Journal Asri
with Top Tep. Si anak imutmanjaa :)
Lebih dari sebulan saya tak menulis. Ternyata fasilitas mumpuni disini (wifi 24 jam dengan kecepatan super) bukannya membangkitkan motivasi malah membuat saya malas. Kebanyakan waktu saya (sepulang dari tempat magang) saya habiskan untuk nonton, internet pun saya gunakan untuk mendownload beragam film. sisanya lagi ber-sosial network bersama teman dan keluarga. Lumayan untuk mengobati rindu.
Banyak hal yang saya lewati sebulan disini, beberapa malah seharusnya langsung saya posting usai acaranya berlangsung. Tapi nanti, usai postingan ini mungkin. Sekarang saatnya berbagi cerita tentang rutinitas saya sekarang.
Sebelum saya berangkat ke Songkhla, saya mengajukan diri untuk magang sebagai Teacher Assistance di kantor KLN waktu itu, dan sekarang itulah pekerjaan saya kira-kira. Menjadi asisten guru sebuah daycare fullday. Berada di Daycare sebelum jam 8 dan pulang jam 5. Lelah kah ? Sangat. ketika menulis ini saya bahkan sedang flu, jadi korban perubahan cuaca yang cukup ekstim dari panas yang super ke hujan 3 hari tanpa henti. Tapi saya tak pernah bosan datang ke Daycare setiap hari. Saya menikmati proses menjadi pekerja yang baik. Tak hanya menanti Jum'at tapi juga menanti Senin. Saya rindu anak-anak di Daycare.
Mungkin sebagian bingung kenapa saya bisa dekat dengan anak-anak di Daycare (padahal saya tak mengerti bahasa Thailand apalagi mereka yang bahkan bahasa Thailandpun belum lancar). Mereka yang bertanya lupa (atau belum tahu) kalau anak-anak bisa didekati bukan hanya dengan kata-kata. Ketika mereka berceloteh dan kita memandang matanya lalu berkata chai (iya) pun, mereka akan senang karena merasa didengar. Ketika mereka menarik-narik tangan kita artinya mereka meminta perhatian kita, duduk sejajar dengan mereka lalu memegang wajahnya dan memanggil namanyapun akan sangat menyenangkan untuk mereka. Proses pendekatan itu memang tak selalu menggunakan kata-kata. Mungkin ini adalah saat dimana saya mempercayai kata-kata klise ketika hati yang berbicara.
Itu pendekatan di awal-awal kerja, di minggu-minggu berikutnya kosakata saya mulai banyak, mengajak makan, mandi, mengganti baju, minum susu dan hal-hal rutin di daycare sudah bisa saya ucapkan dalan bahasa thailand, percakapan yang awalnya hanya (seolah-olah) searah, jadi mulai dua arah walaupun kadang masih bingung.
Beberapa hari lalu beberapa anak-anak ada yang memanggil saya dengan panggilan kun kru asri (kun kru : teacher). Padahal biasanya pee (kak)  biw (entah panggilan dari mana) atau sekedar pee, malah ada yang hanya memanggil aseriii (mungkin mereka sangka asri itu sedah sepaket dengan panggilan sopan). Rasanya waktu mereka memanggil nama kita dengan benar itu : ogah pulang. Yap. Saya suka menghabiskan waktu dengan mereka. tinggal 17 hari lagi saya disini, ketika pulang nanti saya yakin daftar pertama yang saya rindukan dari Thailand adalah mereka, anak-anak di Daycare.
Songkhla Diary No. 6
Ini latepost, harusnya dari minggu kemarin saya posting. :P
The Monks
Jadi ceritanya usai ritual pergantian kain di Tang Kuan Hill, esoknya ada festival Lark Phra/Chak Phra. Saya beruntung sekali karena festival ini hanya berlangsung setahun sekali di Songkhla, tepatnya di sekitar Tang Kuan Hill, festival ini seharian penuh loh. Dari pagi, para penganut agama Budha sudah berkumpul disekitaran Tang Kuan, biksu-biksu akan turun dari sana. Mereka memberikan makanan dan uang kepada biksu-biksu tersebut setelah selesai berdoa. Saya tak banyak mendapat informasi tentang filosofi dan sebagainya dari kegiatan dipagi ini, yang jelas ini ritual yang tak kalah sakral karena sepertinya biksu senior yang memimpin doa. Saya sendiri berangkat naik sepeda pagi sekali dari dorm.
Thailand traditional dancer
Suuai mai ?

Awalnya saya dapat tempat yang sangat jauh dari pusat ritual, orang sudah berkumpul lebih awal, ramai sekali. Tapi kemudian ada seorang ibu yang menunjuk-nunjuk supaya saya mendekat, jalan saja, mungkin begitu katanya. Ia berbicara dalam bahasa Thailand. Saya 'so' berani, berjalan ditengah-tengah jalan kosong dan menuju ke kumpulan orang yang juga sedang sibuk mengambil gambar. Dan lagi, semua orang memandang ke arah saya dengan tatapan aneh hhe, saya pakai jilbab dan ada ditengah-tengah acara para budhis.
The Monks in Lark Phra Festival
Tapi pandangan itu jadi tak ada artinya setelah menyaksikan para biksu turun dari tangga naga, semua orang ikut sibuk dan kerumunan di depan tangga yang ingin mengambil gambar makin banyak saja. Para biksu ini berkeliling mengambil makanan yang telah disiapkan masyarakat budha.
Arak-arakan Budha Boat
(ceritanya) Ikut mendorong Perahu Budha
Di siang hari, festival berlanjut dengan arak-arakan Budha Boat dari tiap wat di seluruh daerah di selatan Thailand. Diiringi dengan iringan kebudayaan Thailand yang sangat mirip dengan Indonesia. Mulai dari becak, penari tradisional, ibu-ibu pembawa bakul. yang beda mungkin Ladyboy ya :D
OK, ini skandal rahasia Windy dan para Ladyboy :P
Perahu-perahu ini berhenti di depan alun-alun, malammnya akan ada konser ditambah show time kolam di tengah alun-alun yang menampilkan air mancur dengan beragam warna.
Rasanya saya sedang ikut program culture exchange dan ditunjukkan semua ragam kebudayaan Thailand pada festival ini. Pemerintah Thailand memang sangat serius membangun pariwisata di daerahnya. Acara ini tentu saja dihadiri oleh seluruh warga kota, bahkan turis dari luar kota dan mancanegara.

Thai Ontel :P
O.O

:)



Mirip penari jawa ya ?

a Lady BOY !
Ngomong-ngomong di edisi ini banyak sekali foto narsis :) tak tahan untuk tak ikut berfoto bersama mereka :D
Songkhla Diary No. 5
Songkhla view from Tangkuan Hill
Saya absen menulis seminggu lebih :) kegiatan di sini membuat saya cukup lelah dan biasanya berakhir dengan tidur ketika sampai rumah. Jadi jarang bisa lama membuka blog untuk menulis, padahal banyak sekali stok cerita yang sudah disiapkan :D.
Amphe Muang Songkhla
Diary no.5 ini akan bercerita tentang Khao Tang Kuan (Tang Kuan Hill), yang merupakan salah satu objek wisata yang cukup tenar di Selatan Thailand dan kebetulan jaraknya hanya naik sepeda sepuluh menit dari dorm saya. Hingga tulisan ini diposting saya telah berkunjung dua kali, dan keduanya free. 
Masih dari atas Tangkuan Hill
Suuai Mak
Kunjungan pertama saya ditemani acan Fon, ia memberi tahu saya sedikit tentang tangkuan hill. Bukit tersebut merupakan bukit tempat kita bisa memandang Songkhla dari atas, beberapa murid nursing college sering mendaki ke tempat tersebut untuk berolahraga, tapi ada lift yang disediakan dengan biaya 30 Bath atau sekitar 12.000 rupiah untuk naik dan turun. Kami pergi jam dua siang, dan itu bukan waktu yang direkomendasikan untuk pergi, meskipun cerah sekali dan bisa melihat kota dengan jernih, tapi panasnya ampun. Lebih baik datang pagi atau sore sekalian. 
Gembok cinta di Tangkuan Hill
Dari atas kita bisa melihat pulau-pulau kecil, pantai, laut, dan kota Songkhla. Pulau-pulau kecil tersebut dipercaya sebagai pulau Tikus dan pulau kucing, sedangkan tangkuan hill adalah pulau anjing, ada cerita rakyat songkhla yang berkisah tentang kucing, anjing dan tikus yang berebut mutiara, karena tidak bisa berenang, kucing dan tikus mati ditengah laut, bentuk dua pulau tersebut pun agak mirip dengan kucing dan tikus. Sedangkan di Tangkuan Hill dipercaya sebagai tempat matinya di Anjing yang telah sampai ke darat. Kami hanya melihat-lihat dan berbincang setelahnya di bawah pohon, bukan tentang Songkhla malah, tapi tentang bola.
Nimbrung seremoni
Beberapa hari berselang, tepatnya hari sabtu, ajakan ke Tangkuan Hill datang mendadak, pagi-pagi di telfon ada festival di tangkuan hill yang cuma setahun sekali. Teman saya akan datang menjemput di depan college, jadilah saya buru-buru datang. Setelah sampai disana barulah tau kalau itu Sebenarnya bukan festival :) tapi ritual penggantian kain yang menutupi wat di tangkuan, tapi tak apa lah, ramai sekali, dan betul tebakan saya lebih asyik pergi di pagi hari :). Ritual ini sebetulnya ritual Budha, jadi mereka mungkin agak aneh melihat saya (yang memakai jilbab) ada diantara mereka, tapi beberapa cuek saja, mungkin sudah tau ini salah satu potensi wisata mereka sehingga siapa saja bisa melihat. :D

Wat yang diganti kainnya
Berapa detik usai ritual : makannya habis, semua berebut T.T saya cuma nyicip buah naga

Ini edisi narsis :) keren foto di atas tangkuan
Songkhla Diary No.4 
Thai traditional games : Mother Snake
Saya sudah seminggu mulai magang jadi teacher assistance di Sebuah Daycare. Rasanya aneh mengajar anak-anak dimana mereka tidak mengerti apa yang kita ucapkan dan begitu pula sebaliknya. Tapi toh saya tida memegang materi utama, tetap sebagai asisten, tugas saya tiap pagi adalah mengecek kesehatan semua anak dan membantu menyiapkan materi dan media. Di hari pertama magang, anak-anak hanya sekedarnya melihat saya, mungkin mereka pikir saya hanya sedang melakukan observasi sehari lalu pergi, di hari berikutnya mereka mulai menyadari kehadiran saya, beberapa bahkan mengajak saya mengobrol, dan saya hanya bisa bengong karena tidak bisa menjawab pertanyaan mereka.
Guru di Carp Fish Group, kelas saya mengajar, adalah Acan Tip. Sebenarnya ia tak begitu fasih bahasa Inggris, tapi mengerti beberapa bahasa Inggris dasar dengan vocab seadanya, yang membantu adalah kemampuannya berbahasa Melayu :) Jadi kami bisa saling mengerti saat merencanakan pembelajaran di kelas.
Magang di TK memang paket komplit, bukan hanya dapat ilmu pedagogik tapi juga budaya lokal.

Di Hari berikutnya saya telah prepare dengan beberapa kata yang pasti selalu digunakan di setiap PAUD di seluruh dunia, hanya bahasanya yang berbeda. Kata-kata tersebut adalah warna :). Malamnya saya telah menghafal beberapa warna dalam bahasa Thai. serta sebuah kalimat tanya 'ini warna apa' dalam bahasa Thai. Saya coba bertanya kepada anak-anak tersebut dan mereka mengerti :) menjawab, bahkan bertanya balik, kami mulai dekat semenjak saya bisa basa-basi bertanya ini warna apa.
Semenjak itu saya jadi rajin menghafal beberapa kata, menanyakannya kepada mereka, walaupun ketika mereka bertanya balik saya masih tak bisa menjawab. Tapi anak-anak juga mengerti, biasanya ketika mereka minta tolong kepada saya, mereka sertai dengan gerakan tangan dan bahasa tubuh yang ikut bicara.
Ping
Saya hanya berharap dalam dua minggu ini saya bisa belajar banyak kata baru yang bisa saya gunakan dikelas. Pasti menyenangkan bisa mengobrol dengan anak-anak yang super imut itu dengan bahasa yang saling dimengerti.
Songkhla Diary No. 3
Mnora Show
Saya baru seminggu di Songkhla, sebuah provinsi di Selatan Thailand. Tapi saya tahu dalam beberapa hal Songkhla lebih maju dari Indonesia. Terutama Bengkulu. Salah satu hal yang ingin saya share dalam posting ini adalah perhatian pemerintahnya terhadap kebudayaan daerah.
Jadi ceritanya sabtu lalu saya kembali diajak acan Kae dan Acan Fon mengunjungi sebuah taman di Songkhla, saya lupa nama thailandnya, tapi acan Kae selalu menyebut Songkhla Park, tempatnya di sebelah Songkhla Hospital. Saya kira kami hanya sekedar sight seeing (baca : belanja). Soalnya tempat ini juga agak mirip pasar malam dari luar. Waktu masuk ke taman ini, ternyata ada pagelaran budaya yang dengan panggung yang sangat megah yang akan digelar, pangungnya super. Maksud saya untuk pagelaran budaya gratis yang bisa ditonton oleh semua masyarakat ini benar super.
Mnora show
Kami datang tepat waktu sebelum pertunjukan pertama dimulai, namanya Mnora, sebuah tarian khas Thailand selatan. Penarinya adalah anak-anak usia SD, acan fon bilang mereka memang anak SD, dan semua yang akan tampil adalah pelajar. SD, SMP atau SMA. Jadi pemerintah memberdayakan pelajar supaya anak-anak muda Thailand juga mengerti kebudayaannya sendiri.
Nangtalung role
Tarian kedua adalah tari kipas, disini disebut Rong Nggong. Agak kurang seru sih kalau dibandingkan dengan Tari Kipasnya Indonesia :). Setelah itu ada Penampilan Nangtalung (wayang hitam Thailand) yang diperankan oleh dua anak SD, mereka melucu dan walaupun saya tidak mengerti bahasanya, sepertinya benar-benar lucu, soalnya penonton tertawa lepas sekali. Mereka berdua merupakan dua orang siswa disekolah muslim yang membuka penampilan tarian melayu teman-teman mereka. Tari Melayunya juga keren :) Mirip tarian di Indonesia, dan melihat puluhan siswa muslim diatas panggung, dengan jilbab dan sarung khasnya, saya jadi salut dengan masyarakat Thailand (yang mayoritas Budha : 93%) tapi masih menghargai dan menerima perbedaan.
Malayu Dance
sebenarnya masih banyak penampilan yang akan ditayangkan. Tapi saya harus pulang lebih awal :) maklum nebeng. Kami juga sempat berputar dipasarnya, ternyata yang dijuala adalah makanan khas thailand, jajanan ringan dan produk OVOP. yap. one village one product. semuanya handmade. Harganya memang agak sedikit mahal, tapi kualitasnyanya top dan kemasannya sangat kreatif.
Semacam wayang kalau di Indonesia
Karena keterbatasan bahasa Inggris acan Fon dan acan Kae, saya kurang mengerti berapa kali pagelaran ini digelar, mereka hanya menyebut 3 kali, entah dalam seminggu, atau sebulah. Yang pasti pagelarannya gratis. Dan jika kita membawa kendaraan pun bayarnya gratis :) itu kenapa saya bilang untuk urusan ini Indonesia perlu belajar. di Indonesia, tak banyak ruang publik untuk pertunjukan daerah, disini tak hanya di songkhla park, di beberapa pasar malam pun ada panggung pagelaran budaya. Padahal budaya Indonesia jauh lebih kaya dan melimpah dari budaya disini.
Seorang anak yang dibawa berjualan Ibunya, bermain Nangtalung. Apresiasi budaya sejak dini :)

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

POPULAR POSTS

  • [Review Asri] Atomic Habits - James Clear
  • Review Asri: Jalan Panjang untuk Pulang karya Agustinus Wibowo
  • Review Asri: Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom
  • Review Asri: Pengantin-pengantin Loki Tua karya Yusi Avianto Pareanom
  • Review Asri: As Long As The Lemon Trees Grow karya Zoulfa Katouh
  • [Review Asri] Kemarau - A.A. Navis
  • Review Asri: Salt to The Sea karya Ruta Sepetys
  • Review Asri - Tempat Terbaik di Dunia karya Roanne Van Voorst
  • Review Asri: Minimarket yang Merepotkan karya Kim Ho-yeon
  • Review Asri: Metode Jakarta karya Vincent Bevins, Bacaan untuk Memahami Pembantaian Massal 1965 dalam Konteks Global

Arsip Blog

  • ▼  2025 (20)
    • ▼  Juni 2025 (2)
      • Review Asri: Metode Jakarta karya Vincent Bevins, ...
      • Review Asri: Salt to The Sea karya Ruta Sepetys
    • ►  Mei 2025 (5)
    • ►  April 2025 (2)
    • ►  Maret 2025 (2)
    • ►  Februari 2025 (3)
    • ►  Januari 2025 (6)
  • ►  2024 (8)
    • ►  November 2024 (1)
    • ►  Agustus 2024 (1)
    • ►  Juni 2024 (1)
    • ►  Mei 2024 (2)
    • ►  April 2024 (3)
  • ►  2023 (17)
    • ►  November 2023 (1)
    • ►  September 2023 (1)
    • ►  Juli 2023 (4)
    • ►  Juni 2023 (4)
    • ►  Maret 2023 (2)
    • ►  Februari 2023 (2)
    • ►  Januari 2023 (3)
  • ►  2022 (52)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  September 2022 (12)
    • ►  Agustus 2022 (2)
    • ►  Juli 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (4)
    • ►  Mei 2022 (9)
    • ►  April 2022 (7)
    • ►  Maret 2022 (5)
    • ►  Februari 2022 (6)
    • ►  Januari 2022 (3)
  • ►  2021 (35)
    • ►  Desember 2021 (5)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (4)
    • ►  Agustus 2021 (3)
    • ►  Juli 2021 (2)
    • ►  Juni 2021 (1)
    • ►  Mei 2021 (3)
    • ►  April 2021 (1)
    • ►  Maret 2021 (2)
    • ►  Februari 2021 (6)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (13)
    • ►  Desember 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (4)
    • ►  Juni 2020 (3)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (1)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (14)
    • ►  November 2019 (1)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (2)
    • ►  Juli 2019 (2)
    • ►  Maret 2019 (3)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (2)
  • ►  2018 (15)
    • ►  Desember 2018 (4)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Juli 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (3)
    • ►  Maret 2018 (3)
    • ►  Januari 2018 (2)
  • ►  2017 (20)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  Oktober 2017 (3)
    • ►  September 2017 (2)
    • ►  Agustus 2017 (4)
    • ►  Juli 2017 (4)
    • ►  Mei 2017 (3)
    • ►  Januari 2017 (2)
  • ►  2016 (65)
    • ►  Desember 2016 (2)
    • ►  September 2016 (2)
    • ►  Agustus 2016 (3)
    • ►  Juli 2016 (17)
    • ►  Juni 2016 (7)
    • ►  Mei 2016 (7)
    • ►  April 2016 (25)
    • ►  Februari 2016 (1)
    • ►  Januari 2016 (1)
  • ►  2015 (29)
    • ►  Desember 2015 (3)
    • ►  September 2015 (2)
    • ►  Agustus 2015 (13)
    • ►  Juli 2015 (4)
    • ►  Juni 2015 (1)
    • ►  Maret 2015 (2)
    • ►  Februari 2015 (1)
    • ►  Januari 2015 (3)
  • ►  2014 (29)
    • ►  Desember 2014 (8)
    • ►  November 2014 (6)
    • ►  Oktober 2014 (2)
    • ►  September 2014 (2)
    • ►  Juni 2014 (3)
    • ►  Mei 2014 (2)
    • ►  Februari 2014 (6)
  • ►  2013 (66)
    • ►  Desember 2013 (1)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  Oktober 2013 (7)
    • ►  September 2013 (7)
    • ►  Agustus 2013 (15)
    • ►  Juli 2013 (4)
    • ►  Juni 2013 (8)
    • ►  Mei 2013 (2)
    • ►  April 2013 (5)
    • ►  Februari 2013 (3)
    • ►  Januari 2013 (9)
  • ►  2012 (6)
    • ►  November 2012 (4)
    • ►  Oktober 2012 (2)
  • ►  2011 (8)
    • ►  Oktober 2011 (4)
    • ►  September 2011 (1)
    • ►  Maret 2011 (3)

Goodreads

Asri's books

Kejutan Kungkang
it was amazing
Kejutan Kungkang
by Andina Subarja
The Fine Print
liked it
The Fine Print
by Lauren Asher
Under One Roof
liked it
Under One Roof
by Ali Hazelwood
Lessons from Surah Yusuf
it was amazing
Lessons from Surah Yusuf
by Abu Ammaar Yasir Qadhi
Setelah membaca ini sampai selesai malam ini. Jadi paham kenapa Allah bilang kalau Kisah Yusuf ini salah satu kisah terbaik dalam Quran. Ada terlalu banyak pelajaran berharga dari kisah Yusuf. Dr. Yasir Qadhi mengawali buku ini dg sebab...
No Exit
liked it
No Exit
by Taylor Adams

goodreads.com

Blog Perempuan

Blog Perempuan

Cari Blog Ini

Kamu pengunjung ke

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © Journal Asri. Designed by OddThemes