Journal Asri

Wow! beberapa hari lalu saya berulang tahun. Usia saya bertambah satu, setahun lagi saya masuk kepala tiga, suatu hal yang rasanya sama surealnya seperti menikah dan punya anak. Usia 20an adalah usia yang unik, ada terlalu banyak hal yang terjadi. Dari kuliah, lulus kuliah, bekerja, bekerja, bekerja, menikah, punya anak dan tetap bekerja. Semuanya terjadi di usia 20tahunan. Now that it might be over, I'm quite sad but also happy! haha, awalnya saya merasa agak sedih karena akan meninggalkan periode 20snya saya, but being 30 might be fun too! dan anyway, itu masih setahun lagi haha jadi ya mari lebih banyak berefleksi tentang usia 30 di tahun depan. 
Tahun ini ulang tahun saya rasanya lumayan spesial karena saya punya wishlist barang yang ingin sekali saya beli dan beneran dibeli di hari ulang tahun. We don't even bought a cake or blow some candles at home because I want only 2 things: flowers and my wishlist. Mas Har being romantic by buying me those two things, well actually for my wishlist he contribute 40% wkkkk, but it totally fine, because I know how costly it was. 

Yah anyway, baru kali ini saya ingin sekali beli barang, dan karena tahun ini saya sudah lumayan bekerja keras nabung, rasanya gapapa deh beli. Untuk beli barang yang saya mau, saya gak sepenuhnya pakai uang tabungan sih haha, saya menjual beberapa items yang tidak lagi terpakai dan dengan tambahan hadiah dari mas har jadi cukup untuk beli hadiahnya hihi. 




Tidak ada tiup lilin tapi tetap dinner bareng Mas Har dan Rana, dan rasanya menyenangkan sekali. 

Keesokan harinya malah baru tiup lilin dan makan kue dibeliin Fitri, kami berdua kerja bareng dari kedai Kopi. Setelah tiga hari sebelumnya lumayan padat merintil dan harus kerja dari rumah sambil ngasuh Rana juga karena embahnya ada perlu ke luar kota, ga bisa nitip pas jam-jam tertentu, pergi kerja keluar bentar gini rasanya menyenangkan sekali! Refreshing. 

Walaupun belakangan kami gak terlalu punya banyak waktu buat saling cerita panjang tentang update-update kehidupan, beneran banyakan kerja dan meetingnya aja tiap ketemu, tapi lumayan banget bisa saling cerita dikit-dikit :'))).





Sebelum menutup pekan kerja, Jumat saya kerja ke kantor. Kali ini saya berangkat sendirian naik KRD dari Cimahi ke Bandung dan sambung angkot. Karena berangkat sendirian, bisa ngisi waktu commuting sambil lanjut baca buku. (Biasanya kalau bareng fitri pasti ngobrol sepanjang jalan :'))). Senang sekali kembali membaca buku Conversations on Love dan mendapatkan beberapa paragraf yang kok rasanya pas sekali dengan apa yang sedang saya rasakan sekarang. 



Masih on going baca buku ini dan ingin menyelesaikan baca di akhir pekan :) tapi bahkan belum tamat bacapun, saya amat sangat merekomendasikan buku ini untuk dibaca semua orang!

Sekarang, sambil menulis ini, saya sedang sendirian di rumah (senang sekali akhirnya bisa weekend santai di rumah~ belakangan susah banget, weekendnya terisi buat agenda di luar atau menerima tamu), duduk di meja kerja, memandang bunga yang dibelikan Mas Har beberapa hari lalu, minum kopi yang juga dibelikan Mas Har, dengerin lagu yang saya suka dan dikelilingi buku-buku yang menunggu dibaca dan diulas. 



Saya bisa bilang ini ulang tahun terbaik saya, karena saya punya semua yang saya butuhkan dan saya bisa semakin dan semakin mudah terhibur dan bahagia dengan hal-hal kecil yang terjadi dalam kehidupan saya sehari-hari. Alhamdulillah. 

Melewati Juli dengan tidak membaca dan menulis terlalu banyak :')).
Agustus sepertinya akan menjadi bulan yang penuh tantangan jua. 

Baru tiga hari, tapi rasanya tak henti-henti mengeluh. Kemarin saya membaca kutipan di media sosial, kalau semua hal yang kita cari, kita lindungi, kita kejar, kita sayangi bermuara pada satu hal: bersyukur.
That post hit me hard. Sepertinya saya sedang kurang kurang kurang sekali bersyukur belakangan. 

sources: https://www.instagram.com/p/CgvuO56P4eR/?hl=en


Sebulan lalu saya memulai membuat prompts jurnal yang isinya menuliskan sebaris gratitude list selama 31 hari di Bulan Juli, ada hari-hari dimana saya sulit sekali menuliskan rasa syukur. Apa yaa yang membuat saya bahagia dan bersyukur di hari tersebut. Padahal ada banyak hal-hal kecil, small win yang saya rasakan. Abainya saya pada hal-hal tersebut membuat hari-hari terasa lebih berat. :').

Kalau ditarik mundur, tentunya ada hal-hal lain yang membuat saya punya perasaan seperti ini. Hanya saja, saya sendiri kesulitan untuk menuliskan hal-hal ini, atau mungkin sungkan ya. Karena bukan hal-hal yang bisa dengan mudah saya bagikan kepada semua orang. 
Bisa jadi ini pertanda sudah saatnya konseling lagi nih! :'))). 

Atau bisa jadi saya juga sudah lama tidak membaca dan menulis santai, terlalu sibuk dengan pekerjaan dan urusan-urusan lainnya. Sepertinya saya harus mulai membuat jadwal membaca lagi, mungkin detox sosial media lagi juga haha. 

Siapapun kamu, dimanapun kamu! Semoga Agustus kamu menyenangkan!!




Hi All! Bulan lalu ada satu buku yang tamat saya baca dan saya ingin merekomendasikan buku ini untuk kamu yang suka baca rom-com dan suka baca buku. Karena buku ini temanya tentang buku :'), judulnya Book Lovers karya Emily Henry. Buku ini sedang cukup ramai diperbincangkan di media sosial (setidaknya di Instagram saya, banyak beberapa teman-teman yang sedang membaca buku ini). 


Ini buku Emily Henry pertama yang saya baca. Sebelumnya saya hanya sering melihat buku-buku beliau berseliweran di Instagram, terutama People You Meet on Vacation, tapi belum tergerak untuk baca. Book Lovers ini yang akhirnya bikin saya tertarik untuk baca karyanya, dan membaca buku ini membuat saya sangat terhibur.

Blurb

Buku ini berkisah tentang Nora Stephens, seorang literary agent yang sangat ambisius dan menyukai pekerjaannya. Di prolog buku ini, Nora dikisahkan bertemu Charlie Lastra, seorang eksekutif editor ternama. Nora ingin Charlie menjadi editor untuk buku Once in A Lifetime karya Dusty Fielding, penulis yang ia pegang. Ia merasa buku ini bisa menjadi hit dan Charlie adalah orang yang tepat untuk buku ini. Namun perjumpaan pertama Nora dan Charlie tidak berjalan lancar. Nora diputusin sepihak oleh pacarnya, lewat telfon, yang membuat ia terlambat dan tidak siap bertemu Charlie. Sementara itu Charlie menolak karena alasan ia tidak menyukai setting tempat buku Once in a Lifetime. Menganggap Dusty tidak tahu apa-apa tentang tempat tersebut. Yang jelas pertemuan tersebut bisa dibilang tidak berhasil. Nora dan Charlie tidak bertemu hingga dua tahun kemudian, dan selama dua tahun tersebut, Nora berhasil membuktikan kalau buku Once in a Lifetime menjadi best-seller dimana-mana. 


Nah long story short, dua tahun kemudian Nora dan Libby, adik Nora yang sedang hamil anak ketiga, melakukan perjalanan sebulan lamanya ke Sunshine Falls, North Caroline. Libby sedang meninginkan jarak untuk mempersiapkan diri kembali jadi ibu yang 24 jam harus ngasuh anak bayi, dan anak-anaknya akan tinggal bersama suaminya. 

Sunshine Falls, tempat pilihan Libby, adalah setting novel Once in a Lifetime yang ditulis Dusty. Libby sangat menyukai karya tersebut, bisa dibilang tergila-gila. Ia juga membuat life-changing vacation list untuk Nora; Ia ingin Nora menikmati liburan di kota kecil dan tidak terlalu sibuk dengan pekerjaannya. 

Sampai disana, Nora bertemu dengan sosok yang tidak ia duga: Charlie Lastra. Ia akhirnya mengenal Charlie lebih banyak disini, juga menemukan alasan kenapa ia bertemu dengan Charlie di tempat yang jadi setting novel yang tidak mau Charlie garap dua tahun lalu.

Siblings Relationship

Buat saya pribadi, buku ini amat menarik karena mengulas kehidupan Nora dan Libbi sama banyaknya (bahkan lebih banyak) dibanding porsi cerita Nora dan Charlie. Gak banyak buku bertema romance yang melakukan hal ini. Mood Nora di buku ini bahkan lebih banyak dipengaruhi oleh dinamika kehidupan Nora dan Libby ketika liburan bersama. 

Nora dan Libby memang punya hubungan yang unik. Mereka berdua punya bonding yang amat kuat, karena mereka hanya dua bersaudara; tidak punya ayah, diasuh Ibu sejak kecil dan ditinggal pergi Ibunya untuk selama-lamanya di usia ketika Nora masuk dewasa awal dan Libby masih remaja. Kebayang kan ya bondingnya :)

Ada beberapa hal yang berhasil ditampilkan penulis dengan amat sangat raw terkait hubungan kakak beradik, salah satunya perasaan tersakiti ketika menjadi orang yang tidak tahu apa-apa; merasa ada rahasia atau hal besar yang ia tidak tahu. Ini mirip juga dengan hubungan pertemanan sebetulnya ya, dulu sekali ketika kuliah, saya sering pundung (haha) kalau teman saya menyembunyikan sesuatu yg penting dari saya. Apalagi kalau ada orang lain yang duluan tahu, kesannya seperti kita tidak dipercaya untuk mendengarkan hal tersebut. Tapi uniknya hal ini berubah ketika kita semakin sibuk dengan kehidupan, mau cerita sini aku dengerin, enggak juga gapapa, I just hope you have at least one good person to listen to your story :'). 

Nah tapi hal ini emang bisa jadi gak berlaku kalau kamu deket banget sama adik kamu seperti Nora dan Libby; yang inginnya tetap dapat update terutama kalau ada hal-hal penting yang terjadi di kehidupan masing-masing. 




Ini salah satu kutipan di bukunya. Saya sampai tandain karena ini benar-benar menggambarkan emosi yang terjadi dalam diri saya juga ketika merasa dilewatkan untuk jadi tempat cerita oleh orang-orang yang saya sayang. Apalagi kalau kamu sudah merasa melakukan pengorbanan besar untuk orang tersebut. 

Yah anyway, hubungan Nora dan Libby memang jadi hal yang menurut saya paling menarik dari buku ini!

Nora & Charlie; Hubungan yang Dewasa

Kalau kamu capek baca rom-com yang ceritanya menye-menye, atau merasa "apaan sih tokohnya dramatic banget" nah, buku ini bisa banget kamu baca karena menurut saya hubungan Nora dan Charlie tuh contoh hubungan orang dewasa yang pas dan ideal; dan somehow relatable (unless endingnya mungkin ya). 

Charlie disini juga gak digambarkan sebagai sosok yang sempurna seperti di buku-buku romcom lainnya hehe, sepertinya yang disorot banget sebagai kelebihannya Charlie tuh how smart he is dan how good he is with what he do; dalam hal ini editor buku. Tapi untuk hal lainnya enggak kok; ada sepupunya yang lebih ganteng dan jago ngobrol, dia juga gak kaya raya tajir melintir (he's just a middle class worker; like most of us); karenanya ia harus ada di Sunshine Falls, he's just an ordinary man. 

Nora di buku ini malah digambarkan lebih heroic, dengan kesulitannya kehilangan Ibu di usia muda, dan jadi "Ibu" buat Libby dalam beragam urusan termasuk finansial, membuat ia harus menempatkan kepentingan keluarga dibanding keinginannya sendiri. Seperti biasa, sosok seperti Nora ini, yang terlihat amat 'shark' diluar, memang biasanya punya banyak self-doubt atau kerapuhan yang hanya ia yang tahu, atau hanya bisa ia buka pada orang yang ia percaya. 

Ketika akhirnya Nora menceritakan kisah-kisahnya pada Charlie, Charlie bisa banget memahami 'harus ngapain' untuk membuat Nora jadi Nora yang lebih baik. Dia juga mendukung sekali Nora untuk mengejar mimpi yang selama ini ia pendam. Terus kenapa saya bilang hubungan mereka berdua itu hubungan yang dewasa: karena melihat realita di sekitar mereka berdua; gak maksain ketika emang ga bisa barengan karena hubungan tuh gak bisa makan pakai cinta doang, dan berada berdua tanpa memikirkan matang-matang konsekuensi kedepan, malah bisa bikin mimpi seseorang jadi pupus, atau finansial yang pincang disisi lainnya. Aku suka sekali jarak waktu yang diberikan oleh penulis sebelum endingnya untuk membuat Charlie akhirnya mengambil keputusan penting.

Salah satu kutipan dari buku, pujian Charlie untuk Nora.

Book about Book Lovers

Saya harap kamu gak berharap bisa dapat banyak rekomendasi bacaan baru dari buku ini. Karena jujur saya sendiri gak terlalu ngeh sama buku-buku apa aja yang disebut di buku ini. Gak terlalu berkesan, selain kejujuran Charlie kalau dia juga baca romance. 

Tapi yang bikin saya suka disini adalah obrolan-obrolan Nora dan Libby tentang bagaimana mereka tumbuh di kelilingi buku. Mereka suka sekali baca dan literally tinggal di atas toko buku. Ibu mereka menularkan kecintaan pada buku ke mereka berdua. 

Hal lainnya yang mungkin bikin setiap book lovers (mungkin saya aja--tapi kayanya kamu juga) excited ketika membaca buku ini: pengen banget punya toko buku seperti Charlie dan keluarganya. Tapi ya Alhamdulillahnya buku ini juga ngasih tahu kalau punya toko buku tuh gak mudah, bahkan Charlie struggling banget disini, usahanya Libby untuk bikin toko buku ini keren banget sih! Libby tuh benar-benar gambaran nyata seorang book lover yang dikasih kesempatan buat menangani Toko Buku biar jadi hype harus kaya gimana. Buat saya pribadi, saya lebih banyak relate sama sosok Libby di buku ini dibanding Nora atau Charlie. Terutama bagaimana Libby suka sekali sama buku dan Libby sebagai sosok yang generalist. 


Endingnya Hmmmm

So far, aku suka sekali baca buku ini. Bisa banyak belajar proses lahirnya sebuah buku dari kacamata agen dan editor, bahkan sedikit dari sisi penulis juga ketika Dusty telfon-telfon Nora. Banyak kosakata baru juga yang aku dapat dari buku ini. Buku ini memberikan gambaran yang rasanya pas buat saya ya tentang bagaimana kita mungkin menghadapi kehidupan. That there are people that come and go in our life, we might be sad, disappointed by the events but life goes on. Setidaknya kehidupannya Nora seperti itu, sampai akhirnya agak terlalu giung kalau kata orang sunda (kelewat manis) hehe. Tapi karena ini buku romance ya menurutku wajar lah ya. 

Patut dicoba untuk dibaca! saat ini Book Lovers belum ada versi Bahasa Indonesianya. Versi Bahasa Inggrisnya bisa kamu dapatkan di kindle, Google Playbook, atau beli fisiknya disini. 

Selamat membaca teman-teman!

image from Unsplash.com

Bulan Juni rasanya jadi bulan paling tidak menyenangkan buat saya dibanding bulan-bulan lainnya di awal semester 2022. Saya merasa hilang fokus, mudah terdistraksi, cepat lelah dan mudah marah. Saya yakin ada beberapa hal yang mempengaruhi hal-hal tidak menyenangkan diatas. Walaupun tidak terjadi setiap hari, tapi kalau diingat-ingat, Juni kok tidak menyenangkan sekali :'). 

Beberapa hal yang membuat Juni saya amat melelahkan: 

  • Maag saya kumat, dan parah sekali dampaknya. Kalau biasanya hanya sakit perut dan harus menahan sakit sampai jalan bungkuk-bungkuk, kali ini saya sampai sesak napas. Karena saya merasa kebiasaan makan saya sebetulnya tidak banyak berubah, my self diagnose is: I got it from a negative stress at work. Agak bikin uniik karena hampir dua tahun saya bekerja di tempat saya kerja sekarang, jarang banget saya stress. 
  • Juni ini juga saya bolak-balik ke Rumah Sakit untuk treatment gigi saya yang sudah lama tidak discaling, berlubang pulak, jadi 2x ke RS untuk tambal-tambal. Saya juga cek ke dokter mata karena merasa pandangan saya belakangan semakin memburuk. Turn out, minusnya beneran naik 2x lipat dari sebelumnya. Sekalian bikin kacamata baru.
  • Setelah rehat medsos, saya balik buka medsos pribadi saya, tapi kok dipikir-pikir saya jadi agak susah ngerem waktu saya di medsos. Terlalu lama, beberapa kali bikin overwhelmed juga. Jadi kepikiran untuk kembali deactive atau log out untuk seterusnya dan update secukupnya di Instagram untuk progress buku saja. Tapi gak taulah, nanti ditimbang-timbang dulu. Karena sejujurnya Instagram pribadi ini juga tempat bisa saling berinteraksi dengan teman-teman, yang gak sanggup saya reach kalau lewat WA (udah keburu capek bund).
  • Rana beberapa kali drop: karena imunisasi dan karena emang kecapean aja kayanya. 
  • Saya jarang sekali di dapur huhu, sepertinya memang Juni tuh beneran sibuk sampai susah spend waktu untuk masak. 
  • Mas Har mulai kerja di tempat baru dan tentunya perlu adjustment, ini bikin beberapa tugas-tugas domestik terbengkalai dan emang jujur ngaruh ke mood.



Tapi, Juni juga menyenangkan karena di Bulan ini saya bisa bertemu Renti, sahabat saya. Renti, suami dan anaknya datang ke Cimahi dan menginap di rumah kami. Senang sekali akhirnya bisa bertemu walau hanya 2 hari dan pasti melelahkan sekali buat Renti sekeluarga untuk melakukan perjalanan bersama seorang toodler, tapi senang senang senaaang sekali. Kami berenam pergi ke Lembang Zoo! Saya berencana menuliskan pengalaman main kesana. Nanti ya di post terpisah!

Juli dimulai di hari Jumat, alhamdulillah. Hari yang saya tunggu-tunggu karena saya sepertinya benar-benar butuh waktu untuk rehat. Sempat kepikiran untuk mengambil cuti agak panjang (maybe a week), untuk recharge energi dan berleha-leha :') tapi gak yakin bisa sekarang. 

Anyway, Juni ini saya gak banyak baca buku. Kalau alasan kenapa gak banyak baca buku, sebetulnya bukan karena sibuk, tapi distraksi balik lagi main medsos dan mood yang jelek. Saya jarang bisa baca buku dengan nyaman ketika moodnya sedang buruk. 

Semoga Juli lebih baaaaik yaaa! dan semoga Juli saya lebih banyak bisa bersyukur dibanding rantingnya! haha.


Bulan Juni kali ini diawali dengan teracuni sebuah komik horor klasik, Uzumaki karya Junji Ito yang diterbitkan oleh Penetbit M&C. Komik ini sebelumnya sudah pernah diterbitkan (namun tidak legal) oleh Penerbit Shiteru. Ini pertama kalinya saya membaca karya Junji Ito, walaupun rekomendasinya banyak berseliweran di Instagram, namun saya justru kena racun setelah beberapa waktu kebelakang banyak mengikuti akun penggila komik di Twitter. 

Dari mereka saya jadi tahu kalau edisi ini cukup spesial karena langsung tamat dalam satu buku (edisi ilegal sebelumnya ada tiga buku), namun ini juga yang membuat bukunya amat tebal untuk ukuran komik. Karena tidak ada jumlah halaman dan keterangan halaman di buku, saya juga kurang tahu nih ini berapa halaman. Tapi kalau disejajarkan dengan komik Elex Media ukuran biasa (saya bandingkan dengan Detektif Kindaichi edisi lama) komik ini tebalnya sekitar 5x komik ukuran reguler. Faktor yang membuat komik ini jadi tebal juga salah satunya karena sudah pakai format bookpaper, karenanya jadi terkesan premium + ada jaket covernya juga juga! memang layak koleksi sih :'). 

Nah tapi sebelum mengoleksi komik ini, berikut hal-hal yang perlu teman-teman tahu tentang buku ini:

Cerita tentang Kota Spiral

Komik ini bercerita tentang petulangan Goshima Kirie. Ia tinggal di sebuah kota kecil dan damai dan tentram hingga suatu hari ia bertemu seorang temannya, Saito Shuichi yang merasa kota ini adalah kota yang memuakkan. Beragam hal kecil dari kota ini, lautnya, suara panggilan dari stasiun, hingga mercusuar yang tak lagi digunakan, semuanya nampak amat menyebalkan bagi Shuichi. 

Ternyata, rasa muak ini muncul dari rumah. Ayah Shuichi amat terobsesi dengan segala hal yang berbentuk spiral. Ia merasa semua hal yang berbentuk spiral adalah sesuatu yang indah. Obsesinya berubah jadi parah sampai ia tak bisa makan tanpa uzumaki. Ia juga 'meracuni' kegilaannya pada hal-hal berbentuk spiral pada Ayah Goshima yang merupakan pengrajin keramik. Ia meminta Ayah Goshima membuat keramik berbentuk spiral. 

Uzumaki

Kegilaan ini membuat Ayah Shuichi pada akhirnya mati dalam kondisi spiral di bak kayu pesanannya sendiri. Di hari kematiannya, saat di kremasi, asap dari pemakaman membentuk spiral dan seolah-olah memanggil istrinya untuk ikut mati. Sejak saat itulah wabah spiral tejadi di Kota ini. 

Jalan cerita dari komik ini sebetulnya menarik sekali, walaupun di awal kita dibuat penasaran, sebenarnya Kota ini jadi spiral karena kelakuan Ayah Shinichi kah? atau karena hal lain? kita akan mendapatkan jawaban di akhir buku. Hal ini jugalah yang membuat saya bertahan membaca bukunya hingga akhir walaupun isinya sangat mengerikan dan literally menjijikan. 


Dari awal hingga akhir, kita akan menemukan beragam kisah spiral yang sungguh gila. Kisah manusia keong, nyamuk yang mengganggu ibu-ibu hamil di Kota tersebut, rambut-rambut yang menjadi spiral sendiri dan mencari perhatian, aduh! ampun deh baca dan lihat gambarnya. Saya merasa pusing dan mual sendiri sesudahnya. 

Visual yang mengagumkan, seram dan menjijikan, tapi ya! mengagumkan!

Saya sampai menuliskan kata mengagumkan dua kali karena visual komik ini aduhlah memang bagus sekali, detailnya! ya ampun, saya sampai gak bisa berkata-kata lagi, memang dua jempol deh untuk komikusnya, empat malah saking gila detailnya. Ga kebayang membuat komik setebal itu dan terus menerus mengulang menggambar spiral hanya dalam bentuk dan medium yang berbeda. 

Nah tapi ini menurut saya jadi warning kalau kamu mudah tertrigger ketika melihat gambar-gambar yang menjijikan. Baiknya tidak dibaca ketika hendak atau setelah makan, karena gambarnya benerang dirancang komikusnya untuk bikin jijik yang baca. 

Plus, saya pribadi gak menyarankan buku ini dibaca oleh Ibu hamil :'), ada satu cerita yang cukup mengerikan tentang Ibu hamil disini, dan karena buku ini bergenre horror, saya tahu betul section khusus tentang hal-hal mistis dan Ibu hamil selalu jadi hal seksi untuk dieksplore, gak hanya di Indonesia saja ternyata ya. Kecuali Mba/Ibu sudah biasa baca komik Junji Ito dan sudah paham efeknya akan seperti apa, ya gapapa. hehe tapi kalau newbie seperti saya, lebih baik jangan :)

Hati-hati menyimpan Koleksi ini di rumah

Menurut saya, komik ini memang layak koleksi kalau kamu suka Junji Ito, suka komik horror klasik dan suka manga dengan detail yang ciamik. Tampilannya juga eksklusif sekali, mantap untuk masuk list koleksi. 

Kalau setelah membaca review diatas kamu jadi tertarik untuk mengoleksi komik ini, please be mindful untuk meletakkan buku ini ditempat yang aman dari jangkauan anak-anak. Keterangan "DEWASA" di bagian depan jaket cover buku ini sebetulnya amat bagus, membantu memperjelas supaya anak-anak tidak membaca buku ini. Jadi ayok simpan di rak bagian atas atau disembunyikan jangan sampai mengundang penasaran anak-anak hihi. 







Informasi Buku

Judul Buku: Uzumaki
Penulis: Junji Ito
Terbit pertama kali: 2010
Terbit pertama kali di Indonesia: 2022
Alih Bahasa: Hasina Sari, Martina Rosmawati
Penyunting: Mustika Arum
Artistik: Heru Lesmana
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama - M&C
Harga: 128,000 (P. Jawa), saya beli dengan harga diskon 20% disini.
Rating: Dewasa

Saya baru sadar saya tidak pernah menuliskan review dan pengalaman saya membaca buku Am I there Yet karya Mari Andrew empat tahun lalu :') sediih karena ini merupakan salah satu buku nonfiksi favorit saya diusia pertengahan 20an. 

Beberapa pekan lalu, saya kembali membaca buku ini dan kali ini saya ingin menuliskan pengalaman saya membaca buku ini, siapa tahu kamu sedang membutuhkan buku yang bisa menemani perjalanan kamu bertumbuh di usia 20an, terutama jika kamu perempuan dan masih single! saya amat merekomendasikan buku ini. (eits, buku ini tetap relevan dibaca kamu yang tidak lagi single kok!) hehe.

Siapa Mari Andrew?

Buku ini ditulis oleh Mari Andrew, ia merupakan seorang ilustrator yang banyak mengilustrasikan kesehariannya di atas kertas lalu ia bagikan di Instagram. Lewat buku ini, ia banyak menuliskan refleksi perjalanan hidupnya di usia 20 sampai menjelang 30. Maybe that's why I really love this book when I read it at 25! and even when I re-read it at 29 :). 

Bisa dibilang buku ini adalah guide to adulthood berdasarkan pengalaman Mari (---yang adalah orang biasa seperti saya dan orang-orang yang membaca bukunya), yang merasakan kebingungan pergi kencan pertama, yang galau sama pekerjaan, yang merasakan patah hati, yang merasakan kebahagiaan ketika menemukan sesuatu yang ternyata ia cintai. 

Membaca buku ini membuat saya sadar kalau saya suka sekali membaca buku-buku nonfiksi yang perspektifnya banyak diambil dari pengalaman dan kacamata personal penulisnya. This makes the book feel humanist and relatable. 

Di pengantar buku ini, Mari menuliskan: 

Ini bukanlah buku panduan yang akan membantumu mendapatkan pekerjaan atau membuatmu bisa melipat rapi seprai dengan pinggiran berkaret (yang ternyata tetap saja susah). Ini adalah scrapbook tentang perjalanan saya--sejauh ini-- menuju hidup dewasa. Saya berharap buki ini bisa menyenangkan dan kamu enggak sedang tersesat di perjalanan kehidupanmu. Sejalan saya memasuki usia dua puluhan, kisah-kisah orang lain adalah lampu bagi saya. Setiap perasaan yang saya dapatkan ketika mendengar kisah mereka dan bilang. "Eh, gue juga kaya gitu!" telah membantu menyingkap jalan setapak misterius di depan saya. Jalan itu pun tidak lagi terasa menakutkan.

What's on the book?

Buku ini berisi delapan bab yang padat, penuh cerita menarik, penuh refleksi dan penuh ilustrasi. Saya senang sekali Bentang Pustaka (penerbit buku ini dalam versi Bahasa Indonesia) tidak menerjemahkan ilustrasi Mari ke Bahasa Indonesia. Karena entah mengapa saya lebih suka ilustrasi tersebut dalam versi bahasa aslinya :') dan karena dikemas dalam ilustrasi ciamik, tidak terlalu sulit untuk memahami artinya, bahkan kalau kita masih di tahap belajar-belajar Bahasa Inggris, bukan di level advance. 

Karena ada banyak sekali isinya. Saya hanya akan menuliskan dua bab yang membekas buat saya! Bab 1 sebagai bab pembuka yang membuat saya merefleksikan kehidupan saya sekarang. Dan bab 5 tentang patah hati dan kehilangan. Oh iya, saya juga akan menambahkan ilustrasi menarik dari bab 6 ya!

Bab 1: Menaklukkan ketidakpastian

Bagian ini berisi tentang kegalauan pertengahan usia mid 20s, bagaimana penulis (seperti halnya saya HAHA) merasa galau dengan pekerjaan yang ia lakukan di usia pertengahan 20 tahunan. "Sering saya merasa cemas. Saya ingin sekali menjadi mapan, berhenti mencari-cari, dan cukup dengan apa yang sudah saya dapat" Cara yang paling ampuh untuk mengatasi kecemasan ini adalah dengan berpikir bahwa kehidupan merupakan kumpulan musim, bukan anak tangga. Meski memang harus diakui, rasanya puas sekali jika kita bisa menapaki anak-anak tangga dan melengkapi daftar "Hal-hal yang harus dicapai orang dewasa". 

Bab pembuka buku ini benar-benar pas sekali menyentil apa yang sedang saya pikirkan ketika masih berusia 25 tahun. Ketika ada banyak sekali pilihan di depan saya dan saya sendiri tidak benar-benar tahu sebetulnya apa yang terbaik untuk saya. 

Ketika membaca lagi bab ini diusia 29 tahun, ketika saya sudah menikah (yang hingga saat ini merupakan keputusan terbesar yang pernah saya ambil), dan punya anak (keputusan terbesar kedua yang pernah saya ambil juga :')). Rasanya tidak banyak pilihan yang ada didepan saya, atau setidaknya tidak sebanyak ketika saya belum menikah dan punya banyak pertimbangan dibahu saya. 

Apakah ini berarti menikah dan punya anak membuat saya tidak bahagia? Aha, saya akui kehidupan setelah menikah dan punya anak tidak selamanya seperti apa yang terlihat di media sosial, ada banyak tangis dan lelah yang tak tampak. Namun kalau diberikan kesempatan untuk mengulang beberapa tahun kebelakang dan diberikan pilihan untuk menikah dengan partner saya saat ini atau tidak. Saya akan tetap memilih untuk menikah. 


Bab 2: Menciptakan Rumah
Bab 3: Menemukan Tujuan
Bab 4: Kencan dan percintaan

Bab 5: Patah hati dan kehilangan

Bab ini adalah Bab favorit saya.
Alasannya: saya membaca buku ini tepat beberapa bulan setelah Ayah saya berpulang. Meninggalkan saya dan keluarga untuk selama-lamanya. Rasa sakit kehilangan orang yang kita sayangi untuk selama-lamanya itu unik, ia tidak langsung menghancurkan perasaan saya dalam satu waktu, tapi menggerogoti hati saya perlahan-lahan. Ada banyak malam ketika saya sendirian di kamar kos saya di Jakarta empat tahun lalu, ketika saya bertanya-tanya: apakah akan jadi berbeda kalau Bapak masih ada? will you fight this cruel world for me, dad? or if not, will you share your time to listen to my story and told me how proud you are of your daughter. 

Mari menuliskan pengalamannya kehilangan Ayahnya yang kurang lebih sama menyakitkannya, hanya versi ceritanya saja yang berbeda. Ia membuat ilustrasi tentang stages of grief yang merupakan siklus dari feel crazy dan feel less crazy-- yep, dua hal itu saja. 

Bab 6: Menghadapi kekecewaan



Bab 7: Mencari Jati Diri
Bab 8: Menemukan Jati Diri

Review Asri

Saya ingin mengulang sekali lagi: Buku ini akan superduper cocok dibaca: perempuan, single, berada diusia 20an, karena ceritanya relevan sekali dengan apa yang dirasakan Mari. Tapi! ada tapinya dan perlu saya tambahkan tanda seru. Buku ini akan tetap relevan dibaca siapapun. Perempuan atau laki-laki, single atau sudah menikah, berada diusia berapapun karena saya yakin di usia berapapun kamu, siklus hidup yang dituliskan Mari akan terus berulang. I mean, kita akan terus menerus menghadapi hal yang membuat kita kecewa kan walaupun berusia 50 tahun? yang beda tentu penerimaan kita terhadap hal tersebut. 

Saya suka sekali buku ini. It's 5/5 stars! dan ilustrasinya amat-amat-amat mewakili perasaan saya. Saya juga bisa merasakan spirit Mari di usia 20an dimana kita terlihat bisa melakukan perjalanan kemanapun, mengambil banyak pilihan dan itu amat tergambar dari ilustrasinya.

Versi terjemahan Bentang Pustaka juga bagus sekali, penerjemah bisa tetap membuat bahasanya relevan dengan kita sebagai pembaca, bukan terjemahan yang kaku! 

A very reflective yet fun reading! wajib masuk reading list kamu yang sedang ingin banyak merefleksikan hidup!


Di awal tahun ini saya mendapatkan sebuah beberapa feedback yang membekas hingga hari ini. Bukan hanya membekas, feedback ini bahkan memunculkan hal terburuk dalam diri saya: menghilang dari orang-orang, hanya bertemu dengan orang-orang yang saya pilih dan tidak memberikan respon atas feedback yang saya dapat. 

Awalnya saya merasa saya amat ter-trigger dengan feedback ini karena feedback ini diberikan dengan cara yang amat buruk: saya tidak diberikan clue kalau saya akan menerima feedback, bukan hanya dari satu orang; tapi tiga orang +1, feedback ini diberikan didepan anak saya (kalau saya tahu perihal ini, saya tidak akan membawa anak saya ke tengah drama kerapuhan diri Ibunya), ketiga saya merasa telah memberikan banyak hal. Di hakimi dan dipermalukan dalam satu waktu rasanya jadi poin breakdown saya beberapa bulan setelahnya. 

Saya menemui seorang psikolog untuk membicarakan hal ini, saya juga mencoba bicara dengan partner saya untuk mengutarakan perasaan saya dan mempertanyakan beberapa hal yang menurut saya tidak tepat (iya, saya mencari validasi), dan beberapa bulan kebelakang, saya terus bertanya pada diri saya: why As, why was that moment hurt you so much. 

Perkenalan dengan Feedback

Saya mengenal kata feedback ketika saya berada di Camp Pelatihan Indonesia Mengajar, tahun 2016. Sebelumnya saya hanya mengenal kata kritik. Ketika satu pekerjaan selesai, jika ada yang tidak beres, kritik akan diberikan, ditempat saya bekerja sebelum IM, saya hampir tidak pernah mendapatkan apresiasi dari atasan saya, jadi saya juga tidak mengenal kalau feedback ini ada dua jenisnya, baru setelah pelatihan IM saya mengenal positive feedback dan constructive feedback. 

Lewat pelatihan IM dulu, saya mengenal beberapa teknik dalam memberikan feedback, juga prinsip-prinsip dalam memberikan feedback, beberapa prinsip utama seperti spesifik, disampaikan pada waktu yang sesuai (tidak terlalu lama sehingga tidak lupa pada dampak pada kejadian), memastikan bahwa yang bersangkutan tahu bahwa pada moment tersebut ia akan menerima feedback dan dipersilakan juga untuk memberikan feedback balik. Saya juga belajar bagaimana seorang pribadi seharusnya menerima feedback, seperti tidak defensif dan sebagainya. 

Lepas IM, saya memulai perjalanan karier lainnya yang personel-personelnya lebih dekat ke pengetahuan tentang feedback, saya sering mendengar kritik tentang saya, dan setelah menjalani setahun perjalanan di IM dimana saya terbiasa menerima feedback dari teman-teman saya, saya jadi lebih mudah dealing with feedback. Bahkan sekarang, di tempat kerja saya saat ini, saya beberapa kali menerima feedback, sometimes it's a strong one sampai beberapa rekan kerja saya chat japri mengatakan "it's okay ya", saya malah bingung dapat japri seperti itu karena I mean it, I'm okay and took this feedback profesionally, and I know this feedback is objective. Saya malah suka mendapatkan feedback seperti ini. 

Karenanya, kejadian mendapatkan feedback di hadapan beberapa orang lainnya awal tahun ini agak membingungkan buat saya, I realy took this personally, I got hurt, I feel humiliated and found myself reflecting over and over and over again "is it really a good place to grow?". Because at this moment I'm not sure. 

The Feedback Challenge

Walaupun berat, saya memaksa diri saya menamatkan membaca sebuah buku berjudul Thanks for the Feedback, The Science and art of receiving feedback well* (*even when it is off base, unfair, poorly delivered, and, frankly, you're not in the mood) karya Douglas Stone dan Sheila Heen, keduanya merupakan dosen di Harvard Law School, sebelumnya mereka menulis buku Difficult Conversation (yang belum saya baca sampai hari ini walaupun sudah nangkring di Kindle). 

Dari buku ini saya mengenal The Feedback Challange, tantangan feedback. Penulis tahu betul kalau feedback, terutama the negative one ini bisa memberikan sensasi tidak menyenangkan untuk beberapa banyak orang. Termasuk saya :'). 

Ada sebuah gambaran tepat tentang bagaimana rasanya mendapatkan negative feedback yang tidak kita inginkan:

This kind of feedback trigger us: Our heart pounds, our stomach clenches, our thoughts rase and scatter. We usually think of that surge of emotion as being "In the way"-- a distraction to be brushed aside, an obstacle to overcome. After all, when we're in the grip of a triggered reaction we feel lousy, the world looks darker, and our usual communication skills slip just out of reach. We can't think, we can't learn, and so we defend, attack, or withdraw in defeat. (page 15).

Gambaran diatas adalah gambaran yang sangat tepat tentang gimana rasanya mendapatkan feedback negatif yang poorly delivered.

Tapi, buku ini juga yang menyadarkan saya kalau perasaan-perasaan diatas adalah hasil dari trigger-trigger yang perlu kita cari tahu lebih lanjut. Karena triggers ini adalah informasi berharga, semacam peta yang bisa bantu kita menemukan masalah yang sebenarnya. 

Ada 3 feedback challenge yang ditulis dibuku ini:

1. The Truth Triggers

Triggers ini terbentuk dari reaksi kognitif dan emosional kita ketika menerima feedback yang dirasa tidak tepat. Ketika kita ketrigger, kita jadi kesulitan untuk melihat sebenarnya jenis feedback apa yang sedang kita dapatkan? Apa maksud orang tersebut memberikan feedback ini kepada saya? dan kita jadi kesulitan memandang diri kita sendiri secara lebih jelas. 

Triggers pertama ini mengajak kita untuk mengenal jenis feedback: Apresiasi, coaching dan evaluasi dan bagaimana ketiganya sama pentingnya untuk pertumbuhan kita secara personal. Ada panduan menarik sebelum memberikan feedback untuk menghindari truth triggers bagi penerimanya. 

(i) What's my puspose in giving/receiving this feedback?
(ii) Is it the right purpose from my point of view?
(iii) Is it the right purpose from the other person's point of view?

Ini terutama bisa digunakan untuk tahu sebetulnya yang mau kita berikan tuh feedback yang mana. 

Truth trigger ini juga bisa kejadian ketika penerima feedback  merasa melakukan satu hal yang benar dan ditangkap secara salah oleh pemberi feedback, ada gap atau perspektif yang berbeda dari si pemberi dan penerima dalam mengolah informasi, yang~~ memang gak susah sama kalau gak diklarifikasi. 

2. The Relationship Triggers

Kalau truth triggers fokusnya pada isi feedbacknya,  si trigger kedua ini fokusnya pada hubungan antara pemberi feedback dan penerima. 

Ada dua tipe relationship triggers. 

(1) Apa yang kita pikirkan tentang pemberi feedback

Skill or judgement: How, when, or where they gave the feedback
Credibility: They don't know what they're talking about
Trust: Their motives are suspecs

Simplenya, ketika kena trigger ini, kita seringkali bertanya, "Siapa kamu ngasih-ngasih saya kritik tentang A?" atau "Duh, kamu tau apa sih?" Bisa jadi kita mempertanyakan kredibilitas mereka. Mungkin karena mereka gak punya background, pengalaman atau expertise di bidang yang sedang jadi ladang perang ini. Atau bisa jadi kita punya issue kedua: mereka punya pengalaman atau expertisnya, tapi kita gak mau jadi orang atau pemimpin yang seperti mereka. Either itu terkait gaya kepemimpinan atau values atau identitas.


Relationship triggers ini yang paling menarik buat saya karena sepertinya saya terluka karena ter-triggers disini. Misalnya buat saya, feedback tidak langsung yang diberikan kepada saya (pemberi feedback tidak hadir langsung, tapi feedbacknya disampaikan kepada saya), memberikan asumsi: "Duh ini orang punya masalah sama saya ternyata udah lama, tapi malah diam-diam dan ngomongin saya dibelakang. Maksudnya apa? mau jelek-jelekin saya?, mau saya terlihat jelek didepan semua orang".  

Dan menarik sekali mengaitkan Relationship triggers ini bisa sangat bahaya karena narik lagi banyak hal-hal kebelakang. Seperti "Aduh, aku melakukan banyak banget hal yang kamu gak lakukan, bertahun-tahun, berbulan-bulan, gak dapat apresiasi yang proper sesimple ucapan terima kasih, tapi sekarang, satu kesalahan ini membuat semua orang punya hak untuk menghakimi saya secara gak adil didepan banyak orang termasuk anak saya". ---- this is an emotional notes, yang bahkan baru saya sadari ketika menuliskan post ini. 

3. Identity Triggers

Kenapa feedback bisa membuat kita merasa terancam dan bikin kita gak nyaman: karena ini biasanya bikin hubungan kita yang paling penting dalam diri kita jadi dipertanyakan: hubungan dengan diri kita sendiri. 

Kita seringkali mempertanyakan diri sendiri setelah mendapatkan feedback :') 

Salah satu cara yang disebutkan dibuku ini jika kita merasa ketriggers dengan hal ini adalah dengan menjawab tiga pertanyaan ini:

(i) What do I feel?
(ii) What's the stroy I'm telling (and inside the story, what's the threat)?
(iii) What's the actual feedback?

Hal ini perlu kita lakukan untuk memisahkan feeling, story & feedback supaya kita bisa lebih objektif memandang feedback yang diberikan. 

Ada juga satu hal yang bisa kita ingat-ingat ketika mendapatkan feedback yang dirasa menyerang identitas kita. 

- Time: The Present does not change the past. The presents influences but does not determine the future
- Specificity: Being lousy at one thing does not make us lousy at unrelated things. Being lousy at something now doesn't mean we will always be lousy at it.
- People: If one person doesn't like us it doesn't mean that everyone doesn't like us. Even a person who doesn't like us usually like some things about us. And people's views of us can change over time.

What The Feedback and The book has Taught Me

Seperti yang saya bilang di awal post, feedback terakhir yang saya terima kemarin rasanya berat sekali buat saya, setelah baca buku ini saya jadi bisa mulai membedah apa sih sebenarnya trigger-trigger yang membuat saya kesulitan menerima feedback-feedback tersebut? 

Relationship Triggers

Yes, trigger ini trigger yang paling besar menyita pikiran saya. Saya mendapatkan banyak feedback dari beberapa orang, uniknya ada feedback dari satu orang yang menyiapkan kegiatan ini dari awal hinggal akhir dan saya tahu betul semua feedback yang diberikan adalah feedback yang objektif. I didn't even feel hurt by her words or tears. I take it all. I am wrong. I am being irresponsible. I am a selfish bit*h that deserve this. 

Tapi, hal ini gak berlaku ketika saya menerima feedback dari orang lain. Tarik balik ke penjelasan tentang triggers relationship ini, rupanya saya gak terima dapat feedback dari orang-orang yang mempertanyakan kehadiran saya ketika orang-orang tersebut juga gak sepenuhnya hadir. 

Saya jadi merasa sakit hati sendiri karena saya mendapat penghakiman ketika sebenarnya "kita sama aja loh, you did not present the whole time too, sho why me? why suddenly me deserve this but not you?".

Identity Triggers

Setelah dapat feedback tersebut, hingga hari ini saya terus mempertanyakan apakah diri saya adalah orang yang sebegitu gak bertanggung jawabnya? Am I an irresponsible person? Am I an irresponsible employee? Am I an Irresponsible mother? Emosi saya begitu meluap, ditambah keresahan jadi Ibu baru yang gak tamat-tamat sampai sekarang, that moment become a big time to question myself: am I a good person?

Well, sekarang saya bisa bilang iya saya mungkin orang yang gak bertanggung jawab pada satu hal karena saya punya prioritas lain saat itu (still part of me being defensive), tapi saya merasa saya pekerja yang bertanggung jawab, dan urusan tanggung jawab-tanggung jawab yang lain, bukan urusan orang yang menghakimi saya kemarin juga. I am good, at least for my self. (took 5 freakin' month for me to answer this). 

Sekarang apa?

Setelah kejadian kemarin, saya menarik diri dari banyak pergaulan. Saya bahkan menghapus instagram pribadi saya, hanya bertahan dengan instagram yang isinya review buku karena saya tetap butuh supply informasi tentang buku dan diskon buku :'). 



Tapi untuk kembali ke tempat saya kemarin, rasanya berat sekali. Saya sudah pernah menjadwalkan untuk kembali-- lalu tepat sehari sebelum saya harus datang secara fisik ke tempat tersebut, perut saya sakit sekali, maag saya kambuh, saya demam semalaman dan anak saya ikutan sakit. Saya menganggap ini cara tubuh saya memberikan sinyal kalau saya belum siap untuk kembali. 

Namun ada satu hal yang juga luput saya lakukan karena saya terlalu sibuk dengan penerimaan diri atas feedback kemarin: saya tidak melakukan apa yang penting: follow up. Menyampaikan apa yang saya terima dan apa yang saya bisa lakukan saat ini, kalau memang tidak bisa kembali, mau rehat sampai kapan? Kalau memang menerima feedback, kenapa malah pundung (tapi yang memberik feedback sudah tahu saya akan pundung dari awal saya diberikan feedback, good for them).  

Lima bulan merenungkan ini, saya merasa saya amat kekanak-kanakan hanya karena feedback yang orang lain berikan untuk saya, yang sebetulnya dampak terhadap tujuan besar yang ingin dicapainya tidak besar. Tapi ketika merasa diserang, boro-boro mikirin the grand vision, pengennya kabur aja gimana caranya bikin anak saya gak merasa terancam sama keadaan saat itu. Dan setelah menuliskan ini, saya tahu saya bukan sedang bersikap kekanak-kanakan. Saya sedang mencerna apa yang terjadi pada diri saya dan membuat saya terluka, hanya saja dalam kasus saya, butuh waktu yang cukup lama untuk mencerna hal ini.

Jadi setelah panjang lebar menuliskan curhatan saya diatas, saya akan melakukan apa yang disarankan buku ini dibagian 1/3 akhir buku: setting up boundaries. 

Be transparent by telling them what burden me, being appreciative for their feedback (because yes: i learn a lot how to become present because it matters most in relationship, and being honest that I will be need some specific time to learn and unlearn some things, that I still need to digest this, that I will be back one day when I'm ready). 
Ah, satu lagi; saya belajar banyak dari feedback yang saya dapat dan buku yang saya baca: key player dalam feedback itu penerimanya bukan pemberinya, dalam hal ini; saya. I couldn't agree more with the book that we can't expect what kind of feedback we get in some specific situation. Kuncinya ada di saya. Mau tumbuh dengan feedbacknya, atau mau hancur karena dua jam yang menyeramkan karena merasa diserang?. 

Plusnya lagi: kalau kamu baca buku ini, karena tahu rasanya menerima feedback itu gimana, mungkin jadi mau mikir-mikir berkali-kali sebelum memberikan feedback supaya bisa menghindari hal-hal yang bikin feedbacknya poorly delivered. 

---

Informasi Buku

Judul Buku: Thanks for the Feedback, The Science and Art of Receiving Feedback Well*
Penulis: Douglas Stone & Sheila Heedn
ISBN: 978-0-14-312713-0
Penerbit: Penguin Books
Bahasa: Inggris
Jumlah halaman: 346
Terbit pertama kali di USA, 2015
Cetakan ke: 10




Libur Hari Pancasila jadi salah satu hari libur paling menyenangkan buat saya, selain bisa libur di tengah pekan, saya sempat pergi piknik bersama anak dan partner saya, serta saya bisa nonton satu episode terbaru dari series Detective Kindaichi di Disney Plus dan nonton CODA di Apple TV sebelum tidur!

CODA jadi salah satu film yang ada di watchlist saya sejak langganan Apple TV, tapi baru kali ini bisa nonton daaaan ini jadi salah satu film terbaik yang pernah saya tonton. 

CODA ini singkatan dari Child of Deaf Adult, sebagaimana judulnya CODA bercerita tentang seorang anak yang memiliki orang tua yang tuli. Rubi, tokoh utama di film ini merupakan satu-satunya hearing people (orang yang bisa mendengar) di rumahnya. Ayahnya, Ibunya dan kakaknya merupakan tunarungu, tak bisa mendengar dan tak bisa bicara. Ia tumbuh menjadi penghubung keluarganya dengan dunia luar, terutama untuk berkomunikasi dengan orang-orang yang tidak bisa bahasa isyarat. 

Rubi juga membantu orang tuanya mencari ikan di lautan, ia tinggal di daerah pesisir dan keluarganya merupakan keluarga nelayan. Ia tetap sekolah namun di sekolah ia mengalami bullying  karena dianggap berbeda dengan teman-temannya, bullying ini terjadi sejak ia kecil, ketika ia bisa bicara dan suara yang ia keluarkan sangatlah aneh. 

A glimpse reminder of Glee

Apa yang membuat film ini begitu spesial buat saya? 

Film ini sebetulnya sederhana sekali alurnya: gadis remaja yang meledak-ledak dan penuh gejolak, mencoba mencari identitas diri dengan melakukan apa yang ia suka, namun disisi lain mengejar mimpi bisa jadi berbahaya karena ia merupakan translator untuk keluarganya; ia tak bisa pergi jauh dari mereka dan merasa memiliki tanggung jawab untuk terus berada didekat mereka. 

Rubi punya satu bakat: menyanyi, ia bergabung dengan grup musikal di sekolahnya. Awalnya karena ia punya orang yang ia taksir dan ia ingin lebih dekat dengan laki-laki ini, namun ia jadi bisa benar-benar belajar bernyanyi disini. 

Saya suka sekali film bertema grup musikal! Tumbuh menonton puluhan episode Glee membuat saya suka sekali konsep grup musikal di sekolah (yang tidak saya temui di sekolah saya dulu). 

Lewat Grup ini, Ruby bertemu Mr. V, penanggung jawab dan guru musik di sekolahnya, ia kemudian mendapatkan latihan intensif untuk bisa masuk sekolah musik yang sangat prestigious. 

Isu Difabel: ThisAble

Walaupun sebelumnya saya bilang ide cerita film ini sederhana tentang cerita remaja perempuan yang mengejar mimpinya, film ini menampilkan sesuatu yang tidak banyak diangkat banyak film: kelompok minoritas difabel yang kesulitan untuk mengikuti ritme kehidupan tanpa akses yang cukup baik. 

Ayah, Ibu dan Kakak Ruby, mampu bekerja dengan baik dengan Ruby terlibat didalamnya. Tanpa Ruby, beberapa hal bisa jadi berbahaya (ketika bekerja di lautan tidak mendengar sirine) atau jadi tidak bisa mengikuti konteks pembahasan yang sedang mereka ikuti (ketika rapat bersama asosiasi nelayan). Ketergantungan mereka pada Ruby disatu sisi memberatkan Ruby di usianya yang remaja, dinamika ini menarik sekali buat saya. 

Film ini juga menunjukkan bahwa teman-teman difable, yang sering kali diperlihatkan sebagai golongan yang tidak berdaya, ternyata menjalani kehidupan yang kurang lebih seperti golongan yang disebut normal: bekerja, berpikir bagaimana bisa menjalani kehidupan tanpa kekurangan, mengalami kegalauan dalam hidup, dan realita kehidupan lainnya. Namun, keterbatasan mereka membuat apa yang harusnya tidak jadi masalah bagi orang normal, malah menjadi masalah yang luar biasa berat bagi mereka. 

Kehangatan Keluarga

Buat saya, tema film ini yang paling utama adalah keluarga. Keluarga yang terlihat bahagia seperti keluarga Ruby, ya keluarga yang juga mengalami dinamika dan rusuh besar, tapi berusaha untuk mencari jalan keluar terbaik untuk semuanya. 

Ada hal-hal yang terlihat sederhana tapi juga kurasa amat relate dengan kebanyakan kita. Bagaimana Ibu biasanya jadi sosok yang kadang menyalahkan anaknya terlebih dahulu sebelum bersikap reflektif mengenai kesalahan-kesalahannya sendiri. Bagaimana cara seorang ayah marah. Bagaimana sex (sorry not sorry) adalah salah satu resep hubungan yang awet hingga anak-anak dewasa! 

Keluarga Ruby digambarkan sebagai keluarga yang sederhana, tapi saling menyayangi satu sama lain. Mereka juga tidak menyembunyikan emosi yang sedang mereka rasakan. Keluarga mereka jadi keluarga yang didambakan anak-anak lainnya yang justru tumbuh jauh dari kasih sayang orang tua, yang padahal hidup tanpa kekurangan fisik seperti keluarga Ruby. 

Sebuah film yang hangat dan layak sekali untuk ditonton menemani weekend kamu! 

Detektif Conan Edisi 100 sudah terbit dan sudah bisa dibeli di toko buku kesayangan kalian semua! Punya saya sampai hari Minggu kemarin. Karena seminggu ini saya tidak banyak membuka instagram untuk mengikuti info-info perbukuan terbaru, saya cukup kaget karena Detektif Conan terbaru ini dibandrol dengan harga 50,000. Sebuah harga yang fantasis mengingat saya mulai mengoleksi komik Conan dari harga 13,000 (atau 11,000 ya saya agak lupa). 

Saya ingat sekali membeli Detektif Conan pertama kali di Indomaret dekat rumah, sepertinya saya masih SMP dan koleksi Conan pertama saya adalah Conan nomor 47. Komiknya masih ada sampai saat ini. Sangat spesial karena mendapatkan uang untuk membeli komik ini dari almarhum bapak. Sejak saat itu saya memburu komik Conan bekas untuk melengkapi koleksi saya. Sempat mandek mengoleksi karena kesibukan dan melupakan cita-cita mengoleksi seluruh komik Conan, saya mulai melanjutkan kebiasaan membeli Conan ketika bekerja di Jakarta. Setiap edisi baru terbit saya mampir ke Gramedia Matraman, membeli komiknya dan membacanya sampai tamat di gerai Dunkin Donuts sambil makan donat dan minum kopi. 

Sejak mulai kembali membeli Conan di Jakarta, sampai saat ini saya tidak pernah ketinggalan membeli Conan edisi terbaru. Tentu saja rasanya tidak terlalu mahal karena beberapa bulan sekali saja terbitnya dan Detektif Conan adalah satu-satunya komik yang saya beli dan masih on going, sekarang ada Spy x Family sih hehe, jadi dua serial ini yang saya tunggu-tunggu kehadiran terbitnya. 

Edisi 100 cukup spesial karena:

Dari segi penampilan:

1. Punya jacket cover yang membungkus komik, ini mirip edisi bahasa Jepang (saya punya satu di rumah dan ada jacket covernya).
2. Kertasnya berbahan book paper, bukan kertas tipis/ kertas buram (?) yang biasanya digunakan untuk mencetak edisi sebelum-sebelumnya. 

Dari segi konten:

1. Ada drama sengit FBI vs Organisasi Hitam, di edisi kali ini Conan dan kedua orang tuanya turut bergabung memeriahkan keseruan perang antara dua organisasi ini. 
2. Ada info menarik terkait Rum, orang penting di Organisasi Hitam.

Ada tiga kisah yang disajikan di edisi 100 ini

1. Yusaku mengungkap kasus pembunuhan di ruang tertutup

Kisah pertama merupakan sambungan kisah edisi 99, jadi baiknya membaca ulang edisi 99 chapter terakhir supaya paham casenya. Disini ada hal menarik yang melibatkan Yusako Kudo, Kaito Kid, Vermouth dan tentu saja Conan. 

2. FBI vs Organisasi Hitam

Sebagai pengagum Suichi Akai, saya suka sekali edisi ini karena peran Akai cukup banyak disini. Jujur saya tidak terlalu antusias membaca isi bab ini karena geregetan banget sama anggota FBI yang kalah pintar sama Conan. I mean hiks masa anggota FBI tidak tahu trik-trik standard untuk penyelamatan diri dan bersembunyi T.T, harus dikasih tau Conan dulu, pffft. 

Tapi bagian ini tetap menarik karena endingnya membuka tabir baru Organisasi Hitam. Dan karena yang diungkap adalah orang yang cukup penting, edisi kali ini tidak terlalu mengecewakan lah ya.

3. Heiji & Kazuha dan kisah cintanya yang selalu amsyong

Heiji mulai gemas karena tiap ia mau mengungkapkan cinta ke Kazuha, ada saja hal-hal yang menggagalkan usahanya. Ia kemudian mencari tahu info tentang jimat yang menurutnya akan berguna untuk hubungannya. 

Eh tapi hasil googlingnya ketahuan Kazuha, Kazuha sama sekali tidak berpikir Heiji sedang mencari jimat dan akan membeli jimat disana. Kazuha datang ke Tokyo dan mengajak Ran serta Conan ke kuil yang ia temukan dari hasil googling Heiji. Tak disangka, Heiji ada disana juga. Ketika mereka bertemu, pembunuhan terjadi.


Lelah tapi memuaskan

Mengikuti kisah Conan dan teman-temannya ini melelahkan sekali kalau dipikir-pikir :'), gak sadar sekarang sudah edisi 100 saja dan belum ada tanda-tanda berakhir. Tapi ya, mengikuti Conan ini, walaupun melelahkan rasanya tetap memuaskan. 

Mengikuti Conan bukan hanya mengikuti ceritanya. Saya (dan saya yakin banyak orang yang mengoleksi Conan), tumbuh besar bersama Conan. Ada memori masa SD, SMP, SMA yang dihabiskan untuk membaca Conan, ada memori berburu komik bekas karena tak punya cukup uang untuk membeli buku barunya, ada memori menyenangkan pernah minta uang ke Bapak untuk beli komik. Membeli Conan buat saya adalah usaha untuk terus menghidupkan memori-memori tersebut. Siapa sangka saya sampai di fase selalu dicukupkan secara finansial sehingga membeli komik Conan dengan harga 50,000 rasanya tidak memberatkan sama sekali. Ya, memang terasa sekali saya bertumbuh bersama Conan. 

Saya cuma sedikit berharap Rana nanti suka membaca komik juga jadi koleksi Conan di rumah tidak hanya dinikmati oleh saya sendiri :) Haha! 

Goodreads Review

Detective Conan #100Detective Conan #100 by Gosho Aoyama
My rating: 4 of 5 stars

Sebagai pengagum Suichi Akai, senang sekali di edisi 100 bisa lihat Akai beraksi.

Ada 3 cerita di edisi 100.
- Cerita sambungan dari edisi 99 (better baca dulu edisi 99 biar ingat).
- Cerita kedua tentang pembunuhan agen-agen FBI oleh organisasi hitam. Makin dekat dengan identitas dibalik organisasi hitam 😬
- Kisah cinta Heiji - Kazuha yg selalu amsyooong :')

View all my reviews


Semalam saya membaca salah satu bab di buku Bringin Up Bebe karya Pamela Druckerman. Judul bab tersebut adalah "Tidak Ada Ibu yang Sempurna", saya senang sekali dengan pembahasan didalam bab ini karena hari-hari kebelakang, rasanya saya sedang banyak mempertanyakan kemampuan saya sebagai seorang Ibu. "Am I a good mother?", " Am I enough for my daughter?". 

Sedikit pengantar, buku Bringing Up Bebe ini ditulis dari perspektif Pamela, seorang jurnalis dan penulis yang tinggal di Paris. Ia besar dan tumbuh di Amerika Serikat, jadi ketika punya anak di Prancis, ia membandingkan gaya parenting Ibu-Ibu di Perancis yang menurutnya, lebih damai. 

Sejujurnya saya pernah membaca buku ini sebelum melahirkan Rana, tapi mungkin agak kurang relatable karena waktu itu anak saya belum lahir. Saya gak tau bagaimana melelahkannya peran seorang ibu. Physically, emotionally, financially! Ha!. 

Loh, memang selama ini gak tau kalau memang gak ada Ibu yang Sempurna?

Saya suka sekali membaca buku ini, dan bab ini karena personally, setelah membaca buku tersebut, saya jadi tidak terlalu merasa bersalah. Selama ini tentu saja saya tahu kalau gak ada namanya Ibu yang sempurna, gak ada yang namanya manusia yang sempurna, semua punya kekurangan, semua punya kelebihan, and that what makes us human. 

Lalu apa yang membuat saya merasa lebih baik setelah membaca buku ini? 

The fact that we know we ain't perfect but we let it go, we don't let ourself feeling guilty for too long. The fact that we could still fight for our dreams, we could be a working mother and that did not makes us less mother that others. 

Kalau lihat dari alasan saya, bisa dilihat kalau saya punya insecurity yang cukup besar terkait peran saya sebagai Ibu yang juga bekerja ya, dan memang benar kok. Hehe. Bagaimanapun juga, orang-orang disekitar saya, bahkan banyak teman-teman saya yang berpendidikan tinggi, memutuskan untuk berhenti bekerja dan fokus pada keluarga. Fokus pada anak-anak mereka. Apakah saya iri atu menginginkan kondisi tersebut?

Sama sekali tidak, mungkin justru hal tersebut yang membuat saya kadang merasa bersalah. Sama sekali tidak pernah terbersit dalam pikiran saya untuk berhenti berkerja, berkarya, bahkan ketika saya memiliki anak. 

Saya suka bekerja, saya suka berkarya, saya senang membuat hidup saya berdampak untuk banyak orang, saya juga sangat suka bisa menghasilkan uang sendiri, tidak bergantung pada suami. Saya punya kepuasan sendiri setiap bulannya bisa menerima penghasilan yang memang layak saya dapatkan, memutuskan untuk memasukkan uang tersebut pada pos tabungan tertentu, bisa belanja buku atau barang-barang tersier lainnya yang mungkin akan sungkan saya minta pada suami jika saya tidak bekerja. 

Meskipun saya sangat suka bekerja, saya sendiri bukan tipe pekerja yang bisa menghabiskan waktu melewati jam kerja, saya cukup strict pada jam kerja. Jam 9 - 6 adalah jam dimana saya masih oke untuk membuka email dan laptop untuk bekerja, tapi setelah itu, nope. Lingkungan tempat saya bekerja sekarang, juga lingkungan yang sangat mendukung seorang Ibu untuk bekerja. Alhamdulillah.

Makanya membaca buku Bringing Up Bebe ini, rasanya pas sekali dengan apa yang saya rasakan saat ini. Sekarang ini saya sedang membaca ulang bukunya, mungkin setelah selesai membaca saya akan menuliskan ulasan lengkapnya di postingan lain hehe. 

Untuk saat ini, saya baru ingin menuliskan catatan saya tentang satu bab itu saja. 

---

*Catatan: post ini dibuat tidak untuk mendiskreditkan pihak manapun, terutama Ibu yang memutuskan untuk menjadi Ibu Rumah Tangga penuh waktu. Semua Ibu sama berharganya, bekerja ataupun tidak bekerja, di rumah ataupun di kantor. Peluk semangat untuk semua Ibu di seluruh dunia!

Halo semua! kali ini waktunya review Toko Buku! 

Sepertinya sejak pandemi, kita semua jadi punya ketergantungan untuk jajan di Toko Buku Online lebih tinggi daripada sebelumnya ya! Sebagai orang yang senang sekali jajan buku, saya menjajal beberapa Toko Buku Online yang rata-rata saya temukan dari rekomendasi sesama pembaca di Instagram. Salah satu yang rekomendasi yang muncul dengan review yang menyenangkan adalah Konyv Bookstore. 

Saya mencoba beli buku di Konyv dua kali. Yang pertama membeli buku 101 Essays that will Change the Way You Think karya Brianna Weist dan The Quran (versi terjemah Bahasa Inggris) yang dialihbahasakan oleh M.A.S Abdel Haleem.

Pengalaman Pertama

Buku pertama, 101 Essays That Will Change The Way You Think, saya beli lewat Tokopedia dengan metode pengiriman ekspress menggunakan go-send, karena ternyata Konyv lokasinya satu Kota dengan saya di Cimahi. Jadi ongkos go-send nya tidak terlalu mahal. 

Buku datang dengan selamat, dikemas dengan sangat baik di paperbag yang bisa digunakan kembali dan dapat bonus yang menyenangkan sekali! COCOA for Readers yang tidak dijual dan dibuat oleh Konyv khusus untuk pembelinya serta Bookmark lucu yang juga tidak dijual dan dicetak terbatas untuk pelanggannya. Pengalaman ini membuat saya berani pesan buku kedua yang agak berbeda nih, kalau buku ini ready-stock, ada stoknya di toko dan bisa dikirim di hari yang sama, Quran yang saya inginkan harus PO (preorder) dan menunggu cukup lama.

Preorder Buku Kedua

Qur'an Oxford yang saya inginkan (karena kena racun dari akun Instagram Konyv :')) ternyata habis padahal stok mereka cukup banyak, tapi dalam sehari langsung habis, menandakan yang kena racun buku bukan hanya saya ya. 

Jadi saya ikutan PreOrder di Bulan Ramadan, harusnya buku saya datang sebelum Lebaran, namun karena ada kendala dalam pengiriman, jadi telat banget, molor sekitar 2 minggu. Tapi gak usah khawatir teman-teman, biasanya kalau PO-nya terlambat, Konyv akan langsung menghubungi untuk konfirmasi kita berkenan menunggu atau ingin uangnya dikembalikan 100% atau diganti dengan buku ready stocknya Konyv. 

Saya sih setia menunggu ya :') dan Alhamdulillah datang dengan lancar setelah lebaran. 

Review Asri

Saya pribadi suka sekali dengan pengalaman belanja buku di Konyv! Adminnya (Yang chat saya namanya Mba Gita) ramah sekali dan ketika saya memberikan feedback terkait dent di buku kedua yang saya beli, juga ditanggapi dengan baik! 

Oiya, dibanding ikut PO, saya prefer buku yang ready stock Haha! Selain saya agak gak sabaran menunggu, buku ready stock-nya Konyv bisa dibeli lewat Marketplace (yang saat ini menawarkan free shipping dan cashback yang lumayan). Sedangkan buku PO dipesan manual, kita akan diminta mengisi google form terlebih dahulu dan nanti akan diminta untuk melakukan payment ke Bank langsung. 

Tapiiii (lagi), kalau tidak ikut PO ya memang bisa-bisa gak kebagian stock, saking cepatnya buku-buku kurasi Konyv datang dan pergi. Kurasi bukunya Konyv emang sebagus itu!!

Dua buku yang saya beli, belum selesai saya baca hehe, karena keduanya bukan jenis buku yang habis sekali baca. Tapi dari pengalaman yang sudah saya rasakan, pasti akan belanja buku lagi di Konyv! 

Pssst, coklatnya enaak sekali untuk dinikmati sambil baca buku!

Konyx Bookstore bisa kamu temui di:

Tokopedia https://tokopedia.link/X4QDobLRcqb
Shopee https://shopee.co.id/konyvbookstore
Instagram https://www.instagram.com/konyv_/ 


Bookmail dari Konyv




Beberapa hari lalu, saya menamatkan membaca sebuah buku di Scribd. Judulnya Lesson From Surah Yusuf. Seperti yang pernah saya ceritakan disini, saya sedang mencoba menchallenge diri saya sendiri untuk membaca satu buku islami tiap bulannya, dan untuk memudahkan kebutuhan ini, saya langganan Scribd lagi. Buku ini juga saya baca dari Scribd, lumayan untuk saving karena harga buku fisiknya lumayan mahal. Tapi menurut saya buku ini layak banget untuk dimiliki juga versi fisiknya. 


Saya lupa pernah cerita disini atau tidak ya, tapi Ramadan 2020 lalu, saya sempat mendengarkan kajian Ramadan Ust. Nouman Ali Khan yang fokus membedah surah Yusuf. Jadi saya sengaja memilih buku ini untuk saya baca pertama kali, karena saya sudah lumayan familiar dengan isinya, jadi gak terlalu berat untuk mencerna. 

Tapi tetap saja membaca buku ini bikin cirambay. T.T

Ada apa saja di dalam buku ini?

Buku ini dibagi menjadi beberapa chapter:

- Introduction
- Part one: The Family of Ya'qub
- Part two: Sold Into Slavery
- Part three: The Seduction
- Part four: The Prisoner
- Part five: The King and His Dream
- Part Six: From Prisoner to Minister
- Part Seven: The Brothers Return
- Part Eight: Binyamin and the Ruse
- Part Nine: Deprived of Three Sons
- Part Ten: Yusuf reveals His Identity
- Part Eleven: The Dream Fulfilled
- Part twelve: Reminder to the Prophet Muhammad PBUH
- Part thirteen: 50 Lessons from Surah Yusuf
- Conclusion: The Ring Composition Theory of The Surah

Masing-masing chapter menjelaskan kisah Yusuf dalam surah yusuf secara berurutan. Dimulai dari Introduction yang menjelaskan bagaimana Surat ini diturunkan. Ini bagian yang sangat menarik buatku. Karena sepertinya saya tidak benar-benar menyimak kajian dua tahun lalu sampai lupa asbabunnuzul (sebab turunnya suatu ayat) dari Surat ini. 

Surat ini turun tepat ketika Nabi Muhammad SAW sedang berada dimasa yang sangat berat dalam hidupnya. Ia baru saja kehilangan Istrinya tercinta, Khadijah, juga pamannya yang senantiasa mendampingi Nabi di masa yang sulit di tahun-tahun awal kenabian di Mekkah. Surat ini turun sebagai salah satu cara Allah untuk menaikkan semangat dan menguatkan Nabi Muhammad di masa sulit ini. 

Ada juga beberapa kejadian yang diyakini menyebabkan turunnya surat ini. Lengkapnya bisa teman-teman baca di bukunya ya. 

Kisah Yusuf yang Selalu Menarik

Buat saya, buku ini --atau Surah Yusuf, akan jadi salah satu surat yang istimewa. Kisah Yusuf AS sudah sering sekali saya dengar berulang-ulang kali ketika saya kecil, ketika masuk TPA, di buku pelajaran Agama di sekolah, namun semakin saya dewasa, semakin saya membacanya sekarang, semakin dalam sekali dan semakin banyak pelajaran yang bisa saya ambil dari Surat Yusuf. 

Ketika saya masih anak-anak. mendengarkan kisah Yusuf yang dibuang kedalam sumur, menjadi budak tapi kemudian nasibnya berubah hingga bisa jadi Bendahara Negara atau orang yang berkuasa di Mesir, rasanya WOW. Cerita from zero to hero mana yang tidak menyenangkan untuk anak-anak? 

Kemudian ketika remaja membaca kembali cerita ini di sekolah, dianggap cukup usia untuk mengetahui kisah Yusuf AS ditambah skandal dan pergosipan bangsawan Mesir. Saya belajar bahwa Yusuf AS adalah contoh manusia yang bisa menahan hawa nafsu dan itu, perlu saya contoh, setidaknya, selalu saya coba untuk contoh. 

Sekarang, membacanya kembali ketika saya bisa menyebutkan diri saya kalau saya sudah dewasa, rasanya wah, mau nangis gak sih T.T, too many precious things, too many ibrah/lesson we can learn from this surah!. 

Gak salah kalau Allah SWT sendiri yang bilang kalau this story, is one of the best story, and to think that Allah choose this surah to lift Nabi Muhammad SAW spirit at his darkest time, this is the most perfect Surah, the perfect story. 

Yang saya suka dari Buku ini

Buku ini menawarkan pengalaman membaca tafsir secara naratif. Kita seperti membaca kisah yang tidak membosankan, namun tetap ada catatan-catatan tafsir dari ulama didalamnya. Penulis juga akan memasukkan bagian-bagian dimana hal tersebut menjadi perdebatan di antara para ulama yang mentafsirkan ayat tersebut, namun kita akan diarakan pada konklusi tertentu. Hal ini membantu orang-orang seperti saya yang pemahaman terhadap Quran-nya tidak seberapa dalam.

Kedua, seperti yang kita tahu, kadang ada beberapa bahasa Al-Quran yang sulit ditemukan bentuk translasinya dalam bahasa lain. Kita akan mendapat menjelasan terkait hal ini. Misal ada bacaan yang dibuat penekanannya secara tajwid dan itu artinya jadi amat sangat. Hal ini sebetulnya juga bikin saya ingin kembali mempelajari Bahasa Arab :), apalagi dalam surat Yusuf, Allah secara explisit menyebutkan kalau AlQuran memang diturunkan dalam Bahasa Arab (12:2).

50 Lesson from Surah Yusuf

Yang paling saya suka dari semuanya: 50 lessons from Surah Yusuf di akhir bagian buku ini. Ini semacam rangkuman setelah membaca buku ini. Berikut beberapa lessons favoritku:




Yes! This surah bold gossiping as an evil trait very clearly. Mengapa gosip bisa berbahaya, apa sih yang akan terjadi kalau kita bergosip? Dampaknya bisa panjang dan merugikan banyak orang. Allah melarang segitunya, sampai-sampai orang yang bergosip dilarang Allah masuk surga T.T.


Yes Yes! Complaining to Allah is part of Iman, senang sekali membaca ini di buku ini. For make it clear, complaining disini maksudnya bukan mempertanyakan takdir Allah ya, Bukan "Ya Allah, kenapa engkau berikan ujian seberat ini?" Nope! 

It's like curhat ke therapist, curhat ke sahabat, curhat ke suami, tapi pindah ke Allah. 

Menceritakan kepedihan kita, menceritakan kalau kita tidak baik-baik saja, curhat ketika habis dapat perlakuan gak menyenangkan, dengan cerita kita yakin kalau Allah Maha Mendengarkan, termasuk mendengarkan cerita-cerita kita.


Forgive This is also my favorite lesson, walaupun gak seperti dua lesson diatas, this one is hard, especially for me. I tend not to forget those who hurt me, I do not forget harsh words of people who makes me feel so little. I know this is bad. Memendam perasaan seperti itu tuh seperti memendam luka, kapan saja kesenggol, sakitnya bukan main. Mungkin karena itu Allah minta kita untuk belajar memaafkan ya. 

Kalau saya curhat sama suami, dia bilang, it's okay kalau kamu gak bisa melupakan, tapi harus tetap berusaha memaafkan dan saya sedang berusaha untuk melakukan itu.

Another lesson I loved from this book

Baca buku ini tuh seperti diingatkan kalau kita boleh mengejar dunia (terutama kalau kita percaya diri kita adalah orang yang tepat untuk melakukan hal tersebut), seperti Nabi Yusuf AS mengatakan pada Raja kalau ia mau bekerja untuk Raja hanya kalau jadi Bendahara Negara, karena ia tahu bagaimana mengelola keuangan negara. 

Tapi disatu sisi diingetin kalau sebaik-baiknya akhir manusia ya berpulang dalam keadaan berserah diri ke Allah. Ada doa Nabi Yusuf yang indah sekali di ayat 101. Di doa tersebut, Nabi Yusuf memulai dengan gratitude, dengan rasa berterima kasih kepada Allah karena sudah memberikan ia blessing untuk jadi salah satu orang penting di Mesir, sudah memberikan ia kemampuan untuk menafsirkan mimpi. Ia lalu memuji Allah sebagai the Protector in this world and in the Hereafter.

Kemudian Nabi Yusuf AS berdoa "Let me die in true devotion to You. Join me with the Rigteous". T.T Saya masih merinding kalau baca lagi ayat ini. Pengingat kalau sebaik-baiknya tempat kembali adalah Surga. Setinggi apapun jabatan kita di dunia, sebesar apapun gaji kita, sebanyak apapun buku yang saya baca, sepintar apapun kita di dunia. Tetap, ingat kalau kita hanya mampir di dunia. Lakukan sebaik-baiknya, karena tak masalah bagaimana awal hidup kita, yang penting adalah akhirnya. 

---

Sebagai orang yang tidak mempelajari Islam dengan begitu dalam, saya ingin disclaimer terlebih dahulu kalau apapun yang salah dalam tulisan ini, datangnya dari pemahaman saya yang masih dangkal. Wallahua'lam bissawab.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

POPULAR POSTS

  • [Review Asri] Atomic Habits - James Clear
  • Review Asri: Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom
  • Review Asri - Tempat Terbaik di Dunia karya Roanne Van Voorst
  • [Review Asri] Kemarau - A.A. Navis
  • Review Asri: As Long As The Lemon Trees Grow karya Zoulfa Katouh
  • Review Buku Angsa dan Kelelawar karya Keigo Higashino
  • Sabtu yang Menyenangkan dan kenapa saya suka membeli bunga
  • Review Asri: Manabeshima Island Japan karya Florent Chavouet
  • Main ke Toko Buku Pelagia Bandung
  • Review Asri - the house of my mother karya Shari Franke

Arsip Blog

  • ▼  2025 (16)
    • ▼  Mei 2025 (3)
      • Review Asri: Pengantin-pengantin Loki Tua karya Yu...
      • Review Asri: Minimarket yang Merepotkan karya Kim ...
      • Tiap Anak Berbeda, Termasuk Proses Melahirkannya; ...
    • ►  April 2025 (2)
    • ►  Maret 2025 (2)
    • ►  Februari 2025 (3)
    • ►  Januari 2025 (6)
  • ►  2024 (8)
    • ►  November 2024 (1)
    • ►  Agustus 2024 (1)
    • ►  Juni 2024 (1)
    • ►  Mei 2024 (2)
    • ►  April 2024 (3)
  • ►  2023 (17)
    • ►  November 2023 (1)
    • ►  September 2023 (1)
    • ►  Juli 2023 (4)
    • ►  Juni 2023 (4)
    • ►  Maret 2023 (2)
    • ►  Februari 2023 (2)
    • ►  Januari 2023 (3)
  • ►  2022 (52)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  September 2022 (12)
    • ►  Agustus 2022 (2)
    • ►  Juli 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (4)
    • ►  Mei 2022 (9)
    • ►  April 2022 (7)
    • ►  Maret 2022 (5)
    • ►  Februari 2022 (6)
    • ►  Januari 2022 (3)
  • ►  2021 (35)
    • ►  Desember 2021 (5)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (4)
    • ►  Agustus 2021 (3)
    • ►  Juli 2021 (2)
    • ►  Juni 2021 (1)
    • ►  Mei 2021 (3)
    • ►  April 2021 (1)
    • ►  Maret 2021 (2)
    • ►  Februari 2021 (6)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (13)
    • ►  Desember 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (4)
    • ►  Juni 2020 (3)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (1)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (14)
    • ►  November 2019 (1)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (2)
    • ►  Juli 2019 (2)
    • ►  Maret 2019 (3)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (2)
  • ►  2018 (15)
    • ►  Desember 2018 (4)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Juli 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (3)
    • ►  Maret 2018 (3)
    • ►  Januari 2018 (2)
  • ►  2017 (20)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  Oktober 2017 (3)
    • ►  September 2017 (2)
    • ►  Agustus 2017 (4)
    • ►  Juli 2017 (4)
    • ►  Mei 2017 (3)
    • ►  Januari 2017 (2)
  • ►  2016 (65)
    • ►  Desember 2016 (2)
    • ►  September 2016 (2)
    • ►  Agustus 2016 (3)
    • ►  Juli 2016 (17)
    • ►  Juni 2016 (7)
    • ►  Mei 2016 (7)
    • ►  April 2016 (25)
    • ►  Februari 2016 (1)
    • ►  Januari 2016 (1)
  • ►  2015 (29)
    • ►  Desember 2015 (3)
    • ►  September 2015 (2)
    • ►  Agustus 2015 (13)
    • ►  Juli 2015 (4)
    • ►  Juni 2015 (1)
    • ►  Maret 2015 (2)
    • ►  Februari 2015 (1)
    • ►  Januari 2015 (3)
  • ►  2014 (29)
    • ►  Desember 2014 (8)
    • ►  November 2014 (6)
    • ►  Oktober 2014 (2)
    • ►  September 2014 (2)
    • ►  Juni 2014 (3)
    • ►  Mei 2014 (2)
    • ►  Februari 2014 (6)
  • ►  2013 (66)
    • ►  Desember 2013 (1)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  Oktober 2013 (7)
    • ►  September 2013 (7)
    • ►  Agustus 2013 (15)
    • ►  Juli 2013 (4)
    • ►  Juni 2013 (8)
    • ►  Mei 2013 (2)
    • ►  April 2013 (5)
    • ►  Februari 2013 (3)
    • ►  Januari 2013 (9)
  • ►  2012 (6)
    • ►  November 2012 (4)
    • ►  Oktober 2012 (2)
  • ►  2011 (8)
    • ►  Oktober 2011 (4)
    • ►  September 2011 (1)
    • ►  Maret 2011 (3)

Goodreads

Asri's books

Kejutan Kungkang
it was amazing
Kejutan Kungkang
by Andina Subarja
The Fine Print
liked it
The Fine Print
by Lauren Asher
Under One Roof
liked it
Under One Roof
by Ali Hazelwood
Lessons from Surah Yusuf
it was amazing
Lessons from Surah Yusuf
by Abu Ammaar Yasir Qadhi
Setelah membaca ini sampai selesai malam ini. Jadi paham kenapa Allah bilang kalau Kisah Yusuf ini salah satu kisah terbaik dalam Quran. Ada terlalu banyak pelajaran berharga dari kisah Yusuf. Dr. Yasir Qadhi mengawali buku ini dg sebab...
No Exit
liked it
No Exit
by Taylor Adams

goodreads.com

Blog Perempuan

Blog Perempuan

Cari Blog Ini

Kamu pengunjung ke

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © Journal Asri. Designed by OddThemes