Journal Asri

Maret ini banyak membaca tapi malah absen menulis. Maklum yaa blogger amatir yang tidak taat pada jadwal menulis yang dibuat sendiri (haha) mencoba disiplin menulis ini berat betul! Jadi mari kita mulai lagi. Hari ini saya membaca buku tentang hidup minimalis ala orang Jepang. Buku yang cukup terkenal dan rasanya sudah dibaca banyak orang, saya termasuk yang ketinggalan kereta baru baca di 2021! Tentu bacanya dilandasi kebutuhan berbenah rumah kontrakan menjelang kedatangan penghuni baru di rumah. 

Buku ini saya baca di Gramedia Digital, sebuah langkah yang selaras dengan misi bukunya: membaca tanpa harus memiliki hihi. Berisi catatan perjalanan hidup minimalis penulis yang tidak terlalu detail secara personal, namun memberikan gambaran apa yang ia lakukan hingga sampai pada gaya hidup seperti saat ini. Penulisnya membagi buku ini jadi lima bagian:

1. Mengapa Minimalisme?
2. Mengapa Kita Mengumpulkan Barang Begitu Banyak?
3. 55 Kiat berpisah dengan barang, 15 kiat tambahan untuk tahap selanjutnya dalam perjalanan menuju minimalisme
4. 12 Hal yang berubah sejak saya berpisah dari barang-barang kepemilikan
5. "Merasa" bahagia alih alih "Menjadi" bahagia

---
Buku ini diawali dengan lampiran visual contoh 'tempat/hunian' hidup minimalis dan gaya hidup minimalis. Di awal bagian penulis mengajak kita merenung "Tak seorang pun yang lahir ke dunia dengan membawa suatu benda", semua orang mengawali hidup sebagai seorang minimalis dan 'nilai' kita tidak ditentukan berdasarkan seberapa banyak barang yang kita punya. Ia menceritakan hari-harinya sebelum menjadi minimalis hingga akhirnya memutuskan untuk 'membuang' barang-barang yang sebetulnya amat ia sayangi. 

Yang membuat saya tertegun adalah refleksi penulis tentang ia dan buku-buku koleksinya. Dibuku ini ia mempertanyakan, "sebenarnya, beli banyak buku, disusun banyak di rak, tujuannya apa sih?" beneran untuk dibaca dan menambah ilmu pengetahuan atau ingin 'pamer' doang ke orang kalau ia orang yang suka membaca, punya beragam buku dari beragam genre dan sebagainya. Ini jadi pertanyaan menarik buat saya pribadi yang sampai sekarang, walaupun sudah melepas setengah koleksi buku saya, masih punya cukup banyak buku koleksi di rumah! Yang debunya naudzubillah tiap dibersihkan pasti bikin bersin-bersin. Haha. 

Ia juga menceritakan barang-barang apa saja yang ia buang beserta harganya dan bagaimana perasaannya setelah membuang barang-barang tersebut. Wow! cukup ekstrim yaaa! Saya sendiri walau ingin belajar menjadi minimalis rasanya tidak akan langsung 'membuang' barang-barang saya begitu saya. Sebenarnya dibanding menjadi seorang minimalis, saya lebih ingin belajar untuk berhenti menjadi seorang hoarder, penimbun segala rupa barang-barang di rumah! Sekali lagi, debunya itu loh! ingin juga mulai mengganti furnitur di rumah dengan yang lebih sederhana namun bisa menampung banyak barang sehingga rumah tidak terasa sempit. Namun sebagai kontraktor (alias masih ngontrak) bisa apaa hahaa, apalagi masih ada beberapa furnitur besar & lawas punya pemilik rumah yang akhirnya saya gunakan agar fungsional dan tidak malah menuh-menuhin tempat. 

--

Ah, yang saya suka dari buku ini (selain 55 tips yang sepertinya beberapa bisa dipraktekkan buat saya) adalah tujuan akhir dari gaya hidup minimalisme ini. Minimalisme, tidak seperti apa yang kita lihat di medsos, bukan tentang pamer seberapa sedikit barang yang kita punya, atau yang sangat salah: menghakimi orang-orang yang memiliki banyak barang. Hidup minimalisme justru untuk mencari ketenangan (dengan sedikit barang yang dimiliki, sedikit tanggung jawab dan kekhawatiran yang kita punya) juga untuk merasakan kebahagiaan. 

Adapun biaya hidup yang lebih murah, gaya hidup yang lebih ramah alam, itu bonus yang mengikuti gaya hidup ini. Pada akhirnya kebahagiaan yang dicari. Ini malah membuat saya berpikir, yaa memang tak semua orang cocok dengan gaya hidup ini yaa, kalau kita bisa bahagia dengan hidup minimalis then do it, perlahan lahan. Tapi kalau tidak ya sudah tak apa. Selama itu bikin kamu bahagia! 

Banyak sekali orang-orang penganut hidup minalisme akhisnya merasakan kebahagiaan karena mindset luar biasa yang bekerja: tidak takut pada apa kata orang, tidak takut disangka miskin, menjadi diri sendiri, tidak terbebani dengan barang-barang yang dimiliki, lebih sedikit beban. 

Justru mindset penting ini yang harus dimiliki. Kalau kita masih takut dengan penghakiman orang, boro-boro hidup minimalis hehe tidur pun tak tenang karena kebanyakan berpikir. 

--

Buku ini asyik dibaca tapi lebih asyik lagi kalau dipraktekkan hehe! so far saya lebih suka baca buku ini dibanding buku serupa yang ditulis Marie Kondo. Selamat membaca teman-teman semua!

---
Informasi Buku

Judul Buku: 
Bokutachini, Mou Mono Wa Hitsuyou Nai 
Goodbye, Things Hidup Minimalis Ala Orang Jepang
Penulis: Fumio Sasaki
Pertama kali diterbitkan: 2015 (Jepang), 2018 (Indonesia)
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Penerjemah: Annisa Cinantya Putri
Tersedia di Gramedia Digital

 



Meskipun jadi pengantar pesanan ayam goreng, meskipun jadi pemintal benang di pabrik, yang namanya hidup, memang bisa begini dan bisa begitu. Tak ada yang salah dengan kehidupan kita.

Terserah kamu mau kerja keras atau belajar dengan mati-matian. Yang penting, janganlah kamu hina hidup orang lain.  

Kita punya hak
untuk saling menghormati
kehidupan masing-masing.

--

Akhir pekan lalu, saya menemani Mas Har ke Bandung menjadi bahan ajar untuk muridnya. Karena yang dicari buku pelajaran dan tidak harus baru, pergilah kami ke Palasari, wagelaseh ke Palasari naik motor dari Cimahi haha, mayan bikin pantat panas kaki keram-keram. Sampai sanapun kami tak banyak hunting atau coba sok-sokan cari-cari sendiri, langsung minta seorang bapak mencarikan buku, saya sendiri sudah lama kehilangan rasa senang berkeliling di Palasari. It's not spark joy anymore,bukan hanya karena harganya di UP jadi super tinggi (padahal kan serunya hunting buku bekas karena harga murahnya yaaa), belum lagi banyak 'jebakan' batman buku bajakan yang super duper mirip buku aslinya. Duh, kalau mau hunting buku bekas mending ke Dewi Sartika deh, pedagangnya gak kasih harga aneh-aneh. 

Anyway, karena saya malas cari-cari buku di Palasari, Mas Har bawa saya ke surga kecil lain buat saya. Tetap toko buku dooong hahaa: Togamas Buah Batu, habis makan siang, kami melipir kesana. Jujur ini pertama kalinya saya ke Togamas Bubat, (kejauhaaaan anak Cimahi mah ke Gramedia ajah biar bisa keretaan :')). Nah, menurut Mas Har Togamas lebih ramah buat buibu hamil kaya saya haha, ga harus naik-turun tangga, satu lantai dah nemu semua buku. Dan bener siiih, asyik sekali tempatnya. 

Saya menghabiskan waktu sejam lebih, pilih-pilih buku dan berakhir memilih buku HIDUP APA ADANYA karya Kim Sohyun. Kenapa beli buku ini? haha, karena ada buku yang sudah terbuka dan saya membaca beberapa halaman terlebih dahulu sebelum memutuskan membeli. 

--

Sekilas, ini terlihat seperti buku self-help biasa yang dilengkapi dengan ilustrasi sederhana tapi dalam maknanya. Ditulis oleh penulis Korea Selatan yang sedang hype belakangan ini. Sejujurnya terlepas dari hype Koreanya sendiri, saya beberapa kali membeli buku dan komik karangan penulis Korea Selatan dan menikmati sekali membacanya hehe, tidak berat tapi rasanya pas dan relatable dengan kehidupan sehari-hari atau apa yang mungkin dirasakan banyak orang (terutama di Indonesia). 

Buku inipun sama. Bedanya tema yang diangkat "gak sereceh" komik dan buku Korea Selatan yang pernah saya beli sebelumnya. Di covernya tertulis buku ini jadi buku Best-Seller di Korea Selatan, terjual lebih dari 800.000 eksemplar di Korsel, 700.000 eksemplar di Jepang dan dicetak ulang lebih dari 200 kali. Sebuah cap yang uwaaaaw tapiiiiii tapiiii setelah membaca buku ini sampai selesai, saya jadi paham kenapa buku ini banyak dibaca orang (dan direkomendasikan banyak orang). Di Indonesia sendiri, buku ini diterbitkan oleh penerbit Transmedia dan yang saya pegang sudah cetakan ke-5. 



HIDUP APA ADANYA (I decided to live as myself) berisi enam bagian:

1. To-Do List Agar bisa hidup dengan menghormati diri sendiri
2. To-Do List Agar bisa hidup sebagai diriku sendiri
3. To-Do List Agar tidak tenggelam dalam rasa cemas
4. To-Do List Agar bisa hidup bersama dengan yang lainnya
5. To-Do List Untuk dunia yang lebih baik
6. To-Do List Untuk kehidupan yang lebih berarti dan juga lebih baik

Di bagian prolog, Suhyun menuliskan alasan mengapa ia menulis buku ini. 

Aku pun penasaran, kenapa aku begitu merasa buruk meski tidak melakukan kesalahan apapun. 
Aku banyak membaca buku saat itu. 
Bukan karena hobi, tetapi karena aku benar-benar ingin tahu jawabannya.


Buku ini berisi kumpulan alasan dan pencarian penulis atas pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan.

Sejujurnya apa yang membuat saya sangat tertarik membaca buku ini adalah sudut pandang penulis dalam mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan kehidupan tadi. Di banyak buku-buku pengembangan diri, kita akan dengan sering membaca tips agar diri kita lebih baik dalam bentuk list, apa yang harus dilakukan, kesalahan-kesalahan kita, tapi dibuku ini penulis menyampaikan sebuah gagasan mendasar kenapa ada orang yang terlihat sukses dan kenapa kita biasa-biasa saja. Suhyun menuliskan tentang privilege, budaya Meritokrasi, kesenjangan sosial yang tinggi dan sulit dikejar di Korea Selatan, dan membuat kesimpulan di salah satu sub-bab bukunya, kalau ya, gapapa kalau hidup kita kek gini-gini aja, selama gak hina orang lain, gak nyusahin orang lain ya mau gimana yaaa sukses kalau dari startnya aja udah beda. Untuk sebagian orang, survive bertahan hidup aja sudah jadi pencapaian luar biasa. 

Suhyun juga beberapa kali membahas tentang budaya kolektivitas orang Korea Selatan yang malah membuat warganya tidak bahagia, karena justru di kolektivitas tersebut, kebiasaan ingin tau urusan orang lain, malah membuat orang berlomba-lomba menjadi lebih dari tetangganya, temannya, orang-orang di sekitarnya. Hmmmm sungguh mirip ya dengan disini. Ini bisa jadi alasan kenapa buku ini laris manis di Korsel, Jepang bahkan di Indonesia. Apa yang disampaikan ya memang yang kita rasakan sehari-hari.

Walaupun tetap ada poin penting yang dihighlight oleh penulis, bahwa setinggi apapun kita menjunjung nilai 'individualitas', gak perlu tahu banyak urusan orang lain, membatasi lingkaran-lingkaran terdekat, gak bisa di bohongin kalau di DNA kita, kita justru merasa bahagia ketika berinteraksi sama orang lain, makanya alih-alih nyuruh kita menyendiri, penulis malah minta kita mikir ulang, emang perlu sebanyak itu teman dekat? emang nyaman kalau ditanya hal-hal private sama banyak orang? kalau gak mau diperlakukan kaya gitu sama orang, mulai dengan kita juga gak perlakukan orang kek gitu. 


Sesungguhnya akan panjang sekali menceritakan apa yang jadi pikiran-pikiran penulis dalam buku ini. Untuk ukuran buku yang terlihat ringan dengan ukuran asyik dan ilustrasi yang super, saya butuh waktu lima hari membaca buku ini karena beneran harus dikunyah pelan-pelan. Malah gak seru kalau bacanya buru-buku. Inipun saya berencana membaca ulang lebih pelan-pelan lagi. Tiap babnya rasanya bisa jadi refleksi sendiri atas apa yang saya lewati disepanjang usia 20an ini.

Ada banyaaaaaak hal yang pada akhirnya bikin kita mikir, sebenarnya apa yang kita cari dalam hidup, dan sungguh gak apa kok untuk hidup biasa-biasa saja :)

--

Informasi buku

Judul: Hidup Apa Adanya, I Decided to live as myself
Penulis: Kim Suhyun
Alih Bahasa: Presillia Prihastuti
Jumlah Halaman: 296
Penerbit: Transmedia 
Gramedia Digital: Belum Tersedia
Google Playbook : Belum Tersedia (Bahasa Indonesia) kurang tau kalau Bahasa Korea/Lainnya
iPusnas: Belum Tersedia
Harga P. Jawa: 99.000 (diskon 10% di Togamas)




 


Judul Buku: Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga
Penulis: Erni Aladjai
Pertama Terbit: Januari 2021
Harga: 65.000 (Buku Fisik), 56.000 (e-Book via Gramedia Digital), 42.000 (e-Book via Google Playbook)
Gramedia Digital: Tersedia
iPusnas: Belum Tersedia
Penerbit: KPG
Genre: Novel, Sastra, Fiksi

---

Bacaan akhir pekan saya kali ini menaaaaaariiiiik sekali!!!


Saya membaca buku berjudul Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga karya Erni Aladjai, kenapa membaca buku ini? sejujurnya tidak ada alasan khusus, buku ini muncul di rekomendasi bacaan Gramedia Digital saya setelah saya mengunduh novel salah satu novel (yang saya lupa apa). Saya membaca beberapa halaman pertama dan tak bisa berhenti membaca setelah itu. 

Buku ini ditulis oleh Erni Aladjai, penulis dari Timur Indonesia, buku ini adalah pemenang ketiga sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2019 dan baru saya terbit Januari 2021 ini! Hanya 156 halaman saja, tidak terlalu tebal menurut saya tapi bisa menghipnotis saya untuk menyelesaikan buku ini dalam dua malam. 

Untuk buku bergenre fiksi, kita bisa belajar banyak hal yang rasanya terlalu nyata! haha, membaca buku ini membuat saya merasa membaca buku Andrea Hirata, kalau Andrea dengan serial Laskar Pelanginya bisa membawa saya berkelana di Belitong, Sumatera. Buku Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga ini bisa sekali membawa saya berkelana di kebun-kebun cengkeh di kampung di Sulawesi (atau mungkin Indonesia Timur lainnya, karena tidak begitu dijelaskan latarnya dimana). 

Haniyah dan Ala

Buku ini berpusat pada Haniyah dan Ala, Ibu dan anak yang tinggal bersama di sebuah kampung, Ayah mereka sudah lama tiada dan mereka hanya hidup berdua. Ala lahir dalam kondisi juling sebelah matanya dan ini cukup membuat ia sering dirundung di sekolahnya, belakangan bukan hanya oleh teman-temannya, tapi juga oleh gurunya, yang membuat ia malas sekali sekolah. Ia tak suka guru dan teman-temannya. Waktu lahir dalam kondisi juling, Haniyah sempat menyangka ini akibat kutukan karena ia pernah memukul mata binatang ketika ia hamil dulu, sejak itu Haniyah berkomitmen tidak menyakiti mahluk hidup bahkan benda mati, ini turun ke kesehariannya seperti tak pernah membuang air panas ke tanah karena takut binatang-binatang di tanah akan mati :'). 

Nah, mata juling Ala ini bukan hanya membawa tantangan perundungan tapi juga tantangan lainnya, ia jadi bisa melihat "sesuatu" yang tidak bisa dilihat orang-orang biasa. Disinilah muncul tokoh yang cukup jadi pusat dari novel ini juga, Ido si arwah gentayangan. 

Sejujurnya, sebagai orang yang amat penakut, saya sempat berpikir untuk tidak melanjutkan buku ini kalau ternyata ini adalah cerita horor seperti yang saya bayangkan haha. Saya beneran berhenti baca karena ditinggal Mas Har dan Dimas main games!! baru Minggu malam saya lanjutkan baca buku ini sampaaaaai habis, dan tenang saja! bahkan jika teman-teman adalah orang yang penakut seperti saya, buku ini bukan buku horror kok! tetap layak layak layak sekali dibaca. 

Daya Tarik Cengkeh 

Nah, selain tokoh utamanya yang amat menarik, hal lain yang menarik dari novel ini adalah Cengkeh. Haniyah adalah seorang petani cengkeh. Diceritakan di buku ini (yang mana berdasarkan kenyataan) tahun 90an adalah tahun yang amat baik bagi para petani cengkeh, harga cengkeh amat mahal kala itu, panen cengkeh adalah perayaan bagi seluruh warga kampung, baik pemilik lahan, buruh petik, buruh jemur, bahkan yang tak punya lahan bisa ambil cengkeh-cengkeh yang berjatuhan untuk dijual pada pemilik. Anak-anak juga ikut merayakan panen cengkeh ini. 

Saya pernah tinggal setahun lamanya di Sulawesi, di sebuah desa diatas bukit yang juga menghasilkan cengkeh, membaca hal ini saya agak menyesal tidak pernah ikut panen cengkeh selama disana :') tapi setidaknya sedikit senang karena tau bentuk pohon cengkeh seperti apa. 

Kita juga akan ikut dibuat merasa geram ketika ada aturan dari orde baru yang tak jauh beda dengan penjajah zaman Belanda dulu, mengharuskan petani cengkeh menjual hanya kepada Koperasi Unit Desa dengan harga jaaaaaauh dibawah normal. Di buku ini diceritakan betapa banyak petani yang kecewa dan menolak menjual cengkehnya, membakar kebunnya atau mengganti dengan komoditas lain. Saya sama sekali tidak bisa membayangkan hal seperti itu pernah terjadi di Indonesia. 

---

Ini buku fiksi dengan rating 5/5 saya di tahun 2021. Kaget juga karena ternyata buku ini baru sekali terbit dan saya bisa langsung baca lewat Gramedia Digital. Selain kisah Haniyah, Ala dan Cengkeh ada banyak sekali kisah menarik di buku ini. Kisah Naf Tikore yang menyendiri di Kebun Cengkehnya, kisah arwah Ido yang gentayangan tapi malah berteman dengan Ala, cara Haniyah menyelesaikan perundungan anaknya, bagaimana menjadi anak perempuan yang haid pertama malah dirundung satu kelas, belum lagi keunikan cerita tentang ramuan dan mantra-mantra di buku ini. 

Ini baru cek khasanah kebudayaan dari satu wilayah saja! Kebayang gak sih sekaya apa kebudayaan kita sebenarnya! Saya mau apresiasi penulis yang bisa memasukkan semua hal ini dalam sebuah buku fiksi! Sungguh cerita yang indah dan tetap membuat saya terhibur, ketakutan sekaligus belajar banyak hal!

Kalau kamu mencari bacaan yang tidak terlalu panjang tapi seru, Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga bisa jadi pilihan teman-teman semua!

Sekian Review Novel Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga! Selamat Membaca!!


Oiya, saya buat reviewnya juga di Youtube channel saya, bisa teman-teman cek disini ya:



Tangan Giska
Tangan Teh Selvi
Tangan Husna

Sejak pandemi dan lapak Hayu Maca di Taman Kartini tutup, pengurus Hayu Maca jadi punya kebiasaan baru: nyekre tiap weekend. Awalnya berkegiatan di sekre ini berlangsung Sabtu Minggu, namun belakangan dengan sendirinya dan karena belum ada kebutuhan kegiatan mendesak lainnya jadi hanya berlaku tiap Sabtu saja. 

Tiap datang ke Sekre, selain membicarakan progress kegiatan, beberes kebun dan perpustakaan, menginput data buku bersama relawan, ada satu kegiatan yang tak pernah terlewat: Makan-makan!

Khusus untuk makan-makan ini ada spesialisnya sendiri, pimpinan dari kegiatan masak-masak adalah Giska, dibantu oleh Husna dan Teh Selvi. Saya? Jarang banget bantuin, bantuinnya makan aja! (haha maafkan manteman). Selain karena teman-teman yang lain lebih gesit di dapur, saya juga sering kali datang lepas jam makan siang ketika sudah tak ada lagi yang sibuk di dapur, baru sebulan belakangan saya datang sebelum jam makan siang karena sudah lebih enak datang lebih awal (secara fisik dan kesehatan). 

Kemarin seru sekali! Haha mungkin karena hari sebelumnya libur, ditambah tantangan bikin NPWP Yayasan yang jadi PR setahun penuh akhirnya selesai dalam seminggu saja melalui proses online (haha senangnya), saya dan teman-teman juga mulai punya ritme untuk membiasakan weekly check in tiap Sabtu sebelum makan siang. Kalau tidak ada program besar yang sedang jalan, teman-teman relawan sedang off tidak datang ke Sekre, lepas weekly-check in, makan siang, sisanya bisa bersantai di perpustakaan atau panen-panen di Kebun!

Gak sabar perpustakaan bisa segera dibuka agar makin banyak orang bisa merasakan keseruan di Hayu Maca. Tapi tentu harus sabar dan pelan-pelan, tidak terburu-buru dan menyiapkan segalanya dengan hati-hati di masa pandemi ini! Doakan lancar ya!

Bonus: Photoshoot bersama Husna di Perpustakaan Hayu Maca

Pagi di Cimahi Februari ini masih dingin sekali, Mas Har yang lebih sering menghabiskan hidupnya di tempat-tempat panas sekarang tidak bisa tidur tanpa jaket, selimut dan kaos kaki. Sementara saya yang besar disini, malah merindukan rasa dingin ini. Jarang sekali saya mengenakan jaket kecuali ketika keluar rumah (wajib itu mah!). Tapi kalau pagi-pagi begini, sambil baca atau menulis, jendela rumah pasti saya buka, asyik sekali merasakan udara pagi. 


Februari kali ini saya mau mulai rutin membagikan daftar buku-buku yang saya baca. Ada yang sudah selesai dibaca dan ada yang belum tapi tetap saya bagikan dengan harapan saya bisa makin terpacu untuk menyelesaikan buku tersebut. Karena memang bukunya ingin saya selesaikan (entah karena misi pribadi atau kata orang haha, kata orang bukunya bagus!).

Buku yang saya baca di Paruh Pertama Februari 2021


Saya menghabiskan waktu cukup lama membaca Atomic Habit, Review tentang buku ini bisa dibaca melalui link berikut ya: Review Atomic Habit. Non-fiksi memang selalu makan waktu lama buat saya. Mungkin karena saya terlalu imaginatif sementara buku-buku non-fiksi jauh dari kata itu hehe. Tapi seru! 

Di deretan buku fiksi, saya membaca karya Tere Liye: Negeri Para Bedebah. I know! it's a bit late to read this book in 2021 dan bukan! saya bukan baca ulang! beneran baru baca pertama kali. Saya menghabiskan waktu dua hari, waktu yang sama persis dengan Thomas menyelesaikan masalah-masalah Bank Semesta :) Meninggalkan 4 dari 5 bintang di Goodreads, baca di Gramedia Digital sampai tengah malam. Seru ya rasanya kembali membaca fiksi petualangan. 

Satu lagi buku yang saya baca adalah The Time We Walk Together karya Lee Kyu Young. Alasan baca bukunya: ILUSTRASINYA. Yap, ini buku ilustrasi yang digambar dan ditulis oleh orang yang sama. Bacanya: Giunggggg banget! berasa nonton Drakor yang isinya cinta-cintaan melulu. Tapi ilustrasinya bagus. Ini saya curiga buku ini adalah hadiah 'persembahan' Kyu Young untuk pasangannya, karena hanya memuat yang baik-baik dari hubungan mereka hehe. 

Baca Buku Anak di Awal Februari


Nah kalau ini, sebuah usaha saya dan Mas Har mengenalkan anak kami pada buku bahkan sebelum lahir, sehari baca satu buku atau satu dongeng atau satu cerita. Karena buku anak harganya lumayan banget ya! haha. Saya dan Mas Har memilih membaca via Gramedia Digital, aplikasi Let's Read atau Literacy Cloud. Buku anak saya semuanya sudah pindah tempat ke Hayu  Maca. Nanti kalau anak kami sudah lahir ya cicil-cicil beli buku anak yang memang bagus dan berkualitas, sambil rajin pinjam buku ke Hayu Maca hehe. 

Yang Sedang Dibaca di Februari 2021


Nah saya punya misi menyelesaikan tiga judul buku ini di Februari. Misi? Iyaaa haha. Satu buku Bringing up Bebe adalah misi membaca perspektif parenting dari seorang Ibu Amerika yang mengamati pola pengasuhan ala Prancis. Ini saya cukup senang bacanya, rasanya seperti baca jurnal si penulis, dibawakan dengan gaya bercerita yang dilengkapi dengan pendapat para ahli. 

Kedua buku Measure What Matters, tentang per-OKR-an yang harusnya sudah selesai saya baca karena niatnya mau jadi tambahan referensi sebelum visioning Hayu Maca akhir Februari ini, tapi apadaya love-hate relationship saya dengan buku non-fiksi memang kuat sekali yaaaa. Merasa terpacu baca karena mau tambah ilmu, tapi otak saya gak sekinclong itu untuk baca non-fiksi cepat-cepat haha. Bahkan membaca non-fiksi bisa jadi menyenangkan saja sudah progress yang lumayan buat saya, jadi yaaa, pelan-pelan. 

Terakhir buku fiksi nih. Laut Bercerita karya Leila S. Chudori. Fiksi yang cukup tenar, diskusinya dimana-mana, bahkan #SelasaBahasBuku juga rasanya sudah pernah membahas buku ini. Saya dapat salinan/Buku fisiknya bulan lalu hehe, hadiah bantu teman bikin logo untuk usahanya. Waktu cek, di Gramedia Digital juga ada ternyata. Tapi gak apa, gak pernah nolak buku fisik yang berkualitas! Haha.

--- 

Nah sekian list bacaan saya diparuh pertama Februari. Apakah akan ada paruh kedua dan ketiga atau hanya paruh kedua saja? Saya sendiri belum tahu! Hehe. Bahkan bisa membaca dan menuliskan apa yang saya baca ditengah kesibukan bekerja saat ini saja rasanya senang sekali!!!!

Memang benar ya istirahat yang cukup dan jam tidur teratur amat berpengaruh pada produktivitas dan bagaimana tubuh bekerja. Sejak mulai membenahi pola tidur di awal tahun, I never feel this good! Dan sejujurnya, gak nyangka bisa baca dan cicil baca sebanyak ini di awal Februari!

Jadi, teman-teman sedang dan sudah baca buku apa saja Februari ini? Bagikaaaan doooong, aku mau tau kalau ada rekomendasi bacaan bagus lainnya!

Ehm, this Sunday morning while having my morning tea and watching Doraemon on RCTI, I want to write about something important for us (Me & Mas Har): We're expecting a daughter in the end of April. 

I'm in the beginning of third trimester right now. Two days ago we visited a doctor and midwife, she's healthy and in a good condition alhamdulillah. Am I happy for this news? Am I excited to be a new mom?

Well, today I am, but not when I found out the news five months ago around September. Things was so weird back then, we always want to have kids, but we never thought it would be this fast (I know for some couple it's already late since we married in January earlier that year, but whatever, I just got a new job after months being a freelancer, we're in the middle of a global pandemic, pregnancy surely not a thing I imagine I would have at that time). 

My First Trimester

To make things worst, when I thought I was pregnant in September, lots of hospitals and clinics are closed due the pandemic and the so many healthy workers were infected. We tried to keep calm and come to the closest public health service near our house: Puskesmas! I have my first check up there, just to make sure that I really am pregnant. Even at that place, everything seems so gloomy and weird, only limited patients were allowed to do the check up at that Puskesmas, and the place only open for few hours. After a confirmation from a midwife, some general cautions about do's and dont's at the first trimester, a prescription of folac acid and pills to help me cope with the morning sickness and nausea, we left that place, still in a fuzzy feeling that we're going to be a parents. 

I took some times to cope with the news. The first person I told about this news was not my mom, it was Renti and Destin, my bestfriends who were just having their kids months before. I asked them what to do's and dont's and that was enough. I'm not gonna fill my head (at that time) with things I found randomly on the internet. I trust them. 

My first trimester was not easy. I was easily getting tired (which is frustrating for an active person like me), some weeks after the check up I got some spots on my underwear which is not a good sign according to books I read & of course the internet (I finally brave enough to do some readings on the internet but limit my self to not reading too much), I told Renti immediately, Renti told me to calm down and having a bed rest the whole day. "Try not to panic, if there are still spots three days in a row, visit the doctor" she said. 

I did what she said, I remember I was having spots in Wednesday night, told my boss to have a bed rest on Thursday and Friday. The spots vanished anyway, but I'm still doing the bedrest, following Renti's order. But on Friday nights, we still visited an obgyn because I do think we need a USG at least once in this trimester to make sure everything is okay, alhamdulillah everything was okay. Though the doctor still prescribe me an extra medicine to help me strengthen the pregnancy. I'm still not as excited as most of new moms to be, still worried about a lot of things but ready to face the second trimester because I heard it would be a lot easier. 

The Second Trimester

I can't remember exactly what date and month was to marks the second trimester, but my body can feel it. Suddenly I want (and have the energy) to cook again, after weeks of hiatus at my kitchen. I also feel excited to do some things for my community, I have good mood to read again, I always excited to wake up in the morning and do my job passionately. 

We begin to excited to be new parents too. We haven't discuss a lot about parenting stuff in this trimester, but Mas Har and I began to read about how to have a gentle birth books, how to deliver the baby without the panic. I join a yoga class online and told some friends-who is also a mom that I'm expecting and want to learn a lot from them. 

We even have the nick name for our baby girl; It's Rana, the short word for Derana. A word we love since the beginning we know the meaning. We read a book every evening after Magrib for her and we're delighted whenever she kick us when we read for her. 

We took Rana every month both to doctor and midwife clinic, I want to have birth on a midwife clinic because it seems more calming to me than having birth on a hospital of a general healthy clinic with random people who are sick, in a midwife clinic, people were there to have birth, which is a natural process, not because they were sick. But I'm also okay if I have to giving birth at Hospital anyway. 

The thing is; at the second trimester, I realize that I'm not really enjoyed my session with my obgyn, and I know it's important to trust my doctor, so I told Mas Har and we did not continue the session with the obgyn, the obgyn is quite popular. the clinic is famous too, but I'm just not comfortable with her approach. We found out that the midwife clinic I visited regulerly have an obgyn too, but only do the USG and check up at friday evening. 

I think "Okay, it's a good deal too, we can both discussed with the doctors and midwife at the same place and same time", but my first time experience of waiting is horrible. Turn out the docs is well-known with his friendly attitude and so many pregnant women was waiting, I came after Magrib and got my check up at 9PM, wow! Buuuuut! the way the doctor explained everything to me and Mas Har was really comforting. At that time, Rana was diognased under weight and the position is also breech? (I don't know the english word for Sungsang). The doctor told us it's totally fine and we don't have to panic, He told me to do a new routine, knee-chest position, drink lots of water and prescribe me a food supplement. The midwife taught me the right knee-chest position and told me, "Don't forget to communicate with the baby, and of course Pray to God" while teaching me. 

I, somehow feel comfortable with the doctor and the midwife and don't want to go to another doctor, I remember told the doctor "Thank you" on our last check up, and he told us "I'm the one who should be say thank you, thank you for trusting me". 

Welcoming the Third Trimester

Yeaaaay! Thanks to the smooth second semester we're more excited to have Rana. I'm in the beginning of the third trimester, I'm eager to read more about how to have birth without panicking (even though I know everything could happen when the labour begin, I'm still excited. 

Ah, we still have a lot to prepare, the things is I haven't bought any baby stuff. (anything!). Blanket, shirts, baby wraps or anything. We haven'y bought any. We decided to have bought that this range of time, maybe in March, because I'm due between the end of April and the beginning of May. (It's Ramadhaaan!). 

Didn't I scare of anything that could happen in this trimester?

Of course I am! Haha, I'm not gonna lie, Rana's is still not in a normal position, there are possibilities of her turn around my belly and have a normal and steady but I'm already prepared myself for another scenario. 

I also happen to know a friend who have a miscarriage at the third semester, so I always alarm and check Rana's kick regularly. 

Anything can happen, going into labour is also a near-death experience for some women, but it's a natural process. Both I and Mas Har is excited to meet Rana, but also know there are so things we need to notes and highlight for now. 

Right now I spend a lot of time reading some books, some were parenting books and books explain what to expect when we're expecting, but some books was fiction, non fiction, children books for Rana. 

I also try to consume good foods but still have a regular coffee once a week (I asked the doctor and midwife and it's okay!). I know so many mom to be willing to sacrifice anything for the baby, at some point, me too, but for coffee I choose to have lower the dose, from once a day to once a week shot! Haha. 

---

Yeah this weekend post is finally not about books or drawing. I decided to write it so I can read it again one day, maybe with Rana's around.

Happy weekend everyone!

 


Judul Buku: ATOMIC HABITS, Perubahan Kecil yang Memberikan Hasil Luar Biasa
Penulis: James Clear
Pertama Terbit tahun: 2018
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Harga: 108.000 (Buku Fisik Bahasa Indonesia), 203.000 (e-Book via Google Playbook, English)
Gramedia Digital: Tersedia (Bahasa Indonesia)
iPusnas: Belum Tersedia


Yeayyyy. Akhirnya selesai membaca buku ini, setelah seminggu maju mundur menyelesaikannya haha. 
Saya memang punya love-hate relationship sama buku non fiksi ya haha, ingin sekali tahu isinya, memahami maknanya tapi malas sekali bacanya, karena tentu saja tidak ada gambarnya (seperti komik/buku ilustrasi), tidak ada konfliknya (seperti novel) haha. 

Jadi setelah seminggu penuh penuh selingan baca buku-buku lainnya, malam tadi saya langsung buat resume dalam bentuk grafik diatas. Karena sekarang membaca e-books (yang gak bisa dicoret-coret hehe) jadinya sambil baca, biasanya saya buat catatan sekalian di binder notes saya, memudahkan saya menangkap apa yang saya dapat dari bukunya sih + saya senang jadi punya "oleh-oleh" tiap habis baca buku. Termasuk buku ini. Walaupun ratingnya 3 dari 5, tapi catatannya lumayan banyaaak. Alias tetap aja banyak hal yang bisa dipelajari disini. 

I just really wish there's an illustrated version of this book + saya kayanya akan lebih semangat bacanya kalau baca versi bahasa aslinya deh, versi terjemahannya ini agak lumayan njelimet, kaya baca buku kuliahan (yaaang tau sendiri lah kaya gimana), tapi e-book Bahasa Inggrisnya di Google PlayBook seharga dua bulan langganan Gramedia Digital (hiks) sementara di Gramedia Digital bukunya sudah tersedia, jadi saya baca versi terjemahannya.

Setelah baca buku ini sampai selesai, saya tahu kenapa saya mudah 'bosan' bacanya. Karena banyak hal dalam buku ini sudah pernah saya dengar atau baca sebelumnya di tempat lain, yang paling kerasa malah waktu baca bukunya saya berasa dengar Barbara Oakley di kelas Learn How to Learn di Coursera. Oh tentu isinya gak sepenuhnya sama, tapi banyak sekali yang mirip. + hints dalam buku ini, tips-tips tentang pengembangan kebiasaan yang baik pasti pernah teman-teman dengar di tempat lain: seperti: Kalau mau ubah kebiasaan, buat lingkungan yang mendukung. 
Misal ingin punya kebiasaan bangun pagi, berarti tidur gak boleh kemaleman, nah ini bisa dibantu dengan mengeluarkan TV dari kamar atau gadget harus sudah mati pukul 22.00.

FOKUS PADA LINGKARAN TERDALAM

Meskipun banyak yang pernah didengar di tempat lain, tetap banyak sekali yang bisa di pelajari di buku ini kok. Yang paling saya suka adalah teori tiga lapisan perubahan perilaku, ini mirip the goldern circle-nya Simon Sinek, tapi bagian paling dalam atau 'WHY' nya adalah 'IDENTITAS', lalu 'HOW' nya adalah 'PROSES' dan bagian paling luarnya, "WHAT" adalah "HASIL". Sama seperti yang Sinek bilang, Clear juga menyampaikan kalau kita mulai dari lingkaran terluar, kita jadi seperti gak punya kemudi dalam perubahan perilaku kita. Fokusnya jadi pada hasil, bukan the biggest reason why do we need to chance or make new habits. Nah, Kalau kita fokus pada WHY atau IDENTITAS apa yang ingin kita bentuk, ingin jadi orang seperti apa kita, itu akan lebih memperjelas langkah kita dalam merubah kebiasaan buruk atau membentuk kebiasaan baik. 

ATURAN DUA MENIT

Lalu ada juga bab tentang Aturan dua menit, apaan sih ini? 
Jadi di aturan dua menit ini, Clear bilang kalau biasanya yang paling susah dalam menjalankan kebiasaan itu karena kita udah kebayang dulu 'beratnya', nah alih-alih fokus pada hal berat ini, coba fokus ngerjain sesuatu yang bisa di kerjain di dua menit pertama untuk trigger kita nerusin kegiatannya. Misal, alih-alih fokus pada menghabiskan seluruh buku / 1 jam membaca buku, lebih baik mulai dengan membaca 1 halaman penuh. Atau kalau kamu sedang ingin membuat kebiasaan lari pagi, dari pada fokus ke 'lari' nya, lebih baik fokus ke Pakai sepatu dulu deh, kan kalau udah pakai sepatu lari mau ga mau kamu harus lari hehe. Daripada merekayasa kebiasaan yang sempurna sejak awal, lakukan versi mudahnya.

---

Masih banyak hal lain yang bisa kamu dapat dari membaca buku ini walaupun saya sendiri merasa buku ini agak terlalu overrated hehe. Tips-tips dari buku ini oke sekali untuk langsung dilakukan, saya sendiri sedang melakukan perubahan kebiasaan sejak awal tahun dan melakukan hal-hal yang disarankan di buku ini (walau taunya bukan dari buku ini), dan itu terbukti efektif. Bedanya James Clear akan jelaskan banyak hal secara ilmiah dan pakai bukti-bukti + contoh yang oke. 

Selamat bacaaa semuanya!


 


"Aku lama hidup di Kota, Kota tak menentramkan hati, itulah sebabnya aku ke kampung ini. Disini aku tentram dan bahagia, Kota memang punya banyak kemewahan, tapi kemewahan bukan tujuan hidup. Tujuan hidup adalah kedamaian hati, tidak berbuat dosa tapi banyak membuat pahala". 

--

Membaca Kemarau, karya A.A. Navis di tengah pekan ini membantu mengalihkan saya dari distraksi berita-berita tak mengenakkan selama seminggu penuh, kabar duka dari kerabat dekat, seorang sahabat yang juga ditinggal pergi Ibunda untuk selama-lamanya, Ibu dari anak murid suami yang juga berpulang karena covid-19, orang tua Sabahat yang belum kunjung negatif covid, serta sahabat dekat kami yang baru dikabarkan puskes kalau ia positif covid. Semua berita dalam satu pekan saja, beberapa membuat saya menangis tak henti-henti. Sisanya cukup bikin kepala cenat-cenut. 

Buku ini bercerita tentang kehidupan Sutan Duano di sebuah kampung di tanah Minang. Bahkan tak diberi tahu latar lokasi wilayahnya pun, kita akan bisa dengan mudah mengetahui kalau Novel ini mengambil setting di Sumatera Barat karena gaya bercerita A.A. Navis yang "amat Minang" buat saya. 

Diawali dengan kilas cepat bagaimana Sutan Duano datang ke kampung dan tinggal menetap, bekerja keras di kampung ini hingga menjadi bagian dari mereka, saking kerasnya bekerja tak henti, ia bisa dibilang cukup 'sukses' bahkan lebih sukses dari warga kampung asli, tapi suksesnya tak menimbulkan dengki, pasalnya Sutan Duano tak enggan membantu warga, memberi pinjaman yang fair, tak pernah mengambil bunga, bahkan menghapuskan sistem ijon yang jadi praktek umum sebelumnya. 

Konflik berawal ketika kemarau datang. Sebuah musim yang tak bisa dihindari di Negara Tropis, Hujan berbulan-bulan, kemarau berbulan-bulan pula. Naasnya kemarau kali ini nampaknya akan tinggal lebih lama, Sutan Duano mengajak warga bergotong royong mengangkut air dari danau. Bersama-sama mengairi sawah dengan usaha mereka alih alih menunggu hujan yang tak mungkin datang di musim kemarau, ide ini tak pernah dilakukan sebelumnya. Karenanya ia dianggap gila dan masalah tak kunjung berhenti sejak saat itu. 

---

Buku ini pertama kali terbit tahun 1967, sudah lama sekali sejak saya terakhir kali membaca karya sastra Indonesia tahun 60-70an, membaca buku ini rasanya bring back so many memories haha karena waktu SMP, perpustakaan sekolah saya isinya buku-buku Balai Pustaka yang kurang lebih seperti buku Kemarau pembawaannya. Tapi ini buku A.A. Navis pertama yang saya baca hehe, saya bahkan belum baca karya fenomenalnya Rubuhnya Surau Kami. 

A.A. Navis nampaknya gereget sekali dengan kondisi sosial masyarakat kala itu. Banyak sekali kritik sosial yang bisa kita temukan di buku ini, mulai dari kebiasaan orang Minang yang merantau tapi meninggalkan anak istri tanpa mengirimkan nafkah bulanan, hanya datang setahun sekali membawa baju bagus lalu pergi lagi, sekalipun ada yang sukses, malah cari istri baru di tanah rantau. 

Selain kondisi sosial, banyak juga kritik tentang praktek beragama yang dianggap penulis (lewat Sutan Duano) sebagai 'praktek' yang salah kaprah. Membaca Quran tanpa belajar tafsir, diibaratkan Sutan Duano bak membaca koran Inggris yang tak kita pahami isinya, atau kebiasaan membuat selamatan atau syukuran atau doa meninggal, tapi malah menambah beban tuan rumah karena harus berhutang. Belum lagi kritik pada 'penokohan', dimana Sutan Duano sendiri ingin warga tak mengikutinya karena dia Suatn Duano, tapi mengikuti prinsip dan nilai agama, siapapun yang sampaikan itu. 

Apakah Sutan Duano sesempurna itu?

Hmmmmm, disini serunya, walau tak diungkap di awal, di akhir lama-lama terungkap kehidupan Sutan Duano yang jauh dari sempurna, dan kekcauan hidup Sutan Duano berawal dari respon terhadap kematian cinta sehidup sematinya, istrinya. 

Secara keseluruhan saya suka sekali membaca buku ini, walau kurang sreg dengan endingnya (hehe). Bukunya tipis, 162 halaman saja. Saya selesai membaca buku ini dalam dua hari. Sepertinya berlangganan Gramedia Digital memang keputusan yang tepat yaaa haha. Belakangan saya jadi makin rajin baca buku karena buku-buku ini ada dalam genggaman. 


29 Januari 2021

Asri 

 


Kita gampang sekali terpengaruh oleh Media Sosial bukan?

Kurang lebih salah satu bagian dibuku ini bilang begitu, dan tebak, saya baca buku ini karena apa? Ya Karena terpengaruh lihat di medsos juga (hehe). Tentu saya terpengaruh oleh Media Sosial bisa jadi baik dan bisa jadi buruk. Untuk urusan membaca buku, saya mau masukkan hal tersebut sebagai pengaruh baik, makanya saya banyak sekali mengikuti akun pembaca atau bookstagramer di Medsos, agar saya juga ikut terpacu menyelesaikan daftar bacaan saya dibanding melanjutkan scrolling di Instagram.

Buku ini adalah buku kompilasi refleksi tentang kegagalan dari beberapa sosok, beberapa mungkin kita kenal karena sering wara-wiri di TV, Instagram atau timeline twitter kita, beberapa baru saya dengar kali ini namanya. Sebetulnya Greatmind mengeluarkan dua buku yang sepaket (kayanya ya, soalnya covernya senada), satu Failure ini refleksi tentang kegagalan, satu lagi Grateful, catatan tentang rasa bersyukur. Tapi saya pilih baca yang ini dulu karena rasanya sedang lebih dibutuhkan. 

Refleksi tentang kegagalan dari tokoh-tokoh di buku ini bisa jadi sangat relate dengan kisah kita, bisa jadi sangat jauh. Merasa gagal tentang pernikahan misalnya, mungkin rasanya gak masuk sama teman-teman yang belum menikah, tapi saya rasa tetap layak dibaca. Kunyah yang bisa dikunyah, sisanya bisa dibaca lagi dikemudian hari ketika kita memang sedang butuh untuk baca lagi. 

Ada beberapa catatan dari buku ini yang saya suka, salah satunya catatan dr. Jiemi Ardian tentang "MUSTERBATION", terminologi dalam teori kognitif yang diwakili dengan kata "seharusnya", "pokoknya", yang memberi beban pada diri kita untuk membuat semua jadi harus sempurna. Kombinasi antara ambisius dan perfectionist yang mengharuskan kita sukses, bisa jadi membuat kita kontraproduktif, alih-alih kita malah membuat 'Tyranny of the should'. 

Aristoteles pernah bilang, Bahagia mensyaratkan adanya pertumbuhan, bukan datang dari kesempurnaan. Kegagalan bisa jadi bagian dari pertumbuhan.

Selain catatan dr. Jiemi, ada juga catatan Shevani Thalia tentang Resilience, sebuah kata yang terus berdengung belakangan terutama untuk saya yang masih sering baca-baca buku parenting, goals pengasuhan orang tua di abad 21 salah satunya adalah mendidik anak dengan bekal resiliensi yang tinggi. Mereka yang punya resiliensi tinggi, paham bahwa tidak semua hal bisa dikendalikan, menjadi lebih bisa berlapang dada dan menerima kegagalan sebagai sebuah proses. 

Editorial Greatmind juga menambahkan tentang peran Media Sosial dalam membentuk pola berpikir kita tentang kegagalan. Kita disuguhkan dengan beragam hal-hal mentereng dan achievement, a looooot of other's achievement di Media Sosial, saking banyaknya sampai kita takut gagal karena semua orang terlihat berhasil, padahal untuk satu keberhasilan yang dibagikan di media sosial, mungkin ada puluhan kegagalan yang telah dilewati, hal ini yang membuat orang takut gagal, karena rasa malu ketika gagal tadi. 

Kalau ditanya apakah saya jadi ikut merefleksikan kegagalan-kegagalan saya selama ini setelah membaca buku ini? Hmmmm, rasanya beberapa tahun terakhir saya memang belajar berdamai dengan kegagalan, saya belajar untuk tidak menyesali pilihan-pilihan yang saya ambil walaupun itu berakhir membuat saya terlihat seperti 'orang gagal'. Saya percaya pada akhirnya kegagalan-kegagalan ini adalah proses yang membuat saya seperti sekarang. Bukaaaan, bukaaan saya yang sukses banyak uang, bisa traveling keliling dunia atau kuliah di luar negeri hahaaa (amiiin semoga bisa juga yaa), tapi saya yang bisa melepaskan hal-hal yang memang tidak bisa saya kendalikan. Saya yang walau masih sering marah-marah tapi bisa ambil jeda dan napas sejenak lalu coba untuk meluruskan pikiran. Saya rasa ini mahal harganya. Belum tentu bisa dibeli dengan kelas paling mahal sekalipun karena arena latihannya adalah kehidupan nyata. Dan untuk itu saya amat sangat bersyukur. 

Buku Failure bisa dibeli di Gramedia dan tersedia juga di Gramedia Digital. 

Selamat membaca semuanya!

 


Buku pertama di 2021? Hmmm tepatnya buku non-fiksi pertama hehe. Karena hampir tiap hari baca satu atau dua judul Buku Anak berbeda-beda sebetulnya. Sebetulnya banyak judul buku fiksi yang belum dibaca di rumah. Awal tahun ini dapat hadiah buku Laut Bercerita dan Orang-Orang Oetimoe yang belum saya baca, tapi tapiii lagi belum mood baca buku fiksi (huff tumben). Jadilah saya baca buku ini terlebih dahulu. 

Buku ini di tulis oleh Fellexandro Ruby, saya kenal (sok deket banget haha), tepatnya tahu beliau dari Instagram dan Podcast 30 days of Lunch. Gak terlalu tebal dan gak terlalu tipis, buku ini berisi tentang pencarian dalam hidup. Daaaan cocok dibaca untuk angkatan saya yang sekarang sedang berada di usia 20an. 

Berisi lima bab, tapi bisa dibaca acak gak harus berurut dari awal. Favorit saya Bab 1, isinya tentang bangaimana kita mengenali diri kita sendiri. By "mengenali", ini gak cuma dari satu sisi aja, Mas Ruby ajakin kita untuk coba lihat kepribadian kita, mengenali energi dan waktu terbaik kita, mengenali banyaaaak hal yang asyiknya sekalian nyoba lihat sambil coret-coret di jurnal. Bab 1 ini nantinya akan penting untuk menjawab "saya sebetulnya siapa?", "Saya mau jadi apa?". "Apa sih yang kita cari?", karena sebelum jawab ini semua, penting buat kita untuk mengenali diri sendiri terlebih dahulu. 

Bab 2 isinya tentang IKIGAI, saya pribadi suka bagaimana Mas Ruby menjelaskan miskonsepsi IKIGAI di masyarakat sekarang, apa artinya IKIGAI buat orang-orang di Jepang sana (negara asal folosofi ini) sampai diagram purpose yang sekarang dijadikan diagram IKIGAI. Sebagai orang yang udah pernah ikut 2x sesi IKIGAI di webinar (haha), saya sendiri merasa saya belum benar-benar menemukan ikigai saya apa, (lagian gak harus ketemu sekarang juga As, haha), tapi baca-baca ini lumayan ngerefresh banyak hal tentang purpose hidup, dan bagaimana IKIGAI ini sebenernya proses penemuan terus menerus, gak bisa sekali duduk kamu bisa menemukan IKIGAI kamu. 

Bab selanjutnya beragam isinya mulai dari mendisain hidup (diberagam rentang usia), building your networth (based on your skill, healthy, money and another stuffs i never thought could be a networth), sampai bab terakhir tentang Prinsip hidup-- yaaang kalau kata Mas Ruby penting dipertanyakan di bagian prinsip hidup, "Kita tuh learner enough gak sih?". 

Overall, saya suka sekali baca buku ini karena sebetulnya bahasannya lumayan berat, ada tentang Pola Pemetaan Skill (I Shape, T Shape, M Shape), sampai Personal Branding!, tapi dibawakan dengan ringan, jadi bacanya juga gak ngap-ngapan, Lalu hal lain yang saya suka, sebetulnya kita bisa aja menemukan bacaan-bacaan ini di highlights Instagram atau Thread-thread hits tentang self improvement di Twitter, but, Mas Ruby somehow helps us to connect the dots. Kita diajak lihat kalau semua ini bisa banget sambung menyambung menjadi satu membantu pencarian diri kita, gak sekedar bacaan yang lewat doang di timeline.

Yang menarik lagi, Ilustrasinyaaaa dong hehe. Simple tapi bermakna.

Ada banyak quotes-quotes bagus dari buku ini aaaahhhhh, ada yang memang requotes, ada yang beneran dari buku ini. Satu yang saya suka:

Every different level of you, requires different kind of you

Haha, relate banget sama apa yang dihadapi belakangan ini, sedang dihadapkan masalah yang sama dengan kejadian 4 tahun lalu, dan akhirnya saya memutuskan untuk, ok As, masa mau pakai cara 4 tahun lalu avoiding all problems hehe.

Cocok niiih untuk bacaan awal tahun. Silakan dibaca teman-teman semua!



Memasuki akhir Januari, saya semakin semangat menjalani hari-hari belakangan ini, alasannya: karena jam tidur dan jam bangun tidur saya yang berubah perlahan. Sebelumnya saya cukup ignorant dengan jadwal tidur dan bangun tidur saya, tidur selalu lewat jam 12 malam, bangun juga yang penting sebelum masuk kerja, tidak pernah benar-benar set waktu tertentu untuk bangun. 

Sejak awal tahun, saya berkomitmen untuk merubah gaya hidup yang acak-acakan ini. Dengan harapan waktu istirahat saya cukup dan lebih produktif di pagi dan siang hari. Sekarang ini saya mulai rutin tidur sebelum jam 10 atau jam 11 dan selalu bangun jam 6 pagi. Walaupun masih ada hari tertentu yang melewati waktu tidur, tapi waktu bangun saya sekarang selalu konsisten bahkan maju jam setengah enam. Kalau teman-teman yang membaca adalah teman-teman muslim, saya akan jujur saja mengakui kalau saya ya sholat subuhnya sebangunnya, sekarang ini belum mau drastis merubah bangun ketika adzan tapi tidur lagi (biasanya malah pusing dan bangung kesiangan). Jadi kalau bangun setengah enam, bangun langsung sholat, bangun jam enam ya langsung sholat. Semoga kedepannya bisa konsisten ke waktu tidur jam 10 dan bangun jam 5, perlahan taapii. Hehe.

Selain ingin punya waktu istirahat yang cukup dan jadi lebih produktif, saya juga ingin kualitas hidup saya lebih baik di tahun ini, jika dilancarkan, saya dan Mas Har akan memulai peran baru sebagai orang tua pertengahan tahun ini, membenahi kebiasaan-kebiasaan hidup termasuk waktu tidur sejujurnya adalah salah satu komitmen saya agar bisa jadi teladan yang baik untuk anak kami kedepannya. (doakan semuanya lancar ya). 

Nah, karena sekarang bangun cukup pagi, saya punya waktu lowong yang lumayan di pagi hari, karenanya saya memilih menulis jurnal di pagi hari, seminggu ini setiap hari menulis dan rasanya waaah, menenangkan dan menyenangkan sekali di banding menulis di malam hari. Jam enam bangun menyalakan TV untuk menonton berita pagi (kebiasaan almarhum Bapak yang masih saya teruskan sampai hari ini, padahal kadang beritanya tidak ditonton), membuka jendela, menghirup udara Cimahi pagi sambil minum teh hangat, rasanya sulit digambarkan dengan kata-kata sih, betul-betul membuat saya lebih tenang. Karenanya saya barengi sambil menulis jurnal, mencatat apa yang harus dikerjakan sehari kedepan, menuliskan perasaan ketika bangun pagi, bercerita tentang apa yang terjadi dihari sebelumnya. Hmmmm, damai. Dan bahkan ketika menuliskan jurnal di pagi hari, saya masih sempat masak dan menyelesaikan semuanya sebelum jam delapan. Jam delapan jam saya mulai kerja, jadi alarm sendiri agar semua pekerjaan rumah saya selesaikan dan fokus bekerja. 

Saking senangnya dengan penemuan ala-ala ini (hahaa! sejak kapan menulis jurnal jadi sebuah penemuan), saya baca-baca artikel-artikel tentang jurnaling di pagi hari. Pada kenyataannya, nulis jurnal gak ada jam 'pasti'nya sih kapan yang paling benar secara ilmiah, ada yang memang cocok nulis pagi dan ada yang cocok nulis malam and that's totally okay, kalau kamu nyaman pagi silakan menulis di pagi hari, pun jika nyaman menulis di malam hari, silakan diteruskan. 

Buat saya sendiri, menulis di pagi hari sangat membantu saya merapikan pikiran-pikiran, setelah bekerja seharian di hari sebelumnya, ada kalanya kita kepikiran beberapa hal, kebawa sampai tidur, bangun tidur masih juga kepikiran. (ha!) Nah, menuliskan jurnal di pagi hari bantu kita untuk merapikan pikiran-pikiran ini. Saya punya satu kolom early check in di jurnal saya untuk menuliskan apa yang saya rasakan pagi itu, beberapa hal yang bisa saya kontrol, seperti urusan pekerjaan, biasanya saya breakdown jadi strategi dan to-do list. Supaya gak mumet-mumet dan bisa langsung dikerjakan.

Keuntungan lainnya tentang menulis jurnal di pagi hari bisa kamu cek disini ya: https://www.masterclass.com/articles/tips-for-writing-morning-journal-pages#what-are-morning-pages

Teman-teman masih ada yang menulis jurnal harian kah? 
Kalian tim nulis pagi atau tim nulis malam nih?

Perjalanan masak-masak di rumah kami, bisa dibilang seperti perjalanan beragama, ada fase naaaaiiiiik, ada fase turuuuuun drastis, ada fase semangat-semangat-semangat cek-cek cookpad kaya denger ceramah ramadhan, ada fase ya udah deh beli aja. 

Alhamdulillah, setahun menikah, kami sama-sama tidak punya tekanan untuk menyiapkan makanan sendiri (baca: masak) setiap hari. Mas Har gak pernah maksa saya masak, saya gak pernah maksa Mas Har masak, dan belum ada desakan-desakan eksternal seperti keharusan ngirit-ngirit banget yang kalau gak masak pengeluarannya jebol atau keharusan masak sendiri karena makan harus super-duper sehat misalnya. 

Terkait hubungan antara masak dan irit, sebenarnya gampang banget ditepis sih kalau hanya hidup berdua haha, ya gimana ya, walau gak masak bukan berarti kami take-away Ta-Wan atau makanan dari Dapur Kraton hahaa, gak masak ya berarti tetap masak nasi, terus beli lauk di warteg atau warung nasi. Paket komplit kaya masak aja: menu protein, menu sayur + tambahan pelengkap lainnya. Harganya, kadaaaang jauh lebih murah daripada masak, kadang sama, tapi jarang lebih mahal. Mahal kalau seharian kami sama-sama sibuk sampai masak nasi pun bikin rusuh ajaa, baru take-away nasi+lauk, yang pasti lebih mahal dari biasanya, makanya kalau udah take-away + nasi ini, kami sekalian cheat jajan yang enak karena sekalian mahal. 

Kesadaran yang sama tentang masak bukan jadi "kewajiban" di rumah, malah bikin saya jauh lebih seloooow dan menikmati perjalanan masak-masak. Saya jadi suka sekali masak untuk makan saya dan Mas Har, rasanya senang bisa bangun lebih awal, belanja lima menit buat masak hari itu, masak-masak semuanya sendiri di dapur sambil dengar lagu atau dengar podcast gak diganggu siapapun kecuali kucing gang yang kadang suka nerobos masuk rumah. 

Masakan saya juga berkembang setahun belakangan, dari yang awalnya cuma bisa tumis-tumis, sekarang mulai berani eksperimen yang aneh-aneh dari ayam woku, ikan bakar sampai pernah sekali waktu bikin olahan jantung pisang + kelapa kesukaan Mas Har. 

Kalau dihitung-hitung, sehari-hari cost untuk siapin makanan di rumah (sarapan + makan siang + makan malam) dengan menu nasi + protein hewani (ayam/ikan) ~~saya baru sekali doang ngolah daging + protein nabati (tempe/tahu) + sayur-sayur + buah itu bisa berkisar dari 30.000 - 70.000 tergantung apa yang diolah. Sama kaya beli 3 lauk di warteg kan heheee. Tapi memang sekarang mengalami betul betapa menyenangkan dan serunya masak-masak di dapur. 

Satu hal yang masih bikin saya sering malas masak adalah: Kami belum punya sink/wastafel di rumah kontrakan kami. Sebetulnya mau banget bikin dari awal ngontrak; tapi maju mundur karena ini masih rumah kontrakan, mau beli yang portable udah susah cari tempat dan ngakalin saluran-saluran airnya, mau bikin kitchen set, Yakaaaleeee ini bukan rumah kami. Sampai sekarang, tempat cuci piring masih nebeng di kamar mandi, dan saya ogaaah banget cuci piring di kamar mandi, selain karena harus duduk jongkok, juga karena prosesnya lebih panjang dari pada nyuci di sink, habis cuci piring, harus bersihin kamar mandinya juga. Akhirnya tugas cuci piring, jatuh ke Mas Har, saya bantu sesekali doang kalau lagi pengen. Tapi itu jadi kewajiban Mas Har, saya masak, Mas Har cuci piring hehee. 

Aaaah, minggu ini pencapaian bisa masak Senin-Selasa-Rabu-Kamis, siap sebelum jam delapan pagi, biar jam delapan bisa langsung kerja. Mau share foto-foto kehebohan di dapur biar resmi sudaaah jadi Ibu Rumah Tangga (yang suka pamer dedapuran hahaaaa, gapapa yaaa). 

 





Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

POPULAR POSTS

  • [Review Asri] Atomic Habits - James Clear
  • Review Asri: Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom
  • [Review Asri] Kemarau - A.A. Navis
  • Review Asri - Tempat Terbaik di Dunia karya Roanne Van Voorst
  • Review Asri: As Long As The Lemon Trees Grow karya Zoulfa Katouh
  • Review Buku Angsa dan Kelelawar karya Keigo Higashino
  • Sabtu yang Menyenangkan dan kenapa saya suka membeli bunga
  • Review Asri: Manabeshima Island Japan karya Florent Chavouet
  • Main ke Toko Buku Pelagia Bandung
  • Review Asri - the house of my mother karya Shari Franke

Arsip Blog

  • ▼  2025 (16)
    • ▼  Mei 2025 (3)
      • Review Asri: Pengantin-pengantin Loki Tua karya Yu...
      • Review Asri: Minimarket yang Merepotkan karya Kim ...
      • Tiap Anak Berbeda, Termasuk Proses Melahirkannya; ...
    • ►  April 2025 (2)
    • ►  Maret 2025 (2)
    • ►  Februari 2025 (3)
    • ►  Januari 2025 (6)
  • ►  2024 (8)
    • ►  November 2024 (1)
    • ►  Agustus 2024 (1)
    • ►  Juni 2024 (1)
    • ►  Mei 2024 (2)
    • ►  April 2024 (3)
  • ►  2023 (17)
    • ►  November 2023 (1)
    • ►  September 2023 (1)
    • ►  Juli 2023 (4)
    • ►  Juni 2023 (4)
    • ►  Maret 2023 (2)
    • ►  Februari 2023 (2)
    • ►  Januari 2023 (3)
  • ►  2022 (52)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  September 2022 (12)
    • ►  Agustus 2022 (2)
    • ►  Juli 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (4)
    • ►  Mei 2022 (9)
    • ►  April 2022 (7)
    • ►  Maret 2022 (5)
    • ►  Februari 2022 (6)
    • ►  Januari 2022 (3)
  • ►  2021 (35)
    • ►  Desember 2021 (5)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (4)
    • ►  Agustus 2021 (3)
    • ►  Juli 2021 (2)
    • ►  Juni 2021 (1)
    • ►  Mei 2021 (3)
    • ►  April 2021 (1)
    • ►  Maret 2021 (2)
    • ►  Februari 2021 (6)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (13)
    • ►  Desember 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (4)
    • ►  Juni 2020 (3)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (1)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (14)
    • ►  November 2019 (1)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (2)
    • ►  Juli 2019 (2)
    • ►  Maret 2019 (3)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (2)
  • ►  2018 (15)
    • ►  Desember 2018 (4)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Juli 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (3)
    • ►  Maret 2018 (3)
    • ►  Januari 2018 (2)
  • ►  2017 (20)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  Oktober 2017 (3)
    • ►  September 2017 (2)
    • ►  Agustus 2017 (4)
    • ►  Juli 2017 (4)
    • ►  Mei 2017 (3)
    • ►  Januari 2017 (2)
  • ►  2016 (65)
    • ►  Desember 2016 (2)
    • ►  September 2016 (2)
    • ►  Agustus 2016 (3)
    • ►  Juli 2016 (17)
    • ►  Juni 2016 (7)
    • ►  Mei 2016 (7)
    • ►  April 2016 (25)
    • ►  Februari 2016 (1)
    • ►  Januari 2016 (1)
  • ►  2015 (29)
    • ►  Desember 2015 (3)
    • ►  September 2015 (2)
    • ►  Agustus 2015 (13)
    • ►  Juli 2015 (4)
    • ►  Juni 2015 (1)
    • ►  Maret 2015 (2)
    • ►  Februari 2015 (1)
    • ►  Januari 2015 (3)
  • ►  2014 (29)
    • ►  Desember 2014 (8)
    • ►  November 2014 (6)
    • ►  Oktober 2014 (2)
    • ►  September 2014 (2)
    • ►  Juni 2014 (3)
    • ►  Mei 2014 (2)
    • ►  Februari 2014 (6)
  • ►  2013 (66)
    • ►  Desember 2013 (1)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  Oktober 2013 (7)
    • ►  September 2013 (7)
    • ►  Agustus 2013 (15)
    • ►  Juli 2013 (4)
    • ►  Juni 2013 (8)
    • ►  Mei 2013 (2)
    • ►  April 2013 (5)
    • ►  Februari 2013 (3)
    • ►  Januari 2013 (9)
  • ►  2012 (6)
    • ►  November 2012 (4)
    • ►  Oktober 2012 (2)
  • ►  2011 (8)
    • ►  Oktober 2011 (4)
    • ►  September 2011 (1)
    • ►  Maret 2011 (3)

Goodreads

Asri's books

Kejutan Kungkang
it was amazing
Kejutan Kungkang
by Andina Subarja
The Fine Print
liked it
The Fine Print
by Lauren Asher
Under One Roof
liked it
Under One Roof
by Ali Hazelwood
Lessons from Surah Yusuf
it was amazing
Lessons from Surah Yusuf
by Abu Ammaar Yasir Qadhi
Setelah membaca ini sampai selesai malam ini. Jadi paham kenapa Allah bilang kalau Kisah Yusuf ini salah satu kisah terbaik dalam Quran. Ada terlalu banyak pelajaran berharga dari kisah Yusuf. Dr. Yasir Qadhi mengawali buku ini dg sebab...
No Exit
liked it
No Exit
by Taylor Adams

goodreads.com

Blog Perempuan

Blog Perempuan

Cari Blog Ini

Kamu pengunjung ke

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © Journal Asri. Designed by OddThemes