Journal Asri

 


Semalam, saya membaca buku sastra klasik Inggris: The Railway Children. Buku versi Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesianya tersedia di Gramedia Digital, saya kira akan membutuhkan waktu berhari-hari membaca buku ini, ternyata semalam saja (haha tentu menemani drama jam tidur Ibu-Ibu baru).

Buku anak bisa dibilang jadi "comfort genre" saya dalam baca buku, apalagi kalau sedang lelah dengan banyak hal tapi ingin tetap membaca buku yang membuat hati hangat. Buku ini salah satunya, salah satu buku anak klasik yang ditulis Nesbit, sudah banyak diadaptasi ke film tapi saya belum nonton satupun filmnya.

Berkisah tentang petualangan tiga bersaudara: Roberta (Bobby), Peter & Phyllis. Ketiganya anak-anak dari keluarga berada yang karena satu hal harus berubah hidup sekedarnya. Mereka bahkan pindah dari London ke "The Three Chimneys". Sebuah tempat tinggal yang tak jauh dari jalur kereta dan stasiun.

Petualangan mereka banyak dimulai dari jalur kereta dan stasiun, mulai dari percobaan mencuri bahan bakar untuk nenghangatkan rumah yang dilakukan Peter, membantu penyintas dari Russia yang mencari keluarganya, penyelamatan heroik untuk mencegah kecelakaan kereta, hingga menemukan seorang anak laki-laki yang terluka dan mereka bawa ke rumah.

Saya merasa hangat membacanya, interaksi ibu dan ketiga anak ini secara tak langsung berpengaruh pada sikap mereka dalam menghargai orang lain. Favorit saya adalah bagian ketika tiga bersaudara ini menyiapkan kejutan ulang tahun untuk porter di stasiun kereta.

Ah, ada beberapa kutipan yang saya highlight dari buku ini:

---
"Now, listen," said Mother; "it's quite true that we're poor, but we have enough to live on. You mustn't go telling everyone about our affairs—it's not right. And you must never, never, never ask strangers to give you things. Now always remember that—won't you?"

---
"Mother said we weren't to ask people for things," said Bobbie, doubtfully. "For ourselves, she meant, silly, not for other people.

---
Bacaan akhir pekan yang menyenangkan. Jadi penasaran ingin membaca buku klasik lainnya.


Judul Buku: The Hen Who Dreamed She Could Fly
Penulis: Hwang Sun-Mi
Penerjemah: Dwita Rizki
Penerbit: Penerbit BACA
Jumlah Halaman: 208 halaman
Pertama kali terbit: November 2020 (terj. Bahasa Indonesia) 2002 (versi asli Bahasa Korea)

---

"Aku punya nama. Nama buatanku sendiri" --
-- "Dedaunan adalah ibu dari para bunga. Bernapas sambil bertahan hidup walau diempas angin. Menyimpan cahaya mataharidan membesarkan bunga putih yang menyilaukan mata. Jika bukan karena dedaunan, pohon pasti tidak dapat hidup. Dedaunan benar-benar hebat."

"Dedaunan... Benar, nama yang sangat cocok untukmu" ---(hal. 72)

---

Jika kamu mencari sebuah buku yang tokoh-tokohnya adalah hewan-hewan di pekarangan rumah: ayam, anjing, bebek dan beragam dramanya. Buku ini bisa jadi salah satu pilihan bacaan menyenangkan untukmu! namun jangan harap membaca cerita dengan tokoh binatang yang terasa hangat, minim konflik dan cepat sekali selesai konflik-konfliknya ya. 

The Hen Who Dreamed She Could Fly merupakan buku karangan Hwang Sun-Mi, seorang penulis dari Korea Selatan. Buku ini merupakan buku laris di Korsel sana. Selama beberapa tahun tercatat sebagai buku best-seller  dan telah diterjemahkan ke beberapa bahasa. Versi Indonesianya baru terbit tahun lalu dan diterbitkan oleh Penerbit BACA. 

Saya sendiri baru membaca buku ini kemarin, waktu Rana sedang anteng tidur. Ah, buku ini merupakan hadiah dari Mas Har setelah saya melahirkan kemarin hihi. Apakah Mas Har beli karena isinya yang akan amat sentimentil jika dibaca seorang ibu? bukaaaan haha, Mas Har pakai cheat sheet dengan melihat keranjang e-commerce saya dan mendapati buku ini sebagai salah satu buku yang ada di keranjang belanja saya tapi tak pernah di check out. 

Sejujurnya membaca buku ini rasanya refreshing sekali karena sudah lama saya tak membaca kisah apik dalam sosok hewan-hewan. Mungkin baca di buku cerita anak yaaa hehe tapi kan buku anak biasanya pendek-pendek banget. Nah buku ini gak bisa dibilang tipis untuk ukuran fabel. 

Bercerita tentang Daun, ayam petelur yang tinggal di kandang ayam di sebuah pekarangan rumah pasangan suami istri. Ia punya mimpi yang cukup 'berani' untuk ukuran ayam petelur: Ingin tinggal di halaman, ingin bertelur lalu mengerami telurnya selayaknya ayam betina di halaman, ingin mengasuh dan membersamai anak-anaknya sampai besar seperti pemandangan yang ia lihat di halaman. 

Satu waktu ketika kondisi kesehatan Daun menurun, ia tak kunjung bertelur, pasangan pemilik halaman memutuskan untuk 'membuang' Daun ke pembuangan ayam. Beruntungnya Daun tak 'mati' seperti halnya ayam-ayam lain yang dibuang. Ia lalu keluar dari tempat pembuangan tersebut, bertemu Bebek Pengelana, seekor bebek liar yang hidup bersama bebek-bebek jinak di halaman, yang membantunya kabur dari sergapan musang yang siap menerkamnya. Dari sini perjalanan Daun meraih mimpi-mimpinya dimulai. 

Ia akhirnya 'bebas' dari kandang ayam. Namun ternyata tinggal di halaman tak semudah yang ia bayangkan. Seluruh penghuni halaman. Ayam Jantan, Ayam betina, bebek dan anjing tak ingin Daun ada disana, ia diusir dan tampak hanya Bebek Pengelana yang peduli padanya namun tak berdaya. 

Kisah Daun lebih seru lagi ketika ia akhirnya sangat dekat dengan impian terbesarnya untuk mengerami telur dan menetaskan anak dari telur tersebut. Ia mendapati telur besar di semak mawar dan mengerami telur tersebut hingga anak tersebut lahir. Apakah anak yang menetas adalah anak ayam? Hmhmmm... Saya amat merekomendasikan teman-teman membaca sendiri kelanjutan ceritanya hehe. 

---

Sejujurnya saya tidak menyangka bisa membaca kisah yang indah di buku ini. Saya sendiri amat ingin membaca buku ini setelah melihat banyak teman-teman bookstagram memposting foto buku ini di Instagram :D, (anaknya gampang banget kebawa arus yaaaa haha).

Buku ini, walau semua tokohnya binatang, adalah gambaran apik dari sang penulis tentang kehidupan yang sebenarnya. Si Daun yang mencari kebebasan layaknya manusia pada umumnya, Daun yang juga nampak tak pernah puas dengan pencapaian-pencapaiannya di awal (dari kandang minta ke halaman, sampai halaman mengetahui fakta yang terjadi juga tak pula puas), namun lewat Daun juga kita diajak belajar untuk menjalani hidup dengan sebaik-baiknya. Sampai tak lagi merasakan penyesalan ketika ia berpulang. 

Membaca kisah Daun dan Jambul Hijau setelah memiliki Derana juga rasanya berbeda sekali (ini tidak valid sih ya mengingat saya belum pernah baca buku ini sebelum punya anak), tapi kok ya rasanya pas. Membaca buku tentang kasih sayang yang kadang diluar akal sehat dari seorang Ibu ke anaknya. Padahal dalam kasus Daun, Jambul Hijau bukanlah anak kandungnya. Rasanya dalam sekali membaca kisah ini. Tak heran kalau di negara asalnya buku ini berada di rak best seller selama 10 tahun! 

Saya amat merekomendasikan teman-teman untuk membaca buku ini!! 




 


Buku pertama yang saya tamatkan sebagai seorang Ibu: Rumah Kertas karya Carlos Maria Domininguez. Membaca buku setelah menjadi seorang ibu ternyata beda sekali ya dengan sebelum menjadi ibu hihi. Setelah melahirkan, saya membeli satu buku, Mas Har menghadiahkan tiga buku, belum lagi langganan Gramedia Digital yang masih berjalan, tapi gak banyak buku yang tamat saya baca. Bisa jadi karena sebagian besar adalah buku non-fiksi, sementara Rumah Kertas ini buku fiksi dengan 75 halaman saja. Tipis sekali. 

Saya pertama kali mendengar tentang buku ini di #SelasaBahasBuku yang diselenggarakan Hayu Maca. Saya lupa siapa pengulas buku ini tapi saya terhipnotis sekali dengan ulasannya dan langsung ingin baca tapi bukunya ga ada hehe. Rasanya setelah itu saya langsung masukkan keranjang belanja, karena bukunya tipis, pikir saya nanti sekalian beli buku lain baru check out, supaya hemat ongkir (hehe). Tapi ga di check-out sampai setahun lebih, keburu lupa. Kemarin, Mas Har membelikan saya buku ini. 

Kenapa saya amat sangat ingin membaca buku ini: karena temanya tentang buku. Ringkasan buku ini dibagian belakang buku saya amat membuat saya penasaran:

Seorang profesor sastra di Universitas Cambridge, Inggris, tewas ditabrak mobil saat sedang membaca buku. Rekannya mendapati sebuah buku aneh dikirim ke alamatnya tanpa sempat ia terima: sebuah terjemahan berbahasa Spanyol dari karya Joseph Conrad yang dipenuhi seprihan-serpihan semen kering dan dikirim dengan cap pos Uruguay. Penyelidikan tentang asal usul buku aneh itu membawanya (dan membawa pembaca) memasuki semesta para pecinta buku, dengan berbagai ragam keunikan dan kegilaannya!

Menarik sekali bukan!
Judul asli buku ini adalah La Casa de Papel, yang terjemahannya adalah Rumah Kertas dalam Bahasa Indonesia, ha! Jangan kaget kalau search judul aslinya di google yang keluar adalah gambar dan artikel tentang serial Money Heist ya! hehe, karena serial tersebut aslinya berjudul sama dengan buku ini sebelum diterjemahkan menjadi Money Heist. Tapi ceritanya sama sekali tidak sama kok :). Buku ini ditulis oleh penulis Argentina, Carlos Maria Domininguez. 

Berkisah tentang perjalanan si tokoh utama atau 'aku' di buku ini. Si tokoh utama adalah rekan kerja Bluma Lennon, profesor sastra Amerika Latin yang dikisahkan meninggal usai tertabrak mobil ketika sedang membaca karya Emily Dickinson. Bekerja di ruangan yang tadinya milik Bluma, si tokoh utama menerima paket misterius yang berisi buku La linea de sombra, terjemahan Spanyol The Shadow Line karya Joseph Conrad. Buku tersebut dikirim dalam keadaan koyak, dibagian depan dan belakangnya terdapat kotoran berkerak, belum lagi ada bekas-bekas semen dan debu halus dari buku tersebut. Karena penasaran, tokoh utama mencari siapa pengirim buku tersebut dan pencariannya mengerucut pada satu nama: Carlos Braurer, seorang bibliofil dari Uruguay. 

Lewat perjalanan mencari Carlos Braurer inilah, si tokoh utama bertemu beberapa orang yang menceritakan siapa Carlos dan seberapa cinta dan gilanya ia pada buku dan membaca. Oh iya! si tokoh utama disini juga seorang penggila buku yang diawal buku disebutkan sedang bingung karena bukunya butuh rak baru dan ia tak tahu harus simpan dimana bukunya. 

Tokoh utama bertemu Jorge Dinarli, pemilik salah satu toko buku lawas yang sebelum menceritakan tentang Carlos, terlebih dahulu menceritakan tentang dua tipe bibliofil yang ia kenal:

1. Kolektor, yang bertekad mengumpulkan edisi-edisi langka dan mengagumi buku-buku tersebut layaknya objek yang indah dan barang yang langka.
2. Para kutu buku, pelahap bacaan yang rakus. Seperti halnya Carlos Braurer, yang sepanjang hidupnya membangun koleksi perpustakaan, pecinta buku tulen, yang mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk buku dan menghabiskan waktu untuk mempelajari dan memahaminya. 

Hmmmm, membaca percakapan antara tokoh utama dan Dinarli saya langsung mikir saya masuk yang mana haha, walau sepertinya bukan keduanya. Buat saya, membaca buku amat menyenangkan karena bisa membawa saya 'pergi'dari tempat saya berada tanpa benar-benar pergi. Belakangan membaca nonfiksi juga sama menyenangkannya karena seru ya bisa membaca beragam pemikiran orang, yang bisa jadi kita setujui dan tidak. 

Nah, sepanjang 75 lembar buku ini, rasanya tak habis-habis saya diajak refleksi tentang kecintaan saya pada buku. Walau tidak sampai level kegilaan Braurer (ga mau spoiler tapi kalian harus baca kegilaan dia pada buku yang bikin saya merinding) membaca buku ini seperti diajak mengenali beragam tipe pembaca dan pengoleksi buku. Ada pembaca yang senang bukunya bersih, ada yang suka coret-coret sambil baca, ada yang ngoleksi untuk kesenangan semata ada yang untuk dibaca, macam-macam deh. Belum lagi kalau sudah level kolektor, ternyata biaya perawatan buku bagi mereka lebih mahal daripada harga bukunya hehe. 

Pada akhirnya, usai membaca buku ini saya kembali pada satu kesimpulan:

Namanya cinta yang berlebihan itu ga ada yang bagus, termasuk cinta pada buku yang katanya sumber ilmu pengetahuan. Cinta yang berlebihan bisa membutakan, membuat kita tak bisa pandang sesuatu dengan jernih. 

Jika diawal buku, si tokoh utama bingung meletakaan rak baru untuk buku-bukunya, di bagian akhir ia memilih membagi-bagikan buku tersebut kepada mahasiswanya. Menolak menjadi penimbun buku terutama untuk buku-buku yang kemungkinan tidak ia butuhkan lagi. Ini mengingatkan saya pada beberapa teman yang mulai unhaul buku-buku mereka entah dengan membagikan gratis atau menjualnya untuk membeli kembali buku baru. Saya sendiri belum sampai level bagi-bagiin buku gratis terutama kalau bukunya bagusss heheee. Saya akui saya masih suka menimbun. Tapi sepertinya mulai harus buat aturan kaya baju yaa, satu buku baru masuk, satu buku lama harus keluar biar ga penuh-penuhin rumah juga :)


 

 


Halo! 

Saya bertanya-tanya kapan bisa kembali menulis blog setelah terakhir menulis sebulan lalu. Sebabnya: Saya sedang dug dig dug menunggu persalinan anak pertama. Hufff, setelah drama HPL yang maju jauuuuh sekali ke 21 April (sebelumnya 8 Mei!) makin dag dig dug lagi lah saya karena baru mengajukan cuti di bulan Mei. Untungnya semua sudah saya komunikasikan ke atasan dan rekan kerja, kalau si kecil tiba-tiba ingin keluar di April, saya langsung cuti hari itu. 

Sebetulnya, saya malah bersyukur masih bekerja sampai sebelum melahirkan hihi, karena kayanya kalau gabut dan ga ada kerjaan malah makin kelenger mikirin anak di perut yang gak keluar-keluar di hari HPL, lewat beberapa hari HPL saya datang kontrol USG ke obgyn dan bidan. Obgyn udah wanti-wanti kalau sampai minggu depan gak keluar juga, tindakan akan segera diambil, minimal induksi, sebelum akhirnya nanti operasi jadi opsi satu-satunya untuk paksa si bayi keluar dalam keadaan sehat dan selamat. Makin dag dig dug, tapi terus berusaha memasrahkan segalanya ke Allah sambil coba beragam tips agar si anak kecik mau keluar di tanggal-tanggal aman. 

Sempat saya berpikir, ini anak bayi ga mau keluar jangan-jangan karena ingin Ibunya menyelesaikan tanggung jawabnya dulu di tempat kerja. Saya dan Mas Har "sampai coba ngobrol malam-malam sambil elus-elus perut dan bilang, "Dek, gak apa loh keluar di tanggal Ibu belum cuti, nanti diganti kok, ibu masuk lebih awal, gak zolim ke tempat kerja Ibu. Wkkkkk, Apakah Rana akan jadi kaya Ibunya yang rada-rada workaholic, gak tau tah haha. 

Tapi ternyata cukup berhasil, dua hari doang sebelum tanggal beneran cuti, lewat seminggu lebih dari HPL tapi belum sampai tenggat obgyn bilang harus induksi, Rana lahir ke dunia. Membawa beragam perasaan di badan dan raga Ibunya, Ayahnya, Neneknya dan semua orang-orang yang mengenalnya pertama kali. 

---

Melahirkan seorang anak, rasanya seperti terlahir kembali sebagai manusia baru. Pernah dalam satu sesi wawancara kerja saya ditanya, "Bu Asri pernah punya pengalaman spiritual tak terlupakan gak?", waktu itu saya gak bisa jawab apa-apa, rasanya sholat terkhusuk saya aja belum masuk katergori pengalaman spiritual yang tak terlupakan, atau ibadah-ibadah lainnya. Tapi berada di klinik bidan selama beberapa jam, menyaksikan dan merasakan seonggok daging bergerak jadi manusia baru, menangis dan meminta makanan pertamanya pada saya, saya gak yakin akan dapat pengalaman yang lebih magis dan spiritual lagi dari hal tersebut. 

Hari ini, seminggu lewat sejak Rana lahir, saya masih merasakan banyak macam emosi dan rasa di badan dan jiwa saya. Gak semuanya pelangi seperti yang dilihat di Instagram ibu-ibu baru kok haha! Lima malam pertama kayanya saya gak berhenti nangis nahan sakit. Saya melahirkan dengan persalinan pervaginam (normal), proses kontraksinya, seperti kontraksi pada umumnya, menyakitkan dan bikin buka tutup mata sambil terus  berdzikir karena takut banget mati di tengah proses ini (sungguh sebuah alasan berdzikir yang amat Asri ya!), proses persalinan saya, sayangnya gak smooth sama sekali haha. Penuh perjuangan, sampai bidan-bidan yang menangani saya nyerah dan panggil bidan senior, setelah lemes setengah mati (literally setengah hidup dan mati), saya di infus dan dipandu ngejan sekali lagi. Alhamdulillah, Rana keluar beneran kali ini, saya, secara ajaib jadi kuat lagi setelah dengar tangis Rana, walaupun sambil nangis-nangis terus-terusan, emang dasar cengeng yaaa. 

Baru sekarang semuanya terasa lebih enak dan lebih menyenangkan sampai saya punya mood buat nulis di jurnal dan nulis di blog sekarang. Badan saya lebih terasa enak, perut juga udah lebih menyenangkan dibawa berkegiatan, saya mulai terbiasa dengan kehadiran Rana dan mulai memikirkan dengan serius untuk belajar mengurus semua kebutuhan Rana sendiri biar gak terus menerus repotin Ibu (neneknya Rana).

--

Selamat terlahir kembali, Asri! dan semua Ibu baru lainnya! Bukan hanya karena tanggung jawab baru sebagai Ibu tapi juga perjalanan yang pastinya aduhai naik turunnya!


 


Bacaan penutup Maret yang baru sempat ditulis reviewnya hari ini. Saya menutup Maret dengan membaca dua buku nonfiksi, salah satunya buku ini: No Hard Feelings - The Secret Power of Embracing Emotions at Work karya Liz Fosslien & Mollie West Duffy.

Buku ini saya baca di Google Playbook. Oiya OOT dikit! Kalau teman-teman langganan Google One, coba cek email teman-teman deh, bulan Maret lalu saya dapat credit Google sampai 65.000IDR, lumayan buat tambahan beli buku, atau kalau teman-teman ga mau beli buku juga bisa dipakai belanja di playstore untuk aplikasi atau games hihi! 

Okay balik lagi ke buku ini, saya baca buku ini karenaa treng treng treeeeng: Follow IG penulisnya haha, terus lihat dia repost followersnya yang baca buku ini. Ampun ya saya gampang banget kena racun baca dari Instagram, ga kehitung lagi buku yang saya beli atau baca gara-gara lihat postingan orang di IG, which is good sih haha! makanya sampai hari ini saya belum quit instagram, karena yang saya follow akun-akun buku wkkkk. 

Nah, buku ini sendiri mengambil tema yang cukup unik tentang bagaimana mengelola perasaan atau emosi di tempat kerja. Berisi 8 chapters menarik berikut:

Chapter 1: The Future is Emontional
Chapter 2: Health - Be Less Passionate about your job: Why taking a chill pill makes you healthier
Chapter 3: Motivation - Inspire Yourself: Why you're stuck and how to get moving
Chapter 4: Decision Making - Emotion is part of the equation; Why good decision rely on examining your emotions
Chapter 5: Teams - Psychological safety first: Why the how matters more than the who
Chapter 6: Communication - Your feelings aren't facts: Why you shouldn't get emotional about you emotions
Chapter 7: Culture - Emotional culture cascades from you; Why small actions make a big difference
Chapter 8: Leadership - Be selectively vulnerable: Why how you share matters

Kenapa saya sampai ketik satu-satu isi chapternya! karena dari judul chapter-chapternya saja buat saya sudah menarik parah! Favorit saya adalah chapter 5~ dari dulu saya selalu tertarik tentang beragam bacaan yang berkaitan dengan team, karena mengalami beragam dinamika tim baik yang sumber dinamikanya adalah saya sendiri sampai berusaha sok pahlawan menyelesaikan masalah dinamika tim yang bukan tanggung jawab saya~ yang tentu berakhir menyakiti perasaan saya sendiri! haha jadi cape hati. Tapi pembahasan tentang tim selalu menarik hati saya. Dan apa yang dibahas di buku ini di chapter 5 kurang lebih menekankan pentingnya seluruh anggota tim merasa 'aman' secara psikologi untuk menyampaikan pendapat atau bahkan ketika tidak menyampaikan pendapat (hehe). 

Chapter 5 mengingatkan saya pada project Aristotle nya Google yang pernah saya bawakan sebagai materi tambahan fasilitasi tim di awal tahun 2019. Kamu bisa baca lebih lanjut riset Google tentang tempat kerja yang aman secara psikologi disini ya. 

Nah kenapa saya tertarik dengan bagian ini, karena jadi diingetin lagi, sebenarnya tim-tim hebat isinya justru bukan orang hebat semua hihi, tapi ya berisi tim dengan beragam background tapi tiap anggotanya paham tentang gimana bikin semua orang merasa aman secara psikologis di tim. 

Tapi ya teman-teman, selain chapter 5 yang menarik, saya juga seperti diingatkan untuk 'slow down' di chapter chapter awal, ada kalanya ketika baca hmmmm, duh saya gini gak yaaa hahaa. This 'saya gini gak ya' terutama sering terpikirkan kalau ada bahasan tentang karyawan yang being in to it sampai lupa diri. Nah, terkait hal ini saya pernah diskusi sama Mas Har. 

Sebagai seorang karyawan (sejak tamat kuliah sampai sekarang haha), saya merasa selalu memberikan 100% saya ketika bekerja, kerja ngikutin passion buat saya bukan ketika saya bisa kerja sambil gambar-gambar atau nulis atau hal-hal yang 'menyenangkan' karena itu hobi saya selama ini. NOPE. Buat saya ketika saya terima satu kerjaan, ya I'm gonna do it passionately, walaupun tetap akan ada masa-masa demotivated, masa-masa kecewa karena satu dan lain hal, tapi mostly saya selalu mencoba memberikan yang terbaik yang saya bisa. Saya menganggap ini sebagai sikap bertanggung jawab dan amanah pada tugas, biar gajinya berkaaah ciiiin~. Tapiiiii, saya juga set boundaries yang cukup jelas, tertutama ketika masuk ke JAM KERJA. Weekend kerja??? Kalau kesepakatan di awal ada hayu, kalo ga ada NO! Pernah di tempat kerja sebelumnya saya diminta bekerja di weekend tanpa kesepakatan sebelumnya, hmmmm dateng-dateng merengut lah hahaa itu waktu istirahat saya. Mana gak dapet uang lembur pulak! wkkk (Asriiii Asriii mau maunya~). 

Makanya baca buku ini disatu sisi saya refleksi ulang apakah saya overwork? terlalu memberikan banyak untuk pekerjaan? Ya, tentu bias sih menilai diri sendiri, tapi kalau saya sendiri gak bisa nilai makin kacau lah dunia persilatan haha. Untuk sekarang sih gak kok, alhamdulillah~ habis magrib dah bisa leyeh-leyeh. 

---

Karena bukunya tentang tempat kerja, jadi campur-campur curhat yaa manteman mohon maaf! 
Saya merekomendasikan teman-teman membaca buku ini, pelan-pelan saja bacanya, kecuali kalau kalian emang fast reader untuk buku nonfiksi, saya sendiri termasuk lambat sekali baca nonfiksi, buku ini saya selesaikan seminggu lebih. Padahal banyak ilustrasinya! Hampir di tiap lembar ada ilustrasinya. 

Ah, sepertinya versi Bahasa Indonesianya belum ada nih. Semoga kedepannya ada penerbit Indonesia yang beli lisensi untuk terjemahkan buku ini! Versi Bahasa Inggris buku ini diterbitkan oleh Penguin Random House, jumlah halamannya 313. Harganya di Google Playbook (lupaa, tapi gak sampai 200K ditambah diskon pula), kurang tahu versi fisiknya bisa dibeli dimana tapi bisa cek di onlineshop favorit teman-teman ya!

Selamat membaca!!!!!

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

POPULAR POSTS

  • [Review Asri] Atomic Habits - James Clear
  • Review Asri: Jalan Panjang untuk Pulang karya Agustinus Wibowo
  • Review Asri: Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom
  • Review Asri: Pengantin-pengantin Loki Tua karya Yusi Avianto Pareanom
  • Review Asri: As Long As The Lemon Trees Grow karya Zoulfa Katouh
  • [Review Asri] Kemarau - A.A. Navis
  • Review Asri: Salt to The Sea karya Ruta Sepetys
  • Review Asri - Tempat Terbaik di Dunia karya Roanne Van Voorst
  • Review Asri: Minimarket yang Merepotkan karya Kim Ho-yeon
  • Review Asri: Metode Jakarta karya Vincent Bevins, Bacaan untuk Memahami Pembantaian Massal 1965 dalam Konteks Global

Arsip Blog

  • ▼  2025 (20)
    • ▼  Juni 2025 (2)
      • Review Asri: Metode Jakarta karya Vincent Bevins, ...
      • Review Asri: Salt to The Sea karya Ruta Sepetys
    • ►  Mei 2025 (5)
    • ►  April 2025 (2)
    • ►  Maret 2025 (2)
    • ►  Februari 2025 (3)
    • ►  Januari 2025 (6)
  • ►  2024 (8)
    • ►  November 2024 (1)
    • ►  Agustus 2024 (1)
    • ►  Juni 2024 (1)
    • ►  Mei 2024 (2)
    • ►  April 2024 (3)
  • ►  2023 (17)
    • ►  November 2023 (1)
    • ►  September 2023 (1)
    • ►  Juli 2023 (4)
    • ►  Juni 2023 (4)
    • ►  Maret 2023 (2)
    • ►  Februari 2023 (2)
    • ►  Januari 2023 (3)
  • ►  2022 (52)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  September 2022 (12)
    • ►  Agustus 2022 (2)
    • ►  Juli 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (4)
    • ►  Mei 2022 (9)
    • ►  April 2022 (7)
    • ►  Maret 2022 (5)
    • ►  Februari 2022 (6)
    • ►  Januari 2022 (3)
  • ►  2021 (35)
    • ►  Desember 2021 (5)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (4)
    • ►  Agustus 2021 (3)
    • ►  Juli 2021 (2)
    • ►  Juni 2021 (1)
    • ►  Mei 2021 (3)
    • ►  April 2021 (1)
    • ►  Maret 2021 (2)
    • ►  Februari 2021 (6)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (13)
    • ►  Desember 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (4)
    • ►  Juni 2020 (3)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (1)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (14)
    • ►  November 2019 (1)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (2)
    • ►  Juli 2019 (2)
    • ►  Maret 2019 (3)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (2)
  • ►  2018 (15)
    • ►  Desember 2018 (4)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Juli 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (3)
    • ►  Maret 2018 (3)
    • ►  Januari 2018 (2)
  • ►  2017 (20)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  Oktober 2017 (3)
    • ►  September 2017 (2)
    • ►  Agustus 2017 (4)
    • ►  Juli 2017 (4)
    • ►  Mei 2017 (3)
    • ►  Januari 2017 (2)
  • ►  2016 (65)
    • ►  Desember 2016 (2)
    • ►  September 2016 (2)
    • ►  Agustus 2016 (3)
    • ►  Juli 2016 (17)
    • ►  Juni 2016 (7)
    • ►  Mei 2016 (7)
    • ►  April 2016 (25)
    • ►  Februari 2016 (1)
    • ►  Januari 2016 (1)
  • ►  2015 (29)
    • ►  Desember 2015 (3)
    • ►  September 2015 (2)
    • ►  Agustus 2015 (13)
    • ►  Juli 2015 (4)
    • ►  Juni 2015 (1)
    • ►  Maret 2015 (2)
    • ►  Februari 2015 (1)
    • ►  Januari 2015 (3)
  • ►  2014 (29)
    • ►  Desember 2014 (8)
    • ►  November 2014 (6)
    • ►  Oktober 2014 (2)
    • ►  September 2014 (2)
    • ►  Juni 2014 (3)
    • ►  Mei 2014 (2)
    • ►  Februari 2014 (6)
  • ►  2013 (66)
    • ►  Desember 2013 (1)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  Oktober 2013 (7)
    • ►  September 2013 (7)
    • ►  Agustus 2013 (15)
    • ►  Juli 2013 (4)
    • ►  Juni 2013 (8)
    • ►  Mei 2013 (2)
    • ►  April 2013 (5)
    • ►  Februari 2013 (3)
    • ►  Januari 2013 (9)
  • ►  2012 (6)
    • ►  November 2012 (4)
    • ►  Oktober 2012 (2)
  • ►  2011 (8)
    • ►  Oktober 2011 (4)
    • ►  September 2011 (1)
    • ►  Maret 2011 (3)

Goodreads

Asri's books

Kejutan Kungkang
it was amazing
Kejutan Kungkang
by Andina Subarja
The Fine Print
liked it
The Fine Print
by Lauren Asher
Under One Roof
liked it
Under One Roof
by Ali Hazelwood
Lessons from Surah Yusuf
it was amazing
Lessons from Surah Yusuf
by Abu Ammaar Yasir Qadhi
Setelah membaca ini sampai selesai malam ini. Jadi paham kenapa Allah bilang kalau Kisah Yusuf ini salah satu kisah terbaik dalam Quran. Ada terlalu banyak pelajaran berharga dari kisah Yusuf. Dr. Yasir Qadhi mengawali buku ini dg sebab...
No Exit
liked it
No Exit
by Taylor Adams

goodreads.com

Blog Perempuan

Blog Perempuan

Cari Blog Ini

Kamu pengunjung ke

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © Journal Asri. Designed by OddThemes