Journal Asri

Setelah sekian lama ada di wishlish saya, akhir pekan lalu akhirnya saya memboyong buku ini ke rumah. Jumat kemarin saya mampir ke Periplus, dan sedang ada diskon lumayan besar untuk beberapa buku pilihan. Salah satunya buku ini; Manabeshima Island Japan, One Island, twi months, one minicar, sixty crabs, eighty bites and fifty shots of shochu karya Florent Chavouet. Dari harga aslinya yang bikin saya urung beli kala itu, 318.000, saya jadi bayar sekitar 110.000 saja di Periplus Bandung. 

Jadi buku ini isinya tentang apa?

Buku ini berisi pengalaman penulis di sebuah pulau bernama Manabe. Ia sebelumnya telah berkeliling Jepang namun lebih banyak di daerah perkotaan; salah satunya Tokyo, penulis juga membuat Graphic Travels berjudul Tokyo on Foot yang berisi pengalamannya di Tokyo. Ia merasa perlu menjelajahi daerah Jepang lainnya yang justru lebih besar dari pada daerah kota-nya, karena Jepang merupakan negara kepulauan. Ia akhirnya memilih pulau kecil berpenghuni yang tetap aksesible, dan tidak terlalu crowded dengan aktivitas tourism. Dipilihlah Manabeshima. 

Ada banyak alasan kenapa saya dangat suka buku ini, diantaranya adalah:

1. Ilustrasi yang sangat detail dan indah. Chavouet jelas punya bakat luar biasa dalam mengilustrasikan keseharian yang ia alami di Manabe :'). It's so beautiful

2. Observasi yang jujur dan teliti. Selain lewat gambar, Chavouet juga menuliskan kesan dan pengalamannya. Tulisan ini jujur bikin penasaran dan ditulis dengan gaya observasi tanpa ditambah bumbu 'perasaan' yang ia rasakan sepanjang perjalanan. Tanpa banyak 'refleksi' namun ini justru jadi hal yang menarik dan authentic. Saya merasa seperti sedang benar-benar ada di pulau tersebut. Walaupun Chevouet tidak menuliskan ia sedih di akhir buku, jadinya saya yang sedih berpisah dengan orang-orang yang ditulis dan digambar di buku ini. 

3. Peta! yap, peta. Chavouet suka sekali menggambar peta. Ia membuat peta perjalanan di laut, peta desa, peta Manabe yang juga jadi bonus poster super besar yang ada di bagian akhir buku. Petanya juga dibuat dengan gaya ilustrasi yang Chavouet banget! 

4. Buku ini berhasil membuat saya jadi kembali membuka sketchbook dan alat gambar saya untuk mulai menggambar hal-hal sederhana yang saya lihat :')

Saya lampirkan beberapa halaman dari buku ini yang sangat memanjakan mata ya! Buku ini jelas salah satu buku yang akan jadi buku favorit saya, dan membuat saya ingin membaca (dan membeli) Graphic Travel Memoars atau Illustrated Journey lainnya :') Harga buku genre ini pasti mahal dan sebetulnya sebanding dengan gambar yang akhirnya jadi miliki kita di rumah. Jadi sepertinya harus rajin menabung agar bisa membeli buku-buku genre ini. 











Menjalani akhir pekan yang normal setelah sebulan penuh akhir pekan diisi dengan bekerja-bekerja-bekerja, rasanya menyenangkan sekali!

Bulan Mei kemarin, hampir tiap akhir pekan saya berada di Bogor untuk bekerja, biasanya Sabtu malam baru bisa pulang ke Cimahi, Minggu kelelahan baru bisa bangun siang, Senin sudah kembali bekerja, teruus begitu, ada satu pekan yang bahkan Sabtu Minggu diterabas terus bekerja, Senin judah harus kembali standby, sudah bilang izin setengah hari pun, tetap tidak bisa benar-benar 'izin' dari kerusuhan pekerjaan haha! Kalau dituliskan rasanya memang melelahkan sekali, tapi alhamdulillah terlewati dan dilewati bersama teman-teman kerja yang menyenangkan. Sehingga walaupun lelah dan bawaannya ingin mengeluh, tetap bisa terlewati. 

Hari ini Saya, Mas Har dan Rana akhirnya bisa menikmati akhir pekan normal kami seperti waktu-waktu sebelumnya. Sarapan garang asem, dilanjutkan pergi Taman Hutan Kota Babakan Siliwangi, tempat favorit Rana se-Bandung Raya hehe, beneran super duper happy tiap diajak ke Baksil. Mampir ke Salman untuk Sholat Dzuhur dan cari makanan sekitar ITB, lalu lanjut ke Gramedia Merdeka untuk menjemput Conan 102, ditutup mampir ke Baltos untuk belanja beberapa keperluan. 

Seharian ini juga saya membaca buku yang baru datang Jumat malam kemarin, buku preloved yang saya beli random karena murah :') tapi isinya gak bisa bikin berhenti baca.


Sjahrir; Peran Besar Bung Kecil. Buku setebal 258 halaman ini mampu menghipnotis saya sampai bisa mengacuhkan pesan-pesan di WhatsApp, absen buka medsos sampai terus baca sepanjang perjalanan Cimahi - Bandung - Cimahi. Sekarang belum habis sih :) masih setengahnya, entah akan dilanjutkan malam ini atau akan diselingin membaca Conan dulu, tapi cerita Sjahrir seru sekali :') 

Tiap-tiap baca buku sejarah atau tokoh yang namanya sering saya dengar di buku sejarah dulu tuh, saya sering ngucap: where have I've been siih, kok baru tahu kisah-kisah ini sekarang. Gara-gara baca buku ini juga saya jadi kepikiran mau mulai mengoleksi seri buku saku Tempo lainnya. Tidak banyak buku sejarah yang ditulis dengan gaya bahasa yang mengalir dan membuat pembacanya penasaran terus-menerus, tapi tim penulis Tempo bisa sekali menyajikan ini di buku Sjahrir. 

Sejak membaca Mirah dari Banda, saya penasaran ingin membaca kisah Hatta dan Sjahrir yang sempat diasingkan di Banda Neira, menarik sekali di buku ini dijelaskan bagaimana Sjahrir menjalani hari-hari di sebuah tempat pengasingan yang menurutnya adalah Surga :').

Lebih lanjut tentang buku ini nanti akan saya tulis di postingan terpisah ya setelah membaca hingga selesai! Selamat berakhir pekan! Semoga akhir pekanmu menyenangkan!

Akhir Pekan yang Normal dan menyenangkan yang sudah lama saya rindukan:

Rana di Baksil

Melamun di pelataran Salman

Menjemput Conan

Belanja di Baltos
Setelah sekian lama! Akhirnya menulis reviu di blog lagi hehe :') 

Buku yang baru saja selesai saya baca kali ini adalah Angsa dan Kelelawar, buku terbaru Keigo sensei yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Buku ini merupakan buku ke-7 Keigo yang saya baca. Judul aslinya 白鳥とコウモリ atau Hakucho to Komori. Edisi Bahasa Indonesia buku ini kembali diterbitkan oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama dan diterjemahkan oleh Eri Pramestiningtyas. 

Buku setebal 560 halaman ini berhasil saya baca dalam waktu satu minggu, cukup lama dibandingkan buku-buku Keigo Higashino lain yang saya baca (saya masih ingat membaca salah satu bukunya hanya dalam waktu 2 hari 1 malam saja saking serunya). Apakah ini berarti bukunya kurang seru dibanding yang lain? Hmmm mari kita ulas. 

Blurb:

Buku ini diawali dengan temuan mayat seorang pengacara di Tokyo yang teridentifikasi bernama Shiraishi Kensuke. Kita akan melihat Godai dan Nakamachi, detektif yang bertugas menyelesaikan kasus ini bertemu dengan orang-orang yang terakhir bertemu korban dan dekat dengan korban, seperti sedang ikut menyelidiki kasus dari awal, hingga akhirnya bertemu dengan Kuraki Tatsuro, seorang pria tua yang tinggal sendirian di Perfektur Aichi, jauh dari Tokyo yang dengan mudahnya mengakui kejahatannya membunuh Shiraishi.

Pihak kepolisian, jaksa, pengacara dan pihak-pihak yang terlibat dalam kasus ini merasa tidak ada lagi yang perlu diselidiki karena kesaksian korban bisa menjadi bukti dalam persidangan, namun berbeda halnya dengan Shiraishi Mirei, anak perempuan Kensuke dan Kuraki Kazuma, anak laki-laki Tatsuro yang tinggal di Tokyo. Keduanya merasakan adanya keanehan dalam kasus ini. 

Mirei merasa motif pembunuhan yang diutarakan Tatsuro, tidak cocok dengan kepribadian Ayahnya. Sementara Kazuma merasa ayahnya tidak akan mungkin melakukan pembunuhan apapun alasannya. Berangkan tadi keanehan ini dan rasa penasaran untuk mengetahui kebenaran dibalik kasus ini, Mirei dan Kazuma melakukan penyelidikan sendiri-sendiri, hingga akhirnya di satu titik, mereka bertemu dan bekerja sama untuk menyelesaikan kasus ini.

Tidak masuk list buku Keigo favorit saya

Sejujurnya, dibandingkan buku Keigo lainnya, saya tak begitu dibuat penasaran dengan ending dan pelaku sesungguhnya dalam kasus kali ini. Walaupun tidak bisa secara detail menebak siapa pelakunya, namun saya bisa membayangkan alasan-alasan dan motif pelaku serta gambaran besar kasus yang pada akhirnya benar terbukti ketika membaca sampai akhir. 

Tetap menjadi bacaan yang menarik, namun bukan buku terbaik Keigo (setidaknya buat saya). Dan saya jelas tidak akan merekomendasikan buku ini untuk pembaca yang belum pernah membaca buku keigo sebelumnya. Saya akan lebih merekomendasikan buku-buku Detective Kaga atau Detective Galileo hehe. 

Rasanya buku ini terlalu tebal untuk kisah Tatsuro dan Shiraishi :') tapi tentu ini sangat subjektif yaaaa, cukup lama buat saya untuk menemukan titik ngebut baca karena penasaran bangeeet. Biasanya langsung ketemu di awal-awal, namun untuk buku ini, saya harus membaca hingga tengah buku, tepat disaat Mirei bertemu dengan Kazuma baru akhirnya baca dengan kecepatan penuh.  

Hal Menarik yang membuat buku ini bisa tetap jadi pertimbangan kamu untuk lanjut baca buku ini:

1. Dua kasus yang berhubungan
Salah satu hal yang membuat buku ini begitu tebal adalah kaitan kasus pembunuhan Shiraishi di 2017 dengan kasus pembunuhan yang mengakibatkan seseorang menjadi korban salah tangkap dan korban memilih gantung diri di penjara di tahun 80an, kasus ini telah kadaluarsa dan penyelidikannya cukup menyusahkan semua orang di buku ini. 

Lumayan seru menghubungkan apa yang terjadi di masa lalu hingga berdampak pada sebuah pembunuhan 30 tahun setelahnya

2. Mirei dan Kazuma
Mirei dan Kazuma, anak korban dan anak tersangka, tidak menelan begitu saja fakta-fakta yang mereka dapatkan dari polisi, mereka merasa ada yang salah hingga akhirnya melakukan penyelidikan mandiri, bertemu dengan orang-orang dari masa lampau kedua ayah mereka. 

Sebagai seseorang yang juga gemar membaca romance, saya berharap ada banyak cerita tentang Mirei dan Kazuma hahaaa, tapi tentu tidak akan didapatkan di buku ini. Setidaknya endingnya lumayan menangkan saya yang suka penasaran apa sih yang terjadi pada tokoh utama dalam buku ini. 

3. Pesan tersirat dari Angsa dan Kelelawar
Menemukan kebenaran tentunya jadi keinginan Mirei dan Kazuma disini, namun ketika kebenaran yang sesungguhnya muncul, butuh waktu buat semua orang untuk menerima kebenaran ini. Saya suka bagaimana di bagian akhir buku, penulis memberikan gambaran cara Mirei berproses dengan kebenaran yang ia temukan.

Saya juga suka bagaimana penulis seolah memberikan pesan bahwa berkorban untuk orang lain dengan menutupi kebenaran belum tentu jadi solusi, bahkan banyakan bikin masalah baru. Dan ketika kita mengorbankan diri untuk apa yang kita anggap benar, jangan - jangan ada orang terdekat kita yang akhirnya jadi korban baru dari tindakan kita. 

Rating untuk Angsa dan Kelelawar

Saya pribadi memberikan 3,5 dari 5 bintang untuk buku ini, tapi di goodreads ratingnya lumayan loh! 4.12, jadi mungkin saya-nya saja yang tidak terlalu cocok dengan cerita di buku ini! tetap bisa jadi pilihan bahan bacaan yang lumayan menyegarkan di sela-sela kesibukan!

 






Setelah menjalani pekan yang cukup menekan juga ditinggal Mas Har beberapa hari karena ia harus kerja dari luar kota, saya benar-benar menantikan akhir pekan kali ini. Setidaknya saya ingin memastikan hari Sabtu bisa recharge energi saya. 

Alhamdulillah Sabtu malam saya (dan Rana!) benar-benar tidur nyenyak karena menjalani hari yang sangat-sangat menyenangkan. Saya banyak melakukan hal-hal sederhana yang membuat saya bahagia. 

Memulai hari dengan memandang wajah Mas Har dan Rana yang masih tidur lelap (saya suka sekali kalau bangun lebih awal dibanding mereka berdua, hari-hari rasanya berjalan lebih tenang kalau saya bangun duluan dibanding sebaliknya)

Kami bertiga sarapan gareng asem favorit kami bertiga, bahkan Rana yang sedang banyak menolak makan beberapa hari ini juga mau makan dengan lahap. Lalu saya mampir ke kios bunga di jalan gedong empat, mengajak Rana untuk melihat bunga-bunga yang dijual. Saya selalu suka hari dimana saya bisa mampir ke kios bunga, menaruh bunga tersebut di vas di meja kerja saya, huhu rasanya menenangkan. 

Saya kadang bertanya-tanya, apa ya yang membuat saya begitu senang membeli bunga dan menjadikan hal ini sekarang sebagai hal reguler yang saya lakukan. Kadang bingung sendiri, karena Ibu saya tidak melakukan hal itu di rumah, saya tidak mendapat contoh dari orang-orang di dekat saya tentang kebiasaan membeli bunga ini. 

Tapi lalu saya berpikir, mungkin (mungkiin sekali), selain memandangi bunga dalam ember-ember ibu pedagang bunga di kios yang amat-sangat cantik, jauh di dalam hati saya, saya sangat ingin melakukan hal ini karena ya ini apa yang saya saksikan di film. Atau bisa jadi, saya sangat senang bisa melakukan ini karena saya pernah (sampai sekarang masih juga sih, tapi kadarnya berkurang), untuk bisa tinggal di tempat dimana membeli bunga adalah hal manis yang bisa dilakukan reguler, tanpa perlu menunggu waktu-waktu khusus seperti ketika anniversary. 

Saya pernah ingin sekali bisa merasakan tinggal di Eropa untuk beberapa waktu (gak selamanya), dulu sih kebayangnya bisa lanjut sekolah disana yaaaa haha, tapi saya sendiri belakangan melihat lanjut sekolah malah sebagai sesuatu yang merepotkan alih-alih menyenangkan, mungkin belum saatnya saja :) masih banyak repotnya kalau sekarang. Kemudian saya mencoba mengasosiasikan, kalau beneran tinggal di Eropa apa sih yang ingin dilakukan disana? melakukan hal reguler yang dilakukan orang-orang disana? beli bunga seminggu sekali? Kenapa tidak dilakukan sekarang di Cimahi! Haha, hal ini juga yang menjadikan saya melakukan hal-hal lain yang mudah membuat saya happy lainnya yang saya lakukan kemarin: Main ke ruang terbuka hijau. 

Saya dan keluarga sering sekali main ke Lapang Tembak di Cimahi, dulu bisa sampai seminggu 2-3x, sekarang minimal seminggu sekali. Jaraknya dekat sekali dari rumah kami, tidak sampai 10 menit naik motor. Disana, Rana bisa lari-lari, melihat abang-abang main bola, melihat kakak-kakak dan teteh-teteh yang sedang berolah raga, saya bisa baca buku di udara segar, kami bisa piknik kalau hari sedang cerah dan lapangan tidak becek. Yaaa, ini menyenangkan dan menenangkan sekali. Dan yang bikin lebih menyenangkan adalah fakta bahwa saya bisa melakukan hal ini sebagai aktivitas yang reguler tanpa biaya :) ada siiih jajan-jajan dikit, tapi ya sedikit sekali. 

Semoga kami selalu diberikan kelapangan waktu dan hati untuk bisa melakukan hal-hal ini, dan bisa selalu bahagia menjalani hal-hal sederhana!

Semoga akhir pekan kamu yang membaca blog ini juga menyenangkan ya!





 


Setelah membaca Kisah Dari Kebun Terakhir di Januari lalu, saya membaca buku lain yang juga ditulis oleh antropolog, sebuah buku yang sudah bikin saya penasaran sejak lama sekali. Judulnya: Tempat Terindah di Dunia. Buku ini ditulis oleh seorang antropolog Belanda, Roanne Van Voorst yang pernah selama setahun tinggal di wilayah kumuh Jakarta, dalam buku ini nama lokasi disamarkan untuk kebaikan banyak pihak, Roanne menyebut nama wilayah penelitiannya sebagai Bantaran Kali. 

Tidak dijelaskan secara persis kapan Roanne datang pertama kali ke Jakarta, dari cerita dalam buku ini, dimana Roanne masih panas-panasan naik mikrolet dan transportasi di Jakarta masih sangat semrawut, saya menduga riset ini dilakukan sebelum 2010. 

Apa saja isi buku ini?

Buku ini berisi beberapa bab yang tak melulu membahas banjir. Berikut catatan saya tentang masing-masing bab di buku ini. 

Bab 1: Tidur Bersama Portofon
Ini spesifik tentang banjir dan bagaimana status sosial warga di Bantaran Kali ditentukan dengan kepemilikan portofon. Semacam walkie talkie yang bisa menangkap sinyal jarak jauh dari pemantau status ketinggian sungai. Portofon bisa memberi sinyal kapan banjir akan terjadi juga sebesar apa, membuat warga bisa bersiap-siap sebelum banjir. 
Menarik bagaimana dijelaskan kalau awalnya portofon diberikan oleh pemerintah untuk membantu warga di Bantaran Kali, namun kemudian setelah rusak dan tetap gagal mengantisipasi banjir, pemerintah tak lagi memberikan Portofon dengan alasan: 'hadirnya' pemerintah di Bantaran kali bisa membuat mereka merasa apa yang mereka lakukan (tinggal di Bantaran Kali) adalah hal yang benar.

Bab 2: Ketika Ada Kabel Listrik Putus
Bercerita tentang dampat mengenaskan dari kebakaran yang terjadi di kampung padat penduduk. Saya merinding membayangkan kebakaran yang terjadi di Jakarta, dimanapun itu, kebakaran di Jakarta sangat mengerikan rasanya karena daerah yang ber-gang-gang dan susah dimasuki mobil pemadam kebakaran. Di buku ini kurang lebih diceritakan kejadian serupa, pada akhirnya warga yang saling gotong royong menyelematkan diri sendiri dan tetangga, serta memastikan api tidak menyebar semakin besar.

Bab 3: Menunggu atau Membayar
Ini bab yang sangat unik buat saya: tentang budaya korupsi orang-orang Indonesia yang mendarah daging sampai level grassroot. Roanne menceritakan kisahnya yang 'dipersulit' mendapatkan izin penelitian di Indonesia karena ia tak mau memberikan 'amplop' kepada petugas di kantor imigrasi. 

Kejadian ini juga terjadi lagi ketika akhirnya seorang petugas dari kantor pos datang hendak mengantarkan surat, namun tak kunjung diberikan hingga akhirnya Roanne memberikan 'uang jasa terima kasih' kepada petugas tersebut.

Bab 4: Jangan Pernah Percaya Dokter
Di Bab ini kita akan diajak membaca persepsi warga di kampung kumuh dan resistensi mereka ke hal-hal yang berbau 'medis' atau 'rumah sakit'. Kalau membaca kisah di bab ini, wajar sekali sebenarnya warga di Bantaran Kali lebih memilih cara-cara yang ada selain cara medis atau harus ke rumah sakit. Hampir semua orang yang diceritakan Roanne disini memiliki pengalaman tidak mengenakkan dengan rumah sakit karena satu sebab: mereka miskin. 

Orang miskin memang sering kesulitan berobat, saya menduga ini masa sebelum era BPJS dan Kartu Indonesia Sehat mulai ramai dan hampir dimiliki seluruh warga Indonesia, namun bahkan setelah semua orang punya akses berobat yang sama dengan kartu BPJS atau KIS pun, masih banyak diantara masyarakat, tetangga saya contohnya, yang lebih memilih cara-cara tradisional untuk berobat dibanding ke rumah sakit. Tetap ada ketakutan membayar diluar harga yang mereka miliki, jika tidak benar-benar ada pilihan lain untuk sembuh, baru mereka pergi ke rumah sakit. 

Bagi warga Bantaran Kali (jikapun sekarang masih ada), mungkin mendapatkan BPJS bukanlah sesuatu yang mudah seperti saya atau masyarakat lain yang lebih beruntung. Seperti yang kita tahu urusan pemerintahan selalu membutuhkan KTP dan KK disetiap persyaratan administrasinya, dan hal ini sepertinya tidak dimiliki semua warga Bantaran Kali.

Bab 5: Mangga, Cabe Merah dan Pembangkit Gairah Lainnya
Ini bab yang juga sangat seru haha! Kita akan melihat percakapan yang lebih 'vulnerable' tentang sex, relasi perempuan dan laki-laki dan mitos-mitos tentang sex di kalangan warga Bantaran Kali. Di bab ini, saya merasa lebih relevan dengan Roanne yang banyak gak tahu apa-apa dan tidak yakin bisa mempercayai 100% mitos-mitos yang bertebaran disini. 

Bab 6: Menabung untuk Beli TV
Bayangkan warga yang tinggal secara ilegal di pinggiran kali, kemungkinan sediki yang memiliki KK dengan alamat yang sesuai, juga KTP yang bisa dipercaya dan dijadikan pegangan ketika ingin mengajukan pinjaman di Bank; haha jangankan memikirkan pinjaman, datang ke bank untuk menabung pun sepertinya warga Bantaran Kali tak biasa. Namun bukan berarti mereka tak menabung; atau tak bisa meminjam. Bagi warga Bantaran Kali, 'Pinter' adalah sosok bank di Bantaran Kali. Ia pemutar roda keuangan layaknya Bank. 

Warga bisa menabung untuk tujuan tertentu, dan tidak bisa mengambil sembarangan tabungan tersebut (semacam deposito ya haha), lalu warga juga bisa meminjam uang; tentu dengan bunga yang tinggi dan tidak ada jaminan suku bunga sesuai regulasi yang berlaku. Beberapa akan menyebutnya sebagai rentenir, namun bagi warga Bantaran Kali, sosok Pinter amat penting untuk perputaran roda keuangan.

Bab 7: Selalu Bersama Dimana-Mana
Bab ini menceritakan struggle-nya Roanne ketika tinggal bersama warga Bantaran Kali; yang 1. Seperti halnya kebanyakan orang Asia, hidupnya sangat komunal dan menganggap 'kesendirian' sebagai sesuatu yang menakutkan. 2. Tak banyak sekat dan tempat untuk hidup sebagai seorang individu disini, belok dikit ada orang, di rumah pun ada orang lain yang tak paham pentingnya privacy.

Roanne yang selalu mudah lelah secara emosional ketika bertemu banyak orang, harus beradaptasi dengan kondisi warga Bantaran kali yang selalu merasa Roanne harus ditemani, bahkan ketika ia tidak meminta. Kalimat "kasian, sendirian" jadi sering berulang ia dengar. 


Review Asri

Sayaaa suka sekali membaca buku ini, walaupun isinya menjelaskan hal yang sama sekali berbeda dengan perasaan saya setelah membaca buku ini. Saya amat kagum dengan Roanne yang bisa tinggal setahun lamanya di Bantaran Kali, juga cara ia menuliskan kisah warga Bantaran Kali di Buku ini.

Buku ini amat saya rekomendasikan untuk dibaca oleh orang-orang yang sering menganggap warga seperti Tikus dan teman-temannya sebagai benalu dalam perspektif pembangungan. Buku ini juga sangat membuka mata saya tentang kemiskinan struktural. Saya selalu ingat riset yang dilakukan SMERU tentang mengapa anak dari keluarga miskin cenderung akan tetap miskin ketika dewasa. Walaupun ada, tentu tidak semua orang bisa mendapatkan kesempatan untuk keluar dari jerat kemiskinan.

Saya benar-benar menangis membaca epilog buku ini. Pada tahun 2015, kampung di Bantaran Kali benar-benar digusur, banyak dari mereka tak jelas akan tinggal dimana. Menuliskan review buku ini di bulan Maret 2023 membuat saya jadi berpikir, dibanding menyalahkan masyarakat ataupun pemerintah, kenapa tidak mencoba melihat lebih mendasar apa yang sebetulnya menjadikan masyarakat membangun hunian di daerah terlarang (atau di Tanah Merah, istilah yang sedang hangat usai terjadi kebakaran di DEPO Pertamina Plumpang pada 3/3/2023 Malam). 

Diskusi yang bergulir di twitter membuka 'mata' banyak pihak bahwa warga sebetulnya tak boleh tinggal di Tanah Merah tersebut, sama halnya dengan yang terjadi dengan apa yang dilakukan warga Bantaran Kali. Namun apa yang membuat mereka masih bisa tetap memiliki hunian disana hingga 2023? Bahkan ketika tahun 2009 pernah terjadi kebakaran di lokasi yang sama? 

Atau jika ditarik mundur lagi, apa yang membuat orang-orang berebut memiliki hunian di Jakarta? Mengapa orang-orang datang ke Jakarta meski memiliki resiko tak memiliki hunian yang layak? 

Saya tahu banyak peneliti dan pakar yang lebih ahli yang memiliki jawaban ilmiah dari fenomena tersebut, namun bagi saya yang hanya bisa melihat fenomena dari apa yang saya lihat dan saya alami, hal ini, --orang berbondong-bondong datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan, mencoba mencari harapan perbaikan kehidupan, atau sekedar bertahan hidup, akan selalu terjadi selama wilayah Indonesia lainnya tak menawarkan pekerjaan bagi masyarakatnya. 

Sejak lulus kuliah, saya bekerja dua kali untuk dua yayasan (saya bekerja sebagai guru), dan dua-duanya saya dibayar underpaid. Dibawah UMR Kota Cimahi, tempat kedua yayasan tersebut berada. Penghasilan saya akhirnya bisa mengikuti UMR atau melebihi UMR setelah bekerja di Jakarta atau bekerja untuk perusahaan atau yayasan berbasis Jakarta. 

Sedih memang, tidak banyak pilihan untuk bisa memiliki penghasilan layak ketika bekerja di luar jakarta. Ini baru membicarakan saya, seorang pekerja kerah putih yang alhamdulillah bisa bekerja dari balik laptop, bagaimana dengan kesempatan untuk pekerja informal seperti warga Bantaran Kali? :')

Membaca buku etnografi memang selalu memberikan dua dampak bagi saya: satu sisi bisa mengasah empati dan belajar melihat sudut pandang baru. Di sisi lainnya, saya sering merasa powerless, useless atau apalah itu. Karena tidak bisa melakukan apa-apa setelah tamat membaca buku. Kecuali membagikan pengalaman saya membaca buku ini di Internet. 



 


Mungkin Senin bisa jadi hari yang lebih menyenangkan kalau saya bangun lebih pagi, pasangan saya bangun lebih pagi, anak saya dikondisikan untuk bangun lebih pagi.

Mungkin Senin bisa jadi hari yang tidak menyebalkan ketika kami semua bangun lebih pagi dan saling bertanya pada masing-masing orang agenda yang harus dilakukan pada Senin pagi, pukul berapa, harus ada dimana, apakah bisa mengantar anak ke Daycare atau tidak.

Mungkin Senin pagi bisa jadi yang penuh senyum dan berjalan seperti hari pada umumnya kalau saya dan pasangan saya bisa set ekspektasi masing-masing tentang hari Senin dan tahu jadwal masing-masing setidaknya di jam wajib mengantar anak.


Hari ini saya ingin meluangkan waktu agak lama untuk menuliskan kesan mendalam dari sebuah buku yang saya baca sebulan kebelakang. Kisah di Kebun Terakhir, buku non-fiksi yang saya beli ketika mampir ke Theotrapi, Yogyakarta di Desember 2022. Penjaga tokonya semangat sekali meracuni saya membeli buku ini karena kebetulan buku yang saya cari, Tempat Terbaik Di Dunia, sedang tidak ada. Ia bilang, pengalaman membaca buku ini akan sama serunya, karena sama-sama buku yang ditulis oleh seorang antropolog.

Saya belum membaca Tempat Terbaik Di Dunia, sampulnya bahkan belum saya buka, tapi satu hal yang pasti: Kisah dari Kebuh Terakhir bisa jadi akan menjadi salah satu buku terbaik yang saya baca di 2023. Padahal ini baru Januari. 

Buku ini ditulis oleh Tania Murray Li, Guru Besar pada Department of Anthropology, University of Toronto, versi pertama buku ini terbit dalam Bahasa Inggris, pertama kali diterbitkan di Amerika Serikat pada 2014 dengan judul Land's End: Capitalist Relations on Indigenous Frontier oleh Duke University Press. Buku yang saya baca adalah versi Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Marjin Kiri, diterjemahkan oleh Nadya Karimasari dan Ronny Agustinus. 

Saya ingin mencoba menuliskan pengalaman saya membaca buku ini, tapi saya mau disclaimer dulu, saya bukan aktivis gerakan, bukan akademisi dan bukan orang yang bergerak di gerakan sosial terutama untuk isu agraria. Jadi kalau kamu mengharapkan review dari sudut pandang tersebut, mungkin kamu tidak akan menemukannya di tulisan saya. 

Sebelum menulis review ini, saya sempat menonton bedah buku ini di video Youtube. Salah satu pembahasnya, Suraya A. Affif membahas kalau buku ini ditujukan untuk tiga audience: 


Nah, saya tidak masuk ke-ketiganya. Apa yang saya tuliskan, murni dari sudut pandang seserang yang biasanya membaca novel misteri, komik dan buku-buku fantasi, kemudian bertemu dengan buku nonfiksi yang amat asyik untuk dibaca.

Apa yang membuat saya begitu jatuh hati pada buku ini?

Sebelum menjawab pertanyaan diatas, saya akan sedikit menceritakan isi buku ini. 

Buku ini adalah tulisan yang bersumber dari pengalaman Tania Li selama dua puluh tahun melakukan riset etnografis di Sulawesi. Tepatnya di Sulawesi Tengah. Tania melakukan riset tentang hubungan kapitalisme di antara penduduk adat, tepatnya yang terjadi di Suku Lauje yang dibuku ini dikisahkan tinggal di perbukitan.

Kisah dari Kebun Terakhir membahas upaya penghuni perbukitan untuk ikut serta dalam iming-iming derap kemajuan yang dijanjikan oleh narasi modernisasi, hanya untuk mendapati dampak kesenjangan akibat hubungan-hubungan kapitalis yang muncul di antara mereka. Petani yang mampu mengakumulasi lahan dan modal mereka menjadi sejahtera; mereka yang kalah bersaing tertendang keluar arena. Kebun Terakhir membahas berbagi lahan, dan berakhirnya hutan primer sebagai cadangan tanah, tempat penghuniperbukitan bisa berekspansi manakala dibutuhkan atau ada kesempatan. Buku ini juga membahas rasa kebingungan mereka--tiba di jalan buntu, akhir dari semenanjung yang dikitari lautan, tanpa rakit ataupun arah tujuan. Inilah nasih Kasar dan petani-petani lain seperti dia, yang tidak bisa lagi menghidupi keluarganya dengan cara-cara lama, tetapi juga tidak punya pilihan lain yang tersedia (pendahuluan, hal. 2, Kisah dari Kebun Terakhir) 

Buku ini memang membahas (mungkin lebih tepat disebut bercerita) tentang kemunculan hubungan kapitalis di antara penduduk adat di perbukitan. Namun cara Tania berkisah sangat-sangat membuat pembaca yang awam pada isu sosial politik seperti saya, sangat menikmati buku ini. Diawali dengan narasi pedih tentang kehidupan Kasar, seorang lelaki empat puluh tahunan yang dikunjungi Tania, yang kondisinya mengenaskan namun tak punya banyak pilihan hidup. 

Mengenal Lauje lewat Kisah dari Kebun Terakhir

Orang-orang Lauje, kalau dicari di Google

Saya diajak berkenalan dengan Suku Lauje, bentang alamnya, hubungan-hubungan yang membuat penghuni perbukitan Lauje sebagai orang miskin dan terbelakang, dan mendorong mereka mencari jalan untuk memperbaiki nasib, bagaimana cara mereka hidup dan bertani di masa lampau, kebiasaan kerja dan tolong menolong orang-orang Lauje serta bagaimana akhirnya terjadi pengkavlingan yang menyebabkan pergeseran kepemilikan tanah untuk bercocok tanam di Lauje. 

Secara geografis, orang-orang Lauje tinggal di beberapa Kabupaten di Sulawesi Tengah, namun dalam penelitian di buku ini, wilayah yang dibahas secara spesifik adalah Kabupaten Parigi Moutong.

Ada lima bab utama dalam buku ini:

1. Posisi
2. Kerja dan Tolong-menolong
3. Pengavelingan
4. Hubungan-hubungan Kapitalis
5. Politik, Ditinjau Kembali

Di masing-masing Bab, kita akan melihat pengamatan Tania yang digabungkan dengan teori serta catatan akademik, kamu bisa langsung melihat catatan kaki dari jurnal atau buku yang dibahas Tania di buku ini. 

Meskipun membagi buku ini dalam lima bab utama, kita akan merasa kalau membaca buku ini seperti membaca catatan maju, kebanyakan kisah-kisah penelitan awal memang ditempatkan diawal buku, semakin maju membaca buku, semakin saya dibuat penasaran bagaimana nasib mereka sekarang setelah hilangnya budaya tolong-menolong dan terjadinya pengavelingan?

Ketika membaca buku ini, saya merasa amat dekat dengan orang-orang Lauje karena satu hal:

Saya pernah tinggal di tempat yang tidak jauh dari Lauje, dengan posisi geografis yang amat mirip dengan mereka. Tahun 2017 saya pernah meengajar di sebuah SD di daerah perbukitan di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Karena tidak pernah tertarik dengan isu agraria sebelumnya, ketika bertugas saya tak pernah banyak bertanya tentang asal mula warga di desa saya bertugas menanam tanaman-tanaman yang mereka miliki sekarang. 

Tapi gambaran Tania tentang kehidupan sosial warga perbukitan di Sulawesi, rasanya sama persis dengan tempat saya pernah tinggal selama setahun. Mulai dari kebiasaan saling membantu, guru yang tinggal di pesisir dan perlu melakukan perjalanan jauh ke sekolah di perbukitan sehingga kadang tak hadir mengajar, bagaimana gesekan sosial di desa, kondisi ketika jalan mulai di bangun dan bagaiman pemerintah pernah berusaha memindahkan warga ke tempat yang lebih dekat ke pesisir, namun tak berhasil.

Jadi ya, saya merasa amat relevan dengan buku ini.

Membaca buku ini menawarkan pengalaman membaca yang cukup baru bagi saya, membaca hasil penelitian dengan narasi yang sangat indah dan membuat saya merasakan emosi yang bercampur aduk rasanya. Ada marah, geram, kesal, sedih, atau merasa useless ketika membaca buku ini dibagian akhir karena tahu ini adalah satu fenomena yang terjadi di Indonesia tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa.

Antropolog yang tidak 'narsis'

Cara Tania bercerita berkisah benar-benar membuat saya ikut mendengarkan ia duduk bersama warga di Lauje dan mendengarkan satu cerita dari beberapa sudut pandang. Saya juga diajak menyaksikan "ketamakan" salah satu sosok di buku ini, yang oleh Tania tidak dilabeli sebagai seseorang yang Tamak, saya bahkan hampir tidak menemukan label-label tertentu ditulis oleh Tania di buku ini, jika ada label yang menyangkut, biasanya adalah label dari warga lain kepada orang tersebut. Seperti yang ada di halaaman 212, ketika ia menceritakan pernikahan sebagai salah satu peristiwa yang bisa mempengaruhi keputusan ekonomi warga Lauje (saking besarnya pengeluaran yang diperlukan). 

Ia menuliskan:

Ada satu contoh terkenal di Pelalang. Seorang pria tua yang membuka banyak dapat menjual semuanya untuk membayar tinggi mahar istri muda, dan dengan demikian membuat anak-anaknya tidak punya warisantanah. Tahan itu memang miliknya, tetapi pada masa ketika tanah menjadi kian langka dan mahal, tetangga menilai tindakannya itu bodoh sekaligus egois. (hal 212)

Karena mendengarkan dan melihat dari sudut yang lebih banyak, penulis bahkan bisa mengoreksi prasangka secara objektif berdasarkan catatan penelitian yang ia punya. 

Petani Sibogo juga mengatakan saudara mereka di Sipil tidak bisa mengelola uang dan ingin mengonsumsi barang-barang yang sebenarnya tidak mampu mereka beli. ----kritik semacam ini ada benarnya untuk beberapa kasus tetapi sebagian besar tidak. Petani Sibogo tidak merasakan impitan yang dialami keluarga miskin dengan lahan sempit dan upah kecil yang menjual kebun produktif demi bertahan di masa krisis. (hal 214).

Ada salah satu kutipan dalam diskusi Bedah buku Kisah dari Kebun Terakhir dari Ben White, yang menyebutkan apa yang membuat buku Tania amat menyenangkan untuk dibaca. Kebanyakan antropolog atau penulis yang menulis studi etnografi kebanyakan 'narsis', seolah-olah membuat pembaca 'lihat nih saya sedang melakukan studi seperti ini'. Tapi Tania berhasil membuat pembaca (TERMASUK SAYA) yang membacanya merasa duduk disebelahnya, ikut dalam studinya, hidup bersama orang-orang Lauje walau sebentar saja. Videonya bisa kamu saksikan disini.

Siapa yang cocok membaca buku ini?

Meskipun judulnya terkesan berat (terutama bagian hubungan kapitalis di wilayah adat), namun membaca buku ini sangat-sangat tidak membosankan dan tidak membuat kita pusing dengan istilah-istilah yang sulit dipahami. Bahkan jika kita bukan orang yang tertarik pada isu agraria, konflik sosial, atau gerakan sosial, buku ini tetap akan sangat menarik untuk dibaca jika kamu ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada masyarakat perbukitan. 

Namun memang buku ini akan lebih relevan jika kamu punya ketertarikan terhadap isu sosial. Tapi teteeeep sih, enggakpun, saya merekomendasikan siapa saja untuk membaca buku ini!

Ini pertama kalinya saya membaca tulisan etnografi dan sepertinya akan mulai membaca beberapa buku etnografi yang diterbitkan Marjin Kiri setelah membaca buku ini. 

Informasi Buku

Kisah dari Kebun Terakhir: Hubungan Kapitalis di Wilayah Adat
Penulis: Tania Muraay Li
Diterbitkan pertama kali tahun 2014 di Amerika serikat dengan judul Land's End: Capitalist Relations on Indigenous Frontier oleh Duke University Press
Penerjemah: Nadya Karimasari dan Ronny Agsutinus
Editor: Muhammad Iqbal
Penyusun indeks: Muhammad Haikal
Cetakan pertama: Agustus 2020
Diterbitkan oleh Marjin Kiri
Jumlah halaman: i - xiv + 326 halaman
Ukuran: 14 x 20,3 cm
Harga: 97.000
Bisa dibeli di Tokopedia Marjin Kiri 









 


Saya sebetulnya bukan penggemar lama Agatha Christie, saya ingat pertama kali membeli buku Agatha Christie di tahun 2015 karena bundlenya didiskon 100.000an saja di Gramedia Bandung tapi baru benar-benar membaca Agatha Christie di tahun 2021 ketika pandemi. 


Karena waktu itu belum pernah baca sama sekali buku-buku Oma, saya malah dengan ringannya membagikan buku-buku ini kepada siapapun yang meminta haha! Sekarang ketika mulai membaca dan mengoleksi karya Oma malah jadi sedikit menyesal (astagfirullah As!) haha bukan karena apa siiih, tapi karena menumpulkannya kembali jadi agak susah nih hihi. Tapi yaa memang sama Allah dikenalkan karya oma (benar-benar baca maksudnyaa) di waktu yang tepat. Sekarang ketika secara finansial sudah lebih lowong buat jajan-jajan buku Oma. Walaupun teteeep jajannya yang diskonan HAHA!

Buku Agatha Christie yang saya beli di Desember 2022

Pertengahan tahun 2022 dan akhir tahun 2022 ketika Gramedia diskon lumayan banyak buku Oma dengan harga 30% dari harga asli, saya beli semua yang diskon ga pakai mikir :'). Kapan lagi kaan ya. Satu bukunya ga ada yang lebih dari 20.000 saja harganya. 

Sekarang tahu-tahu saya sudah punya hampir 30 judul Buku-buku Agatha Christie di rumah. 

Tahun ini, tepatnya mulai Januari 2023 saya perdana ikutan #ReadChristie2023, sebuah tantangan membaca buku-buku Agatha Christie. Listnya dikeluarkan oleh website resmi Agatha Christie. Berikut list bacaan dari #Readchristie2023 tahun ini:


Menarik sekali untuk diikuti mengingat saya kadang belum terlalu banyak tahu karya-karya Agatha Christie, padahal bukunya ada banyaaak sekali. Jadi bisa sekalian membantu ngebabat TBR. Oiya, walaupun ada buku-buku yang sudah ditentukan, sebetulnya kalau kita sudah baca ga harus baca buku tsb, tapi bisa stick ke tema bulanan, biasanya nanti ada rekomendasi buku lainnya untuk topik di bulan tersebut. 

Sad Cypress

Nah, sekarang kita masuk ke review. Topik bulan ini adalah tentang Jealousy. Karena saya belum pernah baca Sad Cypress, saya langsung pilih buku judul utama buat bulan ini. 

Sad Cypress memang pas sekali masuk ke tema kecemburuan. Buku ini bercerita tentang kisah cinta yang rumit dengan bumbu-bumbu harta warisan didalamnya (atau malah kebalik ya hah kisah tentang harta warisan yang dibumbui kisah cinta rumit). Yah begitulah.

Tokoh utama dalam buku ini yang sejak prolog dikisahkan menjadi terdakwa pembunuhan adalah Elianor Carlisle. Seorang perempuan muda dari London yang sudah bertunangan dengan cinta pertamanya Rodecick Welman atau Roddy. Sejak awal digambarkan kalau cinta Elianor pada Roddy jauh lebih besar daripada cinta Roddy pada Elianor. 

Elianor punya seorang bibi yang kaya raya dan sakit-sakitan, bibinya ini menikah dengan paman Roddy. Jadi semua orang berpikir, ketika bibinya wafat, mereka berdua yang akan mewarisi semua kekayaan bibinya. Siapapun yang mendapatkan, toh pada akhirnya akan menikah juga. 

Eh, ketika menjenguk bibinya, Roddy bertemu sosok Mary Gerard. Anak penjaga kebun di rumah bibinya yang amat disayangi bibinya. Elianor pernah mendapatkan surat kaleng untuk berhati-hati akan ada sosok perempuan muda yang pandai mengambil hati dan bisa-bisa bibinya menyerahkan semua harta warisan kepadanya alih-alih Elianor dan Roddy. Mereka berdua tahu surat itu merujuk pada Mary Gerard. Namun diam-diam, Roddy rupanya jatuh cinta pada Mary. Dan dari sana ketegangan bermula.. 

Membaca buku ini rasanya memang seperti membaca romance rasa misteri alih-alih sebaliknya. 

Analisis Poirot

Hercule Poirot hadir dibuku ini. Ia hadir atas undangan dr. Peter Lord, dokter Mrs. Welman. Ia diam-diam naksir Elianor pada pandangan pertama ketika bertemu Elianor di rumah bibinya. Lord percaya kalau bukan Elianor pembunuh Mary Gerard (Oh iya, Mary Gerard memang tewas dan ini bukan spoiler. Ini ada di prolog pendahuluan halaman pertama buku ini yang mengambil setting Elianor di pengadilan). 

Poirot tidak mau percaya Lord begitu saja. Ia bertanya terkait semua kemungkinan, semua motif. Siapa saja yang diuntungkan saat Mrs. Welman wafat, juga saat Mary meninggal dunia. Ia pada akhirnya bertemu dengan semua orang yang terlibat dalam kasus ini. Dua perawat yang merawat Mrs. Welman dan dekat dengan Mary: Suster Hopkins dan Suster O'brien, Roddy, Ted Bigland--Pemuda desa yang naksir Mary, dan Elinor sendiri. 

Menarik sekali bagaimana Poirot memperlakukan semua informasi, ia bahkan menganggap kebohongan adalah informasi yang berarti karena ia adalah awal dari banyaknya kebenaran yang akan mengungkap kasus. 

Pada akhirnya Poirot bisa menemukan siapa yang sebenarnya membunuh Mary kok! Tapi tidak akan saya ceritakan disini supaya tidak spoiler. 

Ada yang sudah pernah membaca buku ini juga? bagaimana pendapat kalian tentang buku ini?


 


Mengawali Januari 2023 dengan sebuah bacaan yang menyenangkan! Buku ini saya beli setelah membaca review dari Kak Ayu @kakipendek di Instagram di tahun 2022. Baru berkesempatan membaca sekarang daaaaan rasanya senang sekali bisa berkenalan dengan buku ini. 

Buku ini ditulis oleh Iqbal Aji Daryono, title yang beliau tulis di buku ini adalah Praktisi Medsos Penuh Waktu dan itu terbukti sih lewat semua tulisannya. Mas Iqbal pasti banyak meluangkan waktu di media sosial sampai-sampai bisa banyak menulis tentang kasus-kasus yang viral di 2022. Sejujurnya ada beberapa kasus yang saya harus googling dulu agar dapat konteksnya, tapi selain tulisan yang membahas kasus viral, semuanya bisa langsung dicerna kok!

Kumpulan Essai 

Buku ini sebetulnya adalah kumpulan 30 essai yang semuanya membahas tentang fenomena di dunia maya. Mulai dari ketergantungan kita pada google maps, ketagihan media sosial, pergeseran peran penyebaran informasi yang awalnya dipegang televisi kemudian ke YouTube, hingga bagaimana teknologi bisa membantu kita tetap berkegiatan serta sedikit banyak membantu pergerakan ekonomi di musim pandemi.

Saya merasa senang membaca buku ini karena sebetulnya isu yang dibahas adalah isu yang cukup serius. Saya termasuk orang yang menurut pendapat saya sendiri sudah cukup ketagihan media sosial, susah rasanya sehari gak buka Instagram atau buka Twitter untuk membaca apa yang sedang terjadi di luar sana. Tapi di tiap pembahasan di buku ini selalu disertakan humor dari penulis yang cocok dengan humor saya. Jadinya sepanjang membaca buku ini, selain jadi belajar, jadi refleksi, saya juga jadi tertawa ngakak-ngakak sendiri. 

Ada banyak kritik cukup tajam termasuk kepada saya sebagai seorang pembaca yang punya 'jiwa kehumasan' untuk mengumumkan kepada seluruh dunia kalau saya baru saja selesai membaca buku A, dan ini pendapat saya tentang buku A. Ada juga kritik yang dikembalikan kepada penulis yang tidak terima karena bayarannya rendah jauh dibawah bayaran selebgram. Serta kritik kepada diri penulis sendiri yang saya rasa akan berlaku pada kita semua, tentang hilangnya kemampuan kita bersosialisasi dengan warga lokal, karena sekarang tak ada lagi orang yang bertanya lokasi suatu tempat pada warga setempat. Semua tinggal klik. Begitu alatnya ga ada, HPnya ketinggalan, bingungnya setengah mati. 

Tak selamanya buruk

Meskipun kita akan menemukan banyak poin-poin refleksi tentang bagaimana teknologi somehow mengubah kita bukan untuk maju kedepan, tapi mundur kebelakang karena ketergantungan kita dengan beragam aplikasi ini, kita juga akan mendapatkan kisah-kisah tentang bagaimana teknologi bisa membantu orang-orang yang bahkan mungkin tidak punya HP Android di rumah mereka dalam tulisan Youtuber Pembela Petani, halaman 128, penulis menuliskan tentang rahasia (yang tidak rahasia-rahasia amat haha) tentang konektivitas dan digital sociopreneurship. 

Penulis juga berkali-kali mengingatkan kita supaya tidak terjebak echo-chamber, satu kondisi ketika apa yang muncul di alogaritma medsos kita hanya tulisan yang ingin kita baca. Ini terutama kalau sudah berkaitan dengan isu politik. Untuk menghidari hal ini, ia sangat menyarankan kita agar mengikuti orang-orang yang pemikirannya sama/mirip dengan kita, juga yang jauh berbeda. Jadi kita bisa banyak membaca beragam pandangan, dan tidak mudah reaktif pada satu isu tertentu. 

Rating Asri

Saya suka sekali buku ini. Jadi saya beri bintang 5/5 di goodreads :)) Sangat direkomendasikan untuk dibaca oleh kamu yang banyak menghabiskan waktu di dunia maya! 


Biasanya saya selalu menyempatkan diri menulis di penghujung tahun. Tapi tahun ini  lalu rasanya sangat melelahkan. Ada begitu banyak hal yang terjadi sampai rasanya semuanya tumpah-tumpah. Emosi, kenangan, pencapaian, dan harapan untuk 2023. 

Pada akhirnya resolusi saya di 2023 tidak banyak. Selain resolusi finansial agar bisa lebih disiplin menabung dana darurat dan dana pendidikan Rana dan sedikit keinginan menabung agar bisa membangun rumah sendiri, saya hanya ingin menjalani 2023 dengan tidak terlalu stress. 

Pekerjaan dengan load yang agak ketat sepertinya bikin saya agak stress tahun lalu. Ada rasa bersalah karena merasa mengabaikan anak (yang pada akhirnya terbantu dengan keputusan memasukkan anak ke daycare--dan Rana terlihat menikmati kesehariannya disana), namun tak mengurangi sedikit banyak perasaan dan keinginan untuk bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan Rana. 

Mungkin rasa bersalah ini juga datang karena saya mendadak dapat banyak tugas ke luar kota, hampir setiap pekan atau sekali dalam dua pekan, kadang intensitasnya meninggalkan semalam saja, tapi pernah sampai empat malam. Kalau sedang bekerja jauh dari Rana, saya mencoba tetap fokus kerja, karena kepikiran Rana pun gak bikin kerjaan saya selesai serta gak bikin saya bisa memeluk Rana saat itu juga. 

Saya gak tahu apakah perasaan yang sama juga dirasakan oleh Mas Har ketika meninggalkan Rana. Tapi sepertinya iya. Waktu harus bertugas keluar kota selama seminggu lebih, tiap sore atau malam ia pasti video call Rana. Bedanya saya tidak bisa melakukan itu, karena pernah dicoba dan tiap lihat saya di handphone Rana langsung menangis. 

Perasaan bersalah seperti ini makin sering sekali menghantui saya kalau saya sedang tidak terlalu menikmati pekerjaan saya. Sepadan tidak ya, apa yang saya dapatkan baik dari sisi pengembangan diri, karier dan pendapatan dengan jarak yang ada ketika meninggalkan Rana. Disisi lain, saya juga lebih sering menikmati daripada tidak menikmati, bekerja 9 to 5. 

Huaaah, begitulah cerita tahun baru dari seorang Ibu beranak satu yang sedang ingin curhat saja tentang suka dan duka menjadi Ibu bekerja. Bagaimanapun juga saya merasa bisa mengenal diri saya, dan saya tahu saya akan lebih stress ketika tidak bekerja dibanding ketika bekerja, jadi yaa sudah dijalani saja yaa, Bu Asri. 

Semangat Ibu atau calon Ibu yang bekerja maupun tidak bekerja, semoga jalan apapun yang kita pilih diridhoi Allah dan jadi keputusan yang terbaik. 

Halo semuanya! ini akan menjadi postingan review buku pertama saya di Bulan Oktober :'), sebetulnya saya sempat menamatkan beberapa buku yang seru dan rasanya layak diulas mendalam satu persatu, sayangnya lumayan susah mencari waktu untuk menuliskan semuanya. 

Hari ini saya mau menuliskan review buku The Chalk Man karya C.J. Tudor. 

Saya membaca buku ini karena ingin kembali ikutan diskusi buku Sofa Literas (setelah absen beberapa bulan), kemarin ketika Gramedia mengadakan Online Book Fair, saya membeli buku ini supaya bisa baca versi fisiknya. Tapi buku ini juga masuk dalam subscription Gramedia Digital ya! jadi gak perlu beli sebetulnya, bisa dengan langganan paket fiksi Gramdig. 

Buku ini saya baca dalam waktu 3 hari! lumayan ngebut karena memang ceritanya menurut saya lumayan engaging sejak bab-bab pertama. Ritmenya juga cocok buat saya, gak lambat tapi juga gak ngebut-ngebut banget. 

Yuk langsung saja kita ulas satu persatu poin menarik dari buku ini.



Blurb 

[diambil dari halaman cover belakang Buku The Chalk Man terbitan Elex Media Komputindo]

Tahun 1986. Eddie dan teman-temannya hanyalah sekumpulan remaja. Mereka menghabiskan hari-hari mereka dengan bersepeda di seputaran desa Inggris yang sepi dan mencari sumber kegembiraan yang bisa mereka dapatkan. Orang-orangan kapur menjadi kode rahasia mereka: figur-figur kecil kapur tulis yang mereka tinggalkan satu sama lain sebagai pesan rahasia.

Namun, pada suatu hari... sebuah gambar orang-orangan kapus misterius menuntun mereka kepada sesosok mayat yang termutilasi. Sejak saat itulah segala sesuatunya tidak sama lagi.

Tahun 2016. Eddie sudah dewasa dan berpikir dirinya telah melipakan masa lalu. ketika sepucuk surat datang melalui pos berisi soso orang-orangan kapur, dan teman-temannya pun mendapatkan pesan yang sama, mereka mengira itu hanyalah keisengan belaka.

Sampai salah satu dari mereka kehilangan nyawa...

Jadi.. Apa yang sebenarnya terjadi bertahun-tahun yang lalu?

Alur Cerita

Seperti yang saya bilang diatas, alurnya tidak lambat, tapi juga tidak ngebut, jadinya pas. Kamu akan dibuat penasaran dengan siapa dibalik apa di buku ini, namun tidak ngos-ngosan dan tidak terlalu merinding dibuatnya.

Oiya, alur buku ini maju mundur. Tiap bab akan dimulai dengan judul tahunnya, kebanyakan adalah di 2 tahun utama yang menjadi latar cerita yaitu tahun 1986 dan 2016. Meskipun alurnya maju mundur, namun bantuan panduan tahun di tiap bab, membuat kita mudah switch mode ketika membaca.

Oiya, kalau kamu penggila plot twist, buku ini tidak menawarkan hal tersebut. Tentu ada sedikit plot twist yang terungkap di akhir, namun tidak benar-benar twist, pada akhirnya buatku itu memang kebenaran-kebenaran yang terungkap di akhir buku. 

Tapi tak mengubah pendapat saya kalau buku ini disusun dan ditulis dengan sangat baik.

Tokoh-tokoh menarik di buku ini

Buku ini menawarkan banyak tokoh yang punya kepribadian sangat menarik untuk dikupas lebih dalam, tapi yang paling aku suka dari cara penulis bercerita adalah kemampuannya untuk memberikan gambaran yang pas akan sifat manusia yang tidak hitam putih, tidak ada tokoh baik yang 100% baik, tidak ada tokoh jahat yang 100% jahat, kita bahkan mungkin akan memberikan simpati atau empati pada beberapa tokoh dalam buku ini yang tingkahnya sangat ewww. 

Tapi buatku pribadi, tokoh yang menarik di buku ini adalah:

Eddie Adams

Susah untuk tidak tertarik dengan sosok Eddie, si tokoh utama, narator dalam buku ini yang memang ditulis dengan menggunakan sudut pandang orang pertama, yaitu Eddie. Eddie dibesarkan di keluarga yang cukup progresif dan liberal untuk ukuran tahun 1980an, bahkan aku rasa kata progresif bukan kata yang tepat ya, untuk ukuran tahun itu, lebih dari itu tapi saya kesulitan mencari kata yang pas. 

Ibu Eddie adalah seorang obgyn yang memperjuangkan hak perempuan untuk menentukan sendiri kebebasan atas tubuhnya. Ayahnya seorang wartawan lepas dan penulis. Mereka berdua termasuk orang tua yang demokratis, tidak sembarangan melarang anak melakukan satu hal tanpa alasan yang jelas. 

Marianne Adams

Ibu Eddie di awal punya peranan kecil, digambarkan sebagaimana ibu lainnya yang saya kira tidak akan punya peran besar di buku ini. Rupanya saya salah. Perannya cukup menentukan alur cerita buku ini. Namun yang paling menarik buat saya adalah bagaimana cara ia mendidik Eddie dan bagaimana ia bersikap ketika suaminya sakit. 

Di halaman 236, ada satu kutipan:

"Karena kami melarang, Eddie," ujar Mum tajam.
Ibuku tidak pernah berkata begitu. Dulu beliau suka berkata bahwa kita tidak bisa menyuruh anak melakukan sesuatu dan mengharapkan mereka melakukannya tanpa alasan. 

Saya terpesona dengan cara Ibu Eddie mendidik Eddie, walaupun tentu kemudian ada perubahan ketika sesuatu yang mengerikan terjadi di lingkungan tempat mereka tinggal. 

Pendeta Martin

Pendeta Martin merupakan sosok sentral dari buku ini, sejak awal kita akan diberikan hints mengenai perilakunya yang abusive ke Nicky, anak perempuannya--yang masih satu geng dengan Eddie. Ia hidup berdua dengan Nicky, istrinya disebut sudah mati. Ia memiliki banyak pengikut yang sangat setia,yang bersedia melakukan apapun yang dimintanya, termasuk aksi masa menentang apa yang dilakukan Marianne.

Chloe

Diantara peralihan tahun 1986 dan 2016, tidak ada tokoh baru kecuali Chloe, seorang pemondok di rumah Eddie. Masih muda, nyentrik dan menarik, jadi teman ngobrol yang menyenangkan untuk Eddie yang di usia 40an tahun tidak banyak memiliki teman dan tidak memiliki pasangan. 

Yang Menarik dari buku ini:

Bagaimana anak-anak remaja berpikir dan berpendapat

Salah satu yang amat menarik buatku, yang pernah belajar sedikit tentang dinamika belajar anak-anak, adalah sudut pandang Eddie, seorang anak remaja berusia dua belas tahun yang memiliki pandangan-pandangan menarik. Ia juga memiliki banyak pendapat yang bijaksana untuk anak seusianya, tidak heran sebetulnya dengan latar belakang orang tuanya. 

Namun pada banyak kesempatan juga kalah dengan rasa penasarannya sebagai seorang anak-anak. Misal ia berpendapat kalau antusiasme untuk melihat jenazah yang baru saja ditemukan dari sungai adalah hal yang menjijikan, namun ia tak dapat meningkari rasa penasarannya untuk ikut melihat bersama teman-temannya. Yang cukup sejalan dengan salah satu hal yang khas dari anak-anak remaja, FOMO-- fear of missing out. 

Selain cara berpikir Eddie, kita juga akan terpapar cara Nicky, fat Guv, Hoppo dan Mickey bertindak, juga bagaimana naik turun hubungan pertemanan remaja, yang sangat sangat unik. 

Salah satu kutipan yang aku suka adalah:

"Itu permasalahannya dengan orang dewasa. Kadang tidak peduli pada apa yang kita karakan; mereka hanya mendengar apa yang mereka mau dengar" -- 233.

Namun tentu saja ini bisa jadi ada banyak bias ya, walaupun terasa hebat dan bijaksana, suara-suara Eddie sebetulnya kan dibuat oleh penulis yang bukan berada di usia Eddie (12 tahun) dan bahkan ditulis oleh C.J. Tudor yang seorang perempuan, bukan laki-laki sebagaimana sosok Eddie. Namun tetap saja! Menarik buat saya.

Kutipan-kutipan menarik Eddie

Karena kita melihat buku ini dari sudut pandang Eddie, yang buatku agak aneh, tapi juga bijaksana dan tidak mudah ngejudge orang lain. Ada banyak kutipan-kutipan yang layak di highlight dan amat relevan dengan kondisi siapapun. 

Tidak terlalu gore

Aku suka karena buku ini tidak terlalu gore dan tidak memberikan sensasi yang bikin enek habis bacanya [aku menemukan sensasi ini setelah membaca buku-buku Minato Kanae]. Tentu ada adegan-adegan eksplisit yang cukup berdarah-darah dan membuat saya urung membaca sendirian diluar kamar malam-malam hehe, tapi secara keseluruhan buku ini tidak terlalu membuat saya merinding. Tipe buku Misteri dan Thriller yang pas buat saya.

Kritik sosial tentang Agama

Sosok sentral Pendeta Martin dan pertentangannya dengan Marianne akan memberikan gambaran menarik tentang bagaimana beberapa sosok dalam buku ini memandang agama. 

Ada beberapa kutipan yang secara eksplisit membahas tentang ketidakcocokan keluarga Eddie dengan konsep agama.

Kurasa poinnya adalah orangtuaku tidak religius, dan mereka lumayan terbuka soal itu. Kurasa itu sebabnya mengapa sebagian orang di kota memandang mereka dengan sedikit curiga-- 157

--Menjadi orang baik adalah tentang bagaimana kita memperlakukan orang lain. Orang baik tidak butuh agama, karena mereka merasakan kepuasan batin dari melakukan apa yang benar." - 186 [Diucapkan oleh Ayah Eddie ke Eddie].

Selain ketidak cocokan tersebut, kita juga akan diperlihatkan betapa anehnya gambaran orang-orang yang mengaku beragama, mengaku menebarkan kebaikan, namun tidak terlihat pada tingkah dan lakunya. 

Buku ini tentu adalah gambaran realita yang terjadi tidak hanya di Inggris sana, tapi juga di Indonesia tentang orang-orang fanatis yang terjebak pada sosok dan penokohan tanpa benar-benar memahami substansi agama yang mereka anut.

Bagaimana kita menyikapi kematian

Ada banyak kematian di buku ini, terutama karena latar waktunya dalam rentang yang cukup panjang. Tidak semua kematian terjadi karena pembunuhan, namun itu jadi unik. Bagaimana Eddie yang kehilangan ayahnya, yang sebelumnya terkena demensia, namun meninggal beberapa tahun setelahnya, awalnya merasa sudah berpisah secara 'emosi' karena ayahnya tak bisa mengingatnya, tapi tetap sesak ketika Ayahnya akhirnya meninggal. 

Juga Hippo yang merasa ganjil ketika Ibunya yang sakit-sakitan meninggal dan ia merasa sebagian bebannya ikut hilang; yang kemudian ditenangkan oleh Eddie yang bilang, kalau kita bahagian karena penyakit orang tua kita juga ikut pergi. 

Atau bagaimana histerisnya Mickey ketika salah seorang anggota keluarganya juga meninggal.
Bagaimana Mr. Chalkman menyikapi kepergian seseorang yang amat dicintainya. 

Menarik sekali bagaimana semua hal ini mengingatkan saya kalau pada akhirnya kita juga akan mati; dan ada beragam cara orang mengenang kepergian kita.

---

Wrap Up

Buku berisi 345 halaman ini mampu membuat saya banyak merenung, sebuah kata yang aneh sebetulnya untuk menggambarkan apa yang saya rasakan setelah membaca buku misteri. Tapi ya begitu kenyataannya :). 

Sekali lagi, kalau kamu mencari plot twist dan kengerian serta kebrutalan pembunuhan berdarah-darah, kamu tidak akan menemuinya di buku ini! Tapi kalau kamu ingin membaca buku misteri pembunuhan sambil melihat latar belakang sosial yang terjadi dibelakang peristiwa tersebut, serta psikologi orang yang terlibat langsung dengan kejadiannya, mungkin buku ini cocok buat kamu! Ah dan iya, versi terjemahannya enak dibaca dan mudah dipahami!! 

---

Informasi buku The Chalk Man

Judul: The Chalk Man
Penulis: C.J. Tudor
Pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris tahun 2018
Pertama kali terbit dalam Bahasa Indonesia tahun 2020
Penerbit: PT Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia
Penerjemah: Meggy Soedjatmiko
Penyunting: Rina K. Agata
Penata Letak: Debora Melina
Desainer Salmpul: Y. Erson
Tersedia di iPusnas [gratis], Gramedia Digital [subscription]
Beli online disini: https://tokopedia.link/3cQddyNnaub



Mengawali hari kerja pertama dengan bekerja dari Kafe yang cukup menyenangkan.

Kali ini saya ingin menuliskan salah satu challenge #30DWC tapi acak, tak lagi berurut. Karena saya ketinggalan dan mulai keteteran untuk mengejar satu persatu, jadi saya akan pilih yang memang sedang relevan saja dengan apa yang ingin saya ceritakan. Salah satunya adalah prompt hari ke-14. Goals saya dalam 1 bulan kedepan. Goals saya sepanjang Oktober. 

Oktober 2022 akan jadi bulan yang super duper unik dan akan sulit saya lupakan, karena ini untuk pertama kalinya saya pindah kerja tanpa ada jeda libur atau transisi. Bahkan hitungannya saya masih kerja di dua tempat (karena pakai jatah cuti untuk early offboard di tempat kerja sebelumnya). Jumat masih kerja untuk kantor lama, Senin sudah kerja di tempat baru. 

Jadi goals saya satu bulan kedepan cuma satu: adaptasi. 

Adaptasi di kantor baru, adaptasi dengan jadwal kerja baru, adaptasi dengan roles baru, adaptasi dengan superior baru, adaptasi dengan peers baru, kenalan dengan semua stakeholder baru, dan memahami apa yang sebetulnya akan saya kerjakan kedepannya. 

Dulu, saya selalu percaya diri untuk bilang kalau saya adalah orang yang adaptif. Cukup baik dalam menanggapi perubahan-perubahan yang terjadi. Tapi sekarang ketika saya semakin tua, walaupun orang bilang belum tua-tua banget karena saya masih punya satu tahun jatah sebelum akhirnya menginjak kepala tiga, saya semakin menikmati berada di zona nyaman, saya suka rutinitas yang jelas, saya suka hari-hari yang mudah ditebak. Mungkin faktor lainnya yang membuat saya punya kecenderungan baru tersebut adalah karena peran saya sebagai seorang ibu. 

Pindah kerja dan punya roles baru di tempat kerja ini, lumayan 'keluar dari zona nyaman' saya. Bahkan lebih berat dari ketika saya dulu pindah kuliah ke Sumatera padahal saya SMA di Jawa, atau ketika saya ikut program mengajar di Sulawesi setahun lamanya. Mungkin dulu saya tidak benar-benar merasa keluar dari zona nyaman karena saya tahu bahwa tempat-tempat yang saya pilih (kampus, program ngajar dan kepemimpinan) akan membawa saya belajar jadi diri saya yang lebih baik dan banyak memberikan benefit-benefit baik secara pengetahuan maupun materi untuk saya nantinya. 

Di tempat kali ini, bukan materi yang benar-benar jadi tujuan utama saya. Dan saya meninggalkan tempat kerja yang luar biasa spesial, memberikan hak-hak pegawainya dengan fair, memberikan asuransi kesehatan yang luar biasa bagus!, pun meninggalkan kesempatan untuk promosi di tahun mendatang. 

Kali ini, saya cukup tertarik dengan misi yang dibawa tempat kerja baru saya. Saya percaya dengan apa yang sedang dilakukan oleh tim ini. Saya juga ingin jadi satu orang, satu bagian kecil yang terlibat untuk perubahan di bidang yang amat-amat menarik buat saya. Sekarang saya belum bisa cerita banyak, tapi saya harap saya bisa banyak berbagi tentang apa yang sedang saya kerjakan saat ini di blog. 

Semoga kepercayaan saya terhadap misi ini bisa membuat saya tetap bisa adaptif di tempat kerja baru ya! 

--

Saya sedang ikutan Tantangan 30 hari menulis yang diinisiasi @readingsummary. 
Kamu bisa ikutan juga loh dengan bergabung di grup telegramnya disini.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

POPULAR POSTS

  • [Review Asri] Atomic Habits - James Clear
  • Review Asri: Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom
  • Review Asri - Tempat Terbaik di Dunia karya Roanne Van Voorst
  • [Review Asri] Kemarau - A.A. Navis
  • Review Asri: As Long As The Lemon Trees Grow karya Zoulfa Katouh
  • Review Buku Angsa dan Kelelawar karya Keigo Higashino
  • Sabtu yang Menyenangkan dan kenapa saya suka membeli bunga
  • Review Asri: Manabeshima Island Japan karya Florent Chavouet
  • Main ke Toko Buku Pelagia Bandung
  • Review Asri - the house of my mother karya Shari Franke

Arsip Blog

  • ▼  2025 (16)
    • ▼  Mei 2025 (3)
      • Review Asri: Pengantin-pengantin Loki Tua karya Yu...
      • Review Asri: Minimarket yang Merepotkan karya Kim ...
      • Tiap Anak Berbeda, Termasuk Proses Melahirkannya; ...
    • ►  April 2025 (2)
    • ►  Maret 2025 (2)
    • ►  Februari 2025 (3)
    • ►  Januari 2025 (6)
  • ►  2024 (8)
    • ►  November 2024 (1)
    • ►  Agustus 2024 (1)
    • ►  Juni 2024 (1)
    • ►  Mei 2024 (2)
    • ►  April 2024 (3)
  • ►  2023 (17)
    • ►  November 2023 (1)
    • ►  September 2023 (1)
    • ►  Juli 2023 (4)
    • ►  Juni 2023 (4)
    • ►  Maret 2023 (2)
    • ►  Februari 2023 (2)
    • ►  Januari 2023 (3)
  • ►  2022 (52)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  September 2022 (12)
    • ►  Agustus 2022 (2)
    • ►  Juli 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (4)
    • ►  Mei 2022 (9)
    • ►  April 2022 (7)
    • ►  Maret 2022 (5)
    • ►  Februari 2022 (6)
    • ►  Januari 2022 (3)
  • ►  2021 (35)
    • ►  Desember 2021 (5)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (4)
    • ►  Agustus 2021 (3)
    • ►  Juli 2021 (2)
    • ►  Juni 2021 (1)
    • ►  Mei 2021 (3)
    • ►  April 2021 (1)
    • ►  Maret 2021 (2)
    • ►  Februari 2021 (6)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (13)
    • ►  Desember 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (4)
    • ►  Juni 2020 (3)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (1)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (14)
    • ►  November 2019 (1)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (2)
    • ►  Juli 2019 (2)
    • ►  Maret 2019 (3)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (2)
  • ►  2018 (15)
    • ►  Desember 2018 (4)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Juli 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (3)
    • ►  Maret 2018 (3)
    • ►  Januari 2018 (2)
  • ►  2017 (20)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  Oktober 2017 (3)
    • ►  September 2017 (2)
    • ►  Agustus 2017 (4)
    • ►  Juli 2017 (4)
    • ►  Mei 2017 (3)
    • ►  Januari 2017 (2)
  • ►  2016 (65)
    • ►  Desember 2016 (2)
    • ►  September 2016 (2)
    • ►  Agustus 2016 (3)
    • ►  Juli 2016 (17)
    • ►  Juni 2016 (7)
    • ►  Mei 2016 (7)
    • ►  April 2016 (25)
    • ►  Februari 2016 (1)
    • ►  Januari 2016 (1)
  • ►  2015 (29)
    • ►  Desember 2015 (3)
    • ►  September 2015 (2)
    • ►  Agustus 2015 (13)
    • ►  Juli 2015 (4)
    • ►  Juni 2015 (1)
    • ►  Maret 2015 (2)
    • ►  Februari 2015 (1)
    • ►  Januari 2015 (3)
  • ►  2014 (29)
    • ►  Desember 2014 (8)
    • ►  November 2014 (6)
    • ►  Oktober 2014 (2)
    • ►  September 2014 (2)
    • ►  Juni 2014 (3)
    • ►  Mei 2014 (2)
    • ►  Februari 2014 (6)
  • ►  2013 (66)
    • ►  Desember 2013 (1)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  Oktober 2013 (7)
    • ►  September 2013 (7)
    • ►  Agustus 2013 (15)
    • ►  Juli 2013 (4)
    • ►  Juni 2013 (8)
    • ►  Mei 2013 (2)
    • ►  April 2013 (5)
    • ►  Februari 2013 (3)
    • ►  Januari 2013 (9)
  • ►  2012 (6)
    • ►  November 2012 (4)
    • ►  Oktober 2012 (2)
  • ►  2011 (8)
    • ►  Oktober 2011 (4)
    • ►  September 2011 (1)
    • ►  Maret 2011 (3)

Goodreads

Asri's books

Kejutan Kungkang
it was amazing
Kejutan Kungkang
by Andina Subarja
The Fine Print
liked it
The Fine Print
by Lauren Asher
Under One Roof
liked it
Under One Roof
by Ali Hazelwood
Lessons from Surah Yusuf
it was amazing
Lessons from Surah Yusuf
by Abu Ammaar Yasir Qadhi
Setelah membaca ini sampai selesai malam ini. Jadi paham kenapa Allah bilang kalau Kisah Yusuf ini salah satu kisah terbaik dalam Quran. Ada terlalu banyak pelajaran berharga dari kisah Yusuf. Dr. Yasir Qadhi mengawali buku ini dg sebab...
No Exit
liked it
No Exit
by Taylor Adams

goodreads.com

Blog Perempuan

Blog Perempuan

Cari Blog Ini

Kamu pengunjung ke

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © Journal Asri. Designed by OddThemes