Journal Asri
Big Feelings by Liz Fosslien dan Mollie West Duffie

Bulan Juli diawali dengan membaca sebuah buku non-fiksi yang ditulis oleh salah satu kreator favorit saya: Liz dan Mollie. Beberapa tahun lalu saya pernah membaca buku mereka berjudul No Hard Feelings dan jatuh cinta pada cara Liz dan Mollie menulis dan membuat ilustrasi yang tepat tentang perasaan-perasaan yang jarang dibicarakan. 

Dalam buku Big Feelings, Liz dan Mollie membahas beberapa perasaan yang mengungkung kita, atau membuat kita berada di fase yang tidak baik-baik saja. Total ada 7 perasaan yang dibahas.

1. Uncertainty 
2. Comparison
3. Anger
4. Burnout

5. Perfectionism
6. Despair
7. Regret

Saya menandai nomor 3 dan nomor 4 karena dua perasaan tersebut yang sepertinya sangat-sangat relevan dengan saya. Namun dalam post ini, saya akan bahas satu perasaan yang menurut saya amat sangat sering dan normal kita rasakan. +perlu dipahami apa sih yang membuat kita merasa seperti itu. 

Anger

Sebagai seorang perempuan yang besar di Jawa Barat, marah bukanlah perasaan yang umum dilihat atau dikeluarkan. Saya jarang sekali marah meledak yang sampai teriak-teriak, tapi kalau membaca buku ini. Sebetulnya saya cukup sering marah, tapi marahnya sering kali terconvert lewat nangis (hehe). Saya juga jarang menyebutkan perasaan marah, biasanya saya bilang "Saya kesal". Selain nangis, marah atau kesalnya saya, bentuknya diam. Diam tidak bicara, apa yang orang-orang sebut 'silent treatment', yah kurang lebih begitu kalau saya sedang marah. Apa yang disebut di buku ini sebagai sesuatu yang tidak sehat. 

Nah, buku ini membahas tentang memahami perasaan anger ini. Dengan mengerti apa yang mentriggers kita untuk marah, dan tendensi kita ketika kesal atau marah ini ngapain sih. Kemudian membantu kita membuat strategi supaya bisa address the unmet needs dibalik kekesalan kita. 

Cari tahu yang membuat kamu kesal

Apa sih yang mentrigger kamu jadi kesal?

- Merasa tidak didengar?
- Mereasa sebuah keputusan dibuat secara tidak adil?
- Lagi ngomong disetop ditengah-tengah atau disela?
- Ada orang yang melakukan sesuatu yang berdampak ke kamu tapi gak izin dulu?
- Ketika ada orang kasih tahu harus A, B, C tanpa dengerin dulu kamu yang sebetulnya sudah mau melakukan A, B, C?
- dan lain-lainnya.

Mengidentifikasi kekesalan kamu, bsia membantu menantisipasi kapan nih, kita akan kesal dan membuat kamu bisa mengurangi amygdala hyjack. Sebua situasi dimana respon kita cepat dan overwhelming, atau meledak kali yaa, apapun bentuk emosinya, teriak-teriak, panik atau nangis. 

Memahami tendensi kamu ketika kesal

Selain triggers yang beragam, respon orang ketika sedang marah atau kesal juga tendensinya beragam. Ada 4 tendensi yang ditulis Liz dan Mollie di buku ini. 

1. Anger Supperssor

Ketika marah atau kesal buru-buru menurunkan emosi supaya tidak kesal (yang biasanya proses di alam bawah sadar), lalu punya tendensi menyalahkan diri sendiri, bahkan ketika hal tersebut terjadi bukan karena kesalahan kamu. Tendensi ini membuat kamu merasa tidak nyaman ketika sedang marah atau kesal. Padahal ketika rasa marah atau kesal ditahan, ini juga gak baik karena bisa memicu depresi atau gejala kecemasan, belum lagi tekanan darah tinggi yang bisa naik. 

Kalau kamu masuk ke kategori supperssor, kamu disarankan untuk latihan mengkomunikan rasa kesal atau marah kamu di tempat atau ke orang yang membuat kamu merasa nyaman. Gak perlu langsung besar, bisa sesimple minta partner kamu untuk gak simpan handuk sembarangan. Singkatnya: belajar menjadi asertif

2. Anger Projector

Kontras dengan poin diatas, orang dengan tendensi anger projector sering kali mengekspresikan rasa marah dan kesalnya secara agresif ke orang lain atau ke objek tertentu. Misal suka banting pintu keras-keras kalau marah atau ngata-ngatain orang ketika sedang kesal. 

Kalau kamu masuk ke kategori ini, disarankan untuk buat waktu jeda, antara trigger dan respon kamu, supaya kamu bisa cool down dulu. Ada sebuah teknik TIPP (temperatur, intese excercise, paced breathing dan progressive muscle relaxation) untuk latihan. Ambil jeda dengan keluar dulu dari ruangan, cuci muka pakai air dingin, melakukan aktivitas fisik atau kalau memang tidak bisa keluar dari ruangan atau situasi tersebut, bisa dengan ngomong kalau "Saya butuh waktu sebentar" agar tidak menjawab secara impulsif. 

3. Anger Controller

Kamu melakukan apapun untuk terlihat tenang walaupun sangat marah atau kesal. Alih-alih fokus memahami apa yang mentrigger kemarahan tersebut, kamu fokus untuk mengontrol emosi wajah. Sering kali orang yang berada dalam kategori ini sampai berubah nada bicaranya karena menahan marah, dan pulang dalam kondisi marah yang belum usai.

Kalau kamu masuk kategori ini, coba untuk lebih nyaman dengan perasaan marah atau kesal ini. Bisa dengan cara sederhana seperti bilang ke diri sendiri: "Aku kesal and that's okay".

4. Anger Transformer

Kategori ini punya tendensi untuk menyelesaikan marah dengan mengenali dan memahami kebutuhan yang lebih dalam. Orang-orang di kategori ini juga menyadari bahwa rasa marah dan kesal bisa diklarifikasi dan sehat kalau tidak diproyeksi ke hal lain atau kedalam diri kita sendiri. 

Kalau kamu sudah di kategori ini, lakukan apa yang memang sudah kamu lakukan. 

Mengidentifikasi kebutuhan dibalik rasa kesal atau marah

Ada tips menarik di buku ini untuk melakukan identifikasi kebutuhan kita ketika marah: coba tulis surat yang tidak dikirimkan ke siapa-siapa (atau bisa email ke diri sendiri) ketika sedang marah. Ada beberapa pertanyaan yang mungkin bisa membantu kamu dalam mengklarifikasi alasan-alasan kenapa kamu marah:

- Apa yang membuat kamu marah?
- Apa yang membuat kamu ada di situasi tersebut?
- Apakah ada perasaan lain yang mendasari rasa marah kamu?
- Aku harus melakukan apa supaya bisa okay sekarang?
- Apa outcome jangka panjang yang bisa membuat say amerasa lebih baik?
- Saya harus ngapain untuk mencapai outcome itu?
- Untuk setiap step mencapai outcome tersebut, apa saja plus minusnya?

Anger needs to be addressed; otherwise it becomes damaging. Karenanya, perlu untuk ambil jeda ketika marah atau kesal agar tidak melakukan hal impulsif yang membuat kita menyesal di kemudian hari. 

Mengekspresikan rasa marah atau kesal

Salah satu riset yang dikutip di buku ini menyebutkan kalau orang-orang yang bisa mengekspresikan perasaan mereka (termasuk rasa kesal) itu bisa hidup lebih sehat dibanding orang-orang yang suka menahan perasaan, menerjemahkan emosi yang kita rasakan kedalam bahasa tertentu baik ucapan langsung atau tulisan itu bisa membebaskan otak kita dari perasaan-perasaan negatif. 


Salah satu hal yang sangat disarankan, sekali lagi adalah: mencoba komunikasi asertif.

Selain itu, kita bisa mencoba untuk journaling emosi kita, tapi alih-alih menggunakan kata angry, kita bisa menggunakan beberapa emosi yang cukup spesifik seperti:
- Kecewa
- Sebal
- Frustasi
- Tidak berdaya
- Marah
- atau menggunakan bahasa daerah yang lebih dekat dan bisa diterjemahkan sebagai emosi yang tepat.

Takeaways

Beberapa takeaways yang bisa saya dapatkan dari chapter Angry
- Marah itu alarm dari dalam diri kita; coba untuk mendengarkan apa yang coba ia sampaikan
- Coba cari apa yang mentrigger kita marah
- Pahami gaya marah kita untuk bisa mengekspresikan marah dengan lebih baik dan sehat
- Allow yourself to be upset lalu cari juga kebutuhan emosi yang membuat kamu mengalami emosi tersebut
- Komunikasikan kebutuhan kamu secara asertf

Buku ini saya beli untuk menemani perjalanan kerja ke Lombok, Nusa Tenggara Barat. Perjalanannya singkat sekali, Senin subuh saya di Soekarno Hatta, penerbangan saya sebetulnya jam 9.20 WIB, jadi kesempatan menunggu dari subuh, saya gunakan untuk mampir ke Periplus. Disana, setelah menimbang galau, akhirnya membeli buku ini. Daaaaan sebuah pilihan yang tepat, karena buku ini akan jadi satu buku terbaik yang saya baca di tahun ini :')

Buku ini sepertinya sedang cukup ramai di linimasa Instagram saya, tapi seperti biasa, saya selalu skip atau melewatkan caption atau review buku yang belum saya baca :'), kebiasaan ini gak hilang sampai sekarang. Saya senang membaca caption orang lain tentang buku yang sudah saya baca, tapi menunda baca kalau itu buku yang belum saya baca, nanti deh, baca lagi setelah saya tamat baca biar merasa relevan. 

Akhirnya, kesampaian baca buku ini diperjalanan kemarin. Baca ini lumayan ngebut, Rabu sore di perjalanan dari Bandara sampai Bandung, saya selesai membaca buku ini. Dengan agak penuh perjuangan karena sudah mulai gelap dan lampu travel tidak mungkin dinyalakan, hehe jadi senteran sekitar 30 menit untuk membaca buku ini. 

Salama dan Perang Suriah

Buku ini ditulis menggunakan point of view tokoh utamanya, Salama. Seorang mahasiswa 19 tahun yang menjadi paramedis di Rumah Sakit Zaytouna, Homs, Suriah. Salama sebetulnya masih mahasiswa tingkat satu ketika perang dimulai, ia bahkan belum banyak melakukan praktek-praktek medis, bahkan ia sebetulnya bukan kuliah kedokteran atau keperawatan, ia mengambil jurusan farmasi dan amat sangat tertarik pada pengobatan dari bahan herbal, ia hapal tiap tumbuhan dan kegunaannya untuk tubuh manusia Namun karena tak banyak paramedis yang tersisa ditengah perang, ia akhirnya menjadi garda depan bersama paramedis lain yang tersisa di kota tersebut. 

Perang Suriah dan awal mula perang tersebut berkecamuk menjadi latar penting dalam buku ini. Zoulfa Katouh, sang penulis, memang menuliskan di akhir buku kalau ia ingin menjelaskan pada dunia tentang apa yang terjadi di Suriah. Tentang bagaimana Salama tinggal hanya dengan Layla, sang sahabat yang juga kakak iparnya. Ayah dan kakaknya, dokter ternama di kota Homs, ditangkap tentara pemerintah karena mengikuti aksi unjuk rasa. Sang Ibu, tewas naas karena bom, tepat di rumahnya. 

Sejak awal buku, kita diajak mengikuti trauma yang dihadapi Salama dan bagaimana ia berjuang untuk melakukan yang terbaik untuknya, Layla dan calon keponakannya agar bisa memiliki kehidupan yang lebih baik di luar Suriah. 

Salama dan Kenan

Tak disangka-sangka, buku ini juga menawarkan genre romansa yang rasanya agak sulit dibayangkan mengingat kondisi semua orang yang sedang sulit saat perang. 

Salama bertemu Kenan, seorang pemuda yang membawanya pergi ke rumahnya untuk melakukan operasi darurat untuk adiknya. Saat operasi selesai, kerusuhan terjadi di luar rumah Kenan, Ia terpaksa harus menginap di rumah Kenan bersama dua orang adiknya yang lain. 

Saat itulah Salama menyadari bahwa Kenan adalah pemuda yang hampir saja menjadi suaminya, andai perang tak terjadi. Setahun sebelumnya, keluarga mereka berdua hampir bertemu untuk membicarakan pernikahan, namun hal tersebut tak pernah terjadi. 

Sejak saat itu Salama dan Kenan menjadi tak terpisahkan. Menarik sekali bagaimana kehadiran Kenan bisa memberikan warna dalam kehidupan Salama. 

Keinginan untuk pergi dari Suriah kali ini jauh lebih besar lagi, namun Salama tak hanya ingin menyelamatkan dirinya dan Layla. Ia ingin Kenan dan adik-adiknya ikut. 

Namun saat itu pula konflik terjadi. Kenan tak mau pergi meninggalkan tanah air tercintanya. 

Salama dan Layla

Tokoh penting dalam buku ini, juga tokoh penting dalam buku ini adalah Layla. Sahabat Salama sejak kecil. Layla menikah dengan Hamza, kakak Salama dan otomatis menjadi tanggung jawab Salama ketika Hamza ditangkap tentara pemerintah. Layla sedang hamil ketika ditinggal Hamza. 

Trauma dengan kondisi perang dan kondisi kehamilannya, Layla tak pernah keluar dari rumah. Salama yang bekerja dan melakukan kegiatan lainnya. 

Layla selalu menjadi teman cerita Salama dalam suka dan duka. Rumah yang Salama tinggali sekarang adalah rumah Layla dan Hamza. Salama pergi dari rumahnya sejak Ibunya meninggal. 

---

Ada beberapa alasan mengapa buku ini jadi salah satu buku terbaik yang saya baca di tahun ini:

1. Mengenalkan saya pada Perang Suriah

Perang Suriah merupakan perang yang sering kali saya dengar namun tak pernah benar-benar saya tahu mengapa perang tersebut bisa terjadi. Setelah membaca buku ini, saya tak berhenti-hentinya googling dan membaca kisah perang Suriah yang sungguh memilukan. Saya tidak terbayang jika kondisi tersebut terjadi di Indonesia. Apa yang terjadi kalau waktu orde baru, Soeharto tak mundur dan membuat kondisi di Indonesia sekacau Suriah? Mengerikan sekali rasanya membayangkannya. Gara-gara buku ini juga, saya akhirnya membeli sebuah buku, The Bok Collectors of Daraya, sebuah buku yang menceritakan kisah empat puluh orang yang mengumpulkan buku-buku yang tersisa setelah bom meledak di kota mereka.

2. Kepedihan Salama sebagai korban perang

Buku ini benar-benar menggambarkan dengan baik betapa perihnya hidup di tengah peperangan. Melihat sarana prasarana, rumah, fasilitas umum hancur is one thing, tapi kehancuran kehidupan seseorang yang tak terlihat? mungkin dampaknya lebih fantastis, membaca kisah Salama, bisa jadi sarana untuk kita memahami bagaimana perang bisa menghantui hidup seseorang. Menhancurkannya secara perlahan, dan perlu bertahun-tahun waktu untuk kembali pulih.

3. Kisah Salama dan Kenan

Kisah Salama dan Kenan sebetulnya membuat saya agak deg-degan. Romance ditengah perang :') Saya sudah siap dengan ending apapun yang ditulis untuk Salama dan Kenan. Namun entah itu ending yang menyenangkan atau menyedihkan, saya jatuh cinta dengan kisah mereka sejak awal dan sepanjang prosesnya di buku ini :')

---

Buku As Long As The Lemon Tree Grows saat ini sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia! Kamu bisa beli di marketplace atau toko buku kesukaan kamu!

Setelah sekian lama ada di wishlish saya, akhir pekan lalu akhirnya saya memboyong buku ini ke rumah. Jumat kemarin saya mampir ke Periplus, dan sedang ada diskon lumayan besar untuk beberapa buku pilihan. Salah satunya buku ini; Manabeshima Island Japan, One Island, twi months, one minicar, sixty crabs, eighty bites and fifty shots of shochu karya Florent Chavouet. Dari harga aslinya yang bikin saya urung beli kala itu, 318.000, saya jadi bayar sekitar 110.000 saja di Periplus Bandung. 

Jadi buku ini isinya tentang apa?

Buku ini berisi pengalaman penulis di sebuah pulau bernama Manabe. Ia sebelumnya telah berkeliling Jepang namun lebih banyak di daerah perkotaan; salah satunya Tokyo, penulis juga membuat Graphic Travels berjudul Tokyo on Foot yang berisi pengalamannya di Tokyo. Ia merasa perlu menjelajahi daerah Jepang lainnya yang justru lebih besar dari pada daerah kota-nya, karena Jepang merupakan negara kepulauan. Ia akhirnya memilih pulau kecil berpenghuni yang tetap aksesible, dan tidak terlalu crowded dengan aktivitas tourism. Dipilihlah Manabeshima. 

Ada banyak alasan kenapa saya dangat suka buku ini, diantaranya adalah:

1. Ilustrasi yang sangat detail dan indah. Chavouet jelas punya bakat luar biasa dalam mengilustrasikan keseharian yang ia alami di Manabe :'). It's so beautiful

2. Observasi yang jujur dan teliti. Selain lewat gambar, Chavouet juga menuliskan kesan dan pengalamannya. Tulisan ini jujur bikin penasaran dan ditulis dengan gaya observasi tanpa ditambah bumbu 'perasaan' yang ia rasakan sepanjang perjalanan. Tanpa banyak 'refleksi' namun ini justru jadi hal yang menarik dan authentic. Saya merasa seperti sedang benar-benar ada di pulau tersebut. Walaupun Chevouet tidak menuliskan ia sedih di akhir buku, jadinya saya yang sedih berpisah dengan orang-orang yang ditulis dan digambar di buku ini. 

3. Peta! yap, peta. Chavouet suka sekali menggambar peta. Ia membuat peta perjalanan di laut, peta desa, peta Manabe yang juga jadi bonus poster super besar yang ada di bagian akhir buku. Petanya juga dibuat dengan gaya ilustrasi yang Chavouet banget! 

4. Buku ini berhasil membuat saya jadi kembali membuka sketchbook dan alat gambar saya untuk mulai menggambar hal-hal sederhana yang saya lihat :')

Saya lampirkan beberapa halaman dari buku ini yang sangat memanjakan mata ya! Buku ini jelas salah satu buku yang akan jadi buku favorit saya, dan membuat saya ingin membaca (dan membeli) Graphic Travel Memoars atau Illustrated Journey lainnya :') Harga buku genre ini pasti mahal dan sebetulnya sebanding dengan gambar yang akhirnya jadi miliki kita di rumah. Jadi sepertinya harus rajin menabung agar bisa membeli buku-buku genre ini. 











Menjalani akhir pekan yang normal setelah sebulan penuh akhir pekan diisi dengan bekerja-bekerja-bekerja, rasanya menyenangkan sekali!

Bulan Mei kemarin, hampir tiap akhir pekan saya berada di Bogor untuk bekerja, biasanya Sabtu malam baru bisa pulang ke Cimahi, Minggu kelelahan baru bisa bangun siang, Senin sudah kembali bekerja, teruus begitu, ada satu pekan yang bahkan Sabtu Minggu diterabas terus bekerja, Senin judah harus kembali standby, sudah bilang izin setengah hari pun, tetap tidak bisa benar-benar 'izin' dari kerusuhan pekerjaan haha! Kalau dituliskan rasanya memang melelahkan sekali, tapi alhamdulillah terlewati dan dilewati bersama teman-teman kerja yang menyenangkan. Sehingga walaupun lelah dan bawaannya ingin mengeluh, tetap bisa terlewati. 

Hari ini Saya, Mas Har dan Rana akhirnya bisa menikmati akhir pekan normal kami seperti waktu-waktu sebelumnya. Sarapan garang asem, dilanjutkan pergi Taman Hutan Kota Babakan Siliwangi, tempat favorit Rana se-Bandung Raya hehe, beneran super duper happy tiap diajak ke Baksil. Mampir ke Salman untuk Sholat Dzuhur dan cari makanan sekitar ITB, lalu lanjut ke Gramedia Merdeka untuk menjemput Conan 102, ditutup mampir ke Baltos untuk belanja beberapa keperluan. 

Seharian ini juga saya membaca buku yang baru datang Jumat malam kemarin, buku preloved yang saya beli random karena murah :') tapi isinya gak bisa bikin berhenti baca.


Sjahrir; Peran Besar Bung Kecil. Buku setebal 258 halaman ini mampu menghipnotis saya sampai bisa mengacuhkan pesan-pesan di WhatsApp, absen buka medsos sampai terus baca sepanjang perjalanan Cimahi - Bandung - Cimahi. Sekarang belum habis sih :) masih setengahnya, entah akan dilanjutkan malam ini atau akan diselingin membaca Conan dulu, tapi cerita Sjahrir seru sekali :') 

Tiap-tiap baca buku sejarah atau tokoh yang namanya sering saya dengar di buku sejarah dulu tuh, saya sering ngucap: where have I've been siih, kok baru tahu kisah-kisah ini sekarang. Gara-gara baca buku ini juga saya jadi kepikiran mau mulai mengoleksi seri buku saku Tempo lainnya. Tidak banyak buku sejarah yang ditulis dengan gaya bahasa yang mengalir dan membuat pembacanya penasaran terus-menerus, tapi tim penulis Tempo bisa sekali menyajikan ini di buku Sjahrir. 

Sejak membaca Mirah dari Banda, saya penasaran ingin membaca kisah Hatta dan Sjahrir yang sempat diasingkan di Banda Neira, menarik sekali di buku ini dijelaskan bagaimana Sjahrir menjalani hari-hari di sebuah tempat pengasingan yang menurutnya adalah Surga :').

Lebih lanjut tentang buku ini nanti akan saya tulis di postingan terpisah ya setelah membaca hingga selesai! Selamat berakhir pekan! Semoga akhir pekanmu menyenangkan!

Akhir Pekan yang Normal dan menyenangkan yang sudah lama saya rindukan:

Rana di Baksil

Melamun di pelataran Salman

Menjemput Conan

Belanja di Baltos
Setelah sekian lama! Akhirnya menulis reviu di blog lagi hehe :') 

Buku yang baru saja selesai saya baca kali ini adalah Angsa dan Kelelawar, buku terbaru Keigo sensei yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Buku ini merupakan buku ke-7 Keigo yang saya baca. Judul aslinya 白鳥とコウモリ atau Hakucho to Komori. Edisi Bahasa Indonesia buku ini kembali diterbitkan oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama dan diterjemahkan oleh Eri Pramestiningtyas. 

Buku setebal 560 halaman ini berhasil saya baca dalam waktu satu minggu, cukup lama dibandingkan buku-buku Keigo Higashino lain yang saya baca (saya masih ingat membaca salah satu bukunya hanya dalam waktu 2 hari 1 malam saja saking serunya). Apakah ini berarti bukunya kurang seru dibanding yang lain? Hmmm mari kita ulas. 

Blurb:

Buku ini diawali dengan temuan mayat seorang pengacara di Tokyo yang teridentifikasi bernama Shiraishi Kensuke. Kita akan melihat Godai dan Nakamachi, detektif yang bertugas menyelesaikan kasus ini bertemu dengan orang-orang yang terakhir bertemu korban dan dekat dengan korban, seperti sedang ikut menyelidiki kasus dari awal, hingga akhirnya bertemu dengan Kuraki Tatsuro, seorang pria tua yang tinggal sendirian di Perfektur Aichi, jauh dari Tokyo yang dengan mudahnya mengakui kejahatannya membunuh Shiraishi.

Pihak kepolisian, jaksa, pengacara dan pihak-pihak yang terlibat dalam kasus ini merasa tidak ada lagi yang perlu diselidiki karena kesaksian korban bisa menjadi bukti dalam persidangan, namun berbeda halnya dengan Shiraishi Mirei, anak perempuan Kensuke dan Kuraki Kazuma, anak laki-laki Tatsuro yang tinggal di Tokyo. Keduanya merasakan adanya keanehan dalam kasus ini. 

Mirei merasa motif pembunuhan yang diutarakan Tatsuro, tidak cocok dengan kepribadian Ayahnya. Sementara Kazuma merasa ayahnya tidak akan mungkin melakukan pembunuhan apapun alasannya. Berangkan tadi keanehan ini dan rasa penasaran untuk mengetahui kebenaran dibalik kasus ini, Mirei dan Kazuma melakukan penyelidikan sendiri-sendiri, hingga akhirnya di satu titik, mereka bertemu dan bekerja sama untuk menyelesaikan kasus ini.

Tidak masuk list buku Keigo favorit saya

Sejujurnya, dibandingkan buku Keigo lainnya, saya tak begitu dibuat penasaran dengan ending dan pelaku sesungguhnya dalam kasus kali ini. Walaupun tidak bisa secara detail menebak siapa pelakunya, namun saya bisa membayangkan alasan-alasan dan motif pelaku serta gambaran besar kasus yang pada akhirnya benar terbukti ketika membaca sampai akhir. 

Tetap menjadi bacaan yang menarik, namun bukan buku terbaik Keigo (setidaknya buat saya). Dan saya jelas tidak akan merekomendasikan buku ini untuk pembaca yang belum pernah membaca buku keigo sebelumnya. Saya akan lebih merekomendasikan buku-buku Detective Kaga atau Detective Galileo hehe. 

Rasanya buku ini terlalu tebal untuk kisah Tatsuro dan Shiraishi :') tapi tentu ini sangat subjektif yaaaa, cukup lama buat saya untuk menemukan titik ngebut baca karena penasaran bangeeet. Biasanya langsung ketemu di awal-awal, namun untuk buku ini, saya harus membaca hingga tengah buku, tepat disaat Mirei bertemu dengan Kazuma baru akhirnya baca dengan kecepatan penuh.  

Hal Menarik yang membuat buku ini bisa tetap jadi pertimbangan kamu untuk lanjut baca buku ini:

1. Dua kasus yang berhubungan
Salah satu hal yang membuat buku ini begitu tebal adalah kaitan kasus pembunuhan Shiraishi di 2017 dengan kasus pembunuhan yang mengakibatkan seseorang menjadi korban salah tangkap dan korban memilih gantung diri di penjara di tahun 80an, kasus ini telah kadaluarsa dan penyelidikannya cukup menyusahkan semua orang di buku ini. 

Lumayan seru menghubungkan apa yang terjadi di masa lalu hingga berdampak pada sebuah pembunuhan 30 tahun setelahnya

2. Mirei dan Kazuma
Mirei dan Kazuma, anak korban dan anak tersangka, tidak menelan begitu saja fakta-fakta yang mereka dapatkan dari polisi, mereka merasa ada yang salah hingga akhirnya melakukan penyelidikan mandiri, bertemu dengan orang-orang dari masa lampau kedua ayah mereka. 

Sebagai seseorang yang juga gemar membaca romance, saya berharap ada banyak cerita tentang Mirei dan Kazuma hahaaa, tapi tentu tidak akan didapatkan di buku ini. Setidaknya endingnya lumayan menangkan saya yang suka penasaran apa sih yang terjadi pada tokoh utama dalam buku ini. 

3. Pesan tersirat dari Angsa dan Kelelawar
Menemukan kebenaran tentunya jadi keinginan Mirei dan Kazuma disini, namun ketika kebenaran yang sesungguhnya muncul, butuh waktu buat semua orang untuk menerima kebenaran ini. Saya suka bagaimana di bagian akhir buku, penulis memberikan gambaran cara Mirei berproses dengan kebenaran yang ia temukan.

Saya juga suka bagaimana penulis seolah memberikan pesan bahwa berkorban untuk orang lain dengan menutupi kebenaran belum tentu jadi solusi, bahkan banyakan bikin masalah baru. Dan ketika kita mengorbankan diri untuk apa yang kita anggap benar, jangan - jangan ada orang terdekat kita yang akhirnya jadi korban baru dari tindakan kita. 

Rating untuk Angsa dan Kelelawar

Saya pribadi memberikan 3,5 dari 5 bintang untuk buku ini, tapi di goodreads ratingnya lumayan loh! 4.12, jadi mungkin saya-nya saja yang tidak terlalu cocok dengan cerita di buku ini! tetap bisa jadi pilihan bahan bacaan yang lumayan menyegarkan di sela-sela kesibukan!

 






Setelah menjalani pekan yang cukup menekan juga ditinggal Mas Har beberapa hari karena ia harus kerja dari luar kota, saya benar-benar menantikan akhir pekan kali ini. Setidaknya saya ingin memastikan hari Sabtu bisa recharge energi saya. 

Alhamdulillah Sabtu malam saya (dan Rana!) benar-benar tidur nyenyak karena menjalani hari yang sangat-sangat menyenangkan. Saya banyak melakukan hal-hal sederhana yang membuat saya bahagia. 

Memulai hari dengan memandang wajah Mas Har dan Rana yang masih tidur lelap (saya suka sekali kalau bangun lebih awal dibanding mereka berdua, hari-hari rasanya berjalan lebih tenang kalau saya bangun duluan dibanding sebaliknya)

Kami bertiga sarapan gareng asem favorit kami bertiga, bahkan Rana yang sedang banyak menolak makan beberapa hari ini juga mau makan dengan lahap. Lalu saya mampir ke kios bunga di jalan gedong empat, mengajak Rana untuk melihat bunga-bunga yang dijual. Saya selalu suka hari dimana saya bisa mampir ke kios bunga, menaruh bunga tersebut di vas di meja kerja saya, huhu rasanya menenangkan. 

Saya kadang bertanya-tanya, apa ya yang membuat saya begitu senang membeli bunga dan menjadikan hal ini sekarang sebagai hal reguler yang saya lakukan. Kadang bingung sendiri, karena Ibu saya tidak melakukan hal itu di rumah, saya tidak mendapat contoh dari orang-orang di dekat saya tentang kebiasaan membeli bunga ini. 

Tapi lalu saya berpikir, mungkin (mungkiin sekali), selain memandangi bunga dalam ember-ember ibu pedagang bunga di kios yang amat-sangat cantik, jauh di dalam hati saya, saya sangat ingin melakukan hal ini karena ya ini apa yang saya saksikan di film. Atau bisa jadi, saya sangat senang bisa melakukan ini karena saya pernah (sampai sekarang masih juga sih, tapi kadarnya berkurang), untuk bisa tinggal di tempat dimana membeli bunga adalah hal manis yang bisa dilakukan reguler, tanpa perlu menunggu waktu-waktu khusus seperti ketika anniversary. 

Saya pernah ingin sekali bisa merasakan tinggal di Eropa untuk beberapa waktu (gak selamanya), dulu sih kebayangnya bisa lanjut sekolah disana yaaaa haha, tapi saya sendiri belakangan melihat lanjut sekolah malah sebagai sesuatu yang merepotkan alih-alih menyenangkan, mungkin belum saatnya saja :) masih banyak repotnya kalau sekarang. Kemudian saya mencoba mengasosiasikan, kalau beneran tinggal di Eropa apa sih yang ingin dilakukan disana? melakukan hal reguler yang dilakukan orang-orang disana? beli bunga seminggu sekali? Kenapa tidak dilakukan sekarang di Cimahi! Haha, hal ini juga yang menjadikan saya melakukan hal-hal lain yang mudah membuat saya happy lainnya yang saya lakukan kemarin: Main ke ruang terbuka hijau. 

Saya dan keluarga sering sekali main ke Lapang Tembak di Cimahi, dulu bisa sampai seminggu 2-3x, sekarang minimal seminggu sekali. Jaraknya dekat sekali dari rumah kami, tidak sampai 10 menit naik motor. Disana, Rana bisa lari-lari, melihat abang-abang main bola, melihat kakak-kakak dan teteh-teteh yang sedang berolah raga, saya bisa baca buku di udara segar, kami bisa piknik kalau hari sedang cerah dan lapangan tidak becek. Yaaa, ini menyenangkan dan menenangkan sekali. Dan yang bikin lebih menyenangkan adalah fakta bahwa saya bisa melakukan hal ini sebagai aktivitas yang reguler tanpa biaya :) ada siiih jajan-jajan dikit, tapi ya sedikit sekali. 

Semoga kami selalu diberikan kelapangan waktu dan hati untuk bisa melakukan hal-hal ini, dan bisa selalu bahagia menjalani hal-hal sederhana!

Semoga akhir pekan kamu yang membaca blog ini juga menyenangkan ya!





 


Setelah membaca Kisah Dari Kebun Terakhir di Januari lalu, saya membaca buku lain yang juga ditulis oleh antropolog, sebuah buku yang sudah bikin saya penasaran sejak lama sekali. Judulnya: Tempat Terindah di Dunia. Buku ini ditulis oleh seorang antropolog Belanda, Roanne Van Voorst yang pernah selama setahun tinggal di wilayah kumuh Jakarta, dalam buku ini nama lokasi disamarkan untuk kebaikan banyak pihak, Roanne menyebut nama wilayah penelitiannya sebagai Bantaran Kali. 

Tidak dijelaskan secara persis kapan Roanne datang pertama kali ke Jakarta, dari cerita dalam buku ini, dimana Roanne masih panas-panasan naik mikrolet dan transportasi di Jakarta masih sangat semrawut, saya menduga riset ini dilakukan sebelum 2010. 

Apa saja isi buku ini?

Buku ini berisi beberapa bab yang tak melulu membahas banjir. Berikut catatan saya tentang masing-masing bab di buku ini. 

Bab 1: Tidur Bersama Portofon
Ini spesifik tentang banjir dan bagaimana status sosial warga di Bantaran Kali ditentukan dengan kepemilikan portofon. Semacam walkie talkie yang bisa menangkap sinyal jarak jauh dari pemantau status ketinggian sungai. Portofon bisa memberi sinyal kapan banjir akan terjadi juga sebesar apa, membuat warga bisa bersiap-siap sebelum banjir. 
Menarik bagaimana dijelaskan kalau awalnya portofon diberikan oleh pemerintah untuk membantu warga di Bantaran Kali, namun kemudian setelah rusak dan tetap gagal mengantisipasi banjir, pemerintah tak lagi memberikan Portofon dengan alasan: 'hadirnya' pemerintah di Bantaran kali bisa membuat mereka merasa apa yang mereka lakukan (tinggal di Bantaran Kali) adalah hal yang benar.

Bab 2: Ketika Ada Kabel Listrik Putus
Bercerita tentang dampat mengenaskan dari kebakaran yang terjadi di kampung padat penduduk. Saya merinding membayangkan kebakaran yang terjadi di Jakarta, dimanapun itu, kebakaran di Jakarta sangat mengerikan rasanya karena daerah yang ber-gang-gang dan susah dimasuki mobil pemadam kebakaran. Di buku ini kurang lebih diceritakan kejadian serupa, pada akhirnya warga yang saling gotong royong menyelematkan diri sendiri dan tetangga, serta memastikan api tidak menyebar semakin besar.

Bab 3: Menunggu atau Membayar
Ini bab yang sangat unik buat saya: tentang budaya korupsi orang-orang Indonesia yang mendarah daging sampai level grassroot. Roanne menceritakan kisahnya yang 'dipersulit' mendapatkan izin penelitian di Indonesia karena ia tak mau memberikan 'amplop' kepada petugas di kantor imigrasi. 

Kejadian ini juga terjadi lagi ketika akhirnya seorang petugas dari kantor pos datang hendak mengantarkan surat, namun tak kunjung diberikan hingga akhirnya Roanne memberikan 'uang jasa terima kasih' kepada petugas tersebut.

Bab 4: Jangan Pernah Percaya Dokter
Di Bab ini kita akan diajak membaca persepsi warga di kampung kumuh dan resistensi mereka ke hal-hal yang berbau 'medis' atau 'rumah sakit'. Kalau membaca kisah di bab ini, wajar sekali sebenarnya warga di Bantaran Kali lebih memilih cara-cara yang ada selain cara medis atau harus ke rumah sakit. Hampir semua orang yang diceritakan Roanne disini memiliki pengalaman tidak mengenakkan dengan rumah sakit karena satu sebab: mereka miskin. 

Orang miskin memang sering kesulitan berobat, saya menduga ini masa sebelum era BPJS dan Kartu Indonesia Sehat mulai ramai dan hampir dimiliki seluruh warga Indonesia, namun bahkan setelah semua orang punya akses berobat yang sama dengan kartu BPJS atau KIS pun, masih banyak diantara masyarakat, tetangga saya contohnya, yang lebih memilih cara-cara tradisional untuk berobat dibanding ke rumah sakit. Tetap ada ketakutan membayar diluar harga yang mereka miliki, jika tidak benar-benar ada pilihan lain untuk sembuh, baru mereka pergi ke rumah sakit. 

Bagi warga Bantaran Kali (jikapun sekarang masih ada), mungkin mendapatkan BPJS bukanlah sesuatu yang mudah seperti saya atau masyarakat lain yang lebih beruntung. Seperti yang kita tahu urusan pemerintahan selalu membutuhkan KTP dan KK disetiap persyaratan administrasinya, dan hal ini sepertinya tidak dimiliki semua warga Bantaran Kali.

Bab 5: Mangga, Cabe Merah dan Pembangkit Gairah Lainnya
Ini bab yang juga sangat seru haha! Kita akan melihat percakapan yang lebih 'vulnerable' tentang sex, relasi perempuan dan laki-laki dan mitos-mitos tentang sex di kalangan warga Bantaran Kali. Di bab ini, saya merasa lebih relevan dengan Roanne yang banyak gak tahu apa-apa dan tidak yakin bisa mempercayai 100% mitos-mitos yang bertebaran disini. 

Bab 6: Menabung untuk Beli TV
Bayangkan warga yang tinggal secara ilegal di pinggiran kali, kemungkinan sediki yang memiliki KK dengan alamat yang sesuai, juga KTP yang bisa dipercaya dan dijadikan pegangan ketika ingin mengajukan pinjaman di Bank; haha jangankan memikirkan pinjaman, datang ke bank untuk menabung pun sepertinya warga Bantaran Kali tak biasa. Namun bukan berarti mereka tak menabung; atau tak bisa meminjam. Bagi warga Bantaran Kali, 'Pinter' adalah sosok bank di Bantaran Kali. Ia pemutar roda keuangan layaknya Bank. 

Warga bisa menabung untuk tujuan tertentu, dan tidak bisa mengambil sembarangan tabungan tersebut (semacam deposito ya haha), lalu warga juga bisa meminjam uang; tentu dengan bunga yang tinggi dan tidak ada jaminan suku bunga sesuai regulasi yang berlaku. Beberapa akan menyebutnya sebagai rentenir, namun bagi warga Bantaran Kali, sosok Pinter amat penting untuk perputaran roda keuangan.

Bab 7: Selalu Bersama Dimana-Mana
Bab ini menceritakan struggle-nya Roanne ketika tinggal bersama warga Bantaran Kali; yang 1. Seperti halnya kebanyakan orang Asia, hidupnya sangat komunal dan menganggap 'kesendirian' sebagai sesuatu yang menakutkan. 2. Tak banyak sekat dan tempat untuk hidup sebagai seorang individu disini, belok dikit ada orang, di rumah pun ada orang lain yang tak paham pentingnya privacy.

Roanne yang selalu mudah lelah secara emosional ketika bertemu banyak orang, harus beradaptasi dengan kondisi warga Bantaran kali yang selalu merasa Roanne harus ditemani, bahkan ketika ia tidak meminta. Kalimat "kasian, sendirian" jadi sering berulang ia dengar. 


Review Asri

Sayaaa suka sekali membaca buku ini, walaupun isinya menjelaskan hal yang sama sekali berbeda dengan perasaan saya setelah membaca buku ini. Saya amat kagum dengan Roanne yang bisa tinggal setahun lamanya di Bantaran Kali, juga cara ia menuliskan kisah warga Bantaran Kali di Buku ini.

Buku ini amat saya rekomendasikan untuk dibaca oleh orang-orang yang sering menganggap warga seperti Tikus dan teman-temannya sebagai benalu dalam perspektif pembangungan. Buku ini juga sangat membuka mata saya tentang kemiskinan struktural. Saya selalu ingat riset yang dilakukan SMERU tentang mengapa anak dari keluarga miskin cenderung akan tetap miskin ketika dewasa. Walaupun ada, tentu tidak semua orang bisa mendapatkan kesempatan untuk keluar dari jerat kemiskinan.

Saya benar-benar menangis membaca epilog buku ini. Pada tahun 2015, kampung di Bantaran Kali benar-benar digusur, banyak dari mereka tak jelas akan tinggal dimana. Menuliskan review buku ini di bulan Maret 2023 membuat saya jadi berpikir, dibanding menyalahkan masyarakat ataupun pemerintah, kenapa tidak mencoba melihat lebih mendasar apa yang sebetulnya menjadikan masyarakat membangun hunian di daerah terlarang (atau di Tanah Merah, istilah yang sedang hangat usai terjadi kebakaran di DEPO Pertamina Plumpang pada 3/3/2023 Malam). 

Diskusi yang bergulir di twitter membuka 'mata' banyak pihak bahwa warga sebetulnya tak boleh tinggal di Tanah Merah tersebut, sama halnya dengan yang terjadi dengan apa yang dilakukan warga Bantaran Kali. Namun apa yang membuat mereka masih bisa tetap memiliki hunian disana hingga 2023? Bahkan ketika tahun 2009 pernah terjadi kebakaran di lokasi yang sama? 

Atau jika ditarik mundur lagi, apa yang membuat orang-orang berebut memiliki hunian di Jakarta? Mengapa orang-orang datang ke Jakarta meski memiliki resiko tak memiliki hunian yang layak? 

Saya tahu banyak peneliti dan pakar yang lebih ahli yang memiliki jawaban ilmiah dari fenomena tersebut, namun bagi saya yang hanya bisa melihat fenomena dari apa yang saya lihat dan saya alami, hal ini, --orang berbondong-bondong datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan, mencoba mencari harapan perbaikan kehidupan, atau sekedar bertahan hidup, akan selalu terjadi selama wilayah Indonesia lainnya tak menawarkan pekerjaan bagi masyarakatnya. 

Sejak lulus kuliah, saya bekerja dua kali untuk dua yayasan (saya bekerja sebagai guru), dan dua-duanya saya dibayar underpaid. Dibawah UMR Kota Cimahi, tempat kedua yayasan tersebut berada. Penghasilan saya akhirnya bisa mengikuti UMR atau melebihi UMR setelah bekerja di Jakarta atau bekerja untuk perusahaan atau yayasan berbasis Jakarta. 

Sedih memang, tidak banyak pilihan untuk bisa memiliki penghasilan layak ketika bekerja di luar jakarta. Ini baru membicarakan saya, seorang pekerja kerah putih yang alhamdulillah bisa bekerja dari balik laptop, bagaimana dengan kesempatan untuk pekerja informal seperti warga Bantaran Kali? :')

Membaca buku etnografi memang selalu memberikan dua dampak bagi saya: satu sisi bisa mengasah empati dan belajar melihat sudut pandang baru. Di sisi lainnya, saya sering merasa powerless, useless atau apalah itu. Karena tidak bisa melakukan apa-apa setelah tamat membaca buku. Kecuali membagikan pengalaman saya membaca buku ini di Internet. 



 


Mungkin Senin bisa jadi hari yang lebih menyenangkan kalau saya bangun lebih pagi, pasangan saya bangun lebih pagi, anak saya dikondisikan untuk bangun lebih pagi.

Mungkin Senin bisa jadi hari yang tidak menyebalkan ketika kami semua bangun lebih pagi dan saling bertanya pada masing-masing orang agenda yang harus dilakukan pada Senin pagi, pukul berapa, harus ada dimana, apakah bisa mengantar anak ke Daycare atau tidak.

Mungkin Senin pagi bisa jadi yang penuh senyum dan berjalan seperti hari pada umumnya kalau saya dan pasangan saya bisa set ekspektasi masing-masing tentang hari Senin dan tahu jadwal masing-masing setidaknya di jam wajib mengantar anak.


Hari ini saya ingin meluangkan waktu agak lama untuk menuliskan kesan mendalam dari sebuah buku yang saya baca sebulan kebelakang. Kisah di Kebun Terakhir, buku non-fiksi yang saya beli ketika mampir ke Theotrapi, Yogyakarta di Desember 2022. Penjaga tokonya semangat sekali meracuni saya membeli buku ini karena kebetulan buku yang saya cari, Tempat Terbaik Di Dunia, sedang tidak ada. Ia bilang, pengalaman membaca buku ini akan sama serunya, karena sama-sama buku yang ditulis oleh seorang antropolog.

Saya belum membaca Tempat Terbaik Di Dunia, sampulnya bahkan belum saya buka, tapi satu hal yang pasti: Kisah dari Kebuh Terakhir bisa jadi akan menjadi salah satu buku terbaik yang saya baca di 2023. Padahal ini baru Januari. 

Buku ini ditulis oleh Tania Murray Li, Guru Besar pada Department of Anthropology, University of Toronto, versi pertama buku ini terbit dalam Bahasa Inggris, pertama kali diterbitkan di Amerika Serikat pada 2014 dengan judul Land's End: Capitalist Relations on Indigenous Frontier oleh Duke University Press. Buku yang saya baca adalah versi Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Marjin Kiri, diterjemahkan oleh Nadya Karimasari dan Ronny Agustinus. 

Saya ingin mencoba menuliskan pengalaman saya membaca buku ini, tapi saya mau disclaimer dulu, saya bukan aktivis gerakan, bukan akademisi dan bukan orang yang bergerak di gerakan sosial terutama untuk isu agraria. Jadi kalau kamu mengharapkan review dari sudut pandang tersebut, mungkin kamu tidak akan menemukannya di tulisan saya. 

Sebelum menulis review ini, saya sempat menonton bedah buku ini di video Youtube. Salah satu pembahasnya, Suraya A. Affif membahas kalau buku ini ditujukan untuk tiga audience: 


Nah, saya tidak masuk ke-ketiganya. Apa yang saya tuliskan, murni dari sudut pandang seserang yang biasanya membaca novel misteri, komik dan buku-buku fantasi, kemudian bertemu dengan buku nonfiksi yang amat asyik untuk dibaca.

Apa yang membuat saya begitu jatuh hati pada buku ini?

Sebelum menjawab pertanyaan diatas, saya akan sedikit menceritakan isi buku ini. 

Buku ini adalah tulisan yang bersumber dari pengalaman Tania Li selama dua puluh tahun melakukan riset etnografis di Sulawesi. Tepatnya di Sulawesi Tengah. Tania melakukan riset tentang hubungan kapitalisme di antara penduduk adat, tepatnya yang terjadi di Suku Lauje yang dibuku ini dikisahkan tinggal di perbukitan.

Kisah dari Kebun Terakhir membahas upaya penghuni perbukitan untuk ikut serta dalam iming-iming derap kemajuan yang dijanjikan oleh narasi modernisasi, hanya untuk mendapati dampak kesenjangan akibat hubungan-hubungan kapitalis yang muncul di antara mereka. Petani yang mampu mengakumulasi lahan dan modal mereka menjadi sejahtera; mereka yang kalah bersaing tertendang keluar arena. Kebun Terakhir membahas berbagi lahan, dan berakhirnya hutan primer sebagai cadangan tanah, tempat penghuniperbukitan bisa berekspansi manakala dibutuhkan atau ada kesempatan. Buku ini juga membahas rasa kebingungan mereka--tiba di jalan buntu, akhir dari semenanjung yang dikitari lautan, tanpa rakit ataupun arah tujuan. Inilah nasih Kasar dan petani-petani lain seperti dia, yang tidak bisa lagi menghidupi keluarganya dengan cara-cara lama, tetapi juga tidak punya pilihan lain yang tersedia (pendahuluan, hal. 2, Kisah dari Kebun Terakhir) 

Buku ini memang membahas (mungkin lebih tepat disebut bercerita) tentang kemunculan hubungan kapitalis di antara penduduk adat di perbukitan. Namun cara Tania berkisah sangat-sangat membuat pembaca yang awam pada isu sosial politik seperti saya, sangat menikmati buku ini. Diawali dengan narasi pedih tentang kehidupan Kasar, seorang lelaki empat puluh tahunan yang dikunjungi Tania, yang kondisinya mengenaskan namun tak punya banyak pilihan hidup. 

Mengenal Lauje lewat Kisah dari Kebun Terakhir

Orang-orang Lauje, kalau dicari di Google

Saya diajak berkenalan dengan Suku Lauje, bentang alamnya, hubungan-hubungan yang membuat penghuni perbukitan Lauje sebagai orang miskin dan terbelakang, dan mendorong mereka mencari jalan untuk memperbaiki nasib, bagaimana cara mereka hidup dan bertani di masa lampau, kebiasaan kerja dan tolong menolong orang-orang Lauje serta bagaimana akhirnya terjadi pengkavlingan yang menyebabkan pergeseran kepemilikan tanah untuk bercocok tanam di Lauje. 

Secara geografis, orang-orang Lauje tinggal di beberapa Kabupaten di Sulawesi Tengah, namun dalam penelitian di buku ini, wilayah yang dibahas secara spesifik adalah Kabupaten Parigi Moutong.

Ada lima bab utama dalam buku ini:

1. Posisi
2. Kerja dan Tolong-menolong
3. Pengavelingan
4. Hubungan-hubungan Kapitalis
5. Politik, Ditinjau Kembali

Di masing-masing Bab, kita akan melihat pengamatan Tania yang digabungkan dengan teori serta catatan akademik, kamu bisa langsung melihat catatan kaki dari jurnal atau buku yang dibahas Tania di buku ini. 

Meskipun membagi buku ini dalam lima bab utama, kita akan merasa kalau membaca buku ini seperti membaca catatan maju, kebanyakan kisah-kisah penelitan awal memang ditempatkan diawal buku, semakin maju membaca buku, semakin saya dibuat penasaran bagaimana nasib mereka sekarang setelah hilangnya budaya tolong-menolong dan terjadinya pengavelingan?

Ketika membaca buku ini, saya merasa amat dekat dengan orang-orang Lauje karena satu hal:

Saya pernah tinggal di tempat yang tidak jauh dari Lauje, dengan posisi geografis yang amat mirip dengan mereka. Tahun 2017 saya pernah meengajar di sebuah SD di daerah perbukitan di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Karena tidak pernah tertarik dengan isu agraria sebelumnya, ketika bertugas saya tak pernah banyak bertanya tentang asal mula warga di desa saya bertugas menanam tanaman-tanaman yang mereka miliki sekarang. 

Tapi gambaran Tania tentang kehidupan sosial warga perbukitan di Sulawesi, rasanya sama persis dengan tempat saya pernah tinggal selama setahun. Mulai dari kebiasaan saling membantu, guru yang tinggal di pesisir dan perlu melakukan perjalanan jauh ke sekolah di perbukitan sehingga kadang tak hadir mengajar, bagaimana gesekan sosial di desa, kondisi ketika jalan mulai di bangun dan bagaiman pemerintah pernah berusaha memindahkan warga ke tempat yang lebih dekat ke pesisir, namun tak berhasil.

Jadi ya, saya merasa amat relevan dengan buku ini.

Membaca buku ini menawarkan pengalaman membaca yang cukup baru bagi saya, membaca hasil penelitian dengan narasi yang sangat indah dan membuat saya merasakan emosi yang bercampur aduk rasanya. Ada marah, geram, kesal, sedih, atau merasa useless ketika membaca buku ini dibagian akhir karena tahu ini adalah satu fenomena yang terjadi di Indonesia tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa.

Antropolog yang tidak 'narsis'

Cara Tania bercerita berkisah benar-benar membuat saya ikut mendengarkan ia duduk bersama warga di Lauje dan mendengarkan satu cerita dari beberapa sudut pandang. Saya juga diajak menyaksikan "ketamakan" salah satu sosok di buku ini, yang oleh Tania tidak dilabeli sebagai seseorang yang Tamak, saya bahkan hampir tidak menemukan label-label tertentu ditulis oleh Tania di buku ini, jika ada label yang menyangkut, biasanya adalah label dari warga lain kepada orang tersebut. Seperti yang ada di halaaman 212, ketika ia menceritakan pernikahan sebagai salah satu peristiwa yang bisa mempengaruhi keputusan ekonomi warga Lauje (saking besarnya pengeluaran yang diperlukan). 

Ia menuliskan:

Ada satu contoh terkenal di Pelalang. Seorang pria tua yang membuka banyak dapat menjual semuanya untuk membayar tinggi mahar istri muda, dan dengan demikian membuat anak-anaknya tidak punya warisantanah. Tahan itu memang miliknya, tetapi pada masa ketika tanah menjadi kian langka dan mahal, tetangga menilai tindakannya itu bodoh sekaligus egois. (hal 212)

Karena mendengarkan dan melihat dari sudut yang lebih banyak, penulis bahkan bisa mengoreksi prasangka secara objektif berdasarkan catatan penelitian yang ia punya. 

Petani Sibogo juga mengatakan saudara mereka di Sipil tidak bisa mengelola uang dan ingin mengonsumsi barang-barang yang sebenarnya tidak mampu mereka beli. ----kritik semacam ini ada benarnya untuk beberapa kasus tetapi sebagian besar tidak. Petani Sibogo tidak merasakan impitan yang dialami keluarga miskin dengan lahan sempit dan upah kecil yang menjual kebun produktif demi bertahan di masa krisis. (hal 214).

Ada salah satu kutipan dalam diskusi Bedah buku Kisah dari Kebun Terakhir dari Ben White, yang menyebutkan apa yang membuat buku Tania amat menyenangkan untuk dibaca. Kebanyakan antropolog atau penulis yang menulis studi etnografi kebanyakan 'narsis', seolah-olah membuat pembaca 'lihat nih saya sedang melakukan studi seperti ini'. Tapi Tania berhasil membuat pembaca (TERMASUK SAYA) yang membacanya merasa duduk disebelahnya, ikut dalam studinya, hidup bersama orang-orang Lauje walau sebentar saja. Videonya bisa kamu saksikan disini.

Siapa yang cocok membaca buku ini?

Meskipun judulnya terkesan berat (terutama bagian hubungan kapitalis di wilayah adat), namun membaca buku ini sangat-sangat tidak membosankan dan tidak membuat kita pusing dengan istilah-istilah yang sulit dipahami. Bahkan jika kita bukan orang yang tertarik pada isu agraria, konflik sosial, atau gerakan sosial, buku ini tetap akan sangat menarik untuk dibaca jika kamu ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada masyarakat perbukitan. 

Namun memang buku ini akan lebih relevan jika kamu punya ketertarikan terhadap isu sosial. Tapi teteeeep sih, enggakpun, saya merekomendasikan siapa saja untuk membaca buku ini!

Ini pertama kalinya saya membaca tulisan etnografi dan sepertinya akan mulai membaca beberapa buku etnografi yang diterbitkan Marjin Kiri setelah membaca buku ini. 

Informasi Buku

Kisah dari Kebun Terakhir: Hubungan Kapitalis di Wilayah Adat
Penulis: Tania Muraay Li
Diterbitkan pertama kali tahun 2014 di Amerika serikat dengan judul Land's End: Capitalist Relations on Indigenous Frontier oleh Duke University Press
Penerjemah: Nadya Karimasari dan Ronny Agsutinus
Editor: Muhammad Iqbal
Penyusun indeks: Muhammad Haikal
Cetakan pertama: Agustus 2020
Diterbitkan oleh Marjin Kiri
Jumlah halaman: i - xiv + 326 halaman
Ukuran: 14 x 20,3 cm
Harga: 97.000
Bisa dibeli di Tokopedia Marjin Kiri 









 


Saya sebetulnya bukan penggemar lama Agatha Christie, saya ingat pertama kali membeli buku Agatha Christie di tahun 2015 karena bundlenya didiskon 100.000an saja di Gramedia Bandung tapi baru benar-benar membaca Agatha Christie di tahun 2021 ketika pandemi. 


Karena waktu itu belum pernah baca sama sekali buku-buku Oma, saya malah dengan ringannya membagikan buku-buku ini kepada siapapun yang meminta haha! Sekarang ketika mulai membaca dan mengoleksi karya Oma malah jadi sedikit menyesal (astagfirullah As!) haha bukan karena apa siiih, tapi karena menumpulkannya kembali jadi agak susah nih hihi. Tapi yaa memang sama Allah dikenalkan karya oma (benar-benar baca maksudnyaa) di waktu yang tepat. Sekarang ketika secara finansial sudah lebih lowong buat jajan-jajan buku Oma. Walaupun teteeep jajannya yang diskonan HAHA!

Buku Agatha Christie yang saya beli di Desember 2022

Pertengahan tahun 2022 dan akhir tahun 2022 ketika Gramedia diskon lumayan banyak buku Oma dengan harga 30% dari harga asli, saya beli semua yang diskon ga pakai mikir :'). Kapan lagi kaan ya. Satu bukunya ga ada yang lebih dari 20.000 saja harganya. 

Sekarang tahu-tahu saya sudah punya hampir 30 judul Buku-buku Agatha Christie di rumah. 

Tahun ini, tepatnya mulai Januari 2023 saya perdana ikutan #ReadChristie2023, sebuah tantangan membaca buku-buku Agatha Christie. Listnya dikeluarkan oleh website resmi Agatha Christie. Berikut list bacaan dari #Readchristie2023 tahun ini:


Menarik sekali untuk diikuti mengingat saya kadang belum terlalu banyak tahu karya-karya Agatha Christie, padahal bukunya ada banyaaak sekali. Jadi bisa sekalian membantu ngebabat TBR. Oiya, walaupun ada buku-buku yang sudah ditentukan, sebetulnya kalau kita sudah baca ga harus baca buku tsb, tapi bisa stick ke tema bulanan, biasanya nanti ada rekomendasi buku lainnya untuk topik di bulan tersebut. 

Sad Cypress

Nah, sekarang kita masuk ke review. Topik bulan ini adalah tentang Jealousy. Karena saya belum pernah baca Sad Cypress, saya langsung pilih buku judul utama buat bulan ini. 

Sad Cypress memang pas sekali masuk ke tema kecemburuan. Buku ini bercerita tentang kisah cinta yang rumit dengan bumbu-bumbu harta warisan didalamnya (atau malah kebalik ya hah kisah tentang harta warisan yang dibumbui kisah cinta rumit). Yah begitulah.

Tokoh utama dalam buku ini yang sejak prolog dikisahkan menjadi terdakwa pembunuhan adalah Elianor Carlisle. Seorang perempuan muda dari London yang sudah bertunangan dengan cinta pertamanya Rodecick Welman atau Roddy. Sejak awal digambarkan kalau cinta Elianor pada Roddy jauh lebih besar daripada cinta Roddy pada Elianor. 

Elianor punya seorang bibi yang kaya raya dan sakit-sakitan, bibinya ini menikah dengan paman Roddy. Jadi semua orang berpikir, ketika bibinya wafat, mereka berdua yang akan mewarisi semua kekayaan bibinya. Siapapun yang mendapatkan, toh pada akhirnya akan menikah juga. 

Eh, ketika menjenguk bibinya, Roddy bertemu sosok Mary Gerard. Anak penjaga kebun di rumah bibinya yang amat disayangi bibinya. Elianor pernah mendapatkan surat kaleng untuk berhati-hati akan ada sosok perempuan muda yang pandai mengambil hati dan bisa-bisa bibinya menyerahkan semua harta warisan kepadanya alih-alih Elianor dan Roddy. Mereka berdua tahu surat itu merujuk pada Mary Gerard. Namun diam-diam, Roddy rupanya jatuh cinta pada Mary. Dan dari sana ketegangan bermula.. 

Membaca buku ini rasanya memang seperti membaca romance rasa misteri alih-alih sebaliknya. 

Analisis Poirot

Hercule Poirot hadir dibuku ini. Ia hadir atas undangan dr. Peter Lord, dokter Mrs. Welman. Ia diam-diam naksir Elianor pada pandangan pertama ketika bertemu Elianor di rumah bibinya. Lord percaya kalau bukan Elianor pembunuh Mary Gerard (Oh iya, Mary Gerard memang tewas dan ini bukan spoiler. Ini ada di prolog pendahuluan halaman pertama buku ini yang mengambil setting Elianor di pengadilan). 

Poirot tidak mau percaya Lord begitu saja. Ia bertanya terkait semua kemungkinan, semua motif. Siapa saja yang diuntungkan saat Mrs. Welman wafat, juga saat Mary meninggal dunia. Ia pada akhirnya bertemu dengan semua orang yang terlibat dalam kasus ini. Dua perawat yang merawat Mrs. Welman dan dekat dengan Mary: Suster Hopkins dan Suster O'brien, Roddy, Ted Bigland--Pemuda desa yang naksir Mary, dan Elinor sendiri. 

Menarik sekali bagaimana Poirot memperlakukan semua informasi, ia bahkan menganggap kebohongan adalah informasi yang berarti karena ia adalah awal dari banyaknya kebenaran yang akan mengungkap kasus. 

Pada akhirnya Poirot bisa menemukan siapa yang sebenarnya membunuh Mary kok! Tapi tidak akan saya ceritakan disini supaya tidak spoiler. 

Ada yang sudah pernah membaca buku ini juga? bagaimana pendapat kalian tentang buku ini?


 


Mengawali Januari 2023 dengan sebuah bacaan yang menyenangkan! Buku ini saya beli setelah membaca review dari Kak Ayu @kakipendek di Instagram di tahun 2022. Baru berkesempatan membaca sekarang daaaaan rasanya senang sekali bisa berkenalan dengan buku ini. 

Buku ini ditulis oleh Iqbal Aji Daryono, title yang beliau tulis di buku ini adalah Praktisi Medsos Penuh Waktu dan itu terbukti sih lewat semua tulisannya. Mas Iqbal pasti banyak meluangkan waktu di media sosial sampai-sampai bisa banyak menulis tentang kasus-kasus yang viral di 2022. Sejujurnya ada beberapa kasus yang saya harus googling dulu agar dapat konteksnya, tapi selain tulisan yang membahas kasus viral, semuanya bisa langsung dicerna kok!

Kumpulan Essai 

Buku ini sebetulnya adalah kumpulan 30 essai yang semuanya membahas tentang fenomena di dunia maya. Mulai dari ketergantungan kita pada google maps, ketagihan media sosial, pergeseran peran penyebaran informasi yang awalnya dipegang televisi kemudian ke YouTube, hingga bagaimana teknologi bisa membantu kita tetap berkegiatan serta sedikit banyak membantu pergerakan ekonomi di musim pandemi.

Saya merasa senang membaca buku ini karena sebetulnya isu yang dibahas adalah isu yang cukup serius. Saya termasuk orang yang menurut pendapat saya sendiri sudah cukup ketagihan media sosial, susah rasanya sehari gak buka Instagram atau buka Twitter untuk membaca apa yang sedang terjadi di luar sana. Tapi di tiap pembahasan di buku ini selalu disertakan humor dari penulis yang cocok dengan humor saya. Jadinya sepanjang membaca buku ini, selain jadi belajar, jadi refleksi, saya juga jadi tertawa ngakak-ngakak sendiri. 

Ada banyak kritik cukup tajam termasuk kepada saya sebagai seorang pembaca yang punya 'jiwa kehumasan' untuk mengumumkan kepada seluruh dunia kalau saya baru saja selesai membaca buku A, dan ini pendapat saya tentang buku A. Ada juga kritik yang dikembalikan kepada penulis yang tidak terima karena bayarannya rendah jauh dibawah bayaran selebgram. Serta kritik kepada diri penulis sendiri yang saya rasa akan berlaku pada kita semua, tentang hilangnya kemampuan kita bersosialisasi dengan warga lokal, karena sekarang tak ada lagi orang yang bertanya lokasi suatu tempat pada warga setempat. Semua tinggal klik. Begitu alatnya ga ada, HPnya ketinggalan, bingungnya setengah mati. 

Tak selamanya buruk

Meskipun kita akan menemukan banyak poin-poin refleksi tentang bagaimana teknologi somehow mengubah kita bukan untuk maju kedepan, tapi mundur kebelakang karena ketergantungan kita dengan beragam aplikasi ini, kita juga akan mendapatkan kisah-kisah tentang bagaimana teknologi bisa membantu orang-orang yang bahkan mungkin tidak punya HP Android di rumah mereka dalam tulisan Youtuber Pembela Petani, halaman 128, penulis menuliskan tentang rahasia (yang tidak rahasia-rahasia amat haha) tentang konektivitas dan digital sociopreneurship. 

Penulis juga berkali-kali mengingatkan kita supaya tidak terjebak echo-chamber, satu kondisi ketika apa yang muncul di alogaritma medsos kita hanya tulisan yang ingin kita baca. Ini terutama kalau sudah berkaitan dengan isu politik. Untuk menghidari hal ini, ia sangat menyarankan kita agar mengikuti orang-orang yang pemikirannya sama/mirip dengan kita, juga yang jauh berbeda. Jadi kita bisa banyak membaca beragam pandangan, dan tidak mudah reaktif pada satu isu tertentu. 

Rating Asri

Saya suka sekali buku ini. Jadi saya beri bintang 5/5 di goodreads :)) Sangat direkomendasikan untuk dibaca oleh kamu yang banyak menghabiskan waktu di dunia maya! 


Biasanya saya selalu menyempatkan diri menulis di penghujung tahun. Tapi tahun ini  lalu rasanya sangat melelahkan. Ada begitu banyak hal yang terjadi sampai rasanya semuanya tumpah-tumpah. Emosi, kenangan, pencapaian, dan harapan untuk 2023. 

Pada akhirnya resolusi saya di 2023 tidak banyak. Selain resolusi finansial agar bisa lebih disiplin menabung dana darurat dan dana pendidikan Rana dan sedikit keinginan menabung agar bisa membangun rumah sendiri, saya hanya ingin menjalani 2023 dengan tidak terlalu stress. 

Pekerjaan dengan load yang agak ketat sepertinya bikin saya agak stress tahun lalu. Ada rasa bersalah karena merasa mengabaikan anak (yang pada akhirnya terbantu dengan keputusan memasukkan anak ke daycare--dan Rana terlihat menikmati kesehariannya disana), namun tak mengurangi sedikit banyak perasaan dan keinginan untuk bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan Rana. 

Mungkin rasa bersalah ini juga datang karena saya mendadak dapat banyak tugas ke luar kota, hampir setiap pekan atau sekali dalam dua pekan, kadang intensitasnya meninggalkan semalam saja, tapi pernah sampai empat malam. Kalau sedang bekerja jauh dari Rana, saya mencoba tetap fokus kerja, karena kepikiran Rana pun gak bikin kerjaan saya selesai serta gak bikin saya bisa memeluk Rana saat itu juga. 

Saya gak tahu apakah perasaan yang sama juga dirasakan oleh Mas Har ketika meninggalkan Rana. Tapi sepertinya iya. Waktu harus bertugas keluar kota selama seminggu lebih, tiap sore atau malam ia pasti video call Rana. Bedanya saya tidak bisa melakukan itu, karena pernah dicoba dan tiap lihat saya di handphone Rana langsung menangis. 

Perasaan bersalah seperti ini makin sering sekali menghantui saya kalau saya sedang tidak terlalu menikmati pekerjaan saya. Sepadan tidak ya, apa yang saya dapatkan baik dari sisi pengembangan diri, karier dan pendapatan dengan jarak yang ada ketika meninggalkan Rana. Disisi lain, saya juga lebih sering menikmati daripada tidak menikmati, bekerja 9 to 5. 

Huaaah, begitulah cerita tahun baru dari seorang Ibu beranak satu yang sedang ingin curhat saja tentang suka dan duka menjadi Ibu bekerja. Bagaimanapun juga saya merasa bisa mengenal diri saya, dan saya tahu saya akan lebih stress ketika tidak bekerja dibanding ketika bekerja, jadi yaa sudah dijalani saja yaa, Bu Asri. 

Semangat Ibu atau calon Ibu yang bekerja maupun tidak bekerja, semoga jalan apapun yang kita pilih diridhoi Allah dan jadi keputusan yang terbaik. 

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

POPULAR POSTS

  • [Review Asri] Atomic Habits - James Clear
  • Review Asri: Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom
  • Review Asri - Tempat Terbaik di Dunia karya Roanne Van Voorst
  • [Review Asri] Kemarau - A.A. Navis
  • Review Asri: As Long As The Lemon Trees Grow karya Zoulfa Katouh
  • Review Buku Angsa dan Kelelawar karya Keigo Higashino
  • Sabtu yang Menyenangkan dan kenapa saya suka membeli bunga
  • Review Asri: Manabeshima Island Japan karya Florent Chavouet
  • Main ke Toko Buku Pelagia Bandung
  • Review Asri - the house of my mother karya Shari Franke

Arsip Blog

  • ▼  2025 (16)
    • ▼  Mei 2025 (3)
      • Review Asri: Pengantin-pengantin Loki Tua karya Yu...
      • Review Asri: Minimarket yang Merepotkan karya Kim ...
      • Tiap Anak Berbeda, Termasuk Proses Melahirkannya; ...
    • ►  April 2025 (2)
    • ►  Maret 2025 (2)
    • ►  Februari 2025 (3)
    • ►  Januari 2025 (6)
  • ►  2024 (8)
    • ►  November 2024 (1)
    • ►  Agustus 2024 (1)
    • ►  Juni 2024 (1)
    • ►  Mei 2024 (2)
    • ►  April 2024 (3)
  • ►  2023 (17)
    • ►  November 2023 (1)
    • ►  September 2023 (1)
    • ►  Juli 2023 (4)
    • ►  Juni 2023 (4)
    • ►  Maret 2023 (2)
    • ►  Februari 2023 (2)
    • ►  Januari 2023 (3)
  • ►  2022 (52)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  September 2022 (12)
    • ►  Agustus 2022 (2)
    • ►  Juli 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (4)
    • ►  Mei 2022 (9)
    • ►  April 2022 (7)
    • ►  Maret 2022 (5)
    • ►  Februari 2022 (6)
    • ►  Januari 2022 (3)
  • ►  2021 (35)
    • ►  Desember 2021 (5)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (4)
    • ►  Agustus 2021 (3)
    • ►  Juli 2021 (2)
    • ►  Juni 2021 (1)
    • ►  Mei 2021 (3)
    • ►  April 2021 (1)
    • ►  Maret 2021 (2)
    • ►  Februari 2021 (6)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (13)
    • ►  Desember 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (4)
    • ►  Juni 2020 (3)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (1)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (14)
    • ►  November 2019 (1)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (2)
    • ►  Juli 2019 (2)
    • ►  Maret 2019 (3)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (2)
  • ►  2018 (15)
    • ►  Desember 2018 (4)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Juli 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (3)
    • ►  Maret 2018 (3)
    • ►  Januari 2018 (2)
  • ►  2017 (20)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  Oktober 2017 (3)
    • ►  September 2017 (2)
    • ►  Agustus 2017 (4)
    • ►  Juli 2017 (4)
    • ►  Mei 2017 (3)
    • ►  Januari 2017 (2)
  • ►  2016 (65)
    • ►  Desember 2016 (2)
    • ►  September 2016 (2)
    • ►  Agustus 2016 (3)
    • ►  Juli 2016 (17)
    • ►  Juni 2016 (7)
    • ►  Mei 2016 (7)
    • ►  April 2016 (25)
    • ►  Februari 2016 (1)
    • ►  Januari 2016 (1)
  • ►  2015 (29)
    • ►  Desember 2015 (3)
    • ►  September 2015 (2)
    • ►  Agustus 2015 (13)
    • ►  Juli 2015 (4)
    • ►  Juni 2015 (1)
    • ►  Maret 2015 (2)
    • ►  Februari 2015 (1)
    • ►  Januari 2015 (3)
  • ►  2014 (29)
    • ►  Desember 2014 (8)
    • ►  November 2014 (6)
    • ►  Oktober 2014 (2)
    • ►  September 2014 (2)
    • ►  Juni 2014 (3)
    • ►  Mei 2014 (2)
    • ►  Februari 2014 (6)
  • ►  2013 (66)
    • ►  Desember 2013 (1)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  Oktober 2013 (7)
    • ►  September 2013 (7)
    • ►  Agustus 2013 (15)
    • ►  Juli 2013 (4)
    • ►  Juni 2013 (8)
    • ►  Mei 2013 (2)
    • ►  April 2013 (5)
    • ►  Februari 2013 (3)
    • ►  Januari 2013 (9)
  • ►  2012 (6)
    • ►  November 2012 (4)
    • ►  Oktober 2012 (2)
  • ►  2011 (8)
    • ►  Oktober 2011 (4)
    • ►  September 2011 (1)
    • ►  Maret 2011 (3)

Goodreads

Asri's books

Kejutan Kungkang
it was amazing
Kejutan Kungkang
by Andina Subarja
The Fine Print
liked it
The Fine Print
by Lauren Asher
Under One Roof
liked it
Under One Roof
by Ali Hazelwood
Lessons from Surah Yusuf
it was amazing
Lessons from Surah Yusuf
by Abu Ammaar Yasir Qadhi
Setelah membaca ini sampai selesai malam ini. Jadi paham kenapa Allah bilang kalau Kisah Yusuf ini salah satu kisah terbaik dalam Quran. Ada terlalu banyak pelajaran berharga dari kisah Yusuf. Dr. Yasir Qadhi mengawali buku ini dg sebab...
No Exit
liked it
No Exit
by Taylor Adams

goodreads.com

Blog Perempuan

Blog Perempuan

Cari Blog Ini

Kamu pengunjung ke

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © Journal Asri. Designed by OddThemes