Journal Asri

Akhir pekan lalu saya berkesempatan menonton konser orkestra untuk pertama kalinya. Serunya berkali-kali lipat karena ini adalah: pengalaman pertama, di ruang terbuka daaan gratis hehe.
Acara konser akbar monas 2019 kemarin diselenggarakan oleh Jakarta Oratorio Society dan Jakarta Simfoni Orchestra.

Sebenarnya acara dimulai pukul 18.30, tapi karena terlalu semangat, saya jam 16.30 saya naik transjakarta ke Monas dari kosan di daerah Rawamangun, begitu sampai, masih sekitar pukul 17.30 dan senang sekali karena bisa dapat tempat duduk yang strategis. Sebelum magrib tempatnya masih sepi, masih banyak bangku kosong. Saya duduk dan ngetag tempat duduk untuk Hanafi, teman saya yang mau aja diajak nonton konser klasik ini (ga tau deh Hanafi suka atau gak). Tapi setelah magrib tempat langsung ramai, kabarnya ada 20.000 orang yang hadir, banyak yang duduk dilantai juga, tapi karena sepertinya yang datang adalah penikmat musik klasik yang paham etika menonton konser klasik, semua yang hadir tertib, tidak berisik, tau kapan waktunya tepuk tangan dan sangat khidmat menikmati lantunan musiknya.

Saya sendiri punya obsesi untuk menonton konser klasik sejak sering membaca komik-komik musik seperti Nodame Cantabile dan Piano No Mori. Kemarin, setelah pertama kali menyaksikan langsung, rasanya mau lagi! haha.








Menjelang Petang.

Dulu diteriaki ulang oleh ibu.
Kini dipanggil lembur oleh bosku.
Dulu tubuh sudah ditaburi bedak
kini terjebak di kendaraan yang membeludak.
Dulu bersiap untuk pergi mengaji
kini sudah terbiasa saling mencaci.
Dewasaku membuat gamang.
Saat menjelang petang.

-gaber-




Kutipan diatas saya ambil dari halaman belakang buku Menjelang Petang karya Rizal Fahmi atau lebih dikenal sebagai Banggaber. 

Saya sepertinya mengikuti akun @banggaber di Instagram sejak satu atau dua tahun lalu saya lupa persisnya. Setiap karya Banggaber, tak hanya menyajikan visual yang menarik tapi juga dibubuhi kata-kata reflektif yang selalu menancap dalam bagi saya. 

Belakangan, Banggaber seringkali menampilkan karya bertema senja di akun instagramnya. Eh tunggu, Banggaber tak menyebutnya senja sih, tapi petang. Mungkin karena senja erat kaitannya dengan aktivitas ala penggemar musik Indi, sore hari menutup aktivitas dengan menikmati kopi dan mendengarkan musik di warung-warung kopi. Petang, meskipun arti katanya sama, lebih netral, masih bisa diartikan banyak hal oleh banyak orang. 

Saya tidak anti aktivitas ala penggemar musik indi tadi loh, sejujurnya saya sendiri termasuk orang yang lebih senang menghabiskan waktu sore di warung kopi, sambil menggambar, menulis atau sekedar duduk-duduk saja, seringkali sambil membuat to do list dalam seminggu, karena waktu reguler saya bisa duduk duduk ngopi sore hari adalah hari Sabtu atau Minggu. Hari lainnya selalu menghabiskan sore di kantor.

Nah, meskipun cara saya menikmati senja sekarang amat sangat mainstream, saya punya ingatan tersendiri yang begitu melekat tentang waktu-waktu sehabis ashar hingga menjelang magrib ini. Senja, petang, sore teman-teman bisa bebas menggunakan kata apapun. 

Bagi saya, waktu-waktu ini adalah waktu-waktu paling damai, kembali ke kenangan kecil ketika pada waktu-waktu ini biasanya Ibu saya atau Saudara-saudara saya mencari saya untuk pulang, mandi bersiap mengaji. Kadang dengan mudahnya saya pulang. Kadang Ibu bisa sampai marah-marah datang menyeret saya dari arena permainan. Sesudahnya saya mandi, sudah harum meski bedaknya cemong, menunggu adzan magrib dan wajib pergi ke tajug sebutan untuk Mushola di tempat saya tumbuh dulu. 

Menjelang petang, saat-saat sinar matahari menyusup lewat jendela dengan hangatnya, matahari bersinar paling indah saat sore hari, apalagi saat angin juga berhembus lembut. Saya sering menemui sore-sore seperti ini dan sering berakhir menangis. Saking rindunya dengan masa kecil dulu. 
Ternyata menjelang petang meninggalkan kesan yang amat dalam bagi saya. 

Buku Banggaber kurang lebih menceritakan hal yang sama, yang saya suka tentu gambar dengan efek menjelang petang, efek matahari senja yang memang amat ciamik disajikan oleh banggaber. 

Permainan kata Banggaber juga menurut saya luar biasa baik. 
Tak banyak ilustrator yang pandai juga menulis. Bukan sekedar 'menulis' tentunya. Tapi bisa mengartikan hal-hal biasa yang terjadi dalam hidup kita semua, dengan luar biasa. 

Ah iya, karena saya membeli dimasa pre-order, saya sekalian memesan kaosnya untuk Mas Har, kata-kata banggaber di kaos ini pernah diunggah di Instagramnya, membuat saya langsung merepost saking berartinya kata-kata ini bagi saya. Saya merekomendasikan teman-teman untuk membaca buku ini untuk mengalami dua pengalaman: Merefleksikan arti senja bagi teman-teman dan merefleksikan arti kehidupan yang kita jalani saat ini. 

Buku ini akan bisa ditemui di toko buku kesayangan teman-teman Bulan September ini! 
Selamat membaca dan mengartikan kembali makna senja!

Salam,
Asri







Menjadi konsisten memang sulit ya!
Bulan Juli berjalan amat sangat cepat sampai saya tak sadar ini sudah tangal 25, di awal bulan kemarin, saya sempat berjanji untuk menjadi anak baik yang lebih rajin latihan menggambarnya dari pada jajan alat tulis dan alat gambar lucu di Gramedia. Nyatanya hingga hari ini, sketchbook yang saya beli baru terisi setengahnya.

Tapi bulan ini adalah bulan paling banyak saya menggunakan alat tulis dan alat gambar. Padahal biasanya hanya beli lalu ditumpuk di wadah perkakas gambar. Rasanya seru sih hehe. Seperti kembali ke 2015 waktu saya sedang semangat-semangatnya belajar gambar.

Gara-gara ini juga saya jadi sadar kalau alat gambar saya awet banget! Masa Koi Sakura Watercolor Pocket saya masih ada sampai sekarang, udah kotor dan banyak bocel-bocel sih, tapi isinya masih lumayan banyak. Saking jarangnya digunakan melukis. Padahal belinya dari 2014, atau mungkin karena saya campur-campur menggunakan beragam cat air (bisa jadi sih!). Dari semua cat air, yang terlihat signifikan sisa sedikit hanya Pentel, sisanya, Winsor Newton half pan, Giotto, dan Koi masih cukup banyak.

Semalam masih sempat meluangkan waktu untuk membuat sketsa, mengisi buku harian dan jurnal rasa syukur. Mari kita lihat akan sekonsisten apa Asri untuk urusan hobi menggambar dan kecanduan mengumpulkan dan menggunakan alat tulis warna-warni untuk mengisi jurnal :)

 "Aku akan balik kok ke Bengkulu, setidaknya lima tahun lagi", ucapku pada seorang sahabat, diatas motor, dihari-hari terakhirku di Bengkulu usai menyelesaikan urusan sidang skripsi dan menghitung hari untuk kembali ke Cimahi.

--
Percakapan diatas terjadi pertengahan tahun 2014. Kala itu saya sebenarnya tak benar-benar ingin pergi dari Bengkulu, empat tahun menetap dan belajar disana, rasa cinta saya pada Kota ini tumbuh sedemikian rupa. Teman-teman terdekat saya ada di Kota ini, kesempatan bekerja (yang kala itu saya lihat amat menjanjikan) terbuka lebar. I can do so much things in this City. Itu yang saya pikirkan lima tahun lalu.

Apakah akhirnya saya menetap dan tinggal?
Eww, sayangnya dan syukurnya tidak.

Sayangnya, saya harus meninggalkan Kota ini, kembali ke Cimahi, bekerja di Kota yang selalu saya sebut Kota dimana saya berasal. Meninggalkan banyak kenangan dan teman-teman terbaik yang pernah saya miliki. 
Syukurnya, saya bisa move on, menjalin kembali pertemanan lama, membangun pertemanan baru, lima tahun belakangan tak hanya bekerja dan belajar di satu tempat, lima tahun, empat pekerjaan di tempat berbeda. Saya juga bersyukur karena toh pada akhirnya, teman-teman terbaik yang saya miliki di Bengkulu pergi merantau atau kembali ke kampung halamannya. Tak terbayang betapa merananya jika saya tinggal dan tak ada mereka disana. 

Singkat cerita, saya memenuhi janji untuk kembali lima tahun setelah saya meninggalkan Bengkulu. Untuk sebuah keperluan yang amat menyenangkan karena saya bisa menunaikan dua janji sekaligus dalam satu waktu. Satu: Kembali ke Bengkulu setelah lima tahun. Dua: Hadir di Pernikahan Renti.

Saya membeli tiket pesawat ke Bengkulu dua bulan sebelum saya berangkat. I'm beyond excited. Sempat merasa takut karena seperti mengulang pengalaman pertama kali berangkat, naik pesawat sendirian. (Bedanya kala itu saya diantar alm. Bapak sampai Soekarno Hatta). Ternyata saya satu pesawat dengan Ronald, sahabat saya yang juga mudik untuk menghadiri pernikahan adiknya. Perjalanan yang saya kira akan diisi air mata karena saya mengingat moment diantar Bapak pun sirna, Ronald berangkat bersama istri dan anaknya yang lucu. Saya merasa senang sepanjang perjalanan.

Me & Abang setelah lima tahun tak jumpa

Sampai Bengkulu saya dijemput Abang Ari, sahabat satu geng yang selalu dituakan dan direpotkan. Abang datang basah-basah karena kehujanan. Dan meskipun hari masih hujan, Abang Ari mengantarkan saya ke tempat yang amat sangat ingin saya datangi: Universitas Bengkulu.

How I missed this place.

Rasanya seperti kembali ke sembilan tahun lalu, pertama kali menginjakkan kaki disini. Beberapa orang bingung ketika saya bilang tempat pertama yang ingin saya datangi di Bengkulu adalah kampus. Well, saya menghabiskan hampireluruh waktu ketika kuliah dulu dengan berada di kampus. Bukan hanya ketika ada perkuliahan tapi hampir sepanjang waktu. Meskipun tak mungkin menemui wajah-wajah yang sama, melihat gedung-gedung yang pernah saya lewati dulu, rasanya cukup untuk memanen rindu.

Saya di depan gedung perpustakaan Unib
Di depan GKB III Ruang 1, kelas kuliah dulu
Pulang ke Bengkulu juga berarti bertemu teman-teman terdekat saya ketika kuliah dulu.
Pernikahan Renti semacam ajang reuni bagi saya dan teman-teman.
Senaang sekali rasanya. Lima tahun memendam perasaan ingin pulang ke Bengkulu rasanya tak sia-sia. Saya pulang di waktu dan untuk alasan yang tepat. Walaupun hanya dua hari.

Wait, let just say this is my kinda Bachelorette party. Make sure the bride wont be starving in the morning

Me & My BBFF
Reunion
Err, tentunya tak lengkap menceritakan perjalanan ini tanpa drama didalamnya.
Saya seharusnya pulang hari Minggu sore. Setelah diantar seluruh teman-teman (It's like the good old time, setiap kali meninggalkan Bengkulu, selalu diantar teman-teman terdekat), melewati drama penuh tangis di depan rumah Renti ketika pamit pada Ibu, hampir menangis di rumah Bu Ju, saya . . . ditinggal pesawat.

Whaaaat
Ternyata sebulan belakangan tak ada penerbangan sore dari Bengkulu ke Jakarta dengan Lion Air. Damn. Apesnya mereka tak berkabar, katanya nomor saya tak bisa dihubungi.

Setelah panik dan hampir marah (karena besok harus kerja pagi). Saya tidak jadi marah-marah seperti kejadian-kejadian penumpang ditinggal pesawat yang sering viral di media sosial. Saya cuma minta mereka menyediakan tiket penerbangan pengganti. Senin, yang paling pagi, kalau bisa subuh.
Setelah 30 menit, saya mendapatkan kepastian untuk terbang besok pagi jam 06.00, cukup pagi untuk berada di kantor sebelum jam 11.


Tapi tentu tetap ada hikmah dibalik semua kejadian.
Saya jadi bisa main ke Pantai Panjang, ke tempat dimana saya sering main sepeda bareng Abang Ari dulu. Melihat matahari terbenam dengan cara yang beberapa tahun lalu jadi cara yang 'biasa' namun sekarang jadi luar biasa. Juga bisa menginap di tempat Bu Ju, adik Ibu yang tinggal di Bengkulu.

Besoknya, saya kembali dengan hati yang penuh syukur.
Ahhhh, rasanya senang sekali bisa pulang.

Jadi kapan balik lagi ke Bengkulu, As?
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

POPULAR POSTS

  • [Review Asri] Atomic Habits - James Clear
  • Review Asri: Jalan Panjang untuk Pulang karya Agustinus Wibowo
  • Review Asri: Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom
  • Review Asri: Pengantin-pengantin Loki Tua karya Yusi Avianto Pareanom
  • Review Asri: As Long As The Lemon Trees Grow karya Zoulfa Katouh
  • [Review Asri] Kemarau - A.A. Navis
  • Review Asri: Salt to The Sea karya Ruta Sepetys
  • Review Asri - Tempat Terbaik di Dunia karya Roanne Van Voorst
  • Review Asri: Minimarket yang Merepotkan karya Kim Ho-yeon
  • Review Asri: Metode Jakarta karya Vincent Bevins, Bacaan untuk Memahami Pembantaian Massal 1965 dalam Konteks Global

Arsip Blog

  • ▼  2025 (20)
    • ▼  Juni 2025 (2)
      • Review Asri: Metode Jakarta karya Vincent Bevins, ...
      • Review Asri: Salt to The Sea karya Ruta Sepetys
    • ►  Mei 2025 (5)
    • ►  April 2025 (2)
    • ►  Maret 2025 (2)
    • ►  Februari 2025 (3)
    • ►  Januari 2025 (6)
  • ►  2024 (8)
    • ►  November 2024 (1)
    • ►  Agustus 2024 (1)
    • ►  Juni 2024 (1)
    • ►  Mei 2024 (2)
    • ►  April 2024 (3)
  • ►  2023 (17)
    • ►  November 2023 (1)
    • ►  September 2023 (1)
    • ►  Juli 2023 (4)
    • ►  Juni 2023 (4)
    • ►  Maret 2023 (2)
    • ►  Februari 2023 (2)
    • ►  Januari 2023 (3)
  • ►  2022 (52)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  September 2022 (12)
    • ►  Agustus 2022 (2)
    • ►  Juli 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (4)
    • ►  Mei 2022 (9)
    • ►  April 2022 (7)
    • ►  Maret 2022 (5)
    • ►  Februari 2022 (6)
    • ►  Januari 2022 (3)
  • ►  2021 (35)
    • ►  Desember 2021 (5)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (4)
    • ►  Agustus 2021 (3)
    • ►  Juli 2021 (2)
    • ►  Juni 2021 (1)
    • ►  Mei 2021 (3)
    • ►  April 2021 (1)
    • ►  Maret 2021 (2)
    • ►  Februari 2021 (6)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (13)
    • ►  Desember 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (4)
    • ►  Juni 2020 (3)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (1)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (14)
    • ►  November 2019 (1)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (2)
    • ►  Juli 2019 (2)
    • ►  Maret 2019 (3)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (2)
  • ►  2018 (15)
    • ►  Desember 2018 (4)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Juli 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (3)
    • ►  Maret 2018 (3)
    • ►  Januari 2018 (2)
  • ►  2017 (20)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  Oktober 2017 (3)
    • ►  September 2017 (2)
    • ►  Agustus 2017 (4)
    • ►  Juli 2017 (4)
    • ►  Mei 2017 (3)
    • ►  Januari 2017 (2)
  • ►  2016 (65)
    • ►  Desember 2016 (2)
    • ►  September 2016 (2)
    • ►  Agustus 2016 (3)
    • ►  Juli 2016 (17)
    • ►  Juni 2016 (7)
    • ►  Mei 2016 (7)
    • ►  April 2016 (25)
    • ►  Februari 2016 (1)
    • ►  Januari 2016 (1)
  • ►  2015 (29)
    • ►  Desember 2015 (3)
    • ►  September 2015 (2)
    • ►  Agustus 2015 (13)
    • ►  Juli 2015 (4)
    • ►  Juni 2015 (1)
    • ►  Maret 2015 (2)
    • ►  Februari 2015 (1)
    • ►  Januari 2015 (3)
  • ►  2014 (29)
    • ►  Desember 2014 (8)
    • ►  November 2014 (6)
    • ►  Oktober 2014 (2)
    • ►  September 2014 (2)
    • ►  Juni 2014 (3)
    • ►  Mei 2014 (2)
    • ►  Februari 2014 (6)
  • ►  2013 (66)
    • ►  Desember 2013 (1)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  Oktober 2013 (7)
    • ►  September 2013 (7)
    • ►  Agustus 2013 (15)
    • ►  Juli 2013 (4)
    • ►  Juni 2013 (8)
    • ►  Mei 2013 (2)
    • ►  April 2013 (5)
    • ►  Februari 2013 (3)
    • ►  Januari 2013 (9)
  • ►  2012 (6)
    • ►  November 2012 (4)
    • ►  Oktober 2012 (2)
  • ►  2011 (8)
    • ►  Oktober 2011 (4)
    • ►  September 2011 (1)
    • ►  Maret 2011 (3)

Goodreads

Asri's books

Kejutan Kungkang
it was amazing
Kejutan Kungkang
by Andina Subarja
The Fine Print
liked it
The Fine Print
by Lauren Asher
Under One Roof
liked it
Under One Roof
by Ali Hazelwood
Lessons from Surah Yusuf
it was amazing
Lessons from Surah Yusuf
by Abu Ammaar Yasir Qadhi
Setelah membaca ini sampai selesai malam ini. Jadi paham kenapa Allah bilang kalau Kisah Yusuf ini salah satu kisah terbaik dalam Quran. Ada terlalu banyak pelajaran berharga dari kisah Yusuf. Dr. Yasir Qadhi mengawali buku ini dg sebab...
No Exit
liked it
No Exit
by Taylor Adams

goodreads.com

Blog Perempuan

Blog Perempuan

Cari Blog Ini

Kamu pengunjung ke

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © Journal Asri. Designed by OddThemes