Journal Asri

Di awal tahun ini saya mendapatkan sebuah beberapa feedback yang membekas hingga hari ini. Bukan hanya membekas, feedback ini bahkan memunculkan hal terburuk dalam diri saya: menghilang dari orang-orang, hanya bertemu dengan orang-orang yang saya pilih dan tidak memberikan respon atas feedback yang saya dapat. 

Awalnya saya merasa saya amat ter-trigger dengan feedback ini karena feedback ini diberikan dengan cara yang amat buruk: saya tidak diberikan clue kalau saya akan menerima feedback, bukan hanya dari satu orang; tapi tiga orang +1, feedback ini diberikan didepan anak saya (kalau saya tahu perihal ini, saya tidak akan membawa anak saya ke tengah drama kerapuhan diri Ibunya), ketiga saya merasa telah memberikan banyak hal. Di hakimi dan dipermalukan dalam satu waktu rasanya jadi poin breakdown saya beberapa bulan setelahnya. 

Saya menemui seorang psikolog untuk membicarakan hal ini, saya juga mencoba bicara dengan partner saya untuk mengutarakan perasaan saya dan mempertanyakan beberapa hal yang menurut saya tidak tepat (iya, saya mencari validasi), dan beberapa bulan kebelakang, saya terus bertanya pada diri saya: why As, why was that moment hurt you so much. 

Perkenalan dengan Feedback

Saya mengenal kata feedback ketika saya berada di Camp Pelatihan Indonesia Mengajar, tahun 2016. Sebelumnya saya hanya mengenal kata kritik. Ketika satu pekerjaan selesai, jika ada yang tidak beres, kritik akan diberikan, ditempat saya bekerja sebelum IM, saya hampir tidak pernah mendapatkan apresiasi dari atasan saya, jadi saya juga tidak mengenal kalau feedback ini ada dua jenisnya, baru setelah pelatihan IM saya mengenal positive feedback dan constructive feedback. 

Lewat pelatihan IM dulu, saya mengenal beberapa teknik dalam memberikan feedback, juga prinsip-prinsip dalam memberikan feedback, beberapa prinsip utama seperti spesifik, disampaikan pada waktu yang sesuai (tidak terlalu lama sehingga tidak lupa pada dampak pada kejadian), memastikan bahwa yang bersangkutan tahu bahwa pada moment tersebut ia akan menerima feedback dan dipersilakan juga untuk memberikan feedback balik. Saya juga belajar bagaimana seorang pribadi seharusnya menerima feedback, seperti tidak defensif dan sebagainya. 

Lepas IM, saya memulai perjalanan karier lainnya yang personel-personelnya lebih dekat ke pengetahuan tentang feedback, saya sering mendengar kritik tentang saya, dan setelah menjalani setahun perjalanan di IM dimana saya terbiasa menerima feedback dari teman-teman saya, saya jadi lebih mudah dealing with feedback. Bahkan sekarang, di tempat kerja saya saat ini, saya beberapa kali menerima feedback, sometimes it's a strong one sampai beberapa rekan kerja saya chat japri mengatakan "it's okay ya", saya malah bingung dapat japri seperti itu karena I mean it, I'm okay and took this feedback profesionally, and I know this feedback is objective. Saya malah suka mendapatkan feedback seperti ini. 

Karenanya, kejadian mendapatkan feedback di hadapan beberapa orang lainnya awal tahun ini agak membingungkan buat saya, I realy took this personally, I got hurt, I feel humiliated and found myself reflecting over and over and over again "is it really a good place to grow?". Because at this moment I'm not sure. 

The Feedback Challenge

Walaupun berat, saya memaksa diri saya menamatkan membaca sebuah buku berjudul Thanks for the Feedback, The Science and art of receiving feedback well* (*even when it is off base, unfair, poorly delivered, and, frankly, you're not in the mood) karya Douglas Stone dan Sheila Heen, keduanya merupakan dosen di Harvard Law School, sebelumnya mereka menulis buku Difficult Conversation (yang belum saya baca sampai hari ini walaupun sudah nangkring di Kindle). 

Dari buku ini saya mengenal The Feedback Challange, tantangan feedback. Penulis tahu betul kalau feedback, terutama the negative one ini bisa memberikan sensasi tidak menyenangkan untuk beberapa banyak orang. Termasuk saya :'). 

Ada sebuah gambaran tepat tentang bagaimana rasanya mendapatkan negative feedback yang tidak kita inginkan:

This kind of feedback trigger us: Our heart pounds, our stomach clenches, our thoughts rase and scatter. We usually think of that surge of emotion as being "In the way"-- a distraction to be brushed aside, an obstacle to overcome. After all, when we're in the grip of a triggered reaction we feel lousy, the world looks darker, and our usual communication skills slip just out of reach. We can't think, we can't learn, and so we defend, attack, or withdraw in defeat. (page 15).

Gambaran diatas adalah gambaran yang sangat tepat tentang gimana rasanya mendapatkan feedback negatif yang poorly delivered.

Tapi, buku ini juga yang menyadarkan saya kalau perasaan-perasaan diatas adalah hasil dari trigger-trigger yang perlu kita cari tahu lebih lanjut. Karena triggers ini adalah informasi berharga, semacam peta yang bisa bantu kita menemukan masalah yang sebenarnya. 

Ada 3 feedback challenge yang ditulis dibuku ini:

1. The Truth Triggers

Triggers ini terbentuk dari reaksi kognitif dan emosional kita ketika menerima feedback yang dirasa tidak tepat. Ketika kita ketrigger, kita jadi kesulitan untuk melihat sebenarnya jenis feedback apa yang sedang kita dapatkan? Apa maksud orang tersebut memberikan feedback ini kepada saya? dan kita jadi kesulitan memandang diri kita sendiri secara lebih jelas. 

Triggers pertama ini mengajak kita untuk mengenal jenis feedback: Apresiasi, coaching dan evaluasi dan bagaimana ketiganya sama pentingnya untuk pertumbuhan kita secara personal. Ada panduan menarik sebelum memberikan feedback untuk menghindari truth triggers bagi penerimanya. 

(i) What's my puspose in giving/receiving this feedback?
(ii) Is it the right purpose from my point of view?
(iii) Is it the right purpose from the other person's point of view?

Ini terutama bisa digunakan untuk tahu sebetulnya yang mau kita berikan tuh feedback yang mana. 

Truth trigger ini juga bisa kejadian ketika penerima feedback  merasa melakukan satu hal yang benar dan ditangkap secara salah oleh pemberi feedback, ada gap atau perspektif yang berbeda dari si pemberi dan penerima dalam mengolah informasi, yang~~ memang gak susah sama kalau gak diklarifikasi. 

2. The Relationship Triggers

Kalau truth triggers fokusnya pada isi feedbacknya,  si trigger kedua ini fokusnya pada hubungan antara pemberi feedback dan penerima. 

Ada dua tipe relationship triggers. 

(1) Apa yang kita pikirkan tentang pemberi feedback

Skill or judgement: How, when, or where they gave the feedback
Credibility: They don't know what they're talking about
Trust: Their motives are suspecs

Simplenya, ketika kena trigger ini, kita seringkali bertanya, "Siapa kamu ngasih-ngasih saya kritik tentang A?" atau "Duh, kamu tau apa sih?" Bisa jadi kita mempertanyakan kredibilitas mereka. Mungkin karena mereka gak punya background, pengalaman atau expertise di bidang yang sedang jadi ladang perang ini. Atau bisa jadi kita punya issue kedua: mereka punya pengalaman atau expertisnya, tapi kita gak mau jadi orang atau pemimpin yang seperti mereka. Either itu terkait gaya kepemimpinan atau values atau identitas.


Relationship triggers ini yang paling menarik buat saya karena sepertinya saya terluka karena ter-triggers disini. Misalnya buat saya, feedback tidak langsung yang diberikan kepada saya (pemberi feedback tidak hadir langsung, tapi feedbacknya disampaikan kepada saya), memberikan asumsi: "Duh ini orang punya masalah sama saya ternyata udah lama, tapi malah diam-diam dan ngomongin saya dibelakang. Maksudnya apa? mau jelek-jelekin saya?, mau saya terlihat jelek didepan semua orang".  

Dan menarik sekali mengaitkan Relationship triggers ini bisa sangat bahaya karena narik lagi banyak hal-hal kebelakang. Seperti "Aduh, aku melakukan banyak banget hal yang kamu gak lakukan, bertahun-tahun, berbulan-bulan, gak dapat apresiasi yang proper sesimple ucapan terima kasih, tapi sekarang, satu kesalahan ini membuat semua orang punya hak untuk menghakimi saya secara gak adil didepan banyak orang termasuk anak saya". ---- this is an emotional notes, yang bahkan baru saya sadari ketika menuliskan post ini. 

3. Identity Triggers

Kenapa feedback bisa membuat kita merasa terancam dan bikin kita gak nyaman: karena ini biasanya bikin hubungan kita yang paling penting dalam diri kita jadi dipertanyakan: hubungan dengan diri kita sendiri. 

Kita seringkali mempertanyakan diri sendiri setelah mendapatkan feedback :') 

Salah satu cara yang disebutkan dibuku ini jika kita merasa ketriggers dengan hal ini adalah dengan menjawab tiga pertanyaan ini:

(i) What do I feel?
(ii) What's the stroy I'm telling (and inside the story, what's the threat)?
(iii) What's the actual feedback?

Hal ini perlu kita lakukan untuk memisahkan feeling, story & feedback supaya kita bisa lebih objektif memandang feedback yang diberikan. 

Ada juga satu hal yang bisa kita ingat-ingat ketika mendapatkan feedback yang dirasa menyerang identitas kita. 

- Time: The Present does not change the past. The presents influences but does not determine the future
- Specificity: Being lousy at one thing does not make us lousy at unrelated things. Being lousy at something now doesn't mean we will always be lousy at it.
- People: If one person doesn't like us it doesn't mean that everyone doesn't like us. Even a person who doesn't like us usually like some things about us. And people's views of us can change over time.

What The Feedback and The book has Taught Me

Seperti yang saya bilang di awal post, feedback terakhir yang saya terima kemarin rasanya berat sekali buat saya, setelah baca buku ini saya jadi bisa mulai membedah apa sih sebenarnya trigger-trigger yang membuat saya kesulitan menerima feedback-feedback tersebut? 

Relationship Triggers

Yes, trigger ini trigger yang paling besar menyita pikiran saya. Saya mendapatkan banyak feedback dari beberapa orang, uniknya ada feedback dari satu orang yang menyiapkan kegiatan ini dari awal hinggal akhir dan saya tahu betul semua feedback yang diberikan adalah feedback yang objektif. I didn't even feel hurt by her words or tears. I take it all. I am wrong. I am being irresponsible. I am a selfish bit*h that deserve this. 

Tapi, hal ini gak berlaku ketika saya menerima feedback dari orang lain. Tarik balik ke penjelasan tentang triggers relationship ini, rupanya saya gak terima dapat feedback dari orang-orang yang mempertanyakan kehadiran saya ketika orang-orang tersebut juga gak sepenuhnya hadir. 

Saya jadi merasa sakit hati sendiri karena saya mendapat penghakiman ketika sebenarnya "kita sama aja loh, you did not present the whole time too, sho why me? why suddenly me deserve this but not you?".

Identity Triggers

Setelah dapat feedback tersebut, hingga hari ini saya terus mempertanyakan apakah diri saya adalah orang yang sebegitu gak bertanggung jawabnya? Am I an irresponsible person? Am I an irresponsible employee? Am I an Irresponsible mother? Emosi saya begitu meluap, ditambah keresahan jadi Ibu baru yang gak tamat-tamat sampai sekarang, that moment become a big time to question myself: am I a good person?

Well, sekarang saya bisa bilang iya saya mungkin orang yang gak bertanggung jawab pada satu hal karena saya punya prioritas lain saat itu (still part of me being defensive), tapi saya merasa saya pekerja yang bertanggung jawab, dan urusan tanggung jawab-tanggung jawab yang lain, bukan urusan orang yang menghakimi saya kemarin juga. I am good, at least for my self. (took 5 freakin' month for me to answer this). 

Sekarang apa?

Setelah kejadian kemarin, saya menarik diri dari banyak pergaulan. Saya bahkan menghapus instagram pribadi saya, hanya bertahan dengan instagram yang isinya review buku karena saya tetap butuh supply informasi tentang buku dan diskon buku :'). 



Tapi untuk kembali ke tempat saya kemarin, rasanya berat sekali. Saya sudah pernah menjadwalkan untuk kembali-- lalu tepat sehari sebelum saya harus datang secara fisik ke tempat tersebut, perut saya sakit sekali, maag saya kambuh, saya demam semalaman dan anak saya ikutan sakit. Saya menganggap ini cara tubuh saya memberikan sinyal kalau saya belum siap untuk kembali. 

Namun ada satu hal yang juga luput saya lakukan karena saya terlalu sibuk dengan penerimaan diri atas feedback kemarin: saya tidak melakukan apa yang penting: follow up. Menyampaikan apa yang saya terima dan apa yang saya bisa lakukan saat ini, kalau memang tidak bisa kembali, mau rehat sampai kapan? Kalau memang menerima feedback, kenapa malah pundung (tapi yang memberik feedback sudah tahu saya akan pundung dari awal saya diberikan feedback, good for them).  

Lima bulan merenungkan ini, saya merasa saya amat kekanak-kanakan hanya karena feedback yang orang lain berikan untuk saya, yang sebetulnya dampak terhadap tujuan besar yang ingin dicapainya tidak besar. Tapi ketika merasa diserang, boro-boro mikirin the grand vision, pengennya kabur aja gimana caranya bikin anak saya gak merasa terancam sama keadaan saat itu. Dan setelah menuliskan ini, saya tahu saya bukan sedang bersikap kekanak-kanakan. Saya sedang mencerna apa yang terjadi pada diri saya dan membuat saya terluka, hanya saja dalam kasus saya, butuh waktu yang cukup lama untuk mencerna hal ini.

Jadi setelah panjang lebar menuliskan curhatan saya diatas, saya akan melakukan apa yang disarankan buku ini dibagian 1/3 akhir buku: setting up boundaries. 

Be transparent by telling them what burden me, being appreciative for their feedback (because yes: i learn a lot how to become present because it matters most in relationship, and being honest that I will be need some specific time to learn and unlearn some things, that I still need to digest this, that I will be back one day when I'm ready). 
Ah, satu lagi; saya belajar banyak dari feedback yang saya dapat dan buku yang saya baca: key player dalam feedback itu penerimanya bukan pemberinya, dalam hal ini; saya. I couldn't agree more with the book that we can't expect what kind of feedback we get in some specific situation. Kuncinya ada di saya. Mau tumbuh dengan feedbacknya, atau mau hancur karena dua jam yang menyeramkan karena merasa diserang?. 

Plusnya lagi: kalau kamu baca buku ini, karena tahu rasanya menerima feedback itu gimana, mungkin jadi mau mikir-mikir berkali-kali sebelum memberikan feedback supaya bisa menghindari hal-hal yang bikin feedbacknya poorly delivered. 

---

Informasi Buku

Judul Buku: Thanks for the Feedback, The Science and Art of Receiving Feedback Well*
Penulis: Douglas Stone & Sheila Heedn
ISBN: 978-0-14-312713-0
Penerbit: Penguin Books
Bahasa: Inggris
Jumlah halaman: 346
Terbit pertama kali di USA, 2015
Cetakan ke: 10




Libur Hari Pancasila jadi salah satu hari libur paling menyenangkan buat saya, selain bisa libur di tengah pekan, saya sempat pergi piknik bersama anak dan partner saya, serta saya bisa nonton satu episode terbaru dari series Detective Kindaichi di Disney Plus dan nonton CODA di Apple TV sebelum tidur!

CODA jadi salah satu film yang ada di watchlist saya sejak langganan Apple TV, tapi baru kali ini bisa nonton daaaan ini jadi salah satu film terbaik yang pernah saya tonton. 

CODA ini singkatan dari Child of Deaf Adult, sebagaimana judulnya CODA bercerita tentang seorang anak yang memiliki orang tua yang tuli. Rubi, tokoh utama di film ini merupakan satu-satunya hearing people (orang yang bisa mendengar) di rumahnya. Ayahnya, Ibunya dan kakaknya merupakan tunarungu, tak bisa mendengar dan tak bisa bicara. Ia tumbuh menjadi penghubung keluarganya dengan dunia luar, terutama untuk berkomunikasi dengan orang-orang yang tidak bisa bahasa isyarat. 

Rubi juga membantu orang tuanya mencari ikan di lautan, ia tinggal di daerah pesisir dan keluarganya merupakan keluarga nelayan. Ia tetap sekolah namun di sekolah ia mengalami bullying  karena dianggap berbeda dengan teman-temannya, bullying ini terjadi sejak ia kecil, ketika ia bisa bicara dan suara yang ia keluarkan sangatlah aneh. 

A glimpse reminder of Glee

Apa yang membuat film ini begitu spesial buat saya? 

Film ini sebetulnya sederhana sekali alurnya: gadis remaja yang meledak-ledak dan penuh gejolak, mencoba mencari identitas diri dengan melakukan apa yang ia suka, namun disisi lain mengejar mimpi bisa jadi berbahaya karena ia merupakan translator untuk keluarganya; ia tak bisa pergi jauh dari mereka dan merasa memiliki tanggung jawab untuk terus berada didekat mereka. 

Rubi punya satu bakat: menyanyi, ia bergabung dengan grup musikal di sekolahnya. Awalnya karena ia punya orang yang ia taksir dan ia ingin lebih dekat dengan laki-laki ini, namun ia jadi bisa benar-benar belajar bernyanyi disini. 

Saya suka sekali film bertema grup musikal! Tumbuh menonton puluhan episode Glee membuat saya suka sekali konsep grup musikal di sekolah (yang tidak saya temui di sekolah saya dulu). 

Lewat Grup ini, Ruby bertemu Mr. V, penanggung jawab dan guru musik di sekolahnya, ia kemudian mendapatkan latihan intensif untuk bisa masuk sekolah musik yang sangat prestigious. 

Isu Difabel: ThisAble

Walaupun sebelumnya saya bilang ide cerita film ini sederhana tentang cerita remaja perempuan yang mengejar mimpinya, film ini menampilkan sesuatu yang tidak banyak diangkat banyak film: kelompok minoritas difabel yang kesulitan untuk mengikuti ritme kehidupan tanpa akses yang cukup baik. 

Ayah, Ibu dan Kakak Ruby, mampu bekerja dengan baik dengan Ruby terlibat didalamnya. Tanpa Ruby, beberapa hal bisa jadi berbahaya (ketika bekerja di lautan tidak mendengar sirine) atau jadi tidak bisa mengikuti konteks pembahasan yang sedang mereka ikuti (ketika rapat bersama asosiasi nelayan). Ketergantungan mereka pada Ruby disatu sisi memberatkan Ruby di usianya yang remaja, dinamika ini menarik sekali buat saya. 

Film ini juga menunjukkan bahwa teman-teman difable, yang sering kali diperlihatkan sebagai golongan yang tidak berdaya, ternyata menjalani kehidupan yang kurang lebih seperti golongan yang disebut normal: bekerja, berpikir bagaimana bisa menjalani kehidupan tanpa kekurangan, mengalami kegalauan dalam hidup, dan realita kehidupan lainnya. Namun, keterbatasan mereka membuat apa yang harusnya tidak jadi masalah bagi orang normal, malah menjadi masalah yang luar biasa berat bagi mereka. 

Kehangatan Keluarga

Buat saya, tema film ini yang paling utama adalah keluarga. Keluarga yang terlihat bahagia seperti keluarga Ruby, ya keluarga yang juga mengalami dinamika dan rusuh besar, tapi berusaha untuk mencari jalan keluar terbaik untuk semuanya. 

Ada hal-hal yang terlihat sederhana tapi juga kurasa amat relate dengan kebanyakan kita. Bagaimana Ibu biasanya jadi sosok yang kadang menyalahkan anaknya terlebih dahulu sebelum bersikap reflektif mengenai kesalahan-kesalahannya sendiri. Bagaimana cara seorang ayah marah. Bagaimana sex (sorry not sorry) adalah salah satu resep hubungan yang awet hingga anak-anak dewasa! 

Keluarga Ruby digambarkan sebagai keluarga yang sederhana, tapi saling menyayangi satu sama lain. Mereka juga tidak menyembunyikan emosi yang sedang mereka rasakan. Keluarga mereka jadi keluarga yang didambakan anak-anak lainnya yang justru tumbuh jauh dari kasih sayang orang tua, yang padahal hidup tanpa kekurangan fisik seperti keluarga Ruby. 

Sebuah film yang hangat dan layak sekali untuk ditonton menemani weekend kamu! 

Detektif Conan Edisi 100 sudah terbit dan sudah bisa dibeli di toko buku kesayangan kalian semua! Punya saya sampai hari Minggu kemarin. Karena seminggu ini saya tidak banyak membuka instagram untuk mengikuti info-info perbukuan terbaru, saya cukup kaget karena Detektif Conan terbaru ini dibandrol dengan harga 50,000. Sebuah harga yang fantasis mengingat saya mulai mengoleksi komik Conan dari harga 13,000 (atau 11,000 ya saya agak lupa). 

Saya ingat sekali membeli Detektif Conan pertama kali di Indomaret dekat rumah, sepertinya saya masih SMP dan koleksi Conan pertama saya adalah Conan nomor 47. Komiknya masih ada sampai saat ini. Sangat spesial karena mendapatkan uang untuk membeli komik ini dari almarhum bapak. Sejak saat itu saya memburu komik Conan bekas untuk melengkapi koleksi saya. Sempat mandek mengoleksi karena kesibukan dan melupakan cita-cita mengoleksi seluruh komik Conan, saya mulai melanjutkan kebiasaan membeli Conan ketika bekerja di Jakarta. Setiap edisi baru terbit saya mampir ke Gramedia Matraman, membeli komiknya dan membacanya sampai tamat di gerai Dunkin Donuts sambil makan donat dan minum kopi. 

Sejak mulai kembali membeli Conan di Jakarta, sampai saat ini saya tidak pernah ketinggalan membeli Conan edisi terbaru. Tentu saja rasanya tidak terlalu mahal karena beberapa bulan sekali saja terbitnya dan Detektif Conan adalah satu-satunya komik yang saya beli dan masih on going, sekarang ada Spy x Family sih hehe, jadi dua serial ini yang saya tunggu-tunggu kehadiran terbitnya. 

Edisi 100 cukup spesial karena:

Dari segi penampilan:

1. Punya jacket cover yang membungkus komik, ini mirip edisi bahasa Jepang (saya punya satu di rumah dan ada jacket covernya).
2. Kertasnya berbahan book paper, bukan kertas tipis/ kertas buram (?) yang biasanya digunakan untuk mencetak edisi sebelum-sebelumnya. 

Dari segi konten:

1. Ada drama sengit FBI vs Organisasi Hitam, di edisi kali ini Conan dan kedua orang tuanya turut bergabung memeriahkan keseruan perang antara dua organisasi ini. 
2. Ada info menarik terkait Rum, orang penting di Organisasi Hitam.

Ada tiga kisah yang disajikan di edisi 100 ini

1. Yusaku mengungkap kasus pembunuhan di ruang tertutup

Kisah pertama merupakan sambungan kisah edisi 99, jadi baiknya membaca ulang edisi 99 chapter terakhir supaya paham casenya. Disini ada hal menarik yang melibatkan Yusako Kudo, Kaito Kid, Vermouth dan tentu saja Conan. 

2. FBI vs Organisasi Hitam

Sebagai pengagum Suichi Akai, saya suka sekali edisi ini karena peran Akai cukup banyak disini. Jujur saya tidak terlalu antusias membaca isi bab ini karena geregetan banget sama anggota FBI yang kalah pintar sama Conan. I mean hiks masa anggota FBI tidak tahu trik-trik standard untuk penyelamatan diri dan bersembunyi T.T, harus dikasih tau Conan dulu, pffft. 

Tapi bagian ini tetap menarik karena endingnya membuka tabir baru Organisasi Hitam. Dan karena yang diungkap adalah orang yang cukup penting, edisi kali ini tidak terlalu mengecewakan lah ya.

3. Heiji & Kazuha dan kisah cintanya yang selalu amsyong

Heiji mulai gemas karena tiap ia mau mengungkapkan cinta ke Kazuha, ada saja hal-hal yang menggagalkan usahanya. Ia kemudian mencari tahu info tentang jimat yang menurutnya akan berguna untuk hubungannya. 

Eh tapi hasil googlingnya ketahuan Kazuha, Kazuha sama sekali tidak berpikir Heiji sedang mencari jimat dan akan membeli jimat disana. Kazuha datang ke Tokyo dan mengajak Ran serta Conan ke kuil yang ia temukan dari hasil googling Heiji. Tak disangka, Heiji ada disana juga. Ketika mereka bertemu, pembunuhan terjadi.


Lelah tapi memuaskan

Mengikuti kisah Conan dan teman-temannya ini melelahkan sekali kalau dipikir-pikir :'), gak sadar sekarang sudah edisi 100 saja dan belum ada tanda-tanda berakhir. Tapi ya, mengikuti Conan ini, walaupun melelahkan rasanya tetap memuaskan. 

Mengikuti Conan bukan hanya mengikuti ceritanya. Saya (dan saya yakin banyak orang yang mengoleksi Conan), tumbuh besar bersama Conan. Ada memori masa SD, SMP, SMA yang dihabiskan untuk membaca Conan, ada memori berburu komik bekas karena tak punya cukup uang untuk membeli buku barunya, ada memori menyenangkan pernah minta uang ke Bapak untuk beli komik. Membeli Conan buat saya adalah usaha untuk terus menghidupkan memori-memori tersebut. Siapa sangka saya sampai di fase selalu dicukupkan secara finansial sehingga membeli komik Conan dengan harga 50,000 rasanya tidak memberatkan sama sekali. Ya, memang terasa sekali saya bertumbuh bersama Conan. 

Saya cuma sedikit berharap Rana nanti suka membaca komik juga jadi koleksi Conan di rumah tidak hanya dinikmati oleh saya sendiri :) Haha! 

Goodreads Review

Detective Conan #100Detective Conan #100 by Gosho Aoyama
My rating: 4 of 5 stars

Sebagai pengagum Suichi Akai, senang sekali di edisi 100 bisa lihat Akai beraksi.

Ada 3 cerita di edisi 100.
- Cerita sambungan dari edisi 99 (better baca dulu edisi 99 biar ingat).
- Cerita kedua tentang pembunuhan agen-agen FBI oleh organisasi hitam. Makin dekat dengan identitas dibalik organisasi hitam 😬
- Kisah cinta Heiji - Kazuha yg selalu amsyooong :')

View all my reviews


Semalam saya membaca salah satu bab di buku Bringin Up Bebe karya Pamela Druckerman. Judul bab tersebut adalah "Tidak Ada Ibu yang Sempurna", saya senang sekali dengan pembahasan didalam bab ini karena hari-hari kebelakang, rasanya saya sedang banyak mempertanyakan kemampuan saya sebagai seorang Ibu. "Am I a good mother?", " Am I enough for my daughter?". 

Sedikit pengantar, buku Bringing Up Bebe ini ditulis dari perspektif Pamela, seorang jurnalis dan penulis yang tinggal di Paris. Ia besar dan tumbuh di Amerika Serikat, jadi ketika punya anak di Prancis, ia membandingkan gaya parenting Ibu-Ibu di Perancis yang menurutnya, lebih damai. 

Sejujurnya saya pernah membaca buku ini sebelum melahirkan Rana, tapi mungkin agak kurang relatable karena waktu itu anak saya belum lahir. Saya gak tau bagaimana melelahkannya peran seorang ibu. Physically, emotionally, financially! Ha!. 

Loh, memang selama ini gak tau kalau memang gak ada Ibu yang Sempurna?

Saya suka sekali membaca buku ini, dan bab ini karena personally, setelah membaca buku tersebut, saya jadi tidak terlalu merasa bersalah. Selama ini tentu saja saya tahu kalau gak ada namanya Ibu yang sempurna, gak ada yang namanya manusia yang sempurna, semua punya kekurangan, semua punya kelebihan, and that what makes us human. 

Lalu apa yang membuat saya merasa lebih baik setelah membaca buku ini? 

The fact that we know we ain't perfect but we let it go, we don't let ourself feeling guilty for too long. The fact that we could still fight for our dreams, we could be a working mother and that did not makes us less mother that others. 

Kalau lihat dari alasan saya, bisa dilihat kalau saya punya insecurity yang cukup besar terkait peran saya sebagai Ibu yang juga bekerja ya, dan memang benar kok. Hehe. Bagaimanapun juga, orang-orang disekitar saya, bahkan banyak teman-teman saya yang berpendidikan tinggi, memutuskan untuk berhenti bekerja dan fokus pada keluarga. Fokus pada anak-anak mereka. Apakah saya iri atu menginginkan kondisi tersebut?

Sama sekali tidak, mungkin justru hal tersebut yang membuat saya kadang merasa bersalah. Sama sekali tidak pernah terbersit dalam pikiran saya untuk berhenti berkerja, berkarya, bahkan ketika saya memiliki anak. 

Saya suka bekerja, saya suka berkarya, saya senang membuat hidup saya berdampak untuk banyak orang, saya juga sangat suka bisa menghasilkan uang sendiri, tidak bergantung pada suami. Saya punya kepuasan sendiri setiap bulannya bisa menerima penghasilan yang memang layak saya dapatkan, memutuskan untuk memasukkan uang tersebut pada pos tabungan tertentu, bisa belanja buku atau barang-barang tersier lainnya yang mungkin akan sungkan saya minta pada suami jika saya tidak bekerja. 

Meskipun saya sangat suka bekerja, saya sendiri bukan tipe pekerja yang bisa menghabiskan waktu melewati jam kerja, saya cukup strict pada jam kerja. Jam 9 - 6 adalah jam dimana saya masih oke untuk membuka email dan laptop untuk bekerja, tapi setelah itu, nope. Lingkungan tempat saya bekerja sekarang, juga lingkungan yang sangat mendukung seorang Ibu untuk bekerja. Alhamdulillah.

Makanya membaca buku Bringing Up Bebe ini, rasanya pas sekali dengan apa yang saya rasakan saat ini. Sekarang ini saya sedang membaca ulang bukunya, mungkin setelah selesai membaca saya akan menuliskan ulasan lengkapnya di postingan lain hehe. 

Untuk saat ini, saya baru ingin menuliskan catatan saya tentang satu bab itu saja. 

---

*Catatan: post ini dibuat tidak untuk mendiskreditkan pihak manapun, terutama Ibu yang memutuskan untuk menjadi Ibu Rumah Tangga penuh waktu. Semua Ibu sama berharganya, bekerja ataupun tidak bekerja, di rumah ataupun di kantor. Peluk semangat untuk semua Ibu di seluruh dunia!

Halo semua! kali ini waktunya review Toko Buku! 

Sepertinya sejak pandemi, kita semua jadi punya ketergantungan untuk jajan di Toko Buku Online lebih tinggi daripada sebelumnya ya! Sebagai orang yang senang sekali jajan buku, saya menjajal beberapa Toko Buku Online yang rata-rata saya temukan dari rekomendasi sesama pembaca di Instagram. Salah satu yang rekomendasi yang muncul dengan review yang menyenangkan adalah Konyv Bookstore. 

Saya mencoba beli buku di Konyv dua kali. Yang pertama membeli buku 101 Essays that will Change the Way You Think karya Brianna Weist dan The Quran (versi terjemah Bahasa Inggris) yang dialihbahasakan oleh M.A.S Abdel Haleem.

Pengalaman Pertama

Buku pertama, 101 Essays That Will Change The Way You Think, saya beli lewat Tokopedia dengan metode pengiriman ekspress menggunakan go-send, karena ternyata Konyv lokasinya satu Kota dengan saya di Cimahi. Jadi ongkos go-send nya tidak terlalu mahal. 

Buku datang dengan selamat, dikemas dengan sangat baik di paperbag yang bisa digunakan kembali dan dapat bonus yang menyenangkan sekali! COCOA for Readers yang tidak dijual dan dibuat oleh Konyv khusus untuk pembelinya serta Bookmark lucu yang juga tidak dijual dan dicetak terbatas untuk pelanggannya. Pengalaman ini membuat saya berani pesan buku kedua yang agak berbeda nih, kalau buku ini ready-stock, ada stoknya di toko dan bisa dikirim di hari yang sama, Quran yang saya inginkan harus PO (preorder) dan menunggu cukup lama.

Preorder Buku Kedua

Qur'an Oxford yang saya inginkan (karena kena racun dari akun Instagram Konyv :')) ternyata habis padahal stok mereka cukup banyak, tapi dalam sehari langsung habis, menandakan yang kena racun buku bukan hanya saya ya. 

Jadi saya ikutan PreOrder di Bulan Ramadan, harusnya buku saya datang sebelum Lebaran, namun karena ada kendala dalam pengiriman, jadi telat banget, molor sekitar 2 minggu. Tapi gak usah khawatir teman-teman, biasanya kalau PO-nya terlambat, Konyv akan langsung menghubungi untuk konfirmasi kita berkenan menunggu atau ingin uangnya dikembalikan 100% atau diganti dengan buku ready stocknya Konyv. 

Saya sih setia menunggu ya :') dan Alhamdulillah datang dengan lancar setelah lebaran. 

Review Asri

Saya pribadi suka sekali dengan pengalaman belanja buku di Konyv! Adminnya (Yang chat saya namanya Mba Gita) ramah sekali dan ketika saya memberikan feedback terkait dent di buku kedua yang saya beli, juga ditanggapi dengan baik! 

Oiya, dibanding ikut PO, saya prefer buku yang ready stock Haha! Selain saya agak gak sabaran menunggu, buku ready stock-nya Konyv bisa dibeli lewat Marketplace (yang saat ini menawarkan free shipping dan cashback yang lumayan). Sedangkan buku PO dipesan manual, kita akan diminta mengisi google form terlebih dahulu dan nanti akan diminta untuk melakukan payment ke Bank langsung. 

Tapiiii (lagi), kalau tidak ikut PO ya memang bisa-bisa gak kebagian stock, saking cepatnya buku-buku kurasi Konyv datang dan pergi. Kurasi bukunya Konyv emang sebagus itu!!

Dua buku yang saya beli, belum selesai saya baca hehe, karena keduanya bukan jenis buku yang habis sekali baca. Tapi dari pengalaman yang sudah saya rasakan, pasti akan belanja buku lagi di Konyv! 

Pssst, coklatnya enaak sekali untuk dinikmati sambil baca buku!

Konyx Bookstore bisa kamu temui di:

Tokopedia https://tokopedia.link/X4QDobLRcqb
Shopee https://shopee.co.id/konyvbookstore
Instagram https://www.instagram.com/konyv_/ 


Bookmail dari Konyv




Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

POPULAR POSTS

  • [Review Asri] Atomic Habits - James Clear
  • Review Asri: Jalan Panjang untuk Pulang karya Agustinus Wibowo
  • Review Asri: Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom
  • Review Asri: Pengantin-pengantin Loki Tua karya Yusi Avianto Pareanom
  • Review Asri: As Long As The Lemon Trees Grow karya Zoulfa Katouh
  • [Review Asri] Kemarau - A.A. Navis
  • Review Asri: Salt to The Sea karya Ruta Sepetys
  • Review Asri - Tempat Terbaik di Dunia karya Roanne Van Voorst
  • Review Asri: Minimarket yang Merepotkan karya Kim Ho-yeon
  • Review Asri: Metode Jakarta karya Vincent Bevins, Bacaan untuk Memahami Pembantaian Massal 1965 dalam Konteks Global

Arsip Blog

  • ▼  2025 (20)
    • ▼  Juni 2025 (2)
      • Review Asri: Metode Jakarta karya Vincent Bevins, ...
      • Review Asri: Salt to The Sea karya Ruta Sepetys
    • ►  Mei 2025 (5)
    • ►  April 2025 (2)
    • ►  Maret 2025 (2)
    • ►  Februari 2025 (3)
    • ►  Januari 2025 (6)
  • ►  2024 (8)
    • ►  November 2024 (1)
    • ►  Agustus 2024 (1)
    • ►  Juni 2024 (1)
    • ►  Mei 2024 (2)
    • ►  April 2024 (3)
  • ►  2023 (17)
    • ►  November 2023 (1)
    • ►  September 2023 (1)
    • ►  Juli 2023 (4)
    • ►  Juni 2023 (4)
    • ►  Maret 2023 (2)
    • ►  Februari 2023 (2)
    • ►  Januari 2023 (3)
  • ►  2022 (52)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  September 2022 (12)
    • ►  Agustus 2022 (2)
    • ►  Juli 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (4)
    • ►  Mei 2022 (9)
    • ►  April 2022 (7)
    • ►  Maret 2022 (5)
    • ►  Februari 2022 (6)
    • ►  Januari 2022 (3)
  • ►  2021 (35)
    • ►  Desember 2021 (5)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (4)
    • ►  Agustus 2021 (3)
    • ►  Juli 2021 (2)
    • ►  Juni 2021 (1)
    • ►  Mei 2021 (3)
    • ►  April 2021 (1)
    • ►  Maret 2021 (2)
    • ►  Februari 2021 (6)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (13)
    • ►  Desember 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (4)
    • ►  Juni 2020 (3)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (1)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (14)
    • ►  November 2019 (1)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (2)
    • ►  Juli 2019 (2)
    • ►  Maret 2019 (3)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (2)
  • ►  2018 (15)
    • ►  Desember 2018 (4)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Juli 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (3)
    • ►  Maret 2018 (3)
    • ►  Januari 2018 (2)
  • ►  2017 (20)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  Oktober 2017 (3)
    • ►  September 2017 (2)
    • ►  Agustus 2017 (4)
    • ►  Juli 2017 (4)
    • ►  Mei 2017 (3)
    • ►  Januari 2017 (2)
  • ►  2016 (65)
    • ►  Desember 2016 (2)
    • ►  September 2016 (2)
    • ►  Agustus 2016 (3)
    • ►  Juli 2016 (17)
    • ►  Juni 2016 (7)
    • ►  Mei 2016 (7)
    • ►  April 2016 (25)
    • ►  Februari 2016 (1)
    • ►  Januari 2016 (1)
  • ►  2015 (29)
    • ►  Desember 2015 (3)
    • ►  September 2015 (2)
    • ►  Agustus 2015 (13)
    • ►  Juli 2015 (4)
    • ►  Juni 2015 (1)
    • ►  Maret 2015 (2)
    • ►  Februari 2015 (1)
    • ►  Januari 2015 (3)
  • ►  2014 (29)
    • ►  Desember 2014 (8)
    • ►  November 2014 (6)
    • ►  Oktober 2014 (2)
    • ►  September 2014 (2)
    • ►  Juni 2014 (3)
    • ►  Mei 2014 (2)
    • ►  Februari 2014 (6)
  • ►  2013 (66)
    • ►  Desember 2013 (1)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  Oktober 2013 (7)
    • ►  September 2013 (7)
    • ►  Agustus 2013 (15)
    • ►  Juli 2013 (4)
    • ►  Juni 2013 (8)
    • ►  Mei 2013 (2)
    • ►  April 2013 (5)
    • ►  Februari 2013 (3)
    • ►  Januari 2013 (9)
  • ►  2012 (6)
    • ►  November 2012 (4)
    • ►  Oktober 2012 (2)
  • ►  2011 (8)
    • ►  Oktober 2011 (4)
    • ►  September 2011 (1)
    • ►  Maret 2011 (3)

Goodreads

Asri's books

Kejutan Kungkang
it was amazing
Kejutan Kungkang
by Andina Subarja
The Fine Print
liked it
The Fine Print
by Lauren Asher
Under One Roof
liked it
Under One Roof
by Ali Hazelwood
Lessons from Surah Yusuf
it was amazing
Lessons from Surah Yusuf
by Abu Ammaar Yasir Qadhi
Setelah membaca ini sampai selesai malam ini. Jadi paham kenapa Allah bilang kalau Kisah Yusuf ini salah satu kisah terbaik dalam Quran. Ada terlalu banyak pelajaran berharga dari kisah Yusuf. Dr. Yasir Qadhi mengawali buku ini dg sebab...
No Exit
liked it
No Exit
by Taylor Adams

goodreads.com

Blog Perempuan

Blog Perempuan

Cari Blog Ini

Kamu pengunjung ke

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © Journal Asri. Designed by OddThemes