sebetulnya susah. Paling mudah yaaa ngeluh dan berpikir "duh aku sedang diperbudak nih", dari pada fokus pada apa yg bisa kita bantu.

Jadi berkaca apakah saya orang yang egois?
Overall saya sukaaaa sama buku ini, dan sepertinya berencana beli buku fisiknya, ini saya baca di gramdig. Tapi ada juga poin saya kurang setuju haha. Nah tapi ketika tidak setuju itu malah di-challenge sebenarnya: tuh kan, ego kamu yg main disini kan? Hahaaa

Seru dan mencerahkan! Saya merekomendasikan teman-teman untuk membaca buku ini dalam keadaan apapun. Kalau banyak tidak setujunya dengan buku ini, atau ada bagian yang tidak sepakat betul, ya bisa refleksi tipis-tipis seperti saya tadi. Ini tidak setujunya dilandasi pendapat yang cukup objektif, atau sebetulnya kita tersentil dan tidak terima dibilang egois :)

Informasi Buku

Judul: Ego is the Enemy
Penulis: Ryan Holiday
ISBN: 9786020496481
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tanggal Terbit: Mei 2019
Jumlah Halaman: 304 Halaman
Genre: Pengembangan Diri
Harga: 99.800 (fisik) 93.500 (eBook Gramedia) 169.000 (eBook Google Playbook - English)
Tersedia di Gramedia Digital (Baca Gratis bila berlangganan)

Hola! Sebulan lamanya bolos menulis di blog. Alasannya: aduh mau pakai alasan apalagi As, jago banget ngeles 😂. Jadi Bulan Juli ini saya kembali bekerja, bekerja di tempat yang sama tapi dengan roles baru + bekerja setelah ada Rana membuat saya perlu menyesuaikan diri pada banyak hal. Kalau sebelumnya bisa lowong sekali baca buku, menulis di @wanderbook_ dan juga di blog, sekarang karena pagi siang sore bekerja, waktu yang tersisa adalah weekend atau malam hari. Malam biasanya saya sudah KO duluan hehe. Kalau sebelumnya bisa tidur sampai jam 11 malam, bekerja dan punya anak membuat saya jam sembilan sudah ikut terlelap bersama Rana. 

Nah sebulan kembali menulis, saya tak ingin menulis review! Tapi menuliskan pengalaman saya kembali membaca buku-buku misteri setelah sekian lama tidak. Sebetulnya dulu saya tak benar-benar membaca buku yaa, tapi membaca komik. Saya punya dua genre komik favorit: Misteri dan Musik. Komik Misteri tentu disebabkan oleh tak lain dan tak bukan Detective Conan. Membaca Conan membawa saya pada komik detective lainnya seperti Q.E.D dan favorit saya lainnya: Dan Detective School. 

Lepas SMA rasanya hanya Conan yang masih rutin saya baca dan saya beli setiap edisi barunya keluar di Gramedia. Baru-baru ini saya kembali keranjingan membaca buku misteri setelah ikut diskusi & baca bareng Sofa Literasi Bulan lalu yang mengulas Buku Second Sisters karya Chan Ho Kei. Setelah itu saya membaca empat buku misteri di bulan Juli Haha! Lumayan ya. 

Berikut Buku-buku Misteri yang saya baca sepanjang Juni-Juli:

Second Sisters



Berkisah tentang seorang kakak yang ingin tahu kebenaran dibalik kasus bunuh diri yang menimpa adik perempuannya. Ia awalnya menemui seorang detektif kenalannya yaaang~menyerah tak bisa menyelesaikan kasus ini kemudian memberikan kontak detektif kenalannya yang akan bisa dengan mudah menyelesaikan kasus ini, detektif tersebut bernama N, beneran detektif unik dan nyentrik yang misterius. Di sepanjang buku ini kita akan mengikuti banyak isu yang jadi concern kita semua sebagai manusia di jaman digital. Privasi, kemanan data, perundungan daring, perundungan di sekolah yang bentuknya tak lagi fisik, mental health, pelecehan seksual, dan banyak isu lainnya yang membuat pembaca (sayaaa haha) merasa dekat dengan apa yang jadi jalan cerita di buku ini.


Alurnya agak susah ditebak, walaupun beberapa bagian saya nebak-nebak dan benar! haha kangen sekali baca buku misteri / detektif seperti ini! kalau teman-teman suka cerita misteri/detektif, harus coba baca buku ini! :)

The Devotion of Suspect X - Keigo Higashino



Ini buku pertama Keigo yang memunculkan sosok Detective Galileo, seorang Ilmuwan fisika yang suka bantu rekan polisinya menyelesaikan kasus sulit, tentunya dengan latar belakang keilmuan ilmiah yang ia punya.

Hal unik yang bisa ditemui di buku Keigo (setidaknya dari dua bukunya yang sudah saya baca) adalah kalau biasanya kita tahu siapa tersangka di akhir buku, tidak demikian dengan karya Keigo, kita akan tau persis siapa tersangka kasus tersebut diawal buku, nah sepanjang buku kita akan disuguhi plot menarik tentang kelimpungan polisi dalam mengurai kasus, serta bagaimana pelaku melakukan aksi kejahatannya.

Buku ini juga demikian, bercerita tentang seorang Ibu dan anak perempuannya yang membunuh mantan istri sang ibu yang selalu bersikap kasar, serta bagaimana Mr. X alias Ishigami sang ahli Matematika, tetangga mereka berdua, yang ternyata adalah rival Detektif Galileo ketika di kampus dulu, membantu mereka menyembunyikan mayat dan membuat kasus ini sulit ditemukan jalan keluarnya oleh polisi.

Saya merasa penasaran sepanjang buku, namun jujur di bagian akhir, saya malah agak sedikit terenyuh membaca ketulusan hati Ishigami, sang jenius matematika. Kenapa bisa terenyuh?

Duh harus baca. Seru sekali!!!! Kita akan diajak mengikuti alur berpikir ahli matematika & ahli fisika dalam memecahkan masalah, duh. Gak kebayang sama sekali. Ini buku yang membuat kita gak bisa nebak pelaku (karena memang sudah dikisahkan diawal), tapi kita mau ga mau terbawa mengikuti alur dari awal hingga akhir cerita.

Salvation of a Saint - Keigo Higashino




Salvation of a Saint berkisah tentang pembunuhan yang dilakukan Ayane terhadap suaminya yang~ sudah mana menyakiti perasaannya karena ia gak bisa kasih anak, eh selingkuh pula sama murid kesayangannya.

Seperti Devotion of Mr. X, kita sudah dikasih tau diawal siapa pembunuhnya, jadi sepanjang buku kita diajak cari tau cara membunuh dan motif dibelakangnya.
Ini buku #keigohigashino kedua yang saya baca. Jujur saya lebih suka Devotion of Mr. X.

Ini buku kontras sekali kisahnya sama Devotion of Mr. X, apanya yg kontras? Tokoh lelakinya. Tentu di Mr. X, Ishigami jadi pembunuh karena berpikir kelewat logis & bentuk sayang dia ke perempuan yg ia cintai. Di Salvation of a Saint, tokoh laki-lakinya malah arogan sekali. Duh, gimana nih, malah jatuh hati pada sosok pembunuh 🙈.

Bisa jadi saya lebih suka Buku Devotion of Mr. X karena endingnya yang lebih hangat kali ya, tapi kalau dari alur cerita dan sambung menyambung tiap kejadian sampai bikin penasaran, saya lebih suka salvation of a Saint.

Tokoh favorit saya di buku ini adalah Utsumi, detektif perempuan junior yang gak kaleng kaleng intuisinya hihi, suka juga sama interaksi Utsumi - Yukawa - Kusanagi.

Misteri Tujuh Lonceng // The Seven Dials Mystery




Saya mau buat pengakuan dulu haha ini buku Agatha Christie pertama yang saya bacaaaa 🙈 padahal padahal beberapa tahun lalu saya sempat borong buku Agatha Christie (di slide kedua), waktu Sofa Literasi mau bikin baca bareng buku ini, saya cek foto ternyata beli juga misteri tujuh Lonceng, tapi waktu cek rak buku, bukunya lenyap haha dari 10 tinggal 4 buku.

Tokoh favorit saya di buku ini: Superintendent Battle hehe, mirip Bundle yes yes hehe ini saya tulis di story beberapa hari lalu, karena saya merasa saya punya kesamaan sama Bundle. Rada impulsif dan suka ga mikir resiko, Orang-orang seperti Superintendent Battle tuh charming banget hihi.

Bukunya tentang apa? Hmmm singkatnya petualangan Bundle mencari tahu siapa itu Perkumpulan Tujuh Lonceng dan misinya. Walaupun ujungnya cukup plot twist, tapi gak sebegitu mengejutkan. Baca Conan sampai buku edisi 98 tuh bikin gak kaget lagi sama plot twist huhu. Tapi ini tetap seruuu buat saya.

And Then There Were None


Ini baru sekali tamat saya baca sore ini! hihi mumpung weekend kan bisa marathon baca fiksi sehari saja selesai! Pertama kali mendengar tentang buku ini di Selasa Bahas Buku-nya Hayu Maca. Waktu itu penasaran ingin langsung baca, tapi karena tidak ada bukunya baik di rak buku saya maupun di Hayu Maca, jadi absen dulu. Eh gataunya ada di Gramedia Digital, jadi bisa baca ebooknya. 

Seru gak? Seru sekaaaaali hihi, walaupun rasanya agak-agak kenal dengan modelan ceritanya (karena sudah banyak terpapar dengan cerita Agatha Christie lewat Detective Conan huhu) tapi tetap menikmati sekali ceritanya. Katanya sih ini salah satu buku Agatha Christie yang terbaik yaaa, bahkan di awal buku, Agatha sensei menuliskan sendiri kalau dia amat sangat bangga dengan karyanya yang satu ini. Setuju sih. 

Ceritanya tentang apaaa? hehe bisa dicek langsung di Goodreads ya.

 


Semalam, saya membaca buku sastra klasik Inggris: The Railway Children. Buku versi Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesianya tersedia di Gramedia Digital, saya kira akan membutuhkan waktu berhari-hari membaca buku ini, ternyata semalam saja (haha tentu menemani drama jam tidur Ibu-Ibu baru).

Buku anak bisa dibilang jadi "comfort genre" saya dalam baca buku, apalagi kalau sedang lelah dengan banyak hal tapi ingin tetap membaca buku yang membuat hati hangat. Buku ini salah satunya, salah satu buku anak klasik yang ditulis Nesbit, sudah banyak diadaptasi ke film tapi saya belum nonton satupun filmnya.

Berkisah tentang petualangan tiga bersaudara: Roberta (Bobby), Peter & Phyllis. Ketiganya anak-anak dari keluarga berada yang karena satu hal harus berubah hidup sekedarnya. Mereka bahkan pindah dari London ke "The Three Chimneys". Sebuah tempat tinggal yang tak jauh dari jalur kereta dan stasiun.

Petualangan mereka banyak dimulai dari jalur kereta dan stasiun, mulai dari percobaan mencuri bahan bakar untuk nenghangatkan rumah yang dilakukan Peter, membantu penyintas dari Russia yang mencari keluarganya, penyelamatan heroik untuk mencegah kecelakaan kereta, hingga menemukan seorang anak laki-laki yang terluka dan mereka bawa ke rumah.

Saya merasa hangat membacanya, interaksi ibu dan ketiga anak ini secara tak langsung berpengaruh pada sikap mereka dalam menghargai orang lain. Favorit saya adalah bagian ketika tiga bersaudara ini menyiapkan kejutan ulang tahun untuk porter di stasiun kereta.

Ah, ada beberapa kutipan yang saya highlight dari buku ini:

---
"Now, listen," said Mother; "it's quite true that we're poor, but we have enough to live on. You mustn't go telling everyone about our affairs—it's not right. And you must never, never, never ask strangers to give you things. Now always remember that—won't you?"

---
"Mother said we weren't to ask people for things," said Bobbie, doubtfully. "For ourselves, she meant, silly, not for other people.

---
Bacaan akhir pekan yang menyenangkan. Jadi penasaran ingin membaca buku klasik lainnya.


Judul Buku: The Hen Who Dreamed She Could Fly
Penulis: Hwang Sun-Mi
Penerjemah: Dwita Rizki
Penerbit: Penerbit BACA
Jumlah Halaman: 208 halaman
Pertama kali terbit: November 2020 (terj. Bahasa Indonesia) 2002 (versi asli Bahasa Korea)

---

"Aku punya nama. Nama buatanku sendiri" --
-- "Dedaunan adalah ibu dari para bunga. Bernapas sambil bertahan hidup walau diempas angin. Menyimpan cahaya mataharidan membesarkan bunga putih yang menyilaukan mata. Jika bukan karena dedaunan, pohon pasti tidak dapat hidup. Dedaunan benar-benar hebat."

"Dedaunan... Benar, nama yang sangat cocok untukmu" ---(hal. 72)

---

Jika kamu mencari sebuah buku yang tokoh-tokohnya adalah hewan-hewan di pekarangan rumah: ayam, anjing, bebek dan beragam dramanya. Buku ini bisa jadi salah satu pilihan bacaan menyenangkan untukmu! namun jangan harap membaca cerita dengan tokoh binatang yang terasa hangat, minim konflik dan cepat sekali selesai konflik-konfliknya ya. 

The Hen Who Dreamed She Could Fly merupakan buku karangan Hwang Sun-Mi, seorang penulis dari Korea Selatan. Buku ini merupakan buku laris di Korsel sana. Selama beberapa tahun tercatat sebagai buku best-seller  dan telah diterjemahkan ke beberapa bahasa. Versi Indonesianya baru terbit tahun lalu dan diterbitkan oleh Penerbit BACA. 

Saya sendiri baru membaca buku ini kemarin, waktu Rana sedang anteng tidur. Ah, buku ini merupakan hadiah dari Mas Har setelah saya melahirkan kemarin hihi. Apakah Mas Har beli karena isinya yang akan amat sentimentil jika dibaca seorang ibu? bukaaaan haha, Mas Har pakai cheat sheet dengan melihat keranjang e-commerce saya dan mendapati buku ini sebagai salah satu buku yang ada di keranjang belanja saya tapi tak pernah di check out. 

Sejujurnya membaca buku ini rasanya refreshing sekali karena sudah lama saya tak membaca kisah apik dalam sosok hewan-hewan. Mungkin baca di buku cerita anak yaaa hehe tapi kan buku anak biasanya pendek-pendek banget. Nah buku ini gak bisa dibilang tipis untuk ukuran fabel. 

Bercerita tentang Daun, ayam petelur yang tinggal di kandang ayam di sebuah pekarangan rumah pasangan suami istri. Ia punya mimpi yang cukup 'berani' untuk ukuran ayam petelur: Ingin tinggal di halaman, ingin bertelur lalu mengerami telurnya selayaknya ayam betina di halaman, ingin mengasuh dan membersamai anak-anaknya sampai besar seperti pemandangan yang ia lihat di halaman. 

Satu waktu ketika kondisi kesehatan Daun menurun, ia tak kunjung bertelur, pasangan pemilik halaman memutuskan untuk 'membuang' Daun ke pembuangan ayam. Beruntungnya Daun tak 'mati' seperti halnya ayam-ayam lain yang dibuang. Ia lalu keluar dari tempat pembuangan tersebut, bertemu Bebek Pengelana, seekor bebek liar yang hidup bersama bebek-bebek jinak di halaman, yang membantunya kabur dari sergapan musang yang siap menerkamnya. Dari sini perjalanan Daun meraih mimpi-mimpinya dimulai. 

Ia akhirnya 'bebas' dari kandang ayam. Namun ternyata tinggal di halaman tak semudah yang ia bayangkan. Seluruh penghuni halaman. Ayam Jantan, Ayam betina, bebek dan anjing tak ingin Daun ada disana, ia diusir dan tampak hanya Bebek Pengelana yang peduli padanya namun tak berdaya. 

Kisah Daun lebih seru lagi ketika ia akhirnya sangat dekat dengan impian terbesarnya untuk mengerami telur dan menetaskan anak dari telur tersebut. Ia mendapati telur besar di semak mawar dan mengerami telur tersebut hingga anak tersebut lahir. Apakah anak yang menetas adalah anak ayam? Hmhmmm... Saya amat merekomendasikan teman-teman membaca sendiri kelanjutan ceritanya hehe. 

---

Sejujurnya saya tidak menyangka bisa membaca kisah yang indah di buku ini. Saya sendiri amat ingin membaca buku ini setelah melihat banyak teman-teman bookstagram memposting foto buku ini di Instagram :D, (anaknya gampang banget kebawa arus yaaaa haha).

Buku ini, walau semua tokohnya binatang, adalah gambaran apik dari sang penulis tentang kehidupan yang sebenarnya. Si Daun yang mencari kebebasan layaknya manusia pada umumnya, Daun yang juga nampak tak pernah puas dengan pencapaian-pencapaiannya di awal (dari kandang minta ke halaman, sampai halaman mengetahui fakta yang terjadi juga tak pula puas), namun lewat Daun juga kita diajak belajar untuk menjalani hidup dengan sebaik-baiknya. Sampai tak lagi merasakan penyesalan ketika ia berpulang. 

Membaca kisah Daun dan Jambul Hijau setelah memiliki Derana juga rasanya berbeda sekali (ini tidak valid sih ya mengingat saya belum pernah baca buku ini sebelum punya anak), tapi kok ya rasanya pas. Membaca buku tentang kasih sayang yang kadang diluar akal sehat dari seorang Ibu ke anaknya. Padahal dalam kasus Daun, Jambul Hijau bukanlah anak kandungnya. Rasanya dalam sekali membaca kisah ini. Tak heran kalau di negara asalnya buku ini berada di rak best seller selama 10 tahun! 

Saya amat merekomendasikan teman-teman untuk membaca buku ini!! 




 


Buku pertama yang saya tamatkan sebagai seorang Ibu: Rumah Kertas karya Carlos Maria Domininguez. Membaca buku setelah menjadi seorang ibu ternyata beda sekali ya dengan sebelum menjadi ibu hihi. Setelah melahirkan, saya membeli satu buku, Mas Har menghadiahkan tiga buku, belum lagi langganan Gramedia Digital yang masih berjalan, tapi gak banyak buku yang tamat saya baca. Bisa jadi karena sebagian besar adalah buku non-fiksi, sementara Rumah Kertas ini buku fiksi dengan 75 halaman saja. Tipis sekali. 

Saya pertama kali mendengar tentang buku ini di #SelasaBahasBuku yang diselenggarakan Hayu Maca. Saya lupa siapa pengulas buku ini tapi saya terhipnotis sekali dengan ulasannya dan langsung ingin baca tapi bukunya ga ada hehe. Rasanya setelah itu saya langsung masukkan keranjang belanja, karena bukunya tipis, pikir saya nanti sekalian beli buku lain baru check out, supaya hemat ongkir (hehe). Tapi ga di check-out sampai setahun lebih, keburu lupa. Kemarin, Mas Har membelikan saya buku ini. 

Kenapa saya amat sangat ingin membaca buku ini: karena temanya tentang buku. Ringkasan buku ini dibagian belakang buku saya amat membuat saya penasaran:

Seorang profesor sastra di Universitas Cambridge, Inggris, tewas ditabrak mobil saat sedang membaca buku. Rekannya mendapati sebuah buku aneh dikirim ke alamatnya tanpa sempat ia terima: sebuah terjemahan berbahasa Spanyol dari karya Joseph Conrad yang dipenuhi seprihan-serpihan semen kering dan dikirim dengan cap pos Uruguay. Penyelidikan tentang asal usul buku aneh itu membawanya (dan membawa pembaca) memasuki semesta para pecinta buku, dengan berbagai ragam keunikan dan kegilaannya!

Menarik sekali bukan!
Judul asli buku ini adalah La Casa de Papel, yang terjemahannya adalah Rumah Kertas dalam Bahasa Indonesia, ha! Jangan kaget kalau search judul aslinya di google yang keluar adalah gambar dan artikel tentang serial Money Heist ya! hehe, karena serial tersebut aslinya berjudul sama dengan buku ini sebelum diterjemahkan menjadi Money Heist. Tapi ceritanya sama sekali tidak sama kok :). Buku ini ditulis oleh penulis Argentina, Carlos Maria Domininguez. 

Berkisah tentang perjalanan si tokoh utama atau 'aku' di buku ini. Si tokoh utama adalah rekan kerja Bluma Lennon, profesor sastra Amerika Latin yang dikisahkan meninggal usai tertabrak mobil ketika sedang membaca karya Emily Dickinson. Bekerja di ruangan yang tadinya milik Bluma, si tokoh utama menerima paket misterius yang berisi buku La linea de sombra, terjemahan Spanyol The Shadow Line karya Joseph Conrad. Buku tersebut dikirim dalam keadaan koyak, dibagian depan dan belakangnya terdapat kotoran berkerak, belum lagi ada bekas-bekas semen dan debu halus dari buku tersebut. Karena penasaran, tokoh utama mencari siapa pengirim buku tersebut dan pencariannya mengerucut pada satu nama: Carlos Braurer, seorang bibliofil dari Uruguay. 

Lewat perjalanan mencari Carlos Braurer inilah, si tokoh utama bertemu beberapa orang yang menceritakan siapa Carlos dan seberapa cinta dan gilanya ia pada buku dan membaca. Oh iya! si tokoh utama disini juga seorang penggila buku yang diawal buku disebutkan sedang bingung karena bukunya butuh rak baru dan ia tak tahu harus simpan dimana bukunya. 

Tokoh utama bertemu Jorge Dinarli, pemilik salah satu toko buku lawas yang sebelum menceritakan tentang Carlos, terlebih dahulu menceritakan tentang dua tipe bibliofil yang ia kenal:

1. Kolektor, yang bertekad mengumpulkan edisi-edisi langka dan mengagumi buku-buku tersebut layaknya objek yang indah dan barang yang langka.
2. Para kutu buku, pelahap bacaan yang rakus. Seperti halnya Carlos Braurer, yang sepanjang hidupnya membangun koleksi perpustakaan, pecinta buku tulen, yang mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk buku dan menghabiskan waktu untuk mempelajari dan memahaminya. 

Hmmmm, membaca percakapan antara tokoh utama dan Dinarli saya langsung mikir saya masuk yang mana haha, walau sepertinya bukan keduanya. Buat saya, membaca buku amat menyenangkan karena bisa membawa saya 'pergi'dari tempat saya berada tanpa benar-benar pergi. Belakangan membaca nonfiksi juga sama menyenangkannya karena seru ya bisa membaca beragam pemikiran orang, yang bisa jadi kita setujui dan tidak. 

Nah, sepanjang 75 lembar buku ini, rasanya tak habis-habis saya diajak refleksi tentang kecintaan saya pada buku. Walau tidak sampai level kegilaan Braurer (ga mau spoiler tapi kalian harus baca kegilaan dia pada buku yang bikin saya merinding) membaca buku ini seperti diajak mengenali beragam tipe pembaca dan pengoleksi buku. Ada pembaca yang senang bukunya bersih, ada yang suka coret-coret sambil baca, ada yang ngoleksi untuk kesenangan semata ada yang untuk dibaca, macam-macam deh. Belum lagi kalau sudah level kolektor, ternyata biaya perawatan buku bagi mereka lebih mahal daripada harga bukunya hehe. 

Pada akhirnya, usai membaca buku ini saya kembali pada satu kesimpulan:

Namanya cinta yang berlebihan itu ga ada yang bagus, termasuk cinta pada buku yang katanya sumber ilmu pengetahuan. Cinta yang berlebihan bisa membutakan, membuat kita tak bisa pandang sesuatu dengan jernih. 

Jika diawal buku, si tokoh utama bingung meletakaan rak baru untuk buku-bukunya, di bagian akhir ia memilih membagi-bagikan buku tersebut kepada mahasiswanya. Menolak menjadi penimbun buku terutama untuk buku-buku yang kemungkinan tidak ia butuhkan lagi. Ini mengingatkan saya pada beberapa teman yang mulai unhaul buku-buku mereka entah dengan membagikan gratis atau menjualnya untuk membeli kembali buku baru. Saya sendiri belum sampai level bagi-bagiin buku gratis terutama kalau bukunya bagusss heheee. Saya akui saya masih suka menimbun. Tapi sepertinya mulai harus buat aturan kaya baju yaa, satu buku baru masuk, satu buku lama harus keluar biar ga penuh-penuhin rumah juga :)


 

 


Halo! 

Saya bertanya-tanya kapan bisa kembali menulis blog setelah terakhir menulis sebulan lalu. Sebabnya: Saya sedang dug dig dug menunggu persalinan anak pertama. Hufff, setelah drama HPL yang maju jauuuuh sekali ke 21 April (sebelumnya 8 Mei!) makin dag dig dug lagi lah saya karena baru mengajukan cuti di bulan Mei. Untungnya semua sudah saya komunikasikan ke atasan dan rekan kerja, kalau si kecil tiba-tiba ingin keluar di April, saya langsung cuti hari itu. 

Sebetulnya, saya malah bersyukur masih bekerja sampai sebelum melahirkan hihi, karena kayanya kalau gabut dan ga ada kerjaan malah makin kelenger mikirin anak di perut yang gak keluar-keluar di hari HPL, lewat beberapa hari HPL saya datang kontrol USG ke obgyn dan bidan. Obgyn udah wanti-wanti kalau sampai minggu depan gak keluar juga, tindakan akan segera diambil, minimal induksi, sebelum akhirnya nanti operasi jadi opsi satu-satunya untuk paksa si bayi keluar dalam keadaan sehat dan selamat. Makin dag dig dug, tapi terus berusaha memasrahkan segalanya ke Allah sambil coba beragam tips agar si anak kecik mau keluar di tanggal-tanggal aman. 

Sempat saya berpikir, ini anak bayi ga mau keluar jangan-jangan karena ingin Ibunya menyelesaikan tanggung jawabnya dulu di tempat kerja. Saya dan Mas Har "sampai coba ngobrol malam-malam sambil elus-elus perut dan bilang, "Dek, gak apa loh keluar di tanggal Ibu belum cuti, nanti diganti kok, ibu masuk lebih awal, gak zolim ke tempat kerja Ibu. Wkkkkk, Apakah Rana akan jadi kaya Ibunya yang rada-rada workaholic, gak tau tah haha. 

Tapi ternyata cukup berhasil, dua hari doang sebelum tanggal beneran cuti, lewat seminggu lebih dari HPL tapi belum sampai tenggat obgyn bilang harus induksi, Rana lahir ke dunia. Membawa beragam perasaan di badan dan raga Ibunya, Ayahnya, Neneknya dan semua orang-orang yang mengenalnya pertama kali. 

---

Melahirkan seorang anak, rasanya seperti terlahir kembali sebagai manusia baru. Pernah dalam satu sesi wawancara kerja saya ditanya, "Bu Asri pernah punya pengalaman spiritual tak terlupakan gak?", waktu itu saya gak bisa jawab apa-apa, rasanya sholat terkhusuk saya aja belum masuk katergori pengalaman spiritual yang tak terlupakan, atau ibadah-ibadah lainnya. Tapi berada di klinik bidan selama beberapa jam, menyaksikan dan merasakan seonggok daging bergerak jadi manusia baru, menangis dan meminta makanan pertamanya pada saya, saya gak yakin akan dapat pengalaman yang lebih magis dan spiritual lagi dari hal tersebut. 

Hari ini, seminggu lewat sejak Rana lahir, saya masih merasakan banyak macam emosi dan rasa di badan dan jiwa saya. Gak semuanya pelangi seperti yang dilihat di Instagram ibu-ibu baru kok haha! Lima malam pertama kayanya saya gak berhenti nangis nahan sakit. Saya melahirkan dengan persalinan pervaginam (normal), proses kontraksinya, seperti kontraksi pada umumnya, menyakitkan dan bikin buka tutup mata sambil terus  berdzikir karena takut banget mati di tengah proses ini (sungguh sebuah alasan berdzikir yang amat Asri ya!), proses persalinan saya, sayangnya gak smooth sama sekali haha. Penuh perjuangan, sampai bidan-bidan yang menangani saya nyerah dan panggil bidan senior, setelah lemes setengah mati (literally setengah hidup dan mati), saya di infus dan dipandu ngejan sekali lagi. Alhamdulillah, Rana keluar beneran kali ini, saya, secara ajaib jadi kuat lagi setelah dengar tangis Rana, walaupun sambil nangis-nangis terus-terusan, emang dasar cengeng yaaa. 

Baru sekarang semuanya terasa lebih enak dan lebih menyenangkan sampai saya punya mood buat nulis di jurnal dan nulis di blog sekarang. Badan saya lebih terasa enak, perut juga udah lebih menyenangkan dibawa berkegiatan, saya mulai terbiasa dengan kehadiran Rana dan mulai memikirkan dengan serius untuk belajar mengurus semua kebutuhan Rana sendiri biar gak terus menerus repotin Ibu (neneknya Rana).

--

Selamat terlahir kembali, Asri! dan semua Ibu baru lainnya! Bukan hanya karena tanggung jawab baru sebagai Ibu tapi juga perjalanan yang pastinya aduhai naik turunnya!


 


Bacaan penutup Maret yang baru sempat ditulis reviewnya hari ini. Saya menutup Maret dengan membaca dua buku nonfiksi, salah satunya buku ini: No Hard Feelings - The Secret Power of Embracing Emotions at Work karya Liz Fosslien & Mollie West Duffy.

Buku ini saya baca di Google Playbook. Oiya OOT dikit! Kalau teman-teman langganan Google One, coba cek email teman-teman deh, bulan Maret lalu saya dapat credit Google sampai 65.000IDR, lumayan buat tambahan beli buku, atau kalau teman-teman ga mau beli buku juga bisa dipakai belanja di playstore untuk aplikasi atau games hihi! 

Okay balik lagi ke buku ini, saya baca buku ini karenaa treng treng treeeeng: Follow IG penulisnya haha, terus lihat dia repost followersnya yang baca buku ini. Ampun ya saya gampang banget kena racun baca dari Instagram, ga kehitung lagi buku yang saya beli atau baca gara-gara lihat postingan orang di IG, which is good sih haha! makanya sampai hari ini saya belum quit instagram, karena yang saya follow akun-akun buku wkkkk. 

Nah, buku ini sendiri mengambil tema yang cukup unik tentang bagaimana mengelola perasaan atau emosi di tempat kerja. Berisi 8 chapters menarik berikut:

Chapter 1: The Future is Emontional
Chapter 2: Health - Be Less Passionate about your job: Why taking a chill pill makes you healthier
Chapter 3: Motivation - Inspire Yourself: Why you're stuck and how to get moving
Chapter 4: Decision Making - Emotion is part of the equation; Why good decision rely on examining your emotions
Chapter 5: Teams - Psychological safety first: Why the how matters more than the who
Chapter 6: Communication - Your feelings aren't facts: Why you shouldn't get emotional about you emotions
Chapter 7: Culture - Emotional culture cascades from you; Why small actions make a big difference
Chapter 8: Leadership - Be selectively vulnerable: Why how you share matters

Kenapa saya sampai ketik satu-satu isi chapternya! karena dari judul chapter-chapternya saja buat saya sudah menarik parah! Favorit saya adalah chapter 5~ dari dulu saya selalu tertarik tentang beragam bacaan yang berkaitan dengan team, karena mengalami beragam dinamika tim baik yang sumber dinamikanya adalah saya sendiri sampai berusaha sok pahlawan menyelesaikan masalah dinamika tim yang bukan tanggung jawab saya~ yang tentu berakhir menyakiti perasaan saya sendiri! haha jadi cape hati. Tapi pembahasan tentang tim selalu menarik hati saya. Dan apa yang dibahas di buku ini di chapter 5 kurang lebih menekankan pentingnya seluruh anggota tim merasa 'aman' secara psikologi untuk menyampaikan pendapat atau bahkan ketika tidak menyampaikan pendapat (hehe). 

Chapter 5 mengingatkan saya pada project Aristotle nya Google yang pernah saya bawakan sebagai materi tambahan fasilitasi tim di awal tahun 2019. Kamu bisa baca lebih lanjut riset Google tentang tempat kerja yang aman secara psikologi disini ya. 

Nah kenapa saya tertarik dengan bagian ini, karena jadi diingetin lagi, sebenarnya tim-tim hebat isinya justru bukan orang hebat semua hihi, tapi ya berisi tim dengan beragam background tapi tiap anggotanya paham tentang gimana bikin semua orang merasa aman secara psikologis di tim. 

Tapi ya teman-teman, selain chapter 5 yang menarik, saya juga seperti diingatkan untuk 'slow down' di chapter chapter awal, ada kalanya ketika baca hmmmm, duh saya gini gak yaaa hahaa. This 'saya gini gak ya' terutama sering terpikirkan kalau ada bahasan tentang karyawan yang being in to it sampai lupa diri. Nah, terkait hal ini saya pernah diskusi sama Mas Har. 

Sebagai seorang karyawan (sejak tamat kuliah sampai sekarang haha), saya merasa selalu memberikan 100% saya ketika bekerja, kerja ngikutin passion buat saya bukan ketika saya bisa kerja sambil gambar-gambar atau nulis atau hal-hal yang 'menyenangkan' karena itu hobi saya selama ini. NOPE. Buat saya ketika saya terima satu kerjaan, ya I'm gonna do it passionately, walaupun tetap akan ada masa-masa demotivated, masa-masa kecewa karena satu dan lain hal, tapi mostly saya selalu mencoba memberikan yang terbaik yang saya bisa. Saya menganggap ini sebagai sikap bertanggung jawab dan amanah pada tugas, biar gajinya berkaaah ciiiin~. Tapiiiii, saya juga set boundaries yang cukup jelas, tertutama ketika masuk ke JAM KERJA. Weekend kerja??? Kalau kesepakatan di awal ada hayu, kalo ga ada NO! Pernah di tempat kerja sebelumnya saya diminta bekerja di weekend tanpa kesepakatan sebelumnya, hmmmm dateng-dateng merengut lah hahaa itu waktu istirahat saya. Mana gak dapet uang lembur pulak! wkkk (Asriiii Asriii mau maunya~). 

Makanya baca buku ini disatu sisi saya refleksi ulang apakah saya overwork? terlalu memberikan banyak untuk pekerjaan? Ya, tentu bias sih menilai diri sendiri, tapi kalau saya sendiri gak bisa nilai makin kacau lah dunia persilatan haha. Untuk sekarang sih gak kok, alhamdulillah~ habis magrib dah bisa leyeh-leyeh. 

---

Karena bukunya tentang tempat kerja, jadi campur-campur curhat yaa manteman mohon maaf! 
Saya merekomendasikan teman-teman membaca buku ini, pelan-pelan saja bacanya, kecuali kalau kalian emang fast reader untuk buku nonfiksi, saya sendiri termasuk lambat sekali baca nonfiksi, buku ini saya selesaikan seminggu lebih. Padahal banyak ilustrasinya! Hampir di tiap lembar ada ilustrasinya. 

Ah, sepertinya versi Bahasa Indonesianya belum ada nih. Semoga kedepannya ada penerbit Indonesia yang beli lisensi untuk terjemahkan buku ini! Versi Bahasa Inggris buku ini diterbitkan oleh Penguin Random House, jumlah halamannya 313. Harganya di Google Playbook (lupaa, tapi gak sampai 200K ditambah diskon pula), kurang tahu versi fisiknya bisa dibeli dimana tapi bisa cek di onlineshop favorit teman-teman ya!

Selamat membaca!!!!!

 



Kemarin saya ikut kelas webinar berjudul Belajar Mengkurasi Buku Bacaan Anak #2 bersama Ibu Sofie Dewayani, Ketua Yayasan Litara Foundation san Ketua Satgas Gerakan Literasi Sekolah Kemdikbud. Kegiatan ini diselenggarakan oleh komunitas Read Aloud Yuk! 

Saya sudah mendaftar kelas ini sejak seminggu sebelumnya dan cukup bersemangat menunggu webinarnya. Kenapaaaa? Karena sejak hamil saya banyak membaca buku anak, selama hamil saya banyak membaca buku-buku digital dari Gramedia Digital, Literacycloud.org atau Let's Read. Namun mulai menyiapkan diri juga menabung buku-buku fisik untuk anak. Nah, buku fisik ini terutama buku anak! seperti yang teman-teman semua tau sungguh tidak murah harganya haha. Menurut saya jadi penting sekali memiliki bekal pengetahuan buku anak apa saja sih yang bagus yang baiknya dimiliki di rumah?, namun selain kebutuhan pribadi pun, saya dan teman-teman di Hayu Maca sedang merancang sebuah program baru di tahun ini yang harapannya bisa menyasar pustakawan dan pengurus perpustakaan sekolah di Cimahi agar bisa memiliki kemampuan yang lebih mantapppp jelang Tahun Ajaran baru (yang katanya sudah mulai sekolah tatap muka lagi ya), jadi saya memilih ikut agar bisa belajar lebih dulu dan ikut memilah materi mana yang dirasa cocok untuk guru-guru ini. 

--

Kelasnya sendiri berdurasi dua jam saja, namun jangan khawatir, panitia akan membagikan materi untuk kita pelajari beberapa hari sebelumnya (berbentuk ppt paparan Bu Sofie), selain bisa baca materinya lebih awal, kita bisa bertanya dan pertanyaan-pertanyaan ini nanti akan dijawab Bu Sofie setelah kelas usai dalam bentuk voicenote. Oh iya, satu lagi, walaupun ini judulnya Belajar Mengkurasi Buku Bacaan Anak #2, tidak berarti kita harus ikut yang pertama kok! Karena sebenarnya (kalo menurut panitia di IGS) ini materi yang sama tapi ada tambahan materi yang lebih kaya + ada doorprizenya aja, sebelumnya kelas #1 sudah dilaksanakan (dan saya ketinggalan infonya). 

Lalu belajar apa saja di kelas ini? 

Banyaaaaak!

Disini alih-alih 'buku anak', Bu Sofie mengenalkan istilah sastra anak dan mengapa penting memilih sastra anak sebagai sumber bacaan untuk anak. Tapi Sastra Anak yang dimaksud disini bukan berarti bacaan klasik seperti buku Ernest Hemmingway dan lain lainnya yaaa hehe. 

Jadi kenapa Sastra Anak?

- Mengandung elemen estetika
- Memiliki daya gugah
- Mengembangkan kemampuan berpikir, mengembangkan ruang imajinasi dan interfensi
- Menjadi cermin kehidupan; media untuk mendiskusikan permasalahan sehari-hari
- Tidak terbatas ruang dan waktu
- Menyenangkan

Ini hanya ringkasan saja sebetulnya, saya amat menyarankan teman-teman yang tertarik mengetahui lebih lanjut tentang sastra anak untuk ikut kelasnya langsung jika ada lagi hihi, kenapa? karena dari satu bagian penjelasan saja, Bu Sofie bisa cerita banyak hal termasuk dari pergeseran tren sastra anak dulu dan sekarang yang dipengaruhi oleh media lainnya!

Peran Sastra Anak

Nah lewat kelas ini juga saya jadi tahu tentang sastra anak sebetulnya diharapkan untuk bisa menghubungkan antara anak (dirinya sendiri) -- teks (buku yang ia baca) -- dan dunia. 

Jadi membaca berperan penting disini untuk menyiapkan anak sebagai penduduk global. 

Lalu, Bagaimana memilih sastra anak? apa yang perlu kita perhatikan dalam memilih buku untuk anak. 

Disclaimer dulu: 

1. Bu Sofie sendiri menegaskan, gak ada buku anak atau ilustrator anak yang membuat buku dengan tujuan yang buruk/ingin menjerumuskan anak ke hal negatif misalnya, jadi se 'tidak' oke tidak okenya Buku Anak, pasti tetap ada nilai yang bisa anak pelajari lewat buku. 

2. Buku anak tetap harus diperhatikan dari usia anak ya! Usia bayi dan balita misalnya perlu mengenal konsep terlebih dahulu (buku nama-nama binatang dan suaranya, buku tentang warna, bentuk, buku dengan banyak gambar dan bahkan tidak ada teks sama sekali)! Gak ujug-ujug dibacakan buku sastra anak. Pun tingkat selanjutnya, anak-anak PAUD, gak apa dikenalkan pada buku yang bisa memberikan anak konsep 'membedakan mana yang baik dan yang buruk', nantinya ketika di SD baru dikenalkan pada buku dimana anak bisa menyimpulkan sendiri. 

Jadi, poin-poin apa nih yang perlu kita pegang untuk tahu kalau buku itu buku sastra anak yang bagus?

1. Tokoh yang dinamis dan berkembang secara natural
2. Tema yang dekat dengan kehidupan anak
3. Alur cerita yang membangun keingintahuan
4. Mengandung journey/perjalanan (baik fisik, emosi maupun psikologis)
5. Anak terlibat aktif menemukan sesuatu (discovery)
6. Memiliki konflik/drama yang menarik bagi anak
7. Mengandung Optimisme 

Adakah cara paling mudah menentukan buku tersebut cocok untuk anak usia berapa tahun?

Ada! Lihat perkiraan usia tokoh utamanya! jika di buku tersebut tokohnya berusia bayi, maka itu buku yang cocok untuk anak bayi, kalau tokoh utama dibuku itu adalah anak SD, ya berarti itu akan cocok untuk anak usia SD. Bagaimana jika tokohnya bukan manusia? Yaaa kita baca dulu untuk perkirakan usianya.

Bu Sofie juga menambahkan rambu khusus dalam memilih buku anak. Kalau kita orang dewasa saja suka melihat bukunya, senang dengan ilustrasi dan ceritanya maka anak mungkin akan suka. Tapi jadi penting juga berikan anak pilihan ketika berada di Toko Buku misalnya, biarkan aank memilih buku pilihannya dan jangan dibatasi ya!

Apalagi yang didapat di Kelas ini?

Banyak sekali nih, saya tidak mungkin bisa menuliskan semuanya disini, pasti akan lebih asyik kelau teman-teman ikut langsung kelasnya, apalagi jika teman-teman adalah guru atau pustakawan sekolah. Rasanya ini ilmu penting sekali! saya ingat dulu waktu kuliah gak pernah dapat paparan apalagi mata kuliah tentang sastra anak, padahal buat calon guru PAUD/SD, yang sehari-hari berinteraksi sama anak, penting banget bisa kasih rekomendasi buku-buku bagus buat di kelas kan!

Nah hal-hal lain yang mungkin bisa teman-teman dapatkan di kelas ini, tapi tak bisa saja jelaskan di blog adalah: Fungsi sastra anak sebagai jendela, cermin dan pintu geser. Kemudian kita akan dikenalkan dengan beberapa genre di sastra anak juga, bagaimana cara menggunakan buku sebagai alat pemantik diskusi + Bu Sofie banyak sharing tentang alat ukur pendidikan terbaru, namanya AKM yang menggantikan UN, nah AKM ini banyak mengacu pada kemampuan literasi. Kayanya kejaran pemerintah sekarang sedang ingin berbenah memperbaiki skor literasi PISA yaa sekarang sampai UNnya diganti gini hehe. 

Apakah setelah ikut kelas ini saya jadi bisa dengan mudah menentukan buku apa yang mau saya beli untuk anak nanti?

Saya pribadi gak juga sih, tetap masih harus belajar, tapi banyak tercerahkan juga! Yang pasti jadi makin semangat membekali anak dengan skill mencintai buku dan bacaan sejak kecil hihi!

Karena buat saya kemampuan yang bisa dinilai seperti AKM, PISA dan lain-lain adalah bonus. Sekarang goals utamanya adalah: Bagaimana membuat anak saya nantinya bisa mencintai membaca, bisa menghargai buku, bisa menjadikan buku sebagai teman bermain sehari-hari. 

Dan tugas saya sebagai orang tua juga membekali diri dengan kemampuan mengkurasi buku, tidak mudah menghakimi buku-buku dan tentu yang paling penting: MEMBEKALI DIRI DENGAN KECINTAAN PADA MEMBACA juga hehe! 



Maret ini banyak membaca tapi malah absen menulis. Maklum yaa blogger amatir yang tidak taat pada jadwal menulis yang dibuat sendiri (haha) mencoba disiplin menulis ini berat betul! Jadi mari kita mulai lagi. Hari ini saya membaca buku tentang hidup minimalis ala orang Jepang. Buku yang cukup terkenal dan rasanya sudah dibaca banyak orang, saya termasuk yang ketinggalan kereta baru baca di 2021! Tentu bacanya dilandasi kebutuhan berbenah rumah kontrakan menjelang kedatangan penghuni baru di rumah. 

Buku ini saya baca di Gramedia Digital, sebuah langkah yang selaras dengan misi bukunya: membaca tanpa harus memiliki hihi. Berisi catatan perjalanan hidup minimalis penulis yang tidak terlalu detail secara personal, namun memberikan gambaran apa yang ia lakukan hingga sampai pada gaya hidup seperti saat ini. Penulisnya membagi buku ini jadi lima bagian:

1. Mengapa Minimalisme?
2. Mengapa Kita Mengumpulkan Barang Begitu Banyak?
3. 55 Kiat berpisah dengan barang, 15 kiat tambahan untuk tahap selanjutnya dalam perjalanan menuju minimalisme
4. 12 Hal yang berubah sejak saya berpisah dari barang-barang kepemilikan
5. "Merasa" bahagia alih alih "Menjadi" bahagia

---
Buku ini diawali dengan lampiran visual contoh 'tempat/hunian' hidup minimalis dan gaya hidup minimalis. Di awal bagian penulis mengajak kita merenung "Tak seorang pun yang lahir ke dunia dengan membawa suatu benda", semua orang mengawali hidup sebagai seorang minimalis dan 'nilai' kita tidak ditentukan berdasarkan seberapa banyak barang yang kita punya. Ia menceritakan hari-harinya sebelum menjadi minimalis hingga akhirnya memutuskan untuk 'membuang' barang-barang yang sebetulnya amat ia sayangi. 

Yang membuat saya tertegun adalah refleksi penulis tentang ia dan buku-buku koleksinya. Dibuku ini ia mempertanyakan, "sebenarnya, beli banyak buku, disusun banyak di rak, tujuannya apa sih?" beneran untuk dibaca dan menambah ilmu pengetahuan atau ingin 'pamer' doang ke orang kalau ia orang yang suka membaca, punya beragam buku dari beragam genre dan sebagainya. Ini jadi pertanyaan menarik buat saya pribadi yang sampai sekarang, walaupun sudah melepas setengah koleksi buku saya, masih punya cukup banyak buku koleksi di rumah! Yang debunya naudzubillah tiap dibersihkan pasti bikin bersin-bersin. Haha. 

Ia juga menceritakan barang-barang apa saja yang ia buang beserta harganya dan bagaimana perasaannya setelah membuang barang-barang tersebut. Wow! cukup ekstrim yaaa! Saya sendiri walau ingin belajar menjadi minimalis rasanya tidak akan langsung 'membuang' barang-barang saya begitu saya. Sebenarnya dibanding menjadi seorang minimalis, saya lebih ingin belajar untuk berhenti menjadi seorang hoarder, penimbun segala rupa barang-barang di rumah! Sekali lagi, debunya itu loh! ingin juga mulai mengganti furnitur di rumah dengan yang lebih sederhana namun bisa menampung banyak barang sehingga rumah tidak terasa sempit. Namun sebagai kontraktor (alias masih ngontrak) bisa apaa hahaa, apalagi masih ada beberapa furnitur besar & lawas punya pemilik rumah yang akhirnya saya gunakan agar fungsional dan tidak malah menuh-menuhin tempat. 

--

Ah, yang saya suka dari buku ini (selain 55 tips yang sepertinya beberapa bisa dipraktekkan buat saya) adalah tujuan akhir dari gaya hidup minimalisme ini. Minimalisme, tidak seperti apa yang kita lihat di medsos, bukan tentang pamer seberapa sedikit barang yang kita punya, atau yang sangat salah: menghakimi orang-orang yang memiliki banyak barang. Hidup minimalisme justru untuk mencari ketenangan (dengan sedikit barang yang dimiliki, sedikit tanggung jawab dan kekhawatiran yang kita punya) juga untuk merasakan kebahagiaan. 

Adapun biaya hidup yang lebih murah, gaya hidup yang lebih ramah alam, itu bonus yang mengikuti gaya hidup ini. Pada akhirnya kebahagiaan yang dicari. Ini malah membuat saya berpikir, yaa memang tak semua orang cocok dengan gaya hidup ini yaa, kalau kita bisa bahagia dengan hidup minimalis then do it, perlahan lahan. Tapi kalau tidak ya sudah tak apa. Selama itu bikin kamu bahagia! 

Banyak sekali orang-orang penganut hidup minalisme akhisnya merasakan kebahagiaan karena mindset luar biasa yang bekerja: tidak takut pada apa kata orang, tidak takut disangka miskin, menjadi diri sendiri, tidak terbebani dengan barang-barang yang dimiliki, lebih sedikit beban. 

Justru mindset penting ini yang harus dimiliki. Kalau kita masih takut dengan penghakiman orang, boro-boro hidup minimalis hehe tidur pun tak tenang karena kebanyakan berpikir. 

--

Buku ini asyik dibaca tapi lebih asyik lagi kalau dipraktekkan hehe! so far saya lebih suka baca buku ini dibanding buku serupa yang ditulis Marie Kondo. Selamat membaca teman-teman semua!

---
Informasi Buku

Judul Buku: 
Bokutachini, Mou Mono Wa Hitsuyou Nai 
Goodbye, Things Hidup Minimalis Ala Orang Jepang
Penulis: Fumio Sasaki
Pertama kali diterbitkan: 2015 (Jepang), 2018 (Indonesia)
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Penerjemah: Annisa Cinantya Putri
Tersedia di Gramedia Digital

 



Meskipun jadi pengantar pesanan ayam goreng, meskipun jadi pemintal benang di pabrik, yang namanya hidup, memang bisa begini dan bisa begitu. Tak ada yang salah dengan kehidupan kita.

Terserah kamu mau kerja keras atau belajar dengan mati-matian. Yang penting, janganlah kamu hina hidup orang lain.  

Kita punya hak
untuk saling menghormati
kehidupan masing-masing.

--

Akhir pekan lalu, saya menemani Mas Har ke Bandung menjadi bahan ajar untuk muridnya. Karena yang dicari buku pelajaran dan tidak harus baru, pergilah kami ke Palasari, wagelaseh ke Palasari naik motor dari Cimahi haha, mayan bikin pantat panas kaki keram-keram. Sampai sanapun kami tak banyak hunting atau coba sok-sokan cari-cari sendiri, langsung minta seorang bapak mencarikan buku, saya sendiri sudah lama kehilangan rasa senang berkeliling di Palasari. It's not spark joy anymore,bukan hanya karena harganya di UP jadi super tinggi (padahal kan serunya hunting buku bekas karena harga murahnya yaaa), belum lagi banyak 'jebakan' batman buku bajakan yang super duper mirip buku aslinya. Duh, kalau mau hunting buku bekas mending ke Dewi Sartika deh, pedagangnya gak kasih harga aneh-aneh. 

Anyway, karena saya malas cari-cari buku di Palasari, Mas Har bawa saya ke surga kecil lain buat saya. Tetap toko buku dooong hahaa: Togamas Buah Batu, habis makan siang, kami melipir kesana. Jujur ini pertama kalinya saya ke Togamas Bubat, (kejauhaaaan anak Cimahi mah ke Gramedia ajah biar bisa keretaan :')). Nah, menurut Mas Har Togamas lebih ramah buat buibu hamil kaya saya haha, ga harus naik-turun tangga, satu lantai dah nemu semua buku. Dan bener siiih, asyik sekali tempatnya. 

Saya menghabiskan waktu sejam lebih, pilih-pilih buku dan berakhir memilih buku HIDUP APA ADANYA karya Kim Sohyun. Kenapa beli buku ini? haha, karena ada buku yang sudah terbuka dan saya membaca beberapa halaman terlebih dahulu sebelum memutuskan membeli. 

--

Sekilas, ini terlihat seperti buku self-help biasa yang dilengkapi dengan ilustrasi sederhana tapi dalam maknanya. Ditulis oleh penulis Korea Selatan yang sedang hype belakangan ini. Sejujurnya terlepas dari hype Koreanya sendiri, saya beberapa kali membeli buku dan komik karangan penulis Korea Selatan dan menikmati sekali membacanya hehe, tidak berat tapi rasanya pas dan relatable dengan kehidupan sehari-hari atau apa yang mungkin dirasakan banyak orang (terutama di Indonesia). 

Buku inipun sama. Bedanya tema yang diangkat "gak sereceh" komik dan buku Korea Selatan yang pernah saya beli sebelumnya. Di covernya tertulis buku ini jadi buku Best-Seller di Korea Selatan, terjual lebih dari 800.000 eksemplar di Korsel, 700.000 eksemplar di Jepang dan dicetak ulang lebih dari 200 kali. Sebuah cap yang uwaaaaw tapiiiiii tapiiii setelah membaca buku ini sampai selesai, saya jadi paham kenapa buku ini banyak dibaca orang (dan direkomendasikan banyak orang). Di Indonesia sendiri, buku ini diterbitkan oleh penerbit Transmedia dan yang saya pegang sudah cetakan ke-5. 



HIDUP APA ADANYA (I decided to live as myself) berisi enam bagian:

1. To-Do List Agar bisa hidup dengan menghormati diri sendiri
2. To-Do List Agar bisa hidup sebagai diriku sendiri
3. To-Do List Agar tidak tenggelam dalam rasa cemas
4. To-Do List Agar bisa hidup bersama dengan yang lainnya
5. To-Do List Untuk dunia yang lebih baik
6. To-Do List Untuk kehidupan yang lebih berarti dan juga lebih baik

Di bagian prolog, Suhyun menuliskan alasan mengapa ia menulis buku ini. 

Aku pun penasaran, kenapa aku begitu merasa buruk meski tidak melakukan kesalahan apapun. 
Aku banyak membaca buku saat itu. 
Bukan karena hobi, tetapi karena aku benar-benar ingin tahu jawabannya.


Buku ini berisi kumpulan alasan dan pencarian penulis atas pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan.

Sejujurnya apa yang membuat saya sangat tertarik membaca buku ini adalah sudut pandang penulis dalam mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan kehidupan tadi. Di banyak buku-buku pengembangan diri, kita akan dengan sering membaca tips agar diri kita lebih baik dalam bentuk list, apa yang harus dilakukan, kesalahan-kesalahan kita, tapi dibuku ini penulis menyampaikan sebuah gagasan mendasar kenapa ada orang yang terlihat sukses dan kenapa kita biasa-biasa saja. Suhyun menuliskan tentang privilege, budaya Meritokrasi, kesenjangan sosial yang tinggi dan sulit dikejar di Korea Selatan, dan membuat kesimpulan di salah satu sub-bab bukunya, kalau ya, gapapa kalau hidup kita kek gini-gini aja, selama gak hina orang lain, gak nyusahin orang lain ya mau gimana yaaa sukses kalau dari startnya aja udah beda. Untuk sebagian orang, survive bertahan hidup aja sudah jadi pencapaian luar biasa. 

Suhyun juga beberapa kali membahas tentang budaya kolektivitas orang Korea Selatan yang malah membuat warganya tidak bahagia, karena justru di kolektivitas tersebut, kebiasaan ingin tau urusan orang lain, malah membuat orang berlomba-lomba menjadi lebih dari tetangganya, temannya, orang-orang di sekitarnya. Hmmmm sungguh mirip ya dengan disini. Ini bisa jadi alasan kenapa buku ini laris manis di Korsel, Jepang bahkan di Indonesia. Apa yang disampaikan ya memang yang kita rasakan sehari-hari.

Walaupun tetap ada poin penting yang dihighlight oleh penulis, bahwa setinggi apapun kita menjunjung nilai 'individualitas', gak perlu tahu banyak urusan orang lain, membatasi lingkaran-lingkaran terdekat, gak bisa di bohongin kalau di DNA kita, kita justru merasa bahagia ketika berinteraksi sama orang lain, makanya alih-alih nyuruh kita menyendiri, penulis malah minta kita mikir ulang, emang perlu sebanyak itu teman dekat? emang nyaman kalau ditanya hal-hal private sama banyak orang? kalau gak mau diperlakukan kaya gitu sama orang, mulai dengan kita juga gak perlakukan orang kek gitu. 


Sesungguhnya akan panjang sekali menceritakan apa yang jadi pikiran-pikiran penulis dalam buku ini. Untuk ukuran buku yang terlihat ringan dengan ukuran asyik dan ilustrasi yang super, saya butuh waktu lima hari membaca buku ini karena beneran harus dikunyah pelan-pelan. Malah gak seru kalau bacanya buru-buku. Inipun saya berencana membaca ulang lebih pelan-pelan lagi. Tiap babnya rasanya bisa jadi refleksi sendiri atas apa yang saya lewati disepanjang usia 20an ini.

Ada banyaaaaaak hal yang pada akhirnya bikin kita mikir, sebenarnya apa yang kita cari dalam hidup, dan sungguh gak apa kok untuk hidup biasa-biasa saja :)

--

Informasi buku

Judul: Hidup Apa Adanya, I Decided to live as myself
Penulis: Kim Suhyun
Alih Bahasa: Presillia Prihastuti
Jumlah Halaman: 296
Penerbit: Transmedia 
Gramedia Digital: Belum Tersedia
Google Playbook : Belum Tersedia (Bahasa Indonesia) kurang tau kalau Bahasa Korea/Lainnya
iPusnas: Belum Tersedia
Harga P. Jawa: 99.000 (diskon 10% di Togamas)




Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

POPULAR POSTS

  • [Review Asri] Atomic Habits - James Clear
  • Review Asri: Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom
  • [Review Asri] Kemarau - A.A. Navis
  • Review Asri - Tempat Terbaik di Dunia karya Roanne Van Voorst
  • Review Asri: As Long As The Lemon Trees Grow karya Zoulfa Katouh
  • Review Buku Angsa dan Kelelawar karya Keigo Higashino
  • Sabtu yang Menyenangkan dan kenapa saya suka membeli bunga
  • Review Asri: Manabeshima Island Japan karya Florent Chavouet
  • Main ke Toko Buku Pelagia Bandung
  • Review Asri - the house of my mother karya Shari Franke

Arsip Blog

  • ▼  2025 (16)
    • ▼  Mei 2025 (3)
      • Review Asri: Pengantin-pengantin Loki Tua karya Yu...
      • Review Asri: Minimarket yang Merepotkan karya Kim ...
      • Tiap Anak Berbeda, Termasuk Proses Melahirkannya; ...
    • ►  April 2025 (2)
    • ►  Maret 2025 (2)
    • ►  Februari 2025 (3)
    • ►  Januari 2025 (6)
  • ►  2024 (8)
    • ►  November 2024 (1)
    • ►  Agustus 2024 (1)
    • ►  Juni 2024 (1)
    • ►  Mei 2024 (2)
    • ►  April 2024 (3)
  • ►  2023 (17)
    • ►  November 2023 (1)
    • ►  September 2023 (1)
    • ►  Juli 2023 (4)
    • ►  Juni 2023 (4)
    • ►  Maret 2023 (2)
    • ►  Februari 2023 (2)
    • ►  Januari 2023 (3)
  • ►  2022 (52)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  September 2022 (12)
    • ►  Agustus 2022 (2)
    • ►  Juli 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (4)
    • ►  Mei 2022 (9)
    • ►  April 2022 (7)
    • ►  Maret 2022 (5)
    • ►  Februari 2022 (6)
    • ►  Januari 2022 (3)
  • ►  2021 (35)
    • ►  Desember 2021 (5)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (4)
    • ►  Agustus 2021 (3)
    • ►  Juli 2021 (2)
    • ►  Juni 2021 (1)
    • ►  Mei 2021 (3)
    • ►  April 2021 (1)
    • ►  Maret 2021 (2)
    • ►  Februari 2021 (6)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (13)
    • ►  Desember 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (4)
    • ►  Juni 2020 (3)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (1)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (14)
    • ►  November 2019 (1)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (2)
    • ►  Juli 2019 (2)
    • ►  Maret 2019 (3)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (2)
  • ►  2018 (15)
    • ►  Desember 2018 (4)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Juli 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (3)
    • ►  Maret 2018 (3)
    • ►  Januari 2018 (2)
  • ►  2017 (20)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  Oktober 2017 (3)
    • ►  September 2017 (2)
    • ►  Agustus 2017 (4)
    • ►  Juli 2017 (4)
    • ►  Mei 2017 (3)
    • ►  Januari 2017 (2)
  • ►  2016 (65)
    • ►  Desember 2016 (2)
    • ►  September 2016 (2)
    • ►  Agustus 2016 (3)
    • ►  Juli 2016 (17)
    • ►  Juni 2016 (7)
    • ►  Mei 2016 (7)
    • ►  April 2016 (25)
    • ►  Februari 2016 (1)
    • ►  Januari 2016 (1)
  • ►  2015 (29)
    • ►  Desember 2015 (3)
    • ►  September 2015 (2)
    • ►  Agustus 2015 (13)
    • ►  Juli 2015 (4)
    • ►  Juni 2015 (1)
    • ►  Maret 2015 (2)
    • ►  Februari 2015 (1)
    • ►  Januari 2015 (3)
  • ►  2014 (29)
    • ►  Desember 2014 (8)
    • ►  November 2014 (6)
    • ►  Oktober 2014 (2)
    • ►  September 2014 (2)
    • ►  Juni 2014 (3)
    • ►  Mei 2014 (2)
    • ►  Februari 2014 (6)
  • ►  2013 (66)
    • ►  Desember 2013 (1)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  Oktober 2013 (7)
    • ►  September 2013 (7)
    • ►  Agustus 2013 (15)
    • ►  Juli 2013 (4)
    • ►  Juni 2013 (8)
    • ►  Mei 2013 (2)
    • ►  April 2013 (5)
    • ►  Februari 2013 (3)
    • ►  Januari 2013 (9)
  • ►  2012 (6)
    • ►  November 2012 (4)
    • ►  Oktober 2012 (2)
  • ►  2011 (8)
    • ►  Oktober 2011 (4)
    • ►  September 2011 (1)
    • ►  Maret 2011 (3)

Goodreads

Asri's books

Kejutan Kungkang
it was amazing
Kejutan Kungkang
by Andina Subarja
The Fine Print
liked it
The Fine Print
by Lauren Asher
Under One Roof
liked it
Under One Roof
by Ali Hazelwood
Lessons from Surah Yusuf
it was amazing
Lessons from Surah Yusuf
by Abu Ammaar Yasir Qadhi
Setelah membaca ini sampai selesai malam ini. Jadi paham kenapa Allah bilang kalau Kisah Yusuf ini salah satu kisah terbaik dalam Quran. Ada terlalu banyak pelajaran berharga dari kisah Yusuf. Dr. Yasir Qadhi mengawali buku ini dg sebab...
No Exit
liked it
No Exit
by Taylor Adams

goodreads.com

Blog Perempuan

Blog Perempuan

Cari Blog Ini

Kamu pengunjung ke

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © Journal Asri. Designed by OddThemes