![]() |
Cover Buku Salt to the Sea versi Bahasa Indonesia |
Jika ditanya apakah saya tahu tragedi besar di lautan yang menelan banyak sekali korban, saya mungkin akan menjawab Titanic sebelum membaca buku ini. Fiksi sejarah 369 halaman ini mengajak saya dan pembaca lainnya untuk berkenalan dengan tragedi terlupakan yang enam kali lebih mematikan dibanding Titanic: Wilhelm Gustloff.
Salt to the Sea ditulis tahun 2016 dan mendapatkan banyak penghargaan, salah satu yang paling populer: Goodreads Choice Awards untuk kategori Best Young Adult 2016. Terjemahan Bahasa Indonesianya terbit tahun 2018, diterjemahkan dengan sangat baik oleh Putri Septiana Kurniawati. Sedihnya, saya baru pertama kali mendengar tentang buku ini ketika seorang kawan, membawa buku ini di Klub Buku Hayu Maca tahun lalu. Kala itu saya membaca As Long As the Lemon Trees Grow, Ica, membawa buku ini, yang temanya serupa: Perang dari sudut pandang masyarakat sipil, dan khususnya sudut pandang remaja atau usia dewasa awal.
Saya penasaran sejak saat itu namun baru bisa betul-betul membaca buku ini bulan lalu, dan menurut saya ini jadi salah satu buku yang saya rekomendasikan untuk dibaca kalau kamu suka fiksi sejarah atau tema spesifik perang dunia kedua.
Perang Dunia Kedua dan Wilhelm Gustloff
Ruta Sepetys, penulis buku ini mengajak saya kembali ke tahun 1945, masa-masa kelam bagi warga Jerman dan koloninya yang sudah diujung tanduk karena kalah perang dan harus melakukan banyak cara untuk bertahan hidup. Menariknya, buku ini ditulis dari empat sudut pandang. Emilia, Joana, Florian dan Alfred. Keempatnya adalah warga di usia remaja dan dewasa awal dengan latar belakang yang berbeda, namun dipertemukan di sebuah kapal besar yang akhirnya menentukan nasib mereka.
Emilia, remaja perempuan yang dititipkan orang tuanya ke salah satu kerabat namun justru mengalami kejadian yang mengubah jalan hidupnya, bertemu dengan Florian, seorang pelarian asli Prusia, staf di Museum yang diurus langsung tangan kanan Hitler yang kabur membawa rahasia besar. Emilia dan Florian bertemu Joana dan rombongan perjalanannya; Heinz kakek tua pujangga sepatu, Klaus si pengembara kecil, Ingrid yang buta, dan Eva si wanita 50 tahunan yang berbadan besar seperti seorang viking. Mereka semua memiliki alasan yang kuat untuk segera mengungsi dan bertahan hidup. Bersama-sama mereka semua berusaha mencapai kapal Wilhelm Gustloff yang akan membawa mereka ke Kiel.
Melalui sudut pandang Emilia, Florian dan Joana, kita akan melihat bagaimana perang memengaruhi hidup mereka. Tentu saja ceritanya perih, namun kita tetap bisa menemukan kehangatan dari interaksi mereka, favorit saya sebetulnya bukan tokoh-tokoh yang menjadi pencerita ini, tapi justru Kakek tua Heinz dan Klaus si pengembara kecil.
Empat Sudut Pandang dan Bab yang Ringkas
Saat membaca buku ini, awalnya saya dibuat pusing karena ada empat PoV atau sudut pandang yang membuat saya harus langsung switch PoV ketika Bab berganti. Masalahnya Bab dalam buku ini ringkas sekali, satu sampai empat halaman saja, ada beberapa yang lebih panjang tapi tidak banyak. Setelah agak lama membaca barulah mulai bisa ngeh sudut pandang siapa yang sedang bicara dan siapa mereka. Ini bisa jadi kelebihan buku buat yang tidak suka bab-bab panjang, namun juga jadi kekurangan buku ini buat pembaca seperti saya yang lebih menyukai paragraf-paragraf yang lebih kaya dalam menjelaskan kejadian di buku. Masalah selera dan preferensi membaca ya kalau ini.
Oh iya, buku ini juga menarik karena menambahkan satu sudut pandang dari pelaku kejahatan perang, Alfred namanya. Sebetulnya dibilang pelaku pun, tidak ada kejahatan spesifik yang dilakukan Alfred, jadi bisa jadi saya salah. Namun Alfred digambarkan sebagai seorang Nazi totok, yang sangat mengagungkan Hitler dan sangat dipengaruhi propaganda Nazi. Alfred menjadi tokoh penting yang nantinya akan membantu Emilia, Joana dan Florian naik ke Wilhelm Gustloff.
Perjalanan Darat dan Laut
Meskipun judul dan blurb yang diberikan adalah tentang tragedi di lautan dengan kapal yang membawa puluhan ribu orang, tiga per empat bagian buku ini berisi perjalanan di daratan, alias kita tidak akan langsung disuguhi cerita mereka di laut; agak berbeda dengan bayangan saya tentang buku ini, ketika membaca blurbnya saya kira pengalaman bacanya akan seperti membaca Life of Pi karya Yann Martel, buku yang sepanjang membaca membuat saya ikut berimajinasi, ikut mabuk laut dan dibuat ketakutan dengan ganasnya ombak.
Meskipun begitu perjalanan di darat ini justru banyak memberikan cerita bagaimana satu sama lain tokoh di buku ini bertemu dan rahasia-rahasia yang mereka simpan rapat-rapat yang akhirnya terbongkar.
Perjalanan darat, walaupun tidak menakutkan atau membosankan seperti perjalanan laut, juga memberikan beberapa adegan yang membuat kita deg-degan, salah satunya adalah saat rombongan penyintas ini harus menyebrangi danau es yang terlihat kokoh; dan memang kokoh! namun sebuah kejadian menimpa yang membuat semua yang sudah menyebrang harus mengambil langkah menyelamatkan diri.
Akhir yang sesuai dengan apa yang saya harapkan
Kalau kamu kenal saya di kehidupan nyata, kamu pasti tahu saya tipe orang yang lebih suka cerita-cerita berakhir bahagia. Apalagi kalau perjalanan ceritanya perih betul. Nah buku ini memberikan akhir yang sesuai harapan saya, walaupun tidak bisa dibilang happy ending banget-banget. Akhir buku ini loncat ke beberapa puluh tahun kemudian, dan menjelaskan keadaan tokoh-tokoh di buku ini setelah tragedi Wilhelm Gustloff. Tentu saja tidak semua orang selamat, tapi ada yang bertahan.
Sekali lagi, kalau kamu suka fiksi sejarah, aman-aman saja dengan cerita pilu tentang perang, dan menyukai cerita dengan beberapa fakta sejarah yang tidak banyak dibicarakan, saya sangat merekomendasikan kamu untuk baca buku ini!