Journal Asri
Setelah sekian lama! Akhirnya menulis reviu di blog lagi hehe :') 

Buku yang baru saja selesai saya baca kali ini adalah Angsa dan Kelelawar, buku terbaru Keigo sensei yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Buku ini merupakan buku ke-7 Keigo yang saya baca. Judul aslinya 白鳥とコウモリ atau Hakucho to Komori. Edisi Bahasa Indonesia buku ini kembali diterbitkan oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama dan diterjemahkan oleh Eri Pramestiningtyas. 

Buku setebal 560 halaman ini berhasil saya baca dalam waktu satu minggu, cukup lama dibandingkan buku-buku Keigo Higashino lain yang saya baca (saya masih ingat membaca salah satu bukunya hanya dalam waktu 2 hari 1 malam saja saking serunya). Apakah ini berarti bukunya kurang seru dibanding yang lain? Hmmm mari kita ulas. 

Blurb:

Buku ini diawali dengan temuan mayat seorang pengacara di Tokyo yang teridentifikasi bernama Shiraishi Kensuke. Kita akan melihat Godai dan Nakamachi, detektif yang bertugas menyelesaikan kasus ini bertemu dengan orang-orang yang terakhir bertemu korban dan dekat dengan korban, seperti sedang ikut menyelidiki kasus dari awal, hingga akhirnya bertemu dengan Kuraki Tatsuro, seorang pria tua yang tinggal sendirian di Perfektur Aichi, jauh dari Tokyo yang dengan mudahnya mengakui kejahatannya membunuh Shiraishi.

Pihak kepolisian, jaksa, pengacara dan pihak-pihak yang terlibat dalam kasus ini merasa tidak ada lagi yang perlu diselidiki karena kesaksian korban bisa menjadi bukti dalam persidangan, namun berbeda halnya dengan Shiraishi Mirei, anak perempuan Kensuke dan Kuraki Kazuma, anak laki-laki Tatsuro yang tinggal di Tokyo. Keduanya merasakan adanya keanehan dalam kasus ini. 

Mirei merasa motif pembunuhan yang diutarakan Tatsuro, tidak cocok dengan kepribadian Ayahnya. Sementara Kazuma merasa ayahnya tidak akan mungkin melakukan pembunuhan apapun alasannya. Berangkan tadi keanehan ini dan rasa penasaran untuk mengetahui kebenaran dibalik kasus ini, Mirei dan Kazuma melakukan penyelidikan sendiri-sendiri, hingga akhirnya di satu titik, mereka bertemu dan bekerja sama untuk menyelesaikan kasus ini.

Tidak masuk list buku Keigo favorit saya

Sejujurnya, dibandingkan buku Keigo lainnya, saya tak begitu dibuat penasaran dengan ending dan pelaku sesungguhnya dalam kasus kali ini. Walaupun tidak bisa secara detail menebak siapa pelakunya, namun saya bisa membayangkan alasan-alasan dan motif pelaku serta gambaran besar kasus yang pada akhirnya benar terbukti ketika membaca sampai akhir. 

Tetap menjadi bacaan yang menarik, namun bukan buku terbaik Keigo (setidaknya buat saya). Dan saya jelas tidak akan merekomendasikan buku ini untuk pembaca yang belum pernah membaca buku keigo sebelumnya. Saya akan lebih merekomendasikan buku-buku Detective Kaga atau Detective Galileo hehe. 

Rasanya buku ini terlalu tebal untuk kisah Tatsuro dan Shiraishi :') tapi tentu ini sangat subjektif yaaaa, cukup lama buat saya untuk menemukan titik ngebut baca karena penasaran bangeeet. Biasanya langsung ketemu di awal-awal, namun untuk buku ini, saya harus membaca hingga tengah buku, tepat disaat Mirei bertemu dengan Kazuma baru akhirnya baca dengan kecepatan penuh.  

Hal Menarik yang membuat buku ini bisa tetap jadi pertimbangan kamu untuk lanjut baca buku ini:

1. Dua kasus yang berhubungan
Salah satu hal yang membuat buku ini begitu tebal adalah kaitan kasus pembunuhan Shiraishi di 2017 dengan kasus pembunuhan yang mengakibatkan seseorang menjadi korban salah tangkap dan korban memilih gantung diri di penjara di tahun 80an, kasus ini telah kadaluarsa dan penyelidikannya cukup menyusahkan semua orang di buku ini. 

Lumayan seru menghubungkan apa yang terjadi di masa lalu hingga berdampak pada sebuah pembunuhan 30 tahun setelahnya

2. Mirei dan Kazuma
Mirei dan Kazuma, anak korban dan anak tersangka, tidak menelan begitu saja fakta-fakta yang mereka dapatkan dari polisi, mereka merasa ada yang salah hingga akhirnya melakukan penyelidikan mandiri, bertemu dengan orang-orang dari masa lampau kedua ayah mereka. 

Sebagai seseorang yang juga gemar membaca romance, saya berharap ada banyak cerita tentang Mirei dan Kazuma hahaaa, tapi tentu tidak akan didapatkan di buku ini. Setidaknya endingnya lumayan menangkan saya yang suka penasaran apa sih yang terjadi pada tokoh utama dalam buku ini. 

3. Pesan tersirat dari Angsa dan Kelelawar
Menemukan kebenaran tentunya jadi keinginan Mirei dan Kazuma disini, namun ketika kebenaran yang sesungguhnya muncul, butuh waktu buat semua orang untuk menerima kebenaran ini. Saya suka bagaimana di bagian akhir buku, penulis memberikan gambaran cara Mirei berproses dengan kebenaran yang ia temukan.

Saya juga suka bagaimana penulis seolah memberikan pesan bahwa berkorban untuk orang lain dengan menutupi kebenaran belum tentu jadi solusi, bahkan banyakan bikin masalah baru. Dan ketika kita mengorbankan diri untuk apa yang kita anggap benar, jangan - jangan ada orang terdekat kita yang akhirnya jadi korban baru dari tindakan kita. 

Rating untuk Angsa dan Kelelawar

Saya pribadi memberikan 3,5 dari 5 bintang untuk buku ini, tapi di goodreads ratingnya lumayan loh! 4.12, jadi mungkin saya-nya saja yang tidak terlalu cocok dengan cerita di buku ini! tetap bisa jadi pilihan bahan bacaan yang lumayan menyegarkan di sela-sela kesibukan!

 






Setelah menjalani pekan yang cukup menekan juga ditinggal Mas Har beberapa hari karena ia harus kerja dari luar kota, saya benar-benar menantikan akhir pekan kali ini. Setidaknya saya ingin memastikan hari Sabtu bisa recharge energi saya. 

Alhamdulillah Sabtu malam saya (dan Rana!) benar-benar tidur nyenyak karena menjalani hari yang sangat-sangat menyenangkan. Saya banyak melakukan hal-hal sederhana yang membuat saya bahagia. 

Memulai hari dengan memandang wajah Mas Har dan Rana yang masih tidur lelap (saya suka sekali kalau bangun lebih awal dibanding mereka berdua, hari-hari rasanya berjalan lebih tenang kalau saya bangun duluan dibanding sebaliknya)

Kami bertiga sarapan gareng asem favorit kami bertiga, bahkan Rana yang sedang banyak menolak makan beberapa hari ini juga mau makan dengan lahap. Lalu saya mampir ke kios bunga di jalan gedong empat, mengajak Rana untuk melihat bunga-bunga yang dijual. Saya selalu suka hari dimana saya bisa mampir ke kios bunga, menaruh bunga tersebut di vas di meja kerja saya, huhu rasanya menenangkan. 

Saya kadang bertanya-tanya, apa ya yang membuat saya begitu senang membeli bunga dan menjadikan hal ini sekarang sebagai hal reguler yang saya lakukan. Kadang bingung sendiri, karena Ibu saya tidak melakukan hal itu di rumah, saya tidak mendapat contoh dari orang-orang di dekat saya tentang kebiasaan membeli bunga ini. 

Tapi lalu saya berpikir, mungkin (mungkiin sekali), selain memandangi bunga dalam ember-ember ibu pedagang bunga di kios yang amat-sangat cantik, jauh di dalam hati saya, saya sangat ingin melakukan hal ini karena ya ini apa yang saya saksikan di film. Atau bisa jadi, saya sangat senang bisa melakukan ini karena saya pernah (sampai sekarang masih juga sih, tapi kadarnya berkurang), untuk bisa tinggal di tempat dimana membeli bunga adalah hal manis yang bisa dilakukan reguler, tanpa perlu menunggu waktu-waktu khusus seperti ketika anniversary. 

Saya pernah ingin sekali bisa merasakan tinggal di Eropa untuk beberapa waktu (gak selamanya), dulu sih kebayangnya bisa lanjut sekolah disana yaaaa haha, tapi saya sendiri belakangan melihat lanjut sekolah malah sebagai sesuatu yang merepotkan alih-alih menyenangkan, mungkin belum saatnya saja :) masih banyak repotnya kalau sekarang. Kemudian saya mencoba mengasosiasikan, kalau beneran tinggal di Eropa apa sih yang ingin dilakukan disana? melakukan hal reguler yang dilakukan orang-orang disana? beli bunga seminggu sekali? Kenapa tidak dilakukan sekarang di Cimahi! Haha, hal ini juga yang menjadikan saya melakukan hal-hal lain yang mudah membuat saya happy lainnya yang saya lakukan kemarin: Main ke ruang terbuka hijau. 

Saya dan keluarga sering sekali main ke Lapang Tembak di Cimahi, dulu bisa sampai seminggu 2-3x, sekarang minimal seminggu sekali. Jaraknya dekat sekali dari rumah kami, tidak sampai 10 menit naik motor. Disana, Rana bisa lari-lari, melihat abang-abang main bola, melihat kakak-kakak dan teteh-teteh yang sedang berolah raga, saya bisa baca buku di udara segar, kami bisa piknik kalau hari sedang cerah dan lapangan tidak becek. Yaaa, ini menyenangkan dan menenangkan sekali. Dan yang bikin lebih menyenangkan adalah fakta bahwa saya bisa melakukan hal ini sebagai aktivitas yang reguler tanpa biaya :) ada siiih jajan-jajan dikit, tapi ya sedikit sekali. 

Semoga kami selalu diberikan kelapangan waktu dan hati untuk bisa melakukan hal-hal ini, dan bisa selalu bahagia menjalani hal-hal sederhana!

Semoga akhir pekan kamu yang membaca blog ini juga menyenangkan ya!





 


Setelah membaca Kisah Dari Kebun Terakhir di Januari lalu, saya membaca buku lain yang juga ditulis oleh antropolog, sebuah buku yang sudah bikin saya penasaran sejak lama sekali. Judulnya: Tempat Terindah di Dunia. Buku ini ditulis oleh seorang antropolog Belanda, Roanne Van Voorst yang pernah selama setahun tinggal di wilayah kumuh Jakarta, dalam buku ini nama lokasi disamarkan untuk kebaikan banyak pihak, Roanne menyebut nama wilayah penelitiannya sebagai Bantaran Kali. 

Tidak dijelaskan secara persis kapan Roanne datang pertama kali ke Jakarta, dari cerita dalam buku ini, dimana Roanne masih panas-panasan naik mikrolet dan transportasi di Jakarta masih sangat semrawut, saya menduga riset ini dilakukan sebelum 2010. 

Apa saja isi buku ini?

Buku ini berisi beberapa bab yang tak melulu membahas banjir. Berikut catatan saya tentang masing-masing bab di buku ini. 

Bab 1: Tidur Bersama Portofon
Ini spesifik tentang banjir dan bagaimana status sosial warga di Bantaran Kali ditentukan dengan kepemilikan portofon. Semacam walkie talkie yang bisa menangkap sinyal jarak jauh dari pemantau status ketinggian sungai. Portofon bisa memberi sinyal kapan banjir akan terjadi juga sebesar apa, membuat warga bisa bersiap-siap sebelum banjir. 
Menarik bagaimana dijelaskan kalau awalnya portofon diberikan oleh pemerintah untuk membantu warga di Bantaran Kali, namun kemudian setelah rusak dan tetap gagal mengantisipasi banjir, pemerintah tak lagi memberikan Portofon dengan alasan: 'hadirnya' pemerintah di Bantaran kali bisa membuat mereka merasa apa yang mereka lakukan (tinggal di Bantaran Kali) adalah hal yang benar.

Bab 2: Ketika Ada Kabel Listrik Putus
Bercerita tentang dampat mengenaskan dari kebakaran yang terjadi di kampung padat penduduk. Saya merinding membayangkan kebakaran yang terjadi di Jakarta, dimanapun itu, kebakaran di Jakarta sangat mengerikan rasanya karena daerah yang ber-gang-gang dan susah dimasuki mobil pemadam kebakaran. Di buku ini kurang lebih diceritakan kejadian serupa, pada akhirnya warga yang saling gotong royong menyelematkan diri sendiri dan tetangga, serta memastikan api tidak menyebar semakin besar.

Bab 3: Menunggu atau Membayar
Ini bab yang sangat unik buat saya: tentang budaya korupsi orang-orang Indonesia yang mendarah daging sampai level grassroot. Roanne menceritakan kisahnya yang 'dipersulit' mendapatkan izin penelitian di Indonesia karena ia tak mau memberikan 'amplop' kepada petugas di kantor imigrasi. 

Kejadian ini juga terjadi lagi ketika akhirnya seorang petugas dari kantor pos datang hendak mengantarkan surat, namun tak kunjung diberikan hingga akhirnya Roanne memberikan 'uang jasa terima kasih' kepada petugas tersebut.

Bab 4: Jangan Pernah Percaya Dokter
Di Bab ini kita akan diajak membaca persepsi warga di kampung kumuh dan resistensi mereka ke hal-hal yang berbau 'medis' atau 'rumah sakit'. Kalau membaca kisah di bab ini, wajar sekali sebenarnya warga di Bantaran Kali lebih memilih cara-cara yang ada selain cara medis atau harus ke rumah sakit. Hampir semua orang yang diceritakan Roanne disini memiliki pengalaman tidak mengenakkan dengan rumah sakit karena satu sebab: mereka miskin. 

Orang miskin memang sering kesulitan berobat, saya menduga ini masa sebelum era BPJS dan Kartu Indonesia Sehat mulai ramai dan hampir dimiliki seluruh warga Indonesia, namun bahkan setelah semua orang punya akses berobat yang sama dengan kartu BPJS atau KIS pun, masih banyak diantara masyarakat, tetangga saya contohnya, yang lebih memilih cara-cara tradisional untuk berobat dibanding ke rumah sakit. Tetap ada ketakutan membayar diluar harga yang mereka miliki, jika tidak benar-benar ada pilihan lain untuk sembuh, baru mereka pergi ke rumah sakit. 

Bagi warga Bantaran Kali (jikapun sekarang masih ada), mungkin mendapatkan BPJS bukanlah sesuatu yang mudah seperti saya atau masyarakat lain yang lebih beruntung. Seperti yang kita tahu urusan pemerintahan selalu membutuhkan KTP dan KK disetiap persyaratan administrasinya, dan hal ini sepertinya tidak dimiliki semua warga Bantaran Kali.

Bab 5: Mangga, Cabe Merah dan Pembangkit Gairah Lainnya
Ini bab yang juga sangat seru haha! Kita akan melihat percakapan yang lebih 'vulnerable' tentang sex, relasi perempuan dan laki-laki dan mitos-mitos tentang sex di kalangan warga Bantaran Kali. Di bab ini, saya merasa lebih relevan dengan Roanne yang banyak gak tahu apa-apa dan tidak yakin bisa mempercayai 100% mitos-mitos yang bertebaran disini. 

Bab 6: Menabung untuk Beli TV
Bayangkan warga yang tinggal secara ilegal di pinggiran kali, kemungkinan sediki yang memiliki KK dengan alamat yang sesuai, juga KTP yang bisa dipercaya dan dijadikan pegangan ketika ingin mengajukan pinjaman di Bank; haha jangankan memikirkan pinjaman, datang ke bank untuk menabung pun sepertinya warga Bantaran Kali tak biasa. Namun bukan berarti mereka tak menabung; atau tak bisa meminjam. Bagi warga Bantaran Kali, 'Pinter' adalah sosok bank di Bantaran Kali. Ia pemutar roda keuangan layaknya Bank. 

Warga bisa menabung untuk tujuan tertentu, dan tidak bisa mengambil sembarangan tabungan tersebut (semacam deposito ya haha), lalu warga juga bisa meminjam uang; tentu dengan bunga yang tinggi dan tidak ada jaminan suku bunga sesuai regulasi yang berlaku. Beberapa akan menyebutnya sebagai rentenir, namun bagi warga Bantaran Kali, sosok Pinter amat penting untuk perputaran roda keuangan.

Bab 7: Selalu Bersama Dimana-Mana
Bab ini menceritakan struggle-nya Roanne ketika tinggal bersama warga Bantaran Kali; yang 1. Seperti halnya kebanyakan orang Asia, hidupnya sangat komunal dan menganggap 'kesendirian' sebagai sesuatu yang menakutkan. 2. Tak banyak sekat dan tempat untuk hidup sebagai seorang individu disini, belok dikit ada orang, di rumah pun ada orang lain yang tak paham pentingnya privacy.

Roanne yang selalu mudah lelah secara emosional ketika bertemu banyak orang, harus beradaptasi dengan kondisi warga Bantaran kali yang selalu merasa Roanne harus ditemani, bahkan ketika ia tidak meminta. Kalimat "kasian, sendirian" jadi sering berulang ia dengar. 


Review Asri

Sayaaa suka sekali membaca buku ini, walaupun isinya menjelaskan hal yang sama sekali berbeda dengan perasaan saya setelah membaca buku ini. Saya amat kagum dengan Roanne yang bisa tinggal setahun lamanya di Bantaran Kali, juga cara ia menuliskan kisah warga Bantaran Kali di Buku ini.

Buku ini amat saya rekomendasikan untuk dibaca oleh orang-orang yang sering menganggap warga seperti Tikus dan teman-temannya sebagai benalu dalam perspektif pembangungan. Buku ini juga sangat membuka mata saya tentang kemiskinan struktural. Saya selalu ingat riset yang dilakukan SMERU tentang mengapa anak dari keluarga miskin cenderung akan tetap miskin ketika dewasa. Walaupun ada, tentu tidak semua orang bisa mendapatkan kesempatan untuk keluar dari jerat kemiskinan.

Saya benar-benar menangis membaca epilog buku ini. Pada tahun 2015, kampung di Bantaran Kali benar-benar digusur, banyak dari mereka tak jelas akan tinggal dimana. Menuliskan review buku ini di bulan Maret 2023 membuat saya jadi berpikir, dibanding menyalahkan masyarakat ataupun pemerintah, kenapa tidak mencoba melihat lebih mendasar apa yang sebetulnya menjadikan masyarakat membangun hunian di daerah terlarang (atau di Tanah Merah, istilah yang sedang hangat usai terjadi kebakaran di DEPO Pertamina Plumpang pada 3/3/2023 Malam). 

Diskusi yang bergulir di twitter membuka 'mata' banyak pihak bahwa warga sebetulnya tak boleh tinggal di Tanah Merah tersebut, sama halnya dengan yang terjadi dengan apa yang dilakukan warga Bantaran Kali. Namun apa yang membuat mereka masih bisa tetap memiliki hunian disana hingga 2023? Bahkan ketika tahun 2009 pernah terjadi kebakaran di lokasi yang sama? 

Atau jika ditarik mundur lagi, apa yang membuat orang-orang berebut memiliki hunian di Jakarta? Mengapa orang-orang datang ke Jakarta meski memiliki resiko tak memiliki hunian yang layak? 

Saya tahu banyak peneliti dan pakar yang lebih ahli yang memiliki jawaban ilmiah dari fenomena tersebut, namun bagi saya yang hanya bisa melihat fenomena dari apa yang saya lihat dan saya alami, hal ini, --orang berbondong-bondong datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan, mencoba mencari harapan perbaikan kehidupan, atau sekedar bertahan hidup, akan selalu terjadi selama wilayah Indonesia lainnya tak menawarkan pekerjaan bagi masyarakatnya. 

Sejak lulus kuliah, saya bekerja dua kali untuk dua yayasan (saya bekerja sebagai guru), dan dua-duanya saya dibayar underpaid. Dibawah UMR Kota Cimahi, tempat kedua yayasan tersebut berada. Penghasilan saya akhirnya bisa mengikuti UMR atau melebihi UMR setelah bekerja di Jakarta atau bekerja untuk perusahaan atau yayasan berbasis Jakarta. 

Sedih memang, tidak banyak pilihan untuk bisa memiliki penghasilan layak ketika bekerja di luar jakarta. Ini baru membicarakan saya, seorang pekerja kerah putih yang alhamdulillah bisa bekerja dari balik laptop, bagaimana dengan kesempatan untuk pekerja informal seperti warga Bantaran Kali? :')

Membaca buku etnografi memang selalu memberikan dua dampak bagi saya: satu sisi bisa mengasah empati dan belajar melihat sudut pandang baru. Di sisi lainnya, saya sering merasa powerless, useless atau apalah itu. Karena tidak bisa melakukan apa-apa setelah tamat membaca buku. Kecuali membagikan pengalaman saya membaca buku ini di Internet. 



 


Mungkin Senin bisa jadi hari yang lebih menyenangkan kalau saya bangun lebih pagi, pasangan saya bangun lebih pagi, anak saya dikondisikan untuk bangun lebih pagi.

Mungkin Senin bisa jadi hari yang tidak menyebalkan ketika kami semua bangun lebih pagi dan saling bertanya pada masing-masing orang agenda yang harus dilakukan pada Senin pagi, pukul berapa, harus ada dimana, apakah bisa mengantar anak ke Daycare atau tidak.

Mungkin Senin pagi bisa jadi yang penuh senyum dan berjalan seperti hari pada umumnya kalau saya dan pasangan saya bisa set ekspektasi masing-masing tentang hari Senin dan tahu jadwal masing-masing setidaknya di jam wajib mengantar anak.


Hari ini saya ingin meluangkan waktu agak lama untuk menuliskan kesan mendalam dari sebuah buku yang saya baca sebulan kebelakang. Kisah di Kebun Terakhir, buku non-fiksi yang saya beli ketika mampir ke Theotrapi, Yogyakarta di Desember 2022. Penjaga tokonya semangat sekali meracuni saya membeli buku ini karena kebetulan buku yang saya cari, Tempat Terbaik Di Dunia, sedang tidak ada. Ia bilang, pengalaman membaca buku ini akan sama serunya, karena sama-sama buku yang ditulis oleh seorang antropolog.

Saya belum membaca Tempat Terbaik Di Dunia, sampulnya bahkan belum saya buka, tapi satu hal yang pasti: Kisah dari Kebuh Terakhir bisa jadi akan menjadi salah satu buku terbaik yang saya baca di 2023. Padahal ini baru Januari. 

Buku ini ditulis oleh Tania Murray Li, Guru Besar pada Department of Anthropology, University of Toronto, versi pertama buku ini terbit dalam Bahasa Inggris, pertama kali diterbitkan di Amerika Serikat pada 2014 dengan judul Land's End: Capitalist Relations on Indigenous Frontier oleh Duke University Press. Buku yang saya baca adalah versi Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Marjin Kiri, diterjemahkan oleh Nadya Karimasari dan Ronny Agustinus. 

Saya ingin mencoba menuliskan pengalaman saya membaca buku ini, tapi saya mau disclaimer dulu, saya bukan aktivis gerakan, bukan akademisi dan bukan orang yang bergerak di gerakan sosial terutama untuk isu agraria. Jadi kalau kamu mengharapkan review dari sudut pandang tersebut, mungkin kamu tidak akan menemukannya di tulisan saya. 

Sebelum menulis review ini, saya sempat menonton bedah buku ini di video Youtube. Salah satu pembahasnya, Suraya A. Affif membahas kalau buku ini ditujukan untuk tiga audience: 


Nah, saya tidak masuk ke-ketiganya. Apa yang saya tuliskan, murni dari sudut pandang seserang yang biasanya membaca novel misteri, komik dan buku-buku fantasi, kemudian bertemu dengan buku nonfiksi yang amat asyik untuk dibaca.

Apa yang membuat saya begitu jatuh hati pada buku ini?

Sebelum menjawab pertanyaan diatas, saya akan sedikit menceritakan isi buku ini. 

Buku ini adalah tulisan yang bersumber dari pengalaman Tania Li selama dua puluh tahun melakukan riset etnografis di Sulawesi. Tepatnya di Sulawesi Tengah. Tania melakukan riset tentang hubungan kapitalisme di antara penduduk adat, tepatnya yang terjadi di Suku Lauje yang dibuku ini dikisahkan tinggal di perbukitan.

Kisah dari Kebun Terakhir membahas upaya penghuni perbukitan untuk ikut serta dalam iming-iming derap kemajuan yang dijanjikan oleh narasi modernisasi, hanya untuk mendapati dampak kesenjangan akibat hubungan-hubungan kapitalis yang muncul di antara mereka. Petani yang mampu mengakumulasi lahan dan modal mereka menjadi sejahtera; mereka yang kalah bersaing tertendang keluar arena. Kebun Terakhir membahas berbagi lahan, dan berakhirnya hutan primer sebagai cadangan tanah, tempat penghuniperbukitan bisa berekspansi manakala dibutuhkan atau ada kesempatan. Buku ini juga membahas rasa kebingungan mereka--tiba di jalan buntu, akhir dari semenanjung yang dikitari lautan, tanpa rakit ataupun arah tujuan. Inilah nasih Kasar dan petani-petani lain seperti dia, yang tidak bisa lagi menghidupi keluarganya dengan cara-cara lama, tetapi juga tidak punya pilihan lain yang tersedia (pendahuluan, hal. 2, Kisah dari Kebun Terakhir) 

Buku ini memang membahas (mungkin lebih tepat disebut bercerita) tentang kemunculan hubungan kapitalis di antara penduduk adat di perbukitan. Namun cara Tania berkisah sangat-sangat membuat pembaca yang awam pada isu sosial politik seperti saya, sangat menikmati buku ini. Diawali dengan narasi pedih tentang kehidupan Kasar, seorang lelaki empat puluh tahunan yang dikunjungi Tania, yang kondisinya mengenaskan namun tak punya banyak pilihan hidup. 

Mengenal Lauje lewat Kisah dari Kebun Terakhir

Orang-orang Lauje, kalau dicari di Google

Saya diajak berkenalan dengan Suku Lauje, bentang alamnya, hubungan-hubungan yang membuat penghuni perbukitan Lauje sebagai orang miskin dan terbelakang, dan mendorong mereka mencari jalan untuk memperbaiki nasib, bagaimana cara mereka hidup dan bertani di masa lampau, kebiasaan kerja dan tolong menolong orang-orang Lauje serta bagaimana akhirnya terjadi pengkavlingan yang menyebabkan pergeseran kepemilikan tanah untuk bercocok tanam di Lauje. 

Secara geografis, orang-orang Lauje tinggal di beberapa Kabupaten di Sulawesi Tengah, namun dalam penelitian di buku ini, wilayah yang dibahas secara spesifik adalah Kabupaten Parigi Moutong.

Ada lima bab utama dalam buku ini:

1. Posisi
2. Kerja dan Tolong-menolong
3. Pengavelingan
4. Hubungan-hubungan Kapitalis
5. Politik, Ditinjau Kembali

Di masing-masing Bab, kita akan melihat pengamatan Tania yang digabungkan dengan teori serta catatan akademik, kamu bisa langsung melihat catatan kaki dari jurnal atau buku yang dibahas Tania di buku ini. 

Meskipun membagi buku ini dalam lima bab utama, kita akan merasa kalau membaca buku ini seperti membaca catatan maju, kebanyakan kisah-kisah penelitan awal memang ditempatkan diawal buku, semakin maju membaca buku, semakin saya dibuat penasaran bagaimana nasib mereka sekarang setelah hilangnya budaya tolong-menolong dan terjadinya pengavelingan?

Ketika membaca buku ini, saya merasa amat dekat dengan orang-orang Lauje karena satu hal:

Saya pernah tinggal di tempat yang tidak jauh dari Lauje, dengan posisi geografis yang amat mirip dengan mereka. Tahun 2017 saya pernah meengajar di sebuah SD di daerah perbukitan di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Karena tidak pernah tertarik dengan isu agraria sebelumnya, ketika bertugas saya tak pernah banyak bertanya tentang asal mula warga di desa saya bertugas menanam tanaman-tanaman yang mereka miliki sekarang. 

Tapi gambaran Tania tentang kehidupan sosial warga perbukitan di Sulawesi, rasanya sama persis dengan tempat saya pernah tinggal selama setahun. Mulai dari kebiasaan saling membantu, guru yang tinggal di pesisir dan perlu melakukan perjalanan jauh ke sekolah di perbukitan sehingga kadang tak hadir mengajar, bagaimana gesekan sosial di desa, kondisi ketika jalan mulai di bangun dan bagaiman pemerintah pernah berusaha memindahkan warga ke tempat yang lebih dekat ke pesisir, namun tak berhasil.

Jadi ya, saya merasa amat relevan dengan buku ini.

Membaca buku ini menawarkan pengalaman membaca yang cukup baru bagi saya, membaca hasil penelitian dengan narasi yang sangat indah dan membuat saya merasakan emosi yang bercampur aduk rasanya. Ada marah, geram, kesal, sedih, atau merasa useless ketika membaca buku ini dibagian akhir karena tahu ini adalah satu fenomena yang terjadi di Indonesia tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa.

Antropolog yang tidak 'narsis'

Cara Tania bercerita berkisah benar-benar membuat saya ikut mendengarkan ia duduk bersama warga di Lauje dan mendengarkan satu cerita dari beberapa sudut pandang. Saya juga diajak menyaksikan "ketamakan" salah satu sosok di buku ini, yang oleh Tania tidak dilabeli sebagai seseorang yang Tamak, saya bahkan hampir tidak menemukan label-label tertentu ditulis oleh Tania di buku ini, jika ada label yang menyangkut, biasanya adalah label dari warga lain kepada orang tersebut. Seperti yang ada di halaaman 212, ketika ia menceritakan pernikahan sebagai salah satu peristiwa yang bisa mempengaruhi keputusan ekonomi warga Lauje (saking besarnya pengeluaran yang diperlukan). 

Ia menuliskan:

Ada satu contoh terkenal di Pelalang. Seorang pria tua yang membuka banyak dapat menjual semuanya untuk membayar tinggi mahar istri muda, dan dengan demikian membuat anak-anaknya tidak punya warisantanah. Tahan itu memang miliknya, tetapi pada masa ketika tanah menjadi kian langka dan mahal, tetangga menilai tindakannya itu bodoh sekaligus egois. (hal 212)

Karena mendengarkan dan melihat dari sudut yang lebih banyak, penulis bahkan bisa mengoreksi prasangka secara objektif berdasarkan catatan penelitian yang ia punya. 

Petani Sibogo juga mengatakan saudara mereka di Sipil tidak bisa mengelola uang dan ingin mengonsumsi barang-barang yang sebenarnya tidak mampu mereka beli. ----kritik semacam ini ada benarnya untuk beberapa kasus tetapi sebagian besar tidak. Petani Sibogo tidak merasakan impitan yang dialami keluarga miskin dengan lahan sempit dan upah kecil yang menjual kebun produktif demi bertahan di masa krisis. (hal 214).

Ada salah satu kutipan dalam diskusi Bedah buku Kisah dari Kebun Terakhir dari Ben White, yang menyebutkan apa yang membuat buku Tania amat menyenangkan untuk dibaca. Kebanyakan antropolog atau penulis yang menulis studi etnografi kebanyakan 'narsis', seolah-olah membuat pembaca 'lihat nih saya sedang melakukan studi seperti ini'. Tapi Tania berhasil membuat pembaca (TERMASUK SAYA) yang membacanya merasa duduk disebelahnya, ikut dalam studinya, hidup bersama orang-orang Lauje walau sebentar saja. Videonya bisa kamu saksikan disini.

Siapa yang cocok membaca buku ini?

Meskipun judulnya terkesan berat (terutama bagian hubungan kapitalis di wilayah adat), namun membaca buku ini sangat-sangat tidak membosankan dan tidak membuat kita pusing dengan istilah-istilah yang sulit dipahami. Bahkan jika kita bukan orang yang tertarik pada isu agraria, konflik sosial, atau gerakan sosial, buku ini tetap akan sangat menarik untuk dibaca jika kamu ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada masyarakat perbukitan. 

Namun memang buku ini akan lebih relevan jika kamu punya ketertarikan terhadap isu sosial. Tapi teteeeep sih, enggakpun, saya merekomendasikan siapa saja untuk membaca buku ini!

Ini pertama kalinya saya membaca tulisan etnografi dan sepertinya akan mulai membaca beberapa buku etnografi yang diterbitkan Marjin Kiri setelah membaca buku ini. 

Informasi Buku

Kisah dari Kebun Terakhir: Hubungan Kapitalis di Wilayah Adat
Penulis: Tania Muraay Li
Diterbitkan pertama kali tahun 2014 di Amerika serikat dengan judul Land's End: Capitalist Relations on Indigenous Frontier oleh Duke University Press
Penerjemah: Nadya Karimasari dan Ronny Agsutinus
Editor: Muhammad Iqbal
Penyusun indeks: Muhammad Haikal
Cetakan pertama: Agustus 2020
Diterbitkan oleh Marjin Kiri
Jumlah halaman: i - xiv + 326 halaman
Ukuran: 14 x 20,3 cm
Harga: 97.000
Bisa dibeli di Tokopedia Marjin Kiri 









Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

POPULAR POSTS

  • [Review Asri] Atomic Habits - James Clear
  • Review Asri: Jalan Panjang untuk Pulang karya Agustinus Wibowo
  • Review Asri: Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom
  • Review Asri: Pengantin-pengantin Loki Tua karya Yusi Avianto Pareanom
  • Review Asri: As Long As The Lemon Trees Grow karya Zoulfa Katouh
  • [Review Asri] Kemarau - A.A. Navis
  • Review Asri: Salt to The Sea karya Ruta Sepetys
  • Review Asri - Tempat Terbaik di Dunia karya Roanne Van Voorst
  • Review Asri: Minimarket yang Merepotkan karya Kim Ho-yeon
  • Review Asri: Metode Jakarta karya Vincent Bevins, Bacaan untuk Memahami Pembantaian Massal 1965 dalam Konteks Global

Arsip Blog

  • ▼  2025 (20)
    • ▼  Juni 2025 (2)
      • Review Asri: Metode Jakarta karya Vincent Bevins, ...
      • Review Asri: Salt to The Sea karya Ruta Sepetys
    • ►  Mei 2025 (5)
    • ►  April 2025 (2)
    • ►  Maret 2025 (2)
    • ►  Februari 2025 (3)
    • ►  Januari 2025 (6)
  • ►  2024 (8)
    • ►  November 2024 (1)
    • ►  Agustus 2024 (1)
    • ►  Juni 2024 (1)
    • ►  Mei 2024 (2)
    • ►  April 2024 (3)
  • ►  2023 (17)
    • ►  November 2023 (1)
    • ►  September 2023 (1)
    • ►  Juli 2023 (4)
    • ►  Juni 2023 (4)
    • ►  Maret 2023 (2)
    • ►  Februari 2023 (2)
    • ►  Januari 2023 (3)
  • ►  2022 (52)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  September 2022 (12)
    • ►  Agustus 2022 (2)
    • ►  Juli 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (4)
    • ►  Mei 2022 (9)
    • ►  April 2022 (7)
    • ►  Maret 2022 (5)
    • ►  Februari 2022 (6)
    • ►  Januari 2022 (3)
  • ►  2021 (35)
    • ►  Desember 2021 (5)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (4)
    • ►  Agustus 2021 (3)
    • ►  Juli 2021 (2)
    • ►  Juni 2021 (1)
    • ►  Mei 2021 (3)
    • ►  April 2021 (1)
    • ►  Maret 2021 (2)
    • ►  Februari 2021 (6)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (13)
    • ►  Desember 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (4)
    • ►  Juni 2020 (3)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (1)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (14)
    • ►  November 2019 (1)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (2)
    • ►  Juli 2019 (2)
    • ►  Maret 2019 (3)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (2)
  • ►  2018 (15)
    • ►  Desember 2018 (4)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Juli 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (3)
    • ►  Maret 2018 (3)
    • ►  Januari 2018 (2)
  • ►  2017 (20)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  Oktober 2017 (3)
    • ►  September 2017 (2)
    • ►  Agustus 2017 (4)
    • ►  Juli 2017 (4)
    • ►  Mei 2017 (3)
    • ►  Januari 2017 (2)
  • ►  2016 (65)
    • ►  Desember 2016 (2)
    • ►  September 2016 (2)
    • ►  Agustus 2016 (3)
    • ►  Juli 2016 (17)
    • ►  Juni 2016 (7)
    • ►  Mei 2016 (7)
    • ►  April 2016 (25)
    • ►  Februari 2016 (1)
    • ►  Januari 2016 (1)
  • ►  2015 (29)
    • ►  Desember 2015 (3)
    • ►  September 2015 (2)
    • ►  Agustus 2015 (13)
    • ►  Juli 2015 (4)
    • ►  Juni 2015 (1)
    • ►  Maret 2015 (2)
    • ►  Februari 2015 (1)
    • ►  Januari 2015 (3)
  • ►  2014 (29)
    • ►  Desember 2014 (8)
    • ►  November 2014 (6)
    • ►  Oktober 2014 (2)
    • ►  September 2014 (2)
    • ►  Juni 2014 (3)
    • ►  Mei 2014 (2)
    • ►  Februari 2014 (6)
  • ►  2013 (66)
    • ►  Desember 2013 (1)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  Oktober 2013 (7)
    • ►  September 2013 (7)
    • ►  Agustus 2013 (15)
    • ►  Juli 2013 (4)
    • ►  Juni 2013 (8)
    • ►  Mei 2013 (2)
    • ►  April 2013 (5)
    • ►  Februari 2013 (3)
    • ►  Januari 2013 (9)
  • ►  2012 (6)
    • ►  November 2012 (4)
    • ►  Oktober 2012 (2)
  • ►  2011 (8)
    • ►  Oktober 2011 (4)
    • ►  September 2011 (1)
    • ►  Maret 2011 (3)

Goodreads

Asri's books

Kejutan Kungkang
it was amazing
Kejutan Kungkang
by Andina Subarja
The Fine Print
liked it
The Fine Print
by Lauren Asher
Under One Roof
liked it
Under One Roof
by Ali Hazelwood
Lessons from Surah Yusuf
it was amazing
Lessons from Surah Yusuf
by Abu Ammaar Yasir Qadhi
Setelah membaca ini sampai selesai malam ini. Jadi paham kenapa Allah bilang kalau Kisah Yusuf ini salah satu kisah terbaik dalam Quran. Ada terlalu banyak pelajaran berharga dari kisah Yusuf. Dr. Yasir Qadhi mengawali buku ini dg sebab...
No Exit
liked it
No Exit
by Taylor Adams

goodreads.com

Blog Perempuan

Blog Perempuan

Cari Blog Ini

Kamu pengunjung ke

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © Journal Asri. Designed by OddThemes