Journal Asri

 


𝘏𝘪𝘥𝘶𝘱 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘯𝘥𝘢 𝘬𝘦𝘬𝘢𝘭𝘢𝘩𝘢𝘯


Saya pertama kali mengenal Derai-Derai Cemara di SMA.
Satu waktu guru Bahasa Indonesia meminta kami membuat musikalisasi puisi dari karya-karya Chairil Anwar. Saya ingat betul semua puisi yang kami garap.

Kelompok saya mendapatkan puisi Senja di Pelabuhan Kecil, puisi yg sepertinya sedang ditulis Chairil saat sedang gaau galaunya. Kelompok lain mendapatkan puisi Cintaku Jauh di Pulau, puisi yang juga isinya seperti curhatan cinta bertepuk sebelah tangan buatku dulu. Lalu satu kelompok lagi menyanyikan versi musikalisasi puisi untuk Derai-Derai Cemara, yang tiap baitnya tidak bisa saya lupakan sampai sekarang.

𝘈𝘬𝘶 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨𝘯𝘺𝘢 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘵𝘢𝘩𝘢𝘯
𝘚𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘱𝘢 𝘸𝘢𝘬𝘵𝘶 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘯𝘢𝘬 𝘭𝘢𝘨𝘪
𝘛𝘢𝘱𝘪 𝘥𝘶𝘭𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘥𝘢 𝘴𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘣𝘢𝘩𝘢𝘯
𝘠𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘴𝘢𝘳 𝘱𝘦𝘳𝘩𝘪𝘵𝘶𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘬𝘪𝘯𝘪


Bisa jadi saya saya terkesima dengan pilihan nada kelompok ini yg jauh lebih baik dari kelompok kami, bisa jadi saya memang terpukau dengan pilihan kata pada Derai-Derai Cemara.

Puisi ini tidak berisi ungkapan hati ketika putus cinta seperti puisi saya. Puisi ini, buat saya yang bocah waktu itu isinya tentang bagaimana Chairil jauh lebih dewasa, menerima nasib, paham betul kalau semua akan berpulang, juga ada bait-bait berisi pengakuan kalau dulu yaa dia tidak sedewasa ini.

Saya sering mengulang membaca puisi ini pada situasi terpuruk, pada hari-hari yang terasa penat, pada malam-malam sepi saat saya harus tetap bekerja dan jauh dari keluarga, juga ketika semua hal mulai berada diluar kendali saya. Rasanya menakjubkan bagaimana sebuah puisi bisa hidup melintasi jaman dan tetap relevan buat saya dan mungkin pembaca lainnya. Saya tidak merasa sendiri ketika membaca puisi ini. Juga tak merasa begitu buruk, karena ya pada akhirnya, bahkan setelah belajar dan sedikit lebih dewasa, kita semua akan menyerah, bukan?

---
Puisi ini ditulis tahun 1949, tahun dimana Chairil Anwar juga “menyerah”, berpulang dari kehidupan dunia di usia 27 tahun. Tak meninggalkan harta apapun selain karya-karyanya yang tetap hidup sampai sekarang. Sekarang, tiap tahun, hari kelahirannya dan hari kematiannya dijadikan hari puisi nasional.












Dua tahun lalu, saya membaca sebuah Esai berjudul Yang Menarik dan Tidak Menarik dari Pulang, dari Buku Dera Anugrah berjudul kenapa Kita Tidak Berdansa. Saya pernah menuliskan reviunya di sini jika kamu tertarik untuk membaca lebih lanjut. 

Sejak membaca tulisan tersebut, saya bertekad untuk membaca buku Leila Chudori yang satu ini. Sebetulnya saya pernah mencoba membaca karya Bu Leila yang cukup hits, Laut Bercerita. Tapi ya, tidak selesai, saya lupa alasan kenapa waktu itu bukunya tidak selesai saya baca, tapi sepertinya salah satu alasannya karena pace ceritanya yang cukup lambat di awal, ditambah bukunya buat saya overhype di Twitter/X, membuat saya jadi malas duluan membacanya. Tapi ternyata buku Pulang berbeda ya. 

Saya membaca Pulang agak lama. Tiga bulan lamanya, saya tahu betul karena saya track bacaan saya di Goodreads. Lalu apa yang membuat Pulang berbeda? 

Saya membaca Pulang ketika film Eksil garapan Lola Amaria diputar secara terbatas di Februari 2024. Sebuah film yang topiknya sama dengan Pulang; menceritakan kisah orang-orang Indonesia yang menjadi korban konflik politik dalam negeri sehingga mereka tidak bisa pulang, dan kehilangan kewarganegaraan. Saya tidak bisa menonton Eksil. Sekali lagi karena pekerjaan sedang padat-padatnya, tapi selain itu juga karena film ini diputar terbatas dan bioskop yang memutar film ini di Bandung, lokasinya cukup jauh dari rumah saya. Karena tidak bisa menonton Eksil, saya menonton Surat dari Praha di Netflix, tapi itu tidak cukup membuat saya terpuaskan dengan cerita eksil 65, sehingga akhirnya saya memutuskan membaca Pulang. 

Saya rasa, saya akan agak kesulitan menuliskan Yang Menarik dan Tidak Menarik dari Pulang, karena apa yang saya rasakan hampir secara keseluruhan telah termuat dalam review Dea Anugrah (aduh, saya sangat berharap bisa menuliskan reviu buku sebaik itu :')). 

Tapi yaa rasanya gatal juga tidak menuliskan pengalaman saya membaca buku ini. Jadi kurang lebih berikut catatan saya membaca buku Pulang. 

Fiksi Sejarah yang cemerlang

Pulang adalah sebuah buku penting untuk memahami sejarah yang terjadi pada kaum intelektual Indonesia pada saat tragedi 1965 terjadi. Singkatnya, buku ini menggambarkan betul bahwa 'korban' dalam peristiwa ini bukan hanya orang-orang yang dituduh PKI tanpa bukti dan tanpa pengadilan. Korban yang jarang mendapatkan sorotan ya contohnya para eksil seperti tokoh utama dalam buku ini, Dimas Suryo, seorang wartawan yang dekat dengan orang-orang kiri, namun tidak pernah secara terbuka memproklamirkan diri sebagai seorang komunis, bahkan cenderung tidak sepaham dengan gagasan yang diusung, kebetulan berada di luar negeri pada saat tragedi berlangsung, dan tertahan tidak bisa pulang. 

Bukan sebuah kebetulan, Leila juga menyuguhkan dua sejarah besar Indonesia yang terjadi di buku ini:
  1. Tragedi 1965 dan implikasinya pada Dimas dan teman-temannya, keluarganya, serta anak-anaknya di masa mendatang.
  2. Tragedi 1998; Yup! di sepertiga bagian akhir buku, kita akan membaca cerita Lintang Utara (anak Dimas Suryo) yang datang ke Indonesia untuk membuat film pendek tentang tahun 1965. Lintang datang ke Jakarta yang sedang cukup panas saat itu, jadi di buku ini, kita juga bisa melihat apa sih yang terjadi pada waktu tragedi 1998 terjadi, walaupun tentu dari sudut pandang Alam, Lintang dan rekan-rekannya yang tidak secara langsung menjadi korban dari tragedi ini. 
Karenanya, buku ini adalah buku yang sangat baik jika kamu ingin membaca buku fiksi sejarah Indonesia. Dua latar penting buku ini sangat berhubungan. Awal dan akhir sang Jenderal. Awal dan akhir seorang pemimpin yang selama 32 tahun menjadi presiden di Indonesia, terpotret lewat keseharian 'korban' atau masyarakat umum, yang bukan siapa-siapa, tapi kena getahnya juga. 

Kisah Cinta yang Bertebaran, dari yang Mendalam sampai yang Begajulan 

Selain mengambil tema sejarah, penting untuk diketahui bahwasanya buku ini merupakan buku dengan tema percintaan yang begitu kental! Tapi saya tidak bisa mengeluh, karena seperti yang Dea Anugrah tulisakan dalam Esainya tentang novel Pulang, "Memangnya siapa yang betah membaca novel setebal 500 halaman yang tak ada kisah cintanya?". 

Ada banyak kisah cinta di sini, dari yang terlihat megah dan dalam seperti kisah cinta Dimas dan Surti, yang saya tahu betul sangat menarik buat banyak orang, yang juga sangat realistis, karena kita tidak selalu bisa mendapatkan orang yang kita inginkan, kan ya?, lalu ada juga kisah cinta yang meletup-letup dan begajulan seperti kisah Lintang dan Alam, yang ini mungkin tidak disukai banyak orang karena melibatkan adegan perselingkuhan, tapi ya saya menikmati saja kisah cinta mereka berdua, yang ini mungkin dipengaruhi kebiasaan dan kesenangan saya membaca cerita contemporary romance yang dua tokohnya mungkin bertemu diawali dengan perseteruan, tapi berakhir jatuh cinta. 

Nah, uniknya kita tidak hanya akan membaca kisah mereka berdua. Tapi juga kisah rekan-rekan sekitar tokoh utama yang saling jatuh cinta, lalu karena setting waktu di buku ini yang sangat lama rentangnya, kita akan bisa melihat, bagimana cinta adalah sesuatu yang harus terus menerus dipelihara dengan serius, jika tidak akan selalu ada konsekuensi yang menanti. Apakah konsekuensi ini berarti buruk? seperti perceraian? belum tentu. Saya misalnya sangat senang ketika Vivienne memutuskan bercerai dari Dimas, tapi kan memang tetap ada yang menjadi 'korban' dan patah hati dari tiap putus dan perceraian. Dalam kasus Vivienne dan Dimas, ya yang paling patah hati adalah Lintang, anaknya yang tak lagi mendapatkan privilese orang tua lengkap. 

Kita bisa memilih untuk menikmati saja tokoh-tokoh di buku ini berproses pada kisah cinta mereka, atau bisa juga belajar dari kisah cinta mereka. 

Tak ada gading yang tak retak

Tentu saja buku ini tak jadi buku yang 100 persen sempurna. Kritik saya terhadap buku ini agak mirip dengan kritik Dea di esainya, bahwasanya tokoh di buku ini seringkali hitam putih, terutama penggambaran tokoh antagonis seolah-olah tak ada kebaikannya sama sekali, saya beneran melongo waktu Rininta, tunangan Rama (sepupu Lintang) digambarkan sebagai perempuan anak orang kaya yang hanya tahu belanja dan hura-hura di Paris sana. Konflik Rama malah jadi melempem. Tidak terbayang kalau ternyata Rininta perempuan terpelajar yang juga tidak mudah menghakimi. Pasti lebih seru. Tapi pilihan ini sedikit banyak juga dimaklumi, karena pasti tulisannya akan jadi lebih tebal dan konflik-konfliknya makin melebar. 

---

Secara keseluruhan, Pulang menjadi buku yang menyenangkan untuk saya baca, dan sangat saya rekomendasikan untuk dibaca teman-teman yang ingin mulai membaca fiksi sejarah Indonesia. Dengan catatan ini bukunya U17 yaa ratingnya! 

Kalau kamu memutuskan untuk membaca buku ini, jangan lupa lanjutkan dengan menonton film eksil dan surat dari praha supaya semakin lengkap membaca perspektif Dimas dan sosok eksil real yang telah berpulang ataupun yang masih ada di negeri seberang.

 


Mengawali pagi ini dengan jurnaling usai sahur sampai pukul 05.30, lanjut buka laptop untuk mengerjakan beberapa task yang mengharuskan saya fokus  (sebelum diganggu gelombang whatsapp dan slack). Lalu dilanjutkan dengan berkebun, saya pruning beberapa tanaman pagi ini. 

Buat saya pruning rasanya hampir sama satisfyingnya dengan panen hasil kebun. Buat teman-teman yang baru pertama kali mendengar istilan pruning, kurang lebih ini adalah aktifitas potong-potong batang tanaman, beberapa (atau malah semua? saya kurang tahu) tanaman setelah dipruning malah bisa tumbuh lebih lebat. Tentu ada teknik sendiri untuk melakukan pruning, tapi buat saya sendiri kebutuhan pruning bukan supaya tanamannya lebih lebat, tapi memang diperlukan supaya tanaman tidak menjalar kemana-mana dan jadi kebun jadi terlalu lebat. Selain daun-daun yang besar akhirnya menutup sinar matahari untuk tanaman di sekitarnya, jalan di sekitar kebun juga jadi sareugseug kalau kata orang sunda. Sempit. Tapi entah bagaimana, pruning 'asal' yang saya lakukanpun tetap aja berhasil membuat tanaman tumbuh lebih lebat. 

Pruning mungkin satisfying buat saya karena setiap pruning saya belajar untuk melepaskan. Belajar untuk merelakan apa yang sudah dirawat supaya tumbuh besar, tapi tetap butuh distop (dipruning) supaya tidak mengganggu tanaman di sekeliling, tidak menganggu ekosistem kebun, dan pruning ya tadi selalu memberikan bonus tambahan, makin sering di pruning, makin lebat dan baik pertumbuhannya. 

Mungkin dalam hiduppun, saya harusnya memperlakukan diri saya seperti tanaman-tanaman di kebun ya. Tau kapan waktunya 'stop' dulu. Kalau tanaman ya di pruning, kalau saya ya dengan mengambil jeda, merelakan beberapa hal yang mungkin kalau dibiarkan tumbuh, tidak seefektif ketika distop dulu. Mengambil jeda, melakukan refleksi berkala adalah proses pruning saya sebagai manusia. Untuk akhirnya bisa menentukan mana batang yg harus 'dipotong' dan tidak dibiarkan tumbuh tapi memberikan hasil tidak optimal. 

Tapi ya kadang sulit sekali mengambil jeda dan melakukan refleksi ini. Rasa takut seperti ketika awal-awal pruning juga selalu muncul. Kalau nanti gak tumbuh lagi gimana ya? 

Hehe. Sebuah catatan pagi-pagi habis berkebun. 

Foto bukan ketika pruning, tapi ketika panen terong pekan lalu.


Sebelum baca buku ini mau mengulang TW yang ada di slide pertama tadi: Pemerkosaan, pembunuhan, adegan kekerasan, kekerasan seksual, percobaan bunuh diri. Yup, banyak banget adegan yang triggering dan membuat tidak nyaman untuk dibaca, jadi pastikan kamu sudah siap dengan TW diatas ketika memutuskan untuk membaca. Buatku sendiri, ini buku Keigo ke-8 yang kubaca (aku membaca semua buku keigo yang sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia) dan so far, ini buku yang sangat melelahkan karena kasus yang diselidiki detektif di sini adalah kasus pemerkosaan anak di bawah umur. 



Setelah baca setengah isi buku, saya baru ngeh kalau buku ini sekaligus jadi kritik sosial dan ngebuka diskusi tentang hukuman untuk pelaku kejahatan dibawah umur. Pemantik diskusinya case-case luar biasa seperti di buku ini, pembunuhan dan pemerkosaan remaja perempuan yg pelakunya remaja juga.

Fun Facts:
Buku ini juga ada versi adaptasi filmnya (rilis 2009) :’) Gak kebayang nontonnya akan semelelahkan apa.

Sepanjang buku ini, kita diajak mengikuti petualangan Nagamine buat mencoba menghukum sendiri pelaku pemerkosaan dan pembunuh anaknya. Pertanyanaan yang muncul ketika saya selesai membaca buku ini ya kurang lebih mirip dengan pertanyaan beberapa tokoh di buku. "Kalau naudzubillah ada di posisi Nagamine, apa yang akan kamu lakukan?", lalu apakah kamu ada di pihak yang pro pada kesempatan kedua untuk tersangka kejahatan remaja? atau kamu pihak yang pro pada korban yang keluarganya?


Menulis reviunya di postingan ini supaya teman-teman aware dengan TW dan isu yang diangkat di buku ini. 

Jika tidak sanggup dengan TW-nya, baca buku lain dulu ya. Kalau sanggup, selamat membaca!




















Beberapa pekan lalu saya pergi ke Pekanbaru untuk sebuah tugas dari kantor. Ini pertama kalinya saya kembali pergi cukup jauh (baca: harus naik pesawat) di tahun 2024. Tapi perjalanannya terasa cukup menyenangkan. Mungkin karena saya tidak lagi harus jauh-jauh ke Bandara Soekarno Hatta, ada penerbangan dari Halim yang membuat saya bisa berangkat dari rumah jam 4 sore naik kereta cepat 30 menit, lanjut naik taksi 15 menit sudah sampai bandara, menunggu pesawatnya malah lebih lama daripada perjalanan ke Halim. Karena waktu flightnya juga bertepatan dengan waktu berbuka, saya berbuka di pesawat. 

Seru juga kalau dipikir-pikir. 

Tiga hari di Pekanbaru, selesai bertugas di malam hari, saya sempatkan mampir ke kedai kopi. Tempatnya iseng cari di Google Maps. Tidak terlalu jauh dari hotel, tapi juga tidak dekat. Saya naik ojek ke kedai kopi. Harapannya saya bisa duduk bengong, coret-coret, nulis atau sekilas baca menggunakan iPad saya, sambil ngopi tanpa terlalu banyak memikirkan pekerjaan. Tapi ekspektasi saya ketinggian hehe. Baru saja kopi saya datang, saya ditelfon seseorang yang tidak bisa tidak saya angkat telfonnya. Jadinya tulisan di iPad saya bukan random thoughts atau gambar-gambar, tapi notulensi telfon tersebut. Hebatnya (yes, hebaaaat Asri!), saya gak ngeluh lagi sekarang. Ya udah hehe, occupational hazard-nya saya adalah bisa dapat telfon di jam-jam unik. 

Saya bisa lanjut ngopi, tapi langsung panik karena gak bawa laptop (padahal sengaja), ketika tahu baterai HP saya juga semakin menipis, saya makin panik. Satu hal yang saya sadari belakangan, pada hari-hari tertentu, setidaknya Januari - Maret kemarin, saya tidak bisa memisahkan diri saya dari Laptop. Saya tidak bisa memisahkan diri saya dari WhatsApp. Bahkan pada akhir pekan, bahkan pada hari-hari cuti. 

Jadi saya kembali pulang ke hotel. Mampir beli makan sahur dulu, karena terlalu malas turun ke restoran hotel. Sampai hotel, saya buka laptop sampai tengah malam :'). 

Menuliskan ini membuat saya bingung, saya ini gila kerja, atau punya standart kerja yang terlalu tinggi sampai berulang kali cek kerjaan supaya bisa mendekati sempurna persiapannya (karena namanya implementasi gak pernah ada yang sempurna), atau saya ga bisa ngatur waktu aja? atau mungkin memang gak ada pilihan lain untuk harus kerja sampai tengah malam hehe. 

Entahlah, sekarang fasenya mungkin memang tidak ada pilihan lain saja. 
Tapi mari berdoa supaya di bulan-bulan berikutnya, ketika kembali menuliskan tentang pekerjaan, ada sedikit yang berubah dari cara saya bekerja dan memandang pekerjaan saya saat ini. 

Selamat menunggu Lebaran! yay, sisa 2 hari kerja sebelum libur panjang berjamaah. Mantap Mania



Akhir pekan ini berhasil menamatkan membaca satu buku setelah sekian lama tidaaaak, Alhamdulillah. Dan bukunya adalah buku yang superduper heartwarming, bisa dibaca sekali duduk.

Buku ini mengingatkan saya pada Doraemon, karena sepanjang buku ini kita akan membahas makanan kesukaan robot kucing lucu kesayangan banyak orang termasuk saya: Dorayaki.

Sentaro Tsuji, seorang pembuat dorayaki di kedai dorayaki, bertemu dengan Tokue, nenek yang mengaku sudah membuat pasta kacang merah yang menjadi isian dorayaki, selama 50 tahun! Sentaro yang awalnya ragu mengambil Tokue sebagai tenaga bantu di kedai, langsung luluh ketika mencicipi pasta kacang merah buatan Tokue yang luar biasa enak.

Lewat buku ini, kita akan melihat Sentaro belajar membuat pasta kacang merah enak ini. Prosesnya panjang, teliti, membutuhkan perhatian penuh. Tokue mengajarkan sebuah craftmanship yang luar biasa saat membuat pasta kacang merah. Saya ingat sebuah istilah yang saya baca di buku Ikigai: TAKUMI: seorang ahli yang sangat berdedikasi pada apa yang ia kerjakan, kurang lebih seperti itulah Tokue.

Dorayaki (sumber)

Pasta yang enak, membuat kedai menjadi ramai, orang-orang antri untuk membeli bahkan di kala hujan. Namun semua berangsur menurun ketika pelanggan mengetahui satu hal tentang Tokue.

Apa yang buku ini coba sampaikan, sangat sangat sangat berarti buat saya. Saya rasa, pada satu periode kehidupan, kita semua pernah menjadi Sentaro yang hidup hanya untuk menjalani hari demi hari, sulit mencari makna dari apa yang kita kerjakan, kita dituntut untuk selalu bekerja dengan cepat, cepat, cepat. Sampai melupakan untuk ‘mendengar’ suara-suara yang membuat kita bisa merefleksikan dan mencari makna dari apa yang kita kerjakan.

Karakter Sentaro berkembang dari halaman pertama, hingga halaman terakhir. Saya berharap, saya juga bisa menjadi Sentaro yang terus berkembang. Mungkin tidak langsung menemukan makna yang dicari, Tokue butuh waktu beberapa tahun untuk menemukan makna, Sentaro tidak diceritakan langsung menemukan makna hidupnya di akhir cerita, namun begitulah kehidupan kan ya? semuanya berproses. Dan semoga proses kita adalah proses untuk menjadikan kita lebih baik, dan menjadi pribadi yang bisa menemukan makna dalam hidup.


"Ketika anak lahir, ibu tidak hanya merasakan bahagia. Emosinya bisa sepaket dengan perasaan tak berharga, kesepian, kesediah, kemarahan, hingga, perasaan mulai gila. Ibu merasakan hari yang berbunga-bunga sekaligus kesepian"

Anatomi Perasaan Ibu

---

Buku pertama yang saya baca sampai tamat di September: Anatomi Perasaan Ibu.

Buku ini saya baca sekali duduk (dan tiduran hehe karena bacanya malam), beberapa hari setelah pindahan rumah yang sangat melelahkan. Buku ini ditulis oleh Sophia Mega, saya mengikuti Mega di Instagram sejak beberapa tahun terakhir dan tahu beberapa hal yang sering ia bagikan di story Instagram-nya. Ia tak ragu membagikan hal-hal yang mungkin bagi sebagian orang dianggap tabu, seperti cerita dibalik layar pengasuhannya (yang tentu tak selalu indah), namun yang paling unik buat saya adalah pengalaman Mega menghadapi orang tua atau mertuanya yang cukup challenging.

Ketika tahu buku ini terbit, saya langsung penarasan ingin membaca dan buku Anatomi Perasaan Ibu ini sangat-sangat-sangat saya rekomendasikan untuk dibaca tidak hanya  oleh seorang ibu atau calon ibu ya, tapi juga Ayah dan calon Ayah, atau bahkan jika kamu belum memutuskan suatu hari nanti mau punya anak atau tidak, dan yang penting juga: sangat baik dibaca calon nenek dan calon kakek, serta Bapak Ibu yang sudah menjadi nenek dan kakek. Hehe. 

Apa saja isinya?

Buku ini dibagi menjadi empat bagian:

  1. Bagian satu -- Pernikahan
  2. Bagian dua -- Hamil
  3. Bagian Tiga -- Melahirkan
  4. Bagian Empat -- Menjadi Ibu
Pada tiap bagian tersebut terdapat tiga sampai enam bab pendek yang membuat buku ini sangat ringan untuk dibaca, walaupun isinya sama sekali tidak ringan ya haha. Tapi dengan membagi tulisan ini jadi pendek-pendek, rasanya memudahkan saya untuk membaca buku ini. 

Tentang hubungan unik anak dengan orang tua dan hubungan menantu dengan mertua

Bagian satu - Pernikahan berisi tentang refleksi penulis tentang alasannya menikah, ini menurut saya adalah hal yang sangat menarik. Penulis mampu menjawab pertanyaan tersebut, bahkan pertanyaan lanjutan, mengapa menikah di usia yang terbilang muda (hanya setahun atau kurang dari setahun saya agak lupa) sejak lulus kuliah. 

Jawaban yang sering kita dapatkan ketika pertanyaan ini dilontarkan pada pasangan yang telah menikah adalah: ya, sudah menemukan orang yang tepat, jadi dan waktunya juga sudah tepat, jawaban ini agak template ya, somehow juga agak klise, tapi ya ga salah juga. Sayapun kalau ditanya kenapa menikah dengan suami saya tahun saya menikah, mungkin akan menjawab hal yang sama, walaupun sebagian besar kenapa saya menjawab hal tersebut lebih ke males aja jelasin ke orang yang tidak terlalu mengenal saya atau suami. 

Tapi penulis mampu menyelami hal-hal yang membuat ia ingin bergegas 'pergi' dari rumah. Apa yang terjadi di rumah? luka apa yang ia dapatkan hingga membuat ia ingin cepat-cepat menikah? 

Hal ini menarik karena sekali lagi, butuh waktu refleksi yang menurut saya tidak pendek, sesi berkali-kali ngobrol dengan ahli atau orang yang kita kenal terkait hal ini sampai akhirnya berbesar hati menerima kenyataan kalau alasan ingin cepat menikah karena ingin 'kabur dari rumah' dan menyambut kebebasan yang ditawarkan gerbang pernikahan. Alasan yang sering kali dianggap tidak benar-benar menyelesaikan masalah-- dan diakui oleh penulis di buku ini, karena sekarang, ga hanya harus menghadapi orang tua sendiri, tapi juga harus menghadapi mertua. 

Refleksi penulis di buku ini, membuat saya ingat drama korea berjudul Because This Is My First Life, drama slice of life yang menceritakan pasangan suami istri yang menikah secara kontrak (fake marriage trope wkkk sungguh favorit saya), dan berakhir saling jatuh cinta. Singkat cerita kedua keluarga besar mereka cukup 'ngatur2' supaya suami dan istri ini harus menjadi sosok suami dan istri ideal di mata masing-masing orang tua. Ketika akhirnya memutuskan untuk menikah beneran, mereka juga menuliskan kesepakatan untuk membuat masing-masing dari mereka 'lepas' dari beban untuk memuaskan ekspektasi mertua dan keluarga besar pasangan. 

Kesepakatan yang pasangan dalam drama korea ini lakukan adalah apa yang disebut penulis membuat boundaries atau batasan dalam hubungan dengan orang tua dan mertua setelah menikah. Tentu akan terlihat 'aneh' di mata orang lain yang tidak benar-benar memahami, atau bahkan yang paham tentang boundaries sekalipun akan mempertanyakan 'kenapa sih, ke orang tua sendiri atau mertua sendiri aja gitu banget', tapi sekali lagi, siapa kita sih harus tanya-tanya pilihat atau keputusan orang lain? :') kan kita ga tahu apa yang benar-benar terjadi dan apa yang akan terjadi kalau boundaries itu diterabas. 

Buat bagian ini, saya sejujurnya gak terlalu relate dengan kisah penulis. Orang tua saya tidak terlalu banyak ikut campur urusan saya, saya cukup beruntung mendapat kepercayaan orang tua, sejak awal memutusakan kuliah jauh dari rumah, merantau dan mengambil keputusan-keputusan dalam hidup saya. 
Namun bagian ini benar-benar menjadi pengingat buat saya untuk tidak menghakimi orang-orang yang memang mengambil keputusan untuk membuat batasan-batasan tertentu dengan orang tua atau mertua. Ini biasanya mudah jika tidak terjadi di keluarga kita, namun jadi latihan untuk benar-benar adil sejak dalam pikiran ketika terjadinya di keluarga sendiri. 


Punya suami yang baik saja, kadang tidak cukup

Judul sub-reviu yang satu ini mungkin buat sebagian orang seperti membaca tulisan orang yang tak pandai bersyukur (haha), tapi ya begitulah yang saya rasakan setelah membaca buku ini, setelah membaca Kim Ji Yeong 1982 dan setelah hidup dengan suami saya selama hampir empat tahun. 

Punya suami yang memahami kita, memahami impian kita, memberikan banyak waktu untuk me-time, mau melakukan atau bagi tugas mengerjakan hal domestik, bahkan bare minimum punya suami yang mengizinkan istrinya bekerja saja, rasanya adalah privilese yang sangat-sangat besar di Indonesia, atau di Asia pada umumnya. Tapi sampai kapan ya ini akan terus terjadi? 

View this post on Instagram

A post shared by Asri (@wanderbook_)


Penulis bertemu dengan circle terdekat (orang tua dan mertua) yang acapkali menyangsikan pilihan yang diambil, terutama urusan anak. Kim Ji Yeong, bertemu orang asing yang dengan asal berceletuk kalau ia adalah istri yang gemar menghabiskan uang suami untuk ngopi. Saya beberapa kali bertemu orang yang bertanya keputusan untuk menitipkan anak di daycare ketika saya dan suami padahal sama-sama bekerja di rumah. Ini baru tiga contoh, saya yakin tiap Ibu pernah punya pengalaman-pengalaman dimana pilihan-pilihan pengasuhan, pilihan-pilihan hidupnya dipertanyakan. 

Komentar yang paling menyakitkan memang kalau pertanyaannya datang dari orang terdekat, teman, keluarga yang justru dari mereka kita mengharapkan support. Namun ada kalanya komentar dari orang asing pun masuk ke hati dan membuat kita mempertanyakan keputusan kita sendiri, atau kalaupun tidak berujung kesal kenapa selalu (atau seringkali) Ibu lah yang selalu dipertanyakan terkait pilihan-pilihan pengasuhan, pilihan untuk menitipkan anak di daycare dan tetap bekerja, pilihan untuk me time sejenak dan membiarkan anak bermain dengan kakek neneknya beberapa jam di akhir pekan. Tapi tidak pernah (atau jarang sekali) yang bertanya atau menghakimi pilihan tersebut pada Ayah. 

Kebanyakan Ibu sudah sangat lelah dengan urusan mengasuh anak, menyiapkan makanan, (pada banyak kasus) juga mengurus suami, kelelahan ini bisa jadi bertambah jika ibu bekerja, apalagi yang bekerja karena memang harus bekerja (misal karena kebutuhan finansial). Sudah ya capek, masih saja dikomentari seenaknya oleh orang lain :') 

Peran suami, jika memang tidak bisa meladenin secara langsung orang yang mempertanyakan pilihan-pilihan tersebut pada istrinya, minimal dengan memberikan support pada Istri dan tidak menganggap komentar tersebut sebagai angin lalu. 

Buku ini membantu saya untuk menyadarkan saya pada realita ini. 


Siapa saja yang saya sarankan untuk membaca buku ini?

Buku ini menurutku sangat cocok dibaca semua orang.
Ibu yang membaca bisa merasa punya teman senasib seperjuangan.
Ayah yang membaca jadi tahu rumitnya hari-hari yang dijalani Ibu terutama di tahun-tahun awal kehidupan anak.
Orang dewasa yang belum/tidak punya yang belum ataupun sudah memutuskan ingin atau tidak ingin punya anak juga bisa tahu kalau punya anak tuh perjuangan panjang dan tidak seindah apa yang di lihat di sosial media saja.
Nenek Kakek dan calon nenek kakek juga sangat-sangat cocok membaca buku ini untuk memahami adanya jarak pengetahuan yang membuat beberapa informasi yg mereka pahami dulu tidak lagi sesuai dengan sekarang.

Buku ini adalah sebuah buku parenting yang jujur (menurut saya masuk genre parenting, walaupun label belakang buku menyebut ini seri gender), kamu tidak akan menemukan tips teknis pengasuhan anak di buku ini, tapi justru banyak menemukan proses penulis ‘mengasuh’ diri sendiri untuk menjadi Ibu yang lebih baik setiap harinya. Mengingatkanku pada keseruan membaca Bringing Up Bebe karena gak hanya menceritakan indahnya atau excitementnya punya anak pertama, tapi juga kelelahan malam tak berkesudahan yang dialami Ibu (yap, Ibu lebih capek!) hehe. 

View this post on Instagram

A post shared by Asri (@wanderbook_)


Akhir pekan lalu, saya dan keluarga berkunjung ke keluarga kami yang ada di Cirebon. Mumpung di Cirebon, saya menyempatkan main ke rumah buku dan kopi yang beberapa kali dikunjungi teman-teman bookstagram: Rumah Rengganis.

Rumah Rengganis terletak di Jl. Lap. Udara Jl. Penggung Selatan No.30, Kalijaga, Kec. Harjamukti, Kota Cirebon, Jawa Barat 45144 (google maps). Kalau kamu naik mobil dari luar kota, berkunjung ke Rumah Rengganis cukup mudah aksesnya, tidak sampai 10 menit dari pintu tol Ciperna. 

Di Rumah Rengganis, kamu bisa membaca koleksi buku mereka secara gratis, koleksinya menarik sekali. Sayangnya saya tidak bisa singgah terlalu lama. Hanya bisa mampir 15 menit saja, jadi saya skip bagian membaca koleksi buku mereka. Saya memilih buku untuk dibawa pulang dan mencoba kopi di Rumah Rengganis. 



Koleksi bukunya kebanyakan berasal dari penerbit besar namun saya rasa telah dikurasi oleh pengelola, kebanyakan buku disini adalah buku puisi, fiksi sastra dan sastra dunia. Ada juga buku fiksi populer namun tak sebanyak genre lain yang saya sebutkan tadi. Sekilas saya lihat ada juga buku yang sepertinya ditulis oleh sastrawan asli Cirebon dan diterbitkan secara Independen, tapi karena waktu yang tak terlalu banyak tadi :') (sedih), saya tidak sempat melihat lebih detail. 

Ketika saya berada di Rumah Rengganis, kondisinya cukup ramai, sepertinya memang banyak orang-orang yang sering ngumpul, ngobrol dan ngopi di sini. Tak kalah menarik, sedang ada taping video yang mengulas buku juga. Sepertinya Rumah Rengganis cukup sering memuat konten perbukuan di akun sosial medianya. Kamu bisa cek Instagramnya di sini:

--

View this post on Instagram

A post shared by Rumah Rengganis (@rumahrengganis)


Nah, saya juga sempat membuat video singkat pengalaman di Rumah Rengganis yang bisa kamu cek di sini ya!
 
View this post on Instagram

Kalau kamu sedang mampir ke Cirebon dan ingin melakukan wisata buku, Rumah Rengganis bisa jadi salah satu opsi untuk didatangi! 




Di postingan kemarin malam, saya tiba-tiba menginginkan sepeda, dan goals saya hari ini: survey dan cek harga. Eh ternyata lumayan sat-set sekalian beli (ini antara sat-set dan impulsif beda tipis ya). Semalam habis menulis blog saya langsung search beberapa sepeda dengan tipe yang saya inginkan, dan saya langsung jatuh hati ke Polygon Lovina. 

Jadi pagi ini saya diantar Mas Har ke toko sepeda di Cimahi, sayangnya mereka tidak punya sepeda yang saya inginkan, jadi perjalanan kami teruskan ke Bandung, sampai ke Jalan Astana Anyar dan Jalan Malabar, karena kepikiran mau cari bekas dulu. Sayangnya di lapak sepeda bekas juga tidak banyak sepeda perempuan dengan keranjang di bagian depan tapi juga enakeun, setidaknya ada pengaturan kecepatan (ini namanya ada gigi-nya gitu ya, pengatur berat-ringannya sepeda dikayuh sesuai medan yang ditempuh, saya kurang paham). 

Akhirnya kami melanjutkan perjalanan ke Jalan Veteran, tidak terlalu jauh dari Jalan Malabar. Di sini, langsung parkir depan salah satu toko sepeda dan persis melihat si Polygon Lovina yang saya inginkan. 

Polygon Lovina ini ada beberapa ukuran. Ukuran 20 yang sepertinya cocok untuk anak SD atau SMP, ukuran 24 yang cocok untuk remaja atau orang dewasa dengan badan mungil, serta ukuran 26 yang memang untuk orang dewasa. Saya tadinya kepikiran mau ambil ukuran 24 karena sepedanya mungil sekali. Tapi ternyata tidak nyaman ketika dinaiki, terlalu kecil untuk saya, jadi saya ambil ukuran 26. 

Kalau ditanya kenapa memilih Polygon Lovina ini sebetulnya karena secara harga oke lah yaaa, tidak murah tapi juga tidak terlalu mahal. Setelah scrolling harga sepeda semalam, saya kaget karena sepeda ternyata mahal-mahal sekali hahaa, bahkan ada yang lebih mahal dari harga motor. Buat saya yang baru belakangan heboh mau punya sepeda, sepertinya ini pas. Toh hanya dipakai di sekitar rumah. Dan yang penting: ada keranjangnya. 


Sore tadi, saya langsung coba naik sepeda ke Koffie Braga, kedai kopi terdekat dari rumah saya. Jaraknya sekitar 800 meter saja. Dan rasanyaa menyenangkan sekaliiiii. Semoga bertualang dengan sepeda bisa membuat saya banyak menemukan hal-hal sederhana yang sering saya lewatkan sebelumnya ya :').

Tapi setidaknya hari ini (bisa jadi bias hari pertama), karena akhirnya pegang kendali kendaraan yang saya naiki, tapi juga boleh meleng-meleng dikit tidak seperti naik motor, saya jadi bisa menikmati perjalanan, melihat pohon-pohon yang saya lewati, orang-orang yang melewati jalan yang sama, bertukar sapa dengan bapak-bapak yang juga menaiki sepeda ontel membawa keresek belanjaan, huhu seru. Semoga besok bisa mencari kedai kopi lainnya juga dengan sepeda ini. 

Sayangnya cuma satu: saya belum beli children seat untuk membonceng Rana. Sepertinya akan beli online saja menunggu gajian haha! dan di minggu-minggu ini, saya ingin menikmati naik sepeda sendirian dulu! :)



Bidens Alba atau bunga ketul

Pekan ini saya mengambil cuti seminggu lamanya, saya lumayan kelelahan dan butuh rehat sejenak dari rutinitas kerja. Sebetulnya saya membuat banyak rencana produktif di cuti kali ini, tapi ya saya berakhir menggunakan waktu saya untuk gogoleran saja di rumah karena sangat malas untuk pergi keluar, selain mengantar dan menjemput Rana dari daycare, itupun bareng Mas Har. 

Tapi hari ini saya mendapatkan sebuah semangat baru untuk pergi keluar besok dan Jumat. 

Sore tadi saya mampir ke sebuah kedai kopi yang jaraknya tak sampai 1 kilometer dari rumah. Saya ingin mencoba hal baru: naik motor lagi; sudah lama sekali saya tidak naik motor, jadi saya pinjam motor Mas Har untuk pergi ke kedai kopi. Mas Har sepertinya agak khawatir tapi juga percaya karena jaraknya amat singkat. Saya berhasil sampai kedai kopi dan pulang ke rumah dengan selamat. Dan di jalan pulang dari kedai kopi, saya merasa bisa menemukan kembali kebahagiaan sederhana ketika berkendara sendirian. 

Buku yang saya baca di kedai kopi

Pulang-pulang saya bilang ke Mas Har: Saya mau beli sepeda, yang bisa dipasang boncengan buat Rana juga. Sepeda yang memang fungsional sebagai alat transportasi, bukan untuk olahraga, dan harus nyaman digunakan untuk pergi ke kedai kopi di sekeliling rumah kami, atau paling jauh bisa mengantar saya ke Perpustakaan Hayu Maca setiap akhir pekan. Jadi goals saya besok: survey sepeda dan harganya hehe. Mumpung masih cuti. 

Rasanya dulu mengambil gambar bunga dengan kamera digital saya yang harganya tidak sampai sejuta, sudah membahagiakan sekali buat saya. Tapi belakangan, sulit sekali melihat atau menyempatkan diri untuk melihat hal-hal sederhana di sekeliling saya.

Saya ingin menghabiskan pagi, sore atau hari libur bersepeda di sekitar wilayah rumah, melihat kembali hal-hal sederhana yang bisa membuat saya bahagia, lepas dari kesibukan bekerja ketika sudah diluar jam kerja (amiin), menghabiskan waktu bersama Rana di atas sepeda, mencari bunga-bunga liar dan membawa hal-hal unik pulang ke rumah, melihat matahari terbenam di samping rel kereta atau mencari kudapan yang enak sambil menghirup udara segar. 


Big Feelings by Liz Fosslien dan Mollie West Duffie

Bulan Juli diawali dengan membaca sebuah buku non-fiksi yang ditulis oleh salah satu kreator favorit saya: Liz dan Mollie. Beberapa tahun lalu saya pernah membaca buku mereka berjudul No Hard Feelings dan jatuh cinta pada cara Liz dan Mollie menulis dan membuat ilustrasi yang tepat tentang perasaan-perasaan yang jarang dibicarakan. 

Dalam buku Big Feelings, Liz dan Mollie membahas beberapa perasaan yang mengungkung kita, atau membuat kita berada di fase yang tidak baik-baik saja. Total ada 7 perasaan yang dibahas.

1. Uncertainty 
2. Comparison
3. Anger
4. Burnout

5. Perfectionism
6. Despair
7. Regret

Saya menandai nomor 3 dan nomor 4 karena dua perasaan tersebut yang sepertinya sangat-sangat relevan dengan saya. Namun dalam post ini, saya akan bahas satu perasaan yang menurut saya amat sangat sering dan normal kita rasakan. +perlu dipahami apa sih yang membuat kita merasa seperti itu. 

Anger

Sebagai seorang perempuan yang besar di Jawa Barat, marah bukanlah perasaan yang umum dilihat atau dikeluarkan. Saya jarang sekali marah meledak yang sampai teriak-teriak, tapi kalau membaca buku ini. Sebetulnya saya cukup sering marah, tapi marahnya sering kali terconvert lewat nangis (hehe). Saya juga jarang menyebutkan perasaan marah, biasanya saya bilang "Saya kesal". Selain nangis, marah atau kesalnya saya, bentuknya diam. Diam tidak bicara, apa yang orang-orang sebut 'silent treatment', yah kurang lebih begitu kalau saya sedang marah. Apa yang disebut di buku ini sebagai sesuatu yang tidak sehat. 

Nah, buku ini membahas tentang memahami perasaan anger ini. Dengan mengerti apa yang mentriggers kita untuk marah, dan tendensi kita ketika kesal atau marah ini ngapain sih. Kemudian membantu kita membuat strategi supaya bisa address the unmet needs dibalik kekesalan kita. 

Cari tahu yang membuat kamu kesal

Apa sih yang mentrigger kamu jadi kesal?

- Merasa tidak didengar?
- Mereasa sebuah keputusan dibuat secara tidak adil?
- Lagi ngomong disetop ditengah-tengah atau disela?
- Ada orang yang melakukan sesuatu yang berdampak ke kamu tapi gak izin dulu?
- Ketika ada orang kasih tahu harus A, B, C tanpa dengerin dulu kamu yang sebetulnya sudah mau melakukan A, B, C?
- dan lain-lainnya.

Mengidentifikasi kekesalan kamu, bsia membantu menantisipasi kapan nih, kita akan kesal dan membuat kamu bisa mengurangi amygdala hyjack. Sebua situasi dimana respon kita cepat dan overwhelming, atau meledak kali yaa, apapun bentuk emosinya, teriak-teriak, panik atau nangis. 

Memahami tendensi kamu ketika kesal

Selain triggers yang beragam, respon orang ketika sedang marah atau kesal juga tendensinya beragam. Ada 4 tendensi yang ditulis Liz dan Mollie di buku ini. 

1. Anger Supperssor

Ketika marah atau kesal buru-buru menurunkan emosi supaya tidak kesal (yang biasanya proses di alam bawah sadar), lalu punya tendensi menyalahkan diri sendiri, bahkan ketika hal tersebut terjadi bukan karena kesalahan kamu. Tendensi ini membuat kamu merasa tidak nyaman ketika sedang marah atau kesal. Padahal ketika rasa marah atau kesal ditahan, ini juga gak baik karena bisa memicu depresi atau gejala kecemasan, belum lagi tekanan darah tinggi yang bisa naik. 

Kalau kamu masuk ke kategori supperssor, kamu disarankan untuk latihan mengkomunikan rasa kesal atau marah kamu di tempat atau ke orang yang membuat kamu merasa nyaman. Gak perlu langsung besar, bisa sesimple minta partner kamu untuk gak simpan handuk sembarangan. Singkatnya: belajar menjadi asertif

2. Anger Projector

Kontras dengan poin diatas, orang dengan tendensi anger projector sering kali mengekspresikan rasa marah dan kesalnya secara agresif ke orang lain atau ke objek tertentu. Misal suka banting pintu keras-keras kalau marah atau ngata-ngatain orang ketika sedang kesal. 

Kalau kamu masuk ke kategori ini, disarankan untuk buat waktu jeda, antara trigger dan respon kamu, supaya kamu bisa cool down dulu. Ada sebuah teknik TIPP (temperatur, intese excercise, paced breathing dan progressive muscle relaxation) untuk latihan. Ambil jeda dengan keluar dulu dari ruangan, cuci muka pakai air dingin, melakukan aktivitas fisik atau kalau memang tidak bisa keluar dari ruangan atau situasi tersebut, bisa dengan ngomong kalau "Saya butuh waktu sebentar" agar tidak menjawab secara impulsif. 

3. Anger Controller

Kamu melakukan apapun untuk terlihat tenang walaupun sangat marah atau kesal. Alih-alih fokus memahami apa yang mentrigger kemarahan tersebut, kamu fokus untuk mengontrol emosi wajah. Sering kali orang yang berada dalam kategori ini sampai berubah nada bicaranya karena menahan marah, dan pulang dalam kondisi marah yang belum usai.

Kalau kamu masuk kategori ini, coba untuk lebih nyaman dengan perasaan marah atau kesal ini. Bisa dengan cara sederhana seperti bilang ke diri sendiri: "Aku kesal and that's okay".

4. Anger Transformer

Kategori ini punya tendensi untuk menyelesaikan marah dengan mengenali dan memahami kebutuhan yang lebih dalam. Orang-orang di kategori ini juga menyadari bahwa rasa marah dan kesal bisa diklarifikasi dan sehat kalau tidak diproyeksi ke hal lain atau kedalam diri kita sendiri. 

Kalau kamu sudah di kategori ini, lakukan apa yang memang sudah kamu lakukan. 

Mengidentifikasi kebutuhan dibalik rasa kesal atau marah

Ada tips menarik di buku ini untuk melakukan identifikasi kebutuhan kita ketika marah: coba tulis surat yang tidak dikirimkan ke siapa-siapa (atau bisa email ke diri sendiri) ketika sedang marah. Ada beberapa pertanyaan yang mungkin bisa membantu kamu dalam mengklarifikasi alasan-alasan kenapa kamu marah:

- Apa yang membuat kamu marah?
- Apa yang membuat kamu ada di situasi tersebut?
- Apakah ada perasaan lain yang mendasari rasa marah kamu?
- Aku harus melakukan apa supaya bisa okay sekarang?
- Apa outcome jangka panjang yang bisa membuat say amerasa lebih baik?
- Saya harus ngapain untuk mencapai outcome itu?
- Untuk setiap step mencapai outcome tersebut, apa saja plus minusnya?

Anger needs to be addressed; otherwise it becomes damaging. Karenanya, perlu untuk ambil jeda ketika marah atau kesal agar tidak melakukan hal impulsif yang membuat kita menyesal di kemudian hari. 

Mengekspresikan rasa marah atau kesal

Salah satu riset yang dikutip di buku ini menyebutkan kalau orang-orang yang bisa mengekspresikan perasaan mereka (termasuk rasa kesal) itu bisa hidup lebih sehat dibanding orang-orang yang suka menahan perasaan, menerjemahkan emosi yang kita rasakan kedalam bahasa tertentu baik ucapan langsung atau tulisan itu bisa membebaskan otak kita dari perasaan-perasaan negatif. 


Salah satu hal yang sangat disarankan, sekali lagi adalah: mencoba komunikasi asertif.

Selain itu, kita bisa mencoba untuk journaling emosi kita, tapi alih-alih menggunakan kata angry, kita bisa menggunakan beberapa emosi yang cukup spesifik seperti:
- Kecewa
- Sebal
- Frustasi
- Tidak berdaya
- Marah
- atau menggunakan bahasa daerah yang lebih dekat dan bisa diterjemahkan sebagai emosi yang tepat.

Takeaways

Beberapa takeaways yang bisa saya dapatkan dari chapter Angry
- Marah itu alarm dari dalam diri kita; coba untuk mendengarkan apa yang coba ia sampaikan
- Coba cari apa yang mentrigger kita marah
- Pahami gaya marah kita untuk bisa mengekspresikan marah dengan lebih baik dan sehat
- Allow yourself to be upset lalu cari juga kebutuhan emosi yang membuat kamu mengalami emosi tersebut
- Komunikasikan kebutuhan kamu secara asertf

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

POPULAR POSTS

  • [Review Asri] Atomic Habits - James Clear
  • Review Asri: Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom
  • Review Asri - Tempat Terbaik di Dunia karya Roanne Van Voorst
  • [Review Asri] Kemarau - A.A. Navis
  • Review Asri: As Long As The Lemon Trees Grow karya Zoulfa Katouh
  • Review Buku Angsa dan Kelelawar karya Keigo Higashino
  • Sabtu yang Menyenangkan dan kenapa saya suka membeli bunga
  • Main ke Toko Buku Pelagia Bandung
  • Review Asri: Manabeshima Island Japan karya Florent Chavouet
  • Review Asri - the house of my mother karya Shari Franke

Arsip Blog

  • ▼  2025 (16)
    • ▼  Mei 2025 (3)
      • Review Asri: Pengantin-pengantin Loki Tua karya Yu...
      • Review Asri: Minimarket yang Merepotkan karya Kim ...
      • Tiap Anak Berbeda, Termasuk Proses Melahirkannya; ...
    • ►  April 2025 (2)
    • ►  Maret 2025 (2)
    • ►  Februari 2025 (3)
    • ►  Januari 2025 (6)
  • ►  2024 (8)
    • ►  November 2024 (1)
    • ►  Agustus 2024 (1)
    • ►  Juni 2024 (1)
    • ►  Mei 2024 (2)
    • ►  April 2024 (3)
  • ►  2023 (17)
    • ►  November 2023 (1)
    • ►  September 2023 (1)
    • ►  Juli 2023 (4)
    • ►  Juni 2023 (4)
    • ►  Maret 2023 (2)
    • ►  Februari 2023 (2)
    • ►  Januari 2023 (3)
  • ►  2022 (52)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  September 2022 (12)
    • ►  Agustus 2022 (2)
    • ►  Juli 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (4)
    • ►  Mei 2022 (9)
    • ►  April 2022 (7)
    • ►  Maret 2022 (5)
    • ►  Februari 2022 (6)
    • ►  Januari 2022 (3)
  • ►  2021 (35)
    • ►  Desember 2021 (5)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (4)
    • ►  Agustus 2021 (3)
    • ►  Juli 2021 (2)
    • ►  Juni 2021 (1)
    • ►  Mei 2021 (3)
    • ►  April 2021 (1)
    • ►  Maret 2021 (2)
    • ►  Februari 2021 (6)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (13)
    • ►  Desember 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (4)
    • ►  Juni 2020 (3)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (1)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (14)
    • ►  November 2019 (1)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (2)
    • ►  Juli 2019 (2)
    • ►  Maret 2019 (3)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (2)
  • ►  2018 (15)
    • ►  Desember 2018 (4)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Juli 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (3)
    • ►  Maret 2018 (3)
    • ►  Januari 2018 (2)
  • ►  2017 (20)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  Oktober 2017 (3)
    • ►  September 2017 (2)
    • ►  Agustus 2017 (4)
    • ►  Juli 2017 (4)
    • ►  Mei 2017 (3)
    • ►  Januari 2017 (2)
  • ►  2016 (65)
    • ►  Desember 2016 (2)
    • ►  September 2016 (2)
    • ►  Agustus 2016 (3)
    • ►  Juli 2016 (17)
    • ►  Juni 2016 (7)
    • ►  Mei 2016 (7)
    • ►  April 2016 (25)
    • ►  Februari 2016 (1)
    • ►  Januari 2016 (1)
  • ►  2015 (29)
    • ►  Desember 2015 (3)
    • ►  September 2015 (2)
    • ►  Agustus 2015 (13)
    • ►  Juli 2015 (4)
    • ►  Juni 2015 (1)
    • ►  Maret 2015 (2)
    • ►  Februari 2015 (1)
    • ►  Januari 2015 (3)
  • ►  2014 (29)
    • ►  Desember 2014 (8)
    • ►  November 2014 (6)
    • ►  Oktober 2014 (2)
    • ►  September 2014 (2)
    • ►  Juni 2014 (3)
    • ►  Mei 2014 (2)
    • ►  Februari 2014 (6)
  • ►  2013 (66)
    • ►  Desember 2013 (1)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  Oktober 2013 (7)
    • ►  September 2013 (7)
    • ►  Agustus 2013 (15)
    • ►  Juli 2013 (4)
    • ►  Juni 2013 (8)
    • ►  Mei 2013 (2)
    • ►  April 2013 (5)
    • ►  Februari 2013 (3)
    • ►  Januari 2013 (9)
  • ►  2012 (6)
    • ►  November 2012 (4)
    • ►  Oktober 2012 (2)
  • ►  2011 (8)
    • ►  Oktober 2011 (4)
    • ►  September 2011 (1)
    • ►  Maret 2011 (3)

Goodreads

Asri's books

Kejutan Kungkang
it was amazing
Kejutan Kungkang
by Andina Subarja
The Fine Print
liked it
The Fine Print
by Lauren Asher
Under One Roof
liked it
Under One Roof
by Ali Hazelwood
Lessons from Surah Yusuf
it was amazing
Lessons from Surah Yusuf
by Abu Ammaar Yasir Qadhi
Setelah membaca ini sampai selesai malam ini. Jadi paham kenapa Allah bilang kalau Kisah Yusuf ini salah satu kisah terbaik dalam Quran. Ada terlalu banyak pelajaran berharga dari kisah Yusuf. Dr. Yasir Qadhi mengawali buku ini dg sebab...
No Exit
liked it
No Exit
by Taylor Adams

goodreads.com

Blog Perempuan

Blog Perempuan

Cari Blog Ini

Kamu pengunjung ke

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © Journal Asri. Designed by OddThemes